Ngomong-ngomong soal kopi . . . pasti banyak di antara kita yang suka dengan minuman yang katanya bisa membuat orang tahan melek ini; meskipun bagi beberapa orang, termasuk aku sendiri, kalau sudah ngantuk meskipun minum kopi ya tetap ngantuk aja. Kata orang, biar gak ngantuk, kopinya jangan diminum, tapi dituangin ke mata. Ha ha ha . . . itu sih ngaco, bukannya melek malah bisa-bisa harus segera dilarikan ke dokter mata ya 😆
Nah . . kalau kita ditanya mengenai tempat ngopi favorit kita, tentu jawaban kita bakal macam-macam. Buat para eksekutif muda yang berkantor di berbagai perkantoran mentereng, tentu akan menyebut nama beberapa cafe maupun kedai kopi yang sudah terkenal dengan tempat yang rata-rata bernuansa modern. Beberapa bahkan dilengkapi dengan sofa-sofa yang memungkinkan para pengunjungnya bersantai sambil ngobrol, tentu saja sambil minum berbagai minuman berbahan dasar kopi dengan nama-nama yang bagi sebagian kita, terkesan asing. Mungkin nama-nama seperti Americano, Cappuccino, Latte, Macchiato, Espresso dan lain sebagainya itu akan menaikkan gengsi para peminumnya juga disamping tentunya juga akan mendongkrak harganya. Bayangkan saja, segelas kopi bisa dibanderol harga beberapa puluh ribu Rupiah :(, padahal rasa kopinya sendiri bagi beberapa penggemar kopi dirasa kurang mantap karena kopi yang dipergunakan di cafe-cafe seperti itu rata-rata sudah diberi campuran bahan-bahan lain untuk menciptakan rasa yang khas, meskipun akibatnya menurunkan kualitas kopinya itu sendiri.
Sebagai salah satu negara penghasil kopi terbesar di dunia, Indonesia sendiri sebetulnya sudah lama memiliki tradisi ngobrol sambil ngopi yang dilakukan di warung-warung maupun kedai-kedai, baik di kota maupun di pelosok desa. Di beberapa daerah bahkan tradisi ngobrol sambil ngopi ini sudah demikian terkenal, kedai kopi tidak hanya menjadi tempat orang minum kopi sambil mengudap makanan kecil, melainkan kedai kopi bahkan menjadi tempat orang bersosialisasi. Jadi fenomena yang sekarang mewabah dimana-mana, bahwa sebuah kedai kopi menjadi tempat bertemu dengan relasi ataupun sekedar menjadi tempat menghabiskan waktu sambil ngobrol santai, sebetulnya sudah lama di kenal di negara kita ini. Banyak kedai kopi yang sudah berdiri sejak berpuluh tahun lalu, bahkan sebelum kedai kopi modern seperti yang kita kenal sekarang berdiri, sampai sekarang masih menjadi ajang bertemunya kawan maupun keluarga diseling seruputan kopi. Salah satu kedai kopi tua yang masih eksis sampai sekarang, bahkan namanya sudah menjadi legenda bagi para pecinta kopi di Jakarta ini, adalah Kopi Es Tak Kie.
Memang nama Kopi Es Tak Kie tidaklah mendunia seperti gerai-gerai kopi modern yang memiliki banyak cabang dan tampilannya modern. Tak Kie tidak memiliki cabang satupun dan tempatnyapun tidaklah mentereng. Tak Kie hanya menempati sebuah ruangan yang relatif tersembunyi di dalam sebuah gang yang berada di kawasan pecinan kota Jakarta. Tepatnya di dalam Gang Gloria di kawasan Glodok, Jakarta Barat. Meja dan kursi yang dipergunakan di sana adalah meja dan kursi kayu yang tampaknya sudah berusia cukup tua, mungkin seusia kedai kopi itu sendiri. Demikian pula dengan peralatan pembuat kopinya. Gak ada tuh mesin kopi modern seperti di gerai-gerai kopi modern yang untuk menghasilkan segelas kopi tinggal tekan tombol. Di Tak Kie, minuman yang disediakan seluruhnya dibuat secara manual.

kitchen appliances used to prepare a cup of coffee (peralatan dapur yang dipergunakan di kedai Tak Kie)
Meskipun tempatnya tidak bisa dibilang mewah, tetapi kedai kopi yang buka dari jam 06.30 pagi sampai sekitar jam 14.00 ini hampir selalu penuh. Paling tidak dua kali aku berkesempatan ke sana, pengunjungnya penuh, bahkan aku sempat menunggu beberapa saat sebelum bisa mendapatkan kursi. Memang kalau diperhatikan, bisa dikata di sana tidak ada anak muda dengan dandanan necis seperti yang biasa kita temui di gerai kopi modern, hampir semua pengunjungnya berdandan santai, beberapa di antaranya bahkan bercelana pendek dengan baju kaos santai. Meskipun demikian, di antara mereka yang memenuhi ruangan sambil minum kopi dan makan, ada saja pembicaraan dalam bahasa asing yang ku dengar. Bukan hanya pembicaraan dalam bahasa Mandarin karena memang sebagian besar pengunjungnya beretnis Tionghoa, tapi aku dengar juga pembicaraan dalam Bahasa Jepang dan Korea. Di salah satu kesempatan aku ke sana itu, bahkan aku melihat wajah bule terselip di antara para pengunjung di sana.
Eh tadi itu disebutkan bahwa para pengunjung kedai kopi itu selain minum kopi juga makan? Memangnya apa saja yang tersedia di Kopi Es Tak Kie itu?
Yup, gak salah sih kalau aku sebutkan minum dan makan. Untuk minumnya, sesuai dengan namanya, di situ tersedia kopi es maupun kopi panas, baik kopi hitam maupun kopi susu. Gak usah mengernyit gitu, Kawan, aku gak salah tulis koq kalau dari awal tulisan ini aku menuliskan kopi es dan bukan es kopi. Menurut orang-orang yang ada di situ, memang yang tersedia di Tak Kie adalah kopi es karena untuk membuat kopi es, mereka sudah menyiapkan kopi yang dimasak sejak subuh, sehingga ketika siap disajikan, kopi tersebut sudah mendingin sehingga rasa kopi tidak akan berubah ketika dimasuki es batu. Kalau es kopi yang biasa kita temui di tempat lain kan biasanya kopi yang baru diseduh, dan panas-panas dimasukin es batu, sehingga rasa kopinya tidak akan keluar secara maksimal, baik karena bubuk kopi belum larut secara sempurna, juga karena larutan kopi itu menjadi “terkontaminasi” oleh es yang mencair karena panasnya kopi.
Soal makanannya, tidak seperti gerai kopi modern yang utamanya menyediakan makanan kecil, di Tak Kie, rata-rata orang makan besar karena di situ mereka bisa memesan mie, nasi campur, bubur maupun sup daging kura-kura yang dikenal dengan nama sup pi oh. Selain itu, di meja dekat kasir tampak ada beberapa penganan seperti bakcang dan beberapa jenis roti. O ya, makanan di situ sebagian besar mengandung daging babi lho ya, sehingga bagi yang tidak memakannya, harus jeli dalam memilih makanan dan juga jangan segan bertanya supaya tidak salah beli.
Suasana kedai kopi yang tidak berpendingin udara ini memang khas, sehingga membuat banyak yang sudah jadi pelanggan Kopi Es Tak Kie ini secara turun temurun, selain banyak pula konsumen yang sudah pernah merasakan nikmatnya kopi di situ yang kembali lagi ke sana ketika mereka kangen dengan rasa kopi yang asli, meskipun mereka sudah tidak tinggal lagi di Jakarta, bahkan sudah bermukim di luar negeri. Ruangan kedai yang dilengkapi kursi dan meja dari kayu yang berwarna coklat tua karena usia, dinding yang agak kusam, kipas angin yang tergantung di langit-langit, tv tabung yang nangkring di salah satu sudut, sampai beberapa foto orang penting yang terpajang di dinding memang seolah-olah membawa pengunjung yang memasuki ruangan itu seolah kembali ke jaman dulu.
Jadi . . siapa sangka di dalam gang yang sempit yang dipenuhi penjual makanan di kiri kanannya terdapat sebuah kedai kopi tua yang melegenda. Mudah-mudahan saja Kedai Kopi Es Tak Kie yang berdiri sejak tahun 1927 ini masih bisa tetap bertahan hingga bertahun-tahun ke depan tanpa harus tergerus oleh persaingan yang makin keras, khususnya dengan hadirnya kedai kopi modern yang semakin menjamur. Ah tapi dengan kualitas dan rasa yang masih terjaga dan juga dengan konsumen yang setia dan masih ingin menikmati suasana pecinan jaman dulu, rasanya Kedai Kopi Es Tak Kie masih akan bisa bertahan lama, selama pengelolanya tidak bosan dan masih mau meneruskan usahanya. Semoga . . . .—
Summary:
It is all about a traditional coffee stall in the heart of Jakarta’s Chinatown, which has been existed since 1927, and became a legend among the coffee lovers, especially in Jakarta. The name was Kopi Es Tak Kie (translated literary as Iced Coffee Tak Kie).
Why iced coffee? Well . . iced coffee was its specialty of course :D. Although iced coffee was its specialty, travelers could also order hot coffee there. Iced coffee, either black or milk added, would be served in a tall glass while hot coffee would be served in a smaller cup.
In the morning, the place was pretty cramped with consumers who came to the place just to sip the legendary coffee and have a chat or two with friends or relatives. Many also came to the place to have breakfast because there were some food sellers that serve breakfast, shared the room with Tak Kie. There was a Nasi Campur (rice with assorted side dish, mainly pork) seller, a noodle seller, and also a special kind of herbal soup seller. Some street vendor could also be easily been seen offering theirs in there as some of them sold traditional snacks, even others sold undergarment (yup, you read it correctly, some street vendors sold men undergarment to Tak Kie’s consumers while they sip their morning coffee or eat their breakfast 😆)
The taste of coffee in Tak Kie was so special as they used pure coffee to make the drinks. They also used a special brand of condensed milk with a specific quantity to be added in the coffee so they could maintain the same taste up till now.
Entering Tak Kie was like going back to the early 1930’s. There was no air condition in there, but only cooling fans hanging from the ceiling. The furniture was so simple, all was old wooden furniture. Even the barista did not use modern coffee machine in preparing the drinks, all they used in there were old kitchen appliances.
Anyway, even though Tak Kie seems old and not as cosy as any modern coffee-shops, even Tak Kie’s name was not as famous as their worldwide “competitors” which could be easily found in almost every big city in the world, and Tak Kie had no other branches, some people purposefully came to have a glass or a cup of coffee just to feel the old Jakarta Chinatown’s atmosphere in there as Tak Kie was located in a cramped alley full of Chinese specific food street-vendors with some old Chinese shops alongside.
So . . someday when you came to Jakarta, why don’t you try a glass of a legendary iced coffee in Kopi Es Tak Kie? 😉