Yogyakarta is a city known as student city in Java, Indonesia. This time I’d like to talk only about a corner of the city. Well, actually it’s not an ordinary corner; perhaps we better call it a far corner of Yogyakarta, because what I want to show you in this post was not located inside the city border but outside, although it was still in Yogyakarta area. To be precise it was in Yogyakarta’s beach called Parangtritis which was about 27 kilometers from Yogyakarta to the south. In there travelers would find a unique natural phenomenon, there were sand dunes in a part of the beach. It was said that other than in Parangtritis, such phenomenon only happened in Mexico.
Parangtritis sand dunes, or “Gumuk Pasir Parangtritis” according to local tongue, were formed in thousand years of natural process. Some experts said that the sands were actually volcanic materials erupted by Mt. Merapi which flowed along the stream of Opak and Progo rivers to their estuaries in the south sea. The materials then been brought to the shore by strong waves, and after dried by the sun, the smooth and light sands blew by strong wind came from the ocean. Since Parangtritis beach was bordered by limestone hills, the sands could not pass the hills and fell before them, made a desert like area on an open part of the land between the hills and the beach. The wind that blew continuously in the area from various directions in a certain times made the sands became sand dunes with various unique forms.
The last time I came to the area was on a day showered by light rain, so the sands on the area were quite wet and became quite hard; and when I walked on the dunes it was like I walked on the usual solid ground. One thing that attracted my attention at that time was the area of the dunes, seems that it was shrunk a lot compared to some thirty years ago when I often went to the area. Other than that, I also notice that there were many plants grew on the area. I saw many pandanus pandanus shrubs and also casuarina equisetifolia been planted there. Well, I’m not against any efforts to make the area more fertile and look greener, but by planting the plants in the dunes for sure will change the dunes into ordinary lands, and that means that Yogyakarta will lose one of its natural uniqueness. How pity 😦
Keterangan :
Kali ini aku nge-post mengenai sebuah fenomena alam unik yang ada di salah satu sudut Yogyakarta. Bukan di kotanya tentu, melainkan di suatu sudut Daerah Istimewa Yogyakarta, tepatnya di daerah Pantai Parangtritis. Di sana ada satu daerah yang pemandangannya akan mengingatkan kita akan pemandangan di padang pasir. Ya kita tidak perlu jauh-jauh berkunjung ke Gurun Sahara di Jazirah Arab sana ataupun ke Gurun Gobi di Asia Tengah kalau cuma mau merasakan dan melihat suasana padang pasir karena di Indonesia juga ada pemandangan yang mirip. Bahkan daerah yang dikenal dengan nama Gumuk Pasir Parangtritis atau Gumuk Pasir Parangkusumo ini sudah sering dipergunakan sebagai background pemotretan ataupun lokasi shooting adegan-adegan yang menggambarkan suasana padang pasir.
Gumuk Pasir tersebut terjadi dari proses alam beribu-ribu tahun. Beberapa ahli mengatakan bahwa pasir yang ada di daerah tersebut sebetulnya merupakan material vulkanik yang dimuntahkan Gunung Merapi tiap kali terjadi erupsi. Material berupa pasir ini kemudian terbawa aliran Sungai Opak dan Sungai Progo yang bermuara di Samudra Indonesia. Material tersebut kemudian ‘dikembalikan’ ke daratan dengan perantaraan hempasan gelombang laut selatan yang dikenal dahsyat itu. Tumpukan pasir ini lama kelamaan akan menjadi kering karena terik matahari. Setelah itu, angin yang kencang dari arah laut mengambil alih tugas membawa butiran-butiran pasir halus tersebut lebih jauh ke daratan. Tetapi karena Parangtritis praktis dikelilingi perbukitan kapur, hembusan angin yang kuatpun tidaklah mampu membawa butiran-butiran pasir tersebut melewati bukit-bukit kapur tersebut, sehingga jatuhlah butiran-butiran pasir itu di suatu daerah di antara bukit dan pantai yang lama kelamaan menutupi suatu daerah yang lumayan luas sehingga terbentuk padang pasir. Berikutnya, hembusan angin yang berganti-ganti arahnya mengukir tumpukan pasir yang ada di sana membentuk bukit-bukit pasir kecil yang unik. Karena itulah jika mau berkunjung ke Gumuk Pasir Parangtritis ini sebaiknya pagi hari sehingga alur-alur yang terbentuk di gundukan-gundukan pasir hasil karya alam masih tampak jelas.
Terakhir kali aku berkunjung ke sana, kebetulan ditemani gerimis halus, sehingga pasir memadat. Matahari yang muncul setelahnya tidak mampu dengan cepat mengembalikan tingkat kekeringan daerah tersebut. Meskipun demikian, aku tetap mencoba menjelajahi daerah itu, paling tidak aku bisa mengembalikan kenangan ketika dulu aku sering ke situ. Sayangnya aku menemukan bahwa luas daerah itu sudah banyak menyusut dibandingkan ketika aku sering ke sana kira-kira tiga puluh tahun lalu. Hal lain yang juga sempat aku perhatikan, ternyata sekarang banyak tanaman yang tumbuh di sana. Entah sengaja ditanam atau tumbuh dengan sendirinya. Aku melihat beberapa gerumbul tanaman pandan dan juga banyak pohon cemara udang yang baru tumbuh. Kalau cemara udang sih aku yakin ditanam, karena masih kelihatan kantong-kantong yang dipergunakan untuk membawa tanaman itu ke sana. Yah aku sih tidak anti dengan usaha penghijauan ataupun usaha-usaha lain untuk membuat daerah itu lebih menarik. Hanya saja kalau usaha tersebut dilakukan dengan menanami daerah itu dengan cemara udang atau tanaman lain, menurut aku sih agak keliru ya. Bagaimanapun, dengan adanya tanaman-tanaman itu di sana, maka lambat laun Gumuk Pasir akan hilang dan berubah menjadi dataran tepi pantai yang biasa. Pertanyaannya, apakah tidak sayang kalau fenomena alam yang unik itu hilang? Perlu diketahui bahwa fenomena alam seperti itu, di dunia ini hanya terdapat di dua tempat, yaitu di Parangtritis ini dan di Meksiko. Kalau sampai yang di Parangtritis itu hilang . . . wah gak kebayang deh 😦