Monthly Archives: April 2014

Corner of Yogyakarta – the vanishing sand dunes

Yogyakarta is a city known as student city in Java, Indonesia. This time I’d like to talk only about a corner of the city. Well, actually it’s not an ordinary corner; perhaps we better call it a far corner of Yogyakarta, because what I want to show you in this post was not located inside the city border but outside, although it was still in Yogyakarta area. To be precise it was in Yogyakarta’s beach called Parangtritis which was about 27 kilometers from Yogyakarta to the south. In there travelers would find a unique natural phenomenon, there were sand dunes in a part of the beach. It was said that other than in Parangtritis, such phenomenon only happened in Mexico.

IMG_GMP01

Parangtritis sand dunes, or “Gumuk Pasir Parangtritis” according to local tongue, were formed in thousand years of natural process. Some experts said that the sands were actually volcanic materials erupted by Mt. Merapi which flowed along the stream of Opak and Progo rivers to their estuaries in the south sea. The materials then been brought to the shore by strong waves, and after dried by the sun, the smooth and light sands blew by strong wind came from the ocean. Since Parangtritis beach was bordered by limestone hills, the sands could not pass the hills and fell before them, made a desert like area on an open part of the land between the hills and the beach. The wind that blew continuously in the area from various directions in a certain times made the sands became sand dunes with various unique forms.

The last time I came to the area was on a day showered by light rain, so the sands on the area were quite wet and became quite hard; and when I walked on the dunes it was like I walked on the usual solid ground. One thing that attracted my attention at that time was the area of the dunes, seems that it was shrunk a lot compared to some thirty years ago when I often went to the area. Other than that, I also notice that there were many plants grew on the area. I saw many pandanus pandanus shrubs and also casuarina equisetifolia been planted there. Well, I’m not against any efforts to make the area more fertile and look greener, but by planting the plants in the dunes for sure will change the dunes into ordinary lands, and that means that Yogyakarta will lose one of its natural uniqueness. How pity  😦

IMG_GMP09

 

Keterangan :

Kali ini aku nge-post mengenai sebuah fenomena alam unik yang ada di salah satu sudut Yogyakarta. Bukan di kotanya tentu, melainkan di suatu sudut Daerah Istimewa Yogyakarta, tepatnya di daerah Pantai Parangtritis. Di sana ada satu daerah yang pemandangannya akan mengingatkan kita akan pemandangan di padang pasir. Ya kita tidak perlu jauh-jauh berkunjung ke Gurun Sahara di Jazirah Arab sana ataupun ke Gurun Gobi di Asia Tengah kalau cuma mau merasakan dan melihat suasana padang pasir karena di Indonesia juga ada pemandangan yang mirip. Bahkan daerah yang dikenal dengan nama Gumuk Pasir Parangtritis atau Gumuk Pasir Parangkusumo ini sudah sering dipergunakan sebagai background pemotretan ataupun lokasi shooting adegan-adegan yang menggambarkan suasana padang pasir.

IMG_GMP03

Gumuk Pasir tersebut terjadi dari proses alam beribu-ribu tahun. Beberapa ahli mengatakan bahwa pasir yang ada di daerah tersebut sebetulnya merupakan material vulkanik yang dimuntahkan Gunung Merapi tiap kali terjadi erupsi. Material berupa pasir ini kemudian terbawa aliran Sungai Opak dan Sungai Progo yang bermuara di Samudra Indonesia. Material tersebut kemudian ‘dikembalikan’ ke daratan dengan perantaraan hempasan gelombang laut selatan yang dikenal dahsyat itu. Tumpukan pasir ini lama kelamaan akan menjadi kering karena terik matahari. Setelah itu, angin yang kencang dari arah laut mengambil alih tugas membawa butiran-butiran pasir halus tersebut lebih jauh ke daratan. Tetapi karena Parangtritis praktis dikelilingi perbukitan kapur, hembusan angin yang kuatpun tidaklah mampu membawa butiran-butiran pasir tersebut melewati bukit-bukit kapur tersebut, sehingga jatuhlah butiran-butiran pasir itu di suatu daerah di antara bukit dan pantai yang lama kelamaan menutupi suatu daerah yang lumayan luas sehingga terbentuk padang pasir. Berikutnya, hembusan angin yang berganti-ganti arahnya mengukir tumpukan pasir yang ada di sana membentuk bukit-bukit pasir kecil yang unik. Karena itulah jika mau berkunjung ke Gumuk Pasir Parangtritis ini sebaiknya pagi hari sehingga alur-alur yang terbentuk di gundukan-gundukan pasir hasil karya alam masih tampak jelas.

IMG_GMP07IMG_GMP10

Terakhir kali aku berkunjung ke sana, kebetulan ditemani gerimis halus, sehingga pasir memadat. Matahari yang muncul setelahnya tidak mampu dengan cepat mengembalikan tingkat kekeringan daerah tersebut. Meskipun demikian, aku tetap mencoba menjelajahi daerah itu, paling tidak aku bisa mengembalikan kenangan ketika dulu aku sering ke situ. Sayangnya aku menemukan bahwa luas daerah itu sudah banyak menyusut dibandingkan ketika aku sering ke sana kira-kira tiga puluh tahun lalu. Hal lain yang juga sempat aku perhatikan, ternyata sekarang banyak tanaman yang tumbuh di sana. Entah sengaja ditanam atau tumbuh dengan sendirinya. Aku melihat beberapa gerumbul tanaman pandan dan juga banyak pohon cemara udang yang baru tumbuh. Kalau cemara udang sih aku yakin ditanam, karena masih kelihatan kantong-kantong yang dipergunakan untuk membawa tanaman itu ke sana. Yah aku sih tidak anti dengan usaha penghijauan ataupun usaha-usaha lain untuk membuat daerah itu lebih menarik. Hanya saja kalau usaha tersebut dilakukan dengan menanami daerah itu dengan cemara udang atau tanaman lain, menurut aku sih agak keliru ya. Bagaimanapun, dengan adanya tanaman-tanaman itu di sana, maka lambat laun Gumuk Pasir akan hilang dan berubah menjadi dataran tepi pantai yang biasa. Pertanyaannya, apakah tidak sayang kalau fenomena alam yang unik itu hilang? Perlu diketahui bahwa fenomena alam seperti itu, di dunia ini hanya terdapat di dua tempat, yaitu di Parangtritis ini dan di Meksiko. Kalau sampai yang di Parangtritis itu hilang . . . wah gak kebayang deh  😦

IMG_GMP11

Categories: Travel Pictures | Tags: , , , | 71 Comments

A church in the middle of Jakarta’s Chinatown

Deep in the heart of Jakarta’s Chinatown, among many Chinese Temples, there was an old building. At a glance, people would think that the building just an ordinary old house owned by a wealthy Chinese family, but perhaps others would think that the building was a Chinese Temple like many other similar buildings in the neighborhood. People would realize that the building was actually a Catholic Church, once they entering the gate, for they would notice that there was a big metal cross at the top of the buildings, and on a corner there was a statue of Our Lady of Fatima in the middle of a small garden. Across of it there was also a bell tower with a Jesus statue on it.

the church as seen from the front yard

the church as seen from the front yard  (tampak luar gereja)

Anyway, it was not totally wrong when people thought that the church was an old house. It was really an old house which was built in the early 19th century, and used to be the house of a Chinese community leader in the past. A pair of Chinese style stone lions that sit guarding in the front of the house proved that the owner of the house was not an ordinary people.

The church name’s was Gereja Santa Maria de Fatima (Our Lady of Fatima Church) or it has also known as Gereja Toasebio (Toasebio Church) because it was located in Jl. Kemenangan III, Glodok, West Jakarta. In the past, Jl. Kemenangan III was known as Toasebiostraat.

the apse area as seen from the church main gate (bagian utama gereja seperti tampak dari pintu utama)

the apse area as seen from the church main gate (bagian utama gereja seperti tampak dari pintu utama)

The church was quite unique, because not only the facade that looked like a big Chinese house, but the interior was also still representing Chinese aura with red and gold colors dominated the interior; some Chinese style wood carvings decorated many part of the interiors too, especially in the apse. The altar was made of wood, and seemed that previously it was a table used to honor deceased family members and ancestors of the previous owners of the building. Aside of that, the one that used for the tabernacle was originally the family’s shrine which was usually put on top of an offering table. Side by side of the apse were small rooms with statues of Virgin Mary on the right and Jesus on the left. The doorways to the small rooms were in the form of Chinese traditional moon-shape doorway.

restored wood carvings (ukiran kayu yang telah selesai direstorasi)

restored wood carvings  (ukiran kayu yang telah selesai direstorasi)

It was said that the house was bought by the church from its owner, the descendants of a Chinese community leader named Tjioe (Chow), in 1954. The house was a big house with two additional buildings framed the main building on each side with a big lawn in front of it. Later on, the main building has become the church and the additional building on the right has become the church’s rectory while the one on the other side has become the church’s administration office.

the front terrace  (teras depan gereja)

the front terrace (teras depan gereja)

As far as I know, Gereja Toasebio was one among a few Catholic Church that served a Holy Mass in Chinese language regularly in Jakarta; it was in Sunday afternoon mass if I’m not mistaken. For the Catholics, especially in Indonesia, it would be very interesting to attend a mass in Chinese language in there since they would feel as if the mass were served outside Indonesia  :). Although not attending a mass, however, it was still interesting to visit the church, at least to see an old Chinese house of a nobleman with its pretty typical decoration which still remains relatively intact and well maintained in Jakarta.—

 

Keterangan :

Di tengah kawasan Pecinan di Jakarta yang hampir selalu dipenuhi dengan orang yang berlalu lalang, ada sebuah bangunan tua terselip. Sepintas orang akan menyangka bahwa bangunan itu hanyalah sebuah rumah tua biasa yang dimiliki oleh keluarga Tionghoa kaya, atau mungkin orang lain bisa saja berpendapat bahwa itu adalah sebuah bangunan kelenteng seperti yang banyak terdapat di kawasan itu karena pintu, jendela dan ornamen lainnya yang khas dengan warna merah tampak jelas dari jauh. Tetapi kalau diperhatikan lebih teliti, akan tampak sesuatu yang membedakan bangunan ini dengan bangunan-bangunan lain di sekelilingnya. Ya . . di atas bubungan rumah yang berbentuk ekor burung walet, yang menandakan bangunan khas dari China itu terdapat sebuah salib dari logam. Kalau kaki dilangkahkan memasuki halamannya, di sisi kanan halaman terdapat sebuah taman kecil dengan patung Bunda Maria yang sedang dihadap oleh tiga orang bocah penggembala seperti yang tertuang dalam kisah penampakan Bunda Maria di Fatima; sementara di sisi kiri terdapat sebuah menara lonceng dengan patung Yesus di atasnya. Dengan ciri-ciri itu, barulah jelas kalau rumah besar itu sebetulnya adalah sebuah Gereja Katolik.

pintu utama gereja  (the main entrance to the church)

pintu utama gereja (the main entrance to the church)

Gereja tersebut dikenal dengan nama Gereja Santa Maria de Fatima atau Gereja Toasebio. Nama Gereja Toasebio muncul karena gereja tersebut terletak di Jl. Kemenangan III, Kelurahan Glodok, Jakarta Barat. Menurut catatan sejarah, Jl. Kemenangan III ini pada jaman penjajahan dikenal dengan nama Toasebiostraat karena di ujung jalan terdapat sebuah kelenteng kuno yang bernama Kelenteng Toa Se Bio atau sekarang dikenal dengan nama Vihara Dharma Jaya.

Balik ke soal bangunan gereja itu, kalau orang mengatakan bahwa bangunan ini tampak seperti sebuah rumah tua, sebetulnya tidak salah-salah amat juga sih. Dari informasi yang aku dapat, bangunan gereja ini dibangun pada awal abad ke-19. Bangunan tersebut dipergunakan sebagai tempat tinggal seorang Kapitan China bermarga Tjioe (Chow) bersama seluruh keluarga besarnya. Perlu dicatat bahwa pangkat Kapitan di sini tidak menunjukkan kepangkatan dalam kemiliteran melainkan merupakan kepangkatan dalam masyarakat China pada jaman penjajahan. Pangkat Kapitan itu menunjukkan kalau penyandangnya merupakan salah satu tokoh atau pemuka masyarakat yang disegani. Hal tersebut tampak bukan saja dari luasnya rumah tinggalnya, melainkan juga dengan adanya sepasang singa batu yang duduk menjaga di depan pintu rumahnya yang menunjukkan strata sosial pemilik rumah itu yang bukan merupakan orang kebanyakan.

Rumah dan halaman luas ini kemudian dibeli oleh Gereja pada tahun 1954 dengan cara dicicil. Pada waktu itu, para pastor dari tarekat SJ yang diberi tugas untuk membeli rumah dan tanah tersebut dari keturunan Kapitan Tjioe untuk kemudian dipergunakan sebagai gereja, sekolah dan asrama bagi orang-orang Hoakiau (China perantauan) yang banyak bermukim di sekitar situ. Pada saat dibeli, bangunan tersebut terdiri atas sebuah bangunan utama yang dilengkapi dengan bangunan tambahan di sisi kiri dan kanannya. Sejak saat itu, meskipun difungsikan sebagai gereja, bentuk bangunan tersebut tidaklah diubah, melainkan tetap dipertahankan sebagaimana adanya. Bangunan utama itu kemudian difungsikan sebagai gereja sampai sekarang, sedangkan bangunan tambahan di sebelah kanan difungsikan sebagai pastoran dan bangunan tambahan di sebelah kiri berfungsi sebagai sebagai kantor yang mengurusi administrasi gereja.

Selain bentuk gedung yang masih dipertahankan sesuai aslinya, interior bangunan gerejapun masih dipertahankan, sehingga warna merah dan emas cukup dominan di dalam ruangan gereja, khususnya di sekitar altar. Ornamen berupa ukiran khas negeri tirai bambu yang rumit juga banyak terdapat di dalam ruangan gereja. Meja altar di gereja tersebut terbuat dari kayu, dan kalau melihat bentuknya, kelihatannya meja tersebut dahulu merupakan sebuah meja sembahyang dimana biasanya dilakukan penghormatan kepada leluhur ataupun kepada keluarga yang telah meninggal. Sedangkan yang difungsikan sebagai tabernakel di situ juga kelihatannya dulu merupakan tempat meletakkan foto atau nama leluhur dan keluarga pemilik rumah yang telah meninggal.

altar dengan tabernakel di belakangnya  (the altar and the tabernacle)

altar dengan tabernakel di belakangnya (the altar and the tabernacle)

Di sisi kiri dan kanan daerah altar, terdapat ruangan-ruangan kecil tidak berpintu yang berisi patung Bunda Maria dan patung Yesus. Tampak bahwa untuk masuk ke ruangan tersebut, pengunjung akan melewati sebuah ambang pintu berbentuk bundar yang merupakan bentuk khas ambang pintu di negeri tirai bambu seperti yang biasa kita lihat di film-film silat Mandarin.

Pada saat aku berkunjung ke sana, beberapa ukiran yang telah lapuk karena usia dan juga karena serangan rayap sedang direstorasi. Untungnya Pater Suhud yang bertugas di Paroki Toasebio cukup mengerti mengenai karakterisitik bangunan-bangunan tua khas China yang ada di Indonesia, dan juga menyenanginya, sehingga restorasi berjalan dengan lancar dan hasilnya bagus. Beberapa patung kayu dalam ukiran di atas altar yang tidak berkepala lagi sekarang sudah kembali memiliki kepala, dan ukiran-ukiran yang sudah selesai direstorasi kemudian di cat sehingga menambah keindahannya. Bagian-bagian bangunan yang lainpun diperbaiki dengan tidak mengubah bentuknya. Ah beruntungnya Gereja Maria de Fatima memiliki seorang Pastor Suhud yang betul-betul mengerti dan menyukai sejarah gereja tersebut. Mudah-mudahan saja bangunan gereja yang sejak tahun 1972 sudah menjadi bangunan cagar budaya ini bisa tetap lestari.

ukiran kayu yang sedang direstorasi  (panel under restoration)

ukiran kayu yang sedang direstorasi (panel under restoration)

Anyway, setahu aku Gereja Toasebio ini merupakan salah satu gereja yang secara rutin menyelenggarakan misa dengan Bahasa Mandarin di Jakarta, kalau gak salah sih tiap Minggu sore. Buat umat Katolik, mungkin menarik juga sekali-kali mengikuti misa dengan Bahasa Mandarin di dalam gereja yang berupa rumah China kuno dengan ornament yang khas negeri tirai bambu. Pasti seakan-akan sedang mengikuti misa yang tidak diselenggarkan di Jakarta. Meskipun demikian, berkunjung ke gereja tersebut tanpa mengikuti misa juga akan cukup menarik karena kita bisa melihat rumah seorang petinggi masyarakat China di Jakarta pada jaman dahulu dengan ornamen-ornamennya yang khas, baik di bagian luar maupun di bagian dalamnya, yang sampai sekarang masih relatif utuh dan terpelihara.–

Categories: Travel Pictures | Tags: , , , | 83 Comments

Welcoming evening on a bridge

On my second day in my last visit to a small town called Tegal in Central Java, I found myself ‘trapped’ in a rainy day, so I just spent my time in my hotel room. At about 4 PM, however, the rain stop; and although dark clouds still hanging here and there, I could see colorful sky behind the clouds. In hoping that I could get a pretty and colorful sunset from a beach nearby, I prepare myself to make a short trip to the beach.

IMG_MUR01

Knowing that usually the town beach was pretty crowded in such a time, I decided to go to another beach not too far from the town beach. My friend once took me there, so I hope that I could find the location easily. It was a beach surrounded by fisherman’s houses. Yes, it was in a village inhabited by fishermen and the beach’s name was taken from the village name, Muarareja. It was neither a tourist spot nor a leisure destination beach, so I could hope that the beach was not too crowded except for some locals doing their daily routines.

But, alas, I could not find the right way to the beach. Seemed that I was lost and I found myself on a narrow road with coastal ponds at either sides of the road. The beach was nowhere to be seen from that place because of the high mangrove trees on each sides of the coastal ponds blocked my sight to the sea.

IMG_MUR02

After trying to continue my trip on the narrow road for some time, at last I decided to turn back as the road became narrower and the sky became darker. Did not want to go back to the hotel empty handed, I stop on a bridge over an estuary on my way back when I saw the sky was like a giant canvas painted with beautiful pattern of amazing colors. I join some locals on the bridge enjoying sunset while fishing with a long fishing rod.

IMG_MUR07

So here I share what I saw at that time; but believe me, it was much prettier if you saw it directly on the bridge  🙂

 

Keterangan  :

Di hari kedua pada kunjunganku yang terakhir ke kota Tegal, sebuah kota kecil di pesisir utara Jawa Tengah, aku sempat ‘terjebak’ di kamar hotel karena hujan yang turun seharian. Untungnya sekitar jam 4 sore hujan berhenti. Ketika aku melihat dari jendela kamar hotel, aku lihat langit yang dipenuhi aneka warna indah di ufuk barat meskipun awan mendung yang tidak merata masih juga nampak di sana-sini. Wah boleh juga nih cuacanya; rasanya boleh juga kalau ke pantai untuk menikmati saat-saat terbenanmya sang surya sore itu.

Aku segera bersiap-siap untuk berangkat ke pantai. Sore itu aku memutuskan untuk tidak mengunjungi pantai kota, melainkan ke pantai lain yang terletak di sebuah desa nelayan, dengan pertimbangan bahwa di sana akan lebih sepi. Seandainyapun ada orang, tentunya itu para nelayan atau anggota keluarganya yang sedang melakukan aktifitas harian mereka. Nama desa nelayan itu adalah Desa Muarareja dan pantainya diberi nama sesuai dengan nama desa dimana pantai itu berada, yaitu Pantai Muarareja.

IMG_MUR05

Kebetulan aku pernah diajak salah seorang temanku ke pantai itu, sehingga sore itu aku yakin pasti akan bisa menemukan jalan ke arah Pantai Muarareja dengan mudah. Tetapi apa yang terjadi? Ternyata aku tersasar dengan sukses saudara-saudara  😳 Entah aku salah berbelok di mana, tahu-tahu aku sudah berada di sebuah jalan yang relatif sempit yang kedua sisinya terdapat tambak yang dipagari pohon bakau. Di depanku, aku melihat jalanan semakin sempit lagi. Waduh . . repot juga nih, perasaan dulu waktu aku diajak temanku itu jalanan cukup lebar dan kendaraan bisa diparkir sampai di tepi pantai. Akhirnya daripada terlanjur masuk dan akhirnya stuck di sana, apalagi juga hari sudah semakin sore, aku memutuskan untuk memutar balik kendaraanku untuk menuju pulang. Untungnya, masih untung juga sih  😛, ketika melewati sebuah jembatan yang membentang di atas muara sebuah sungai, aku melihat kalau langit bagaikan sebuah kanvas raksasa dengan lukisan yang indah berwarna-warni, sehingga aku memutuskan untuk memarkirkan kendaraan di tepi jalan kemudian bergabung dengan beberapa penduduk yang sedang memancing di atas jembatan sambil menikmati suasana senja.

IMG_MUR06

Nah di postingan kali ini aku sengaja share apa yang aku lihat sore itu. Tapi percayalah kalau melihat langsung di sana, keindahannya jauh di atas apa yang berhasil aku tangkap dengan kameraku ini. Jadi, jalan-jalan menikmati keindahan alam tidak selalu harus ke tempat wisata ya  🙂

Categories: Travel Pictures | Tags: , , , | 68 Comments

Blog at WordPress.com.