Posts Tagged With: beach

A love sign on the beach

Rote was the name of a small island in East Nusa Tenggara Province, Indonesia. Geographically, Rote could be considered as the southernmost inhabited island in Indonesia. Many people called the small island a hidden paradise because of many beautiful places that scattered on the entire island. But I don’t want to talk too much about the island this time, let’s explore those beautiful places, instead; and for now, I will bring you to a beach called Oesosole.

To reach Oesosole from Baa, the main city in Rote, travelers would need quite a long time as the beach was the easternmost beach in Rote while Baa was on the west side of the island. The road heading to the beach was not in a good condition, at least that was what I found when I was there, but the long road trip on a relatively rough road would be paid off when we reached the beach.

Once you had reached the beach, you would find a deserted and quiet beach, which would make you felt you were in a private beach.

The sand along the shore was white and soft, there were also some pine trees grew on the shore and made the beach area was not looked so barren. The sea water was crystal clear with friendly waves. Off the shore was some corral rocks jutted out from the shallow water.

The icon of the beach, however, was stood alone majestically on the shore. A big corral rock that looked like a stone heart sat on top of a rocky stilt. Well . . . well . . . it seemed that Mother Nature was really fallen in love with this island so she left a sign on the beach. The heart shape rock was so big that travelers could notice it from afar.

The stone shape rock would appear so differently when travelers looked from the other side. It was more like a giant fish tail than a heart. A whale tails perhaps . . .

But it was a heart or a giant fish tail would not be a matter. With both shapes, the beach would still pretty. Don’t you agree with me?

Oesosole Beach was still an undeveloped beach. There were no stalls that sold snacks, foods nor refreshments. So just bring foods if travelers planned to stay quite long on the beach, but let only nature waste on the shore and keep your own trash with you. Don’t spoil the beach area 😉

Keterangan :

Pulau Rote merupakan salah satu pulau yang terletak di Kepulauan Nusa Tenggara. Lebih tepatnya, pulau ini secara adminsitratif masuk dalam Propinsi Nusa Tenggara Timur. Pulau Rote bisa dikatakan sebagai pulau berpenduduk yang letaknya paling selatan, karena itulah suhu udara di Pulau Rote sedikit banyak juga terpengaruh dengan musim yang sedang berlangsung di Benua Australia; misal saja ketika Australia sedang mengalami musim dingin, maka suhu di Pulau Rote juga akan terasa sejuk bahkan cenderung dingin.

Tapi . . . daripada kita bicarakan mengenai segala sesuatu yang terkait dengan Pulau Rote yang bisa jadi akan membuat tulisan ini panjang dan membosankan, lebih baik kalau kita bicara mengenai tempat-tempat indah yang banyak terdapat di pulau ini saja. Setuju kan?

Banyak pantai indah dan masih perawan di Pulau Rote yang perlu disambangi dan dijlajahi. Kita mulai saja dari Pantai Oesosole yang terletak di Desa Faifua, Kecamatan Rote Timur. Boleh di bilang pantai ini terletak di ujung timur Pulau Rote, karena itulah untuk menuju ke pantai ini dari Baa yang merupakan satu-satunya kota di Rote, dibutuhkan waktu yang lumayan lama karena Baa terletak di ujung barat utara pulau. Ketika aku ke sana, nggak semua ruas jalan yang aku lalui sudah teraspal mulus, beberapa bagian masih berupa jalan berbatu yang cukup membuat aku terguncang-guncang dalam kendaraan, bahkan beberapa kali kepalaku sampai terantuk; mungkin lain kali kalau ke sana lagi dengan kondisi jalan yang masih seperti itu, aku perlu memakai helm :p

Tapi perjalanan yang lumayan butuh perjuangan itu akan terbayar lunas koq, bahkan beserta bunganya karena ketika kita mencapai tepi pantai, kita akan disuguhi pemandangan yang luar biasa. Bagaimana tidak, hamparan pasir putih yang cukup luas di sebuah pantai yang relatif sepi sehingga siapapun akan merasa seolah berada di pantai pribadi di sana.

Air lautnya pun cukup jernih dengan ombak yang tidak terlalu besar, sehingga cukup aman bagi pelancong yang ingin bermain-main air di sana. Deretan pohon pinus dan beberapa tumbuhan pantai membuat kawasan pantai tidak tampak terlalu gersang. Tidak jauh dari bibir pantai, tampak beberapa gugusan karang yang menyembul ke permukaan air laut dengan bentuknya yang unik akibat kikisan gelombang yang terus menerus.

Pantai Oesosole bisa dibilang masih perawan, masih belum banyak pelancong yang bertandang ke sana untuk mengagumi keindahannya, karena itulah kawasan pantainya masih bersih dari sampah dan limbah buatan meskipun tidak ada penjaga ataupun petugas kebersihan yang tampak di sana. Tidak tampak adanya sampah plastik dan kemasan yang biasanya banyak mengotori kawasan pantai. Kalaupun ada sampah, yang ada hanyalah sampah alam berupa ganggang ataupun daun kering yang terbawa arus laut dan terdampar di pantai itu.

Dan . . . . . di tepi pantai itulah kita bisa melihat sebuah mahakarya yang unik sekaligus indah sebagai perlambang cinta, sebuah hasil pahatan Sang Seniman Agung melalui gempuran ombak dan hembusan angin berbilang tahun membuat sebuah bongkahan batu karang raksasa berubah menjadi berbentuk hati yang diletakkan di atas semacam tiang. Mungkin ini juga pesan yang ingin disampaikan oleh Sang Pencipta kepada kita umatnya, tempatkanlah cinta di tempat yang utama sehingga dunia terasa lebih indah.

Bentuk hati tersebut terlihat sempurna jika kita melihatnya dari arah utara, sedangkan jika kita mau berjalan ke sebaliknya, maka yang tampak adalah bentuk yang sama sekali berbeda. Menurut aku, dari arah selatan, bongkahan karang itu lebih mirip ekor ikan yang mencuat ke atas sementara badan ikannya berada di dalam pasir. Bagaimana menurut pendapat teman-teman . . ?

Tapi apakah bentuk hati yang tampak atau bentuk ekor ikan, rasanya tetap saja tidak mempengaruhi keindahan kawasan Pantai Oesosole ini secara keseluruhan. Setuju kan?

O ya, karena kawasan pantai ini belum dikembangkan dan juga masih apa adanya, para pelancong jangan berharap akan menemui warung ataupun orang-orang yang menjajakan makanan ringan ataupun minuman penawar dahaga. Jadi, sebaiknya pelancong mempersiapkan bekal terlebih dahulu sebelum berkunjung ke Oesosole.

Kawasan pantai ini juga relatif tidak terletak di jalan utama, jadi juga belum ada transportasi umum yang lewat dan bisa mengantarkan pelancong yang ingin berwisata ke sana. Biasanya para pelancong menyewa kendaraan dari Baa.

O ya, supaya keasriannya tetap lestari, yuk kita jaga kebersihan kawasan pantainya dengan cara nggak sembarangan membuang bungkus bekas bekal kita di sana. Ingat alam harus juga kita jaga kebersihannya, alam bukanlah tempat sampah raksasa. Jadi . . . biasakan juga untuk membawa kembali sampah-sampah kita untuk dibuang di tempat yang seharusnya ya . . . ;)

Categories: My Pictures, Travel Pictures | Tags: , , , , , , | 8 Comments

Back to Oro Beach

That afternoon I re-visited a pretty and tranquil beach located not too far from Tambolaka the main city of Sumba Barat Daya Regency. The beach was known as Oro Beach.

The 14 kilometers road from Tambolaka to the beach was quite good and the traffic was pretty empty, but travelers should be aware of any cattle that shared the road with vehicles 😁; and that was the main reason why travelers needed about 1 hour drive for such a short distance.

As it was mentioned before, that time was the second time I visited Oro Beach, and I’d already written a short article about my first visit to Oro Beach which could be read in here; so this is just a complement to my first article.

Oro Beach was on the north west of Sumba, and made it a nice place to enjoy sunset. Not many people came to the beach, aside of that short corral cliffs bordering the beach area which in turn made the pretty beach became as if isolated from the outside world and made Oro also became the perfect place for them who love tranquility.

When the tide is low, the beach became the perfect place to do many outdoors activities. Travelers could spend their time just by enjoying the tranquil atmosphere or . . . for them who prefer to do some exercise for their muscles, they could run or just strolling along the long coastal area covered with white sands.

For me . . . I was back there to enjoy sunset again as I found out that the vista was amazing.

Unfortunately sad news struck my ears as soon as I reached Oro Beach at that time. Lukas, the owner of Oro Beach House, whom I met and had chat in a friendly manner just passed away a week before I came there. Farewell my friend, you know that I’m happy that we ever crossed paths. May you rest in peace 😢 .—

Keterangan :

Suatu sore di pertengahan Maret lalu, kembali aku sudah dalam perjalanan menembus rinai hujan yang membasahi bumi Sumba yang biasanya kering menuju ke Pantai Oro. Entah mengapa, dalam kunjunganku ketika itu ke Sumba, hujan sering kali turun mengiringi perjalananku. Ah . . mungkinkah alam juga sedang bersedih karena berpulangnya Lukas, seorang pria ramah yang bersama Siska istrinya, mengelola sebuah penginapan bernama Oro Beach House? Aku jadi teringat ketika pertama kali aku ke Pantai Oro beberapa tahun lalu, setelah berjalan-jalan dan mengabadikan keindahan sunset dari tepi pantai, aku diterima di rumah Lukas dan Siska, kemudian ngobrol dengan seru seolah aku bukan orang asing bagi mereka berdua. Ah . . . ternyata ketika aku ke sana lagi yang aku temukan hanyalah pusaranya yang masih memerah. Selamat jalan Lukas, semoga sekarang engkau sudah berbahagia bersama Tuhan di surga 😢

Seperti sudah aku sampaikan di atas, perjalananku kali ini ke Pantai Oro yang terletak tidak terlalu jauh dari Tambolaka (ibu kota Kabupaten Sumba Barat Daya) itu bukanlah kali yang pertama. Tulisanku yang bercerita mengenai kunjunganku sebelumnya bisa dibaca di sini. Karena sudah pernah aku tulis sebelumnya, tulisanku kali ini hanyalah sedikit melengkapi tulisan terdahulu, disamping juga menyertai beberapa foto yang sempat aku ambil dalam kunjungan kali ini, karena meskipun rintik hujan meyertai perjalananku, tetapi begitu aku sampai di pantai, sang surya yang sedang bersiap menuju ke peraduannya menampakkan wajah cemerlangnya.

Pada kesempatan ini, aku sempat menjelajah kawasan Pantai Oro ini agak jauh. Arahnya kali ini mengarah ke kiri dari arah jalan masuk ke pantai. Jadi mengarah ke barat, menyongsong arah terbenamnya sang surya.

 

Ternyata di sebelah barat pantai, pemandangannya sedikit berbeda jika dibandingkan dengan di sisi timurnya. Di sebelah barat ini sebagian pantainya ada yang berkarang. Tampaknya hamparan karang di pantai ini akan tertutup air laut ketika waktu pasang, karena permukaannya di lapisi semacam lumut yang lembut. Permukaan karang-karang itu sendiri juga tidak rata, beberapa bagiannya cekung dan berisi air laut. Kadang ada juga ikan-ikan kecil yang terjebak di dalam ceruk-ceruk itu. Dan karena selalu dibelai ombak yang tak hentinya berkejaran menuju pantai, permukaan karang itu tidak lagi tajam, apalagi di bagian yang ditumbuhi semacam lumut itu; rasanya lembut seperti sedang berjalan di atas karpet.

Ah sudahlah, nanti jadi panjang lagi tulisan ini 😝

Categories: Travel Pictures | Tags: , , , , , , | 12 Comments

Who made a gate on the shore?

 Sumba, a small island in Indonesia, has never ceased to amaze me with its natural beauty and uniqueness. After a short visit to a pretty beach with rock islands off the shore that called Watu Maladong Beach, I move a little further until Pak Agus, the man who accompany my travel partner and I exploring South West Sumba District at that time, stop his car on a corner of a grass field before an area which looked like a forest. Neither sea nor shore was visible from that place, and that caused me to ask Pak Agus whether he lost or not since I told him to go to a beach which called Bwanna Beach and not to a forest.

Firmly Pak Agus told me that he was not lost since the beach was located behind the forest.

So off we went, walked through the forest to find the beach. Some local kids accompanied us in the trek. They show the path if we were in doubt as in some places the path was covered by bushes or forked. We walked not too long when I saw an opening in front of us, and as we arrived at that point, I realized that was the end of the path. In there, I stand on the verge of a cliff and the sea was far below.

When I considered how to climb down to the foot of the hill to reach the beach, the local kids accompanied us summoned my travel partner and I to follow them climbed down through a steep path which in some part was almost stood vertically. Well . . . I did not have any other choice than to follow them playing Spiderman down the path if I want to come to the beach. And fortunately I could reach the beach safe and sound. My travel partner also managed to come to the beach safely although she was almost gave up when she reached the middle of the path because of her fear when accidentally she looked down to the rocky part of the beach far below the cliff.

The hard effort taken to reach the beach would be paid off as soon as we reached the beach. It was a sandy beach. The rocky part was only at the foot of the hill, after that to the shore was all sands, yellowish sands that felt so soft under our feet.

When I was there, although the tide was low, but the waves was quite high as the wind was quite strong affected by the bad weather. Yes the weather was not too friendly at that time, dark clouds still hung low and drizzle still came on and off.

Not too far from the end of the path at the foot of the cliff, at the left side of the beach, I found the landmark of the beach; a cliff with a big hole that formed almost a perfect circle. Yes . . the hole was really like a gate in a Chinese classic house which usually connecting the house to the garden area. The difference was that the one in Bwanna Beach was made by nature.

At that time I did not have enough courage to come under the arch because of the weather. Since that, i think I have to be back there in a better weather condition. Yes back to the beach which located in Kodi Balaghar Sub-District to explore more.

Bwanna Beach, or some people called it Banna Beach, was located in a remote area. To reach the forest before the beach, it needed approximately two hour drive from Tambolaka, the nearest town. Unfortunately there was no public transport serving the area, so the best way to come to Bwanna Beach was by renting a car from Tambolaka. The car could be parked at the field before the forest. Travellers would find some locals gathered in a small gazebo there and they willingly watch the car while travellers left the car to come to the beach. Ups, I almost forgot, once travellers left the car, travellers should walk about 500 meters through the forest before climb down the cliff to the beach. Please not to worry; the trek in the forest was a relatively soft trek.

So . . . come to Sumba and visit the moon-gate that made by Mother Nature in Bwanna Beach 😊

Keterangan :

Aku masih mau melanjutkan sedikit ceritaku ketika aku kluyuran di Sumba. Jangan bosan ya kalau aku masih ngomongin soal Pulau Sumba. Jujur aku sih nggak ada bosannya kalau ngomongin pulau yang satu ini. Gimana nggak, dari beberapa kali kunjunganku ke sana, aku masih saja “menemukan” tempat-tempat baru yang cukup indah, dan rasanya sih masih banyak lagi tempat-tempat indah yang mungkin masih tersembunyi. Eh . . . tapi yang sudah “ditemukan” saja masih banyak koq yang masih alami seolah belum tersentuh tangan manusia sama sekali, salah satu yang seperti itu adalah Pantai Bwanna, atau ada juga yang menyebutnya dengan nama Pantai Banna, yang sempat aku kunjungi beberapa waktu lalu. Pantai Bwanna ini lokasinya nggak jauh dari Pantai Watu Maladong yang sudah pernah aku tulis di postingan yang lalu.

Jadi memang biasanya pelancong yang ke Pantai Watu Maladong akan sekalian juga berkunjung ke Pantai Bwanna. Maklumlah kalau nggak sekaligus dan harus bolak balik ke Tambolaka dulu tentunya akan buang waktu mengingat waktu tempuh dari Tambolaka yang cukup lama. 2 jam berkendara melalui jalan yang relatif bagus kecuali di bagian akhir ketika sudah mendekati daerah pantai yang jalannya agak kurang bagus, bukan waktu yang sebentar kan?

Route seperti itu jugalah yang aku ambil ketika itu. Sehabis dari Pantai Watu Maladong, aku dan partner jalanku dengan diantar oleh Pak Agus langsung bergerak menuju ke Pantai Bwanna dengan perasaan was-was karena langit yang makin mendung. Sepanjang jalan, aku lebih sering mengamati langit, demikian juga partner jalanku, sehingga ketika tiba-tiba Pak Agus menghentikan kendaraan di tepi hutan yang berbatasan dengan sebuah lapangan rumput yang tidak terlalu luas, aku dan partner jalanku sempat kaget dan bingung. Maklum dari tempat itu yang tampak adalah hutan dan bukannya pantai, Tapi ternyata Pak Agus nggak salah, pantainya memang ada di balik hutan itu. Katanya sih jaraknya dari tepi hutan kurang lebih 500 meter, kemudian harus menuruni tebing karena lokasi pantainya ada di bawah, terkurung bukit karang, jadi memang nggak ada jalan lain kecuali ini.

Setelah bersiap-siap, aku dan partner jalanku segera mulai berjalan memasuki hutan ditemani beberapa anak setempat. Untung juga sih karena anak-anak itu mau menemani mengingat selain sepi, jalan setapak yang ada di hutan itu kadang menghilang karena tertutup semak atau malah bercabang. Jalan sejauh 500 meter menembus hutan praktis nggak terasa karena adem dan juga medannya nggak berat. Karena itulah nggak lama kemudian aku dan partner jalanku tiba-tiba sudah bisa melihat akhir dari hutan itu. Dan tahu nggak, akhir hutan itu ya berada di bibir tebing, dan sekarang medannya jadi lumayan menantang nih karena kalau mau ke pantainya harus turun menapaki jalur yang cukup curam, bahkan di beberapa tempat nyaris vertikal.

Untunglah akhirnya aku dan partner jalanku sampai juga di kaki tebing meskipun di tengah-tengah jalur turun tadi partner jalanku hampir saja menyerah karena katanya ngeri banget melihat hamparan karang jauh di bawah ketika nggak sengaja dia ngelongok ke bawah ketika merayap turun tadi. Ya di bawah tebing itu memang berserakan batu-batu karang besar, baru setelah itu sampai ke batas air berbentuk pasir halus kecoklatan.

Setelah puas mengambil beberapa foto di kaki tebing bersama anak-anak yang mengiringi kami berdua, aku dan partner jalanku berjalan menyusuri pantai ke arah kiri. Karena di sebelah kiri itulah terdapat sebuah tebing karang yang di tengahnya berlubang dengan bentuk hampir bundar sempurna. Betul-betul jadi seperti gerbang penghubung di rumah-rumah berarsitektur China klasik yang biasanya memiliki pintu berbentuk lingkaran seperti itu. Hanya saja bedanya yang di Pantai Bwanna ini buatan alam.

Sayangnya ketika itu aku nggak bisa berlama-lama di sana, bahkan untuk berjalan ke arah lubang di karang itu pun nggak aku lakukan. Faktor cuaca yang nggak terlalu bersahabat yang menjadi pertimbangan utamaku. Jadi ketika itu mau nggak mau aku harus puas dengan memandang gerbang alam itu dari jarak yang nggak bisa dibilang terlalu dekat. Mudah-mudahan saja nggak lama lagi aku bisa balik ke pantai indah yang terletak di Kecamatan Kodi Balaghar itu ketika cuaca lebih bersahabat.

Ada yang mau ikutan ke sana . . . ?  😋

Categories: Travel Pictures | Tags: , , , , , , , | 12 Comments

Create a free website or blog at WordPress.com.