How time flies so fast, a month had passed since my last post … 😯
Anyway, for several posting ahead, I’ll take you back to Sumba, an island located in East Nusa Tenggara Province, Indonesia; an island that was started to be known to the world for its natural beauty. And this time, allow me to take you wander around in South Western Sumba Regency.
First stop was in a village called Tema Tana, in East Wewewa Sub District, about 30 kilometres to the south from Tambolaka. The distance could be covered in about one hour drive through a relatively good road; and when the car stop, the view of a lush paddy field stretched before our eyes.
As we looked at such a view, who would believe that Sumba was a dry land?
Yes, the dry season in Sumba took longer than the rainy season. Usually it took 9 months, while the rainy season was only about 3 months. The 3 months rainy season was not enough to water the dry land resulted by the long dry season. That was why in Sumba travellers could easily find savannah instead of green and lush field.
Fortunately, there were many springs could be found in some parts of the island, the one that considered the biggest spring in Sumba was located in Tema Tana Village; it called Waikelo Sawah. The lush paddy fields which pictures I put in here was the results of a good irrigation system with a constant flow of water from the spring.
The spring itself was located in a big cave which the entrance could easily been seen from the fields below. It was said that the spring was formed from an underwater river which stream broke through a crevice located in the cave which in turn formed a deep pool in the cave. The stream was proved to have a very fast current, so the water flowed from the cave was also very big.
In 1976, the local government started to build a dam in front of the cave, so the fast current could be more useful for the people in the area. With the dam, the water could be use as a hydroelectric power plant as well as a constant source of water for the local’s fields and needs.
And as the spring was so big, it never dry even in a long dry season, so in such season travelers could see that many locals came to Waikelo Sawah not to spend their leisure time, but for fulfilling their daily need of water, that was includes taking a bath and washing their clothes.
Usually Waikelo Sawah would be visited by many travelers on the months of February and March when the locals carried out their annual ritual called Pasola, and also in November when the locals held the Wula Podu ritual.–
Keterangan :
Wah nggak terasa sudah sebulan lebih aku nggak posting di sini. Cepatnya waktu berlalu . . . 😯
Kali ini aku balik lagi ke Pulau Sumba nih, yup Sumba yang terletak di Propinsi Nusa Tenggara Timur yang akhir-akhir ini mulai terkenal karena keindahan alamnya yang masih asli dan adat istiadatnya yang masih cukup terjaga. Mudah-mudahan setelah lebih banyak pelancong yang berkunjung ke sana, semuanya tetap terjaga dan tidak rusak ya.
Nah . . postinganku mengenai Sumba kali ini akan aku mulai dari desa Tema Tana yang terletak di Kecamatan Wewewa Timur, Kabupaten Sumba Barat Daya. Jaraknya kurang lebih 30 kilometer di sebelah selatan Tambolaka yang menjadi ibu kota kabupaten. Jarak sejauh itu bisa ditempuh dengan berkendara selama kurang lebih 1 jam melalui jalan yang relatif mulus, hanya saja di tengah perjalanan para pelancong akan menemukan pasar yang pada saat-saat tertentu akan menghambat laju kendaraan karena ramainya orang yang berlalu lalang membawa barang belanjaan, baik yang akan dijual di pasar maupun yang baru mereka beli di pasar itu.
Tempat yang aku tuju pagi itu dikenal dengan nama Waikelo Sawah. Setelah berbelok dari jalan utama, aku menyusuri jalan yang lebih kecil yang berakhir di tepi sawah yang kelihatan sangat subur. Ketika aku ke sana, padi sudah mulai menguning sehingga pemandangannya cukup menyegarkan mata.
Kalau melihat kondisi sawah-sawah di situ, percaya nggak sih kalau dikatakan bahwa Sumba merupakan pulau yang kering?
Iya, nggak salah, kering; karena musim kemarau di Sumba relatif panjang. Kemarau di sana bisa berlangsung selama 9 bulan tiap tahunnya,s ementara musim penghujannya hanya berlangsung sekitar 3 bulan. Tentu saja musim penghujan sesebentar itu tidak akan bisa menghapus semua kekeringan yang diakibatkan oleh kemarau yang berkepanjangan itu. Belum lagi kalau fenomena El Nino melanda, bisa-bisa sepanjang tahun kering terus.
Tapi untunglah di Sumba banyak juga mata air yang bisa dipergunakan penduduk untuk memenuhi kebutuhan air mereka. Salah satu mata air yang terbesar ya Waikelo Sawah ini. Hamparan sawah yang subur seperti yang gambarnya aku sajikan di sini juga bisa dibilang merupakan hasil dari terjaminnya pasokan air untuk mengairi sawah-sawah itu.
Di Waikelo Sawah ini, sumber mata airnya terletak di dalam sebuah goa yang lumayan besar. Tinggi goa itu rasanya sih lebih dari 3 meter dan di puncak goa itu ada lubang sehingga sinar matahari bisa menerobos masuk dan menerangi ruangan gua yang bagian bawahnya berupa kolam yang cukup luas. Jadi kelihatan seperti danau di dalam gua. Limpasan air dari dalam gua inilah yang kemudian dialirkan ke sawah-sawah di sekitarnya selain juga untuk memenuhi kebutuhan air penduduk sekitarnya.
Konon sumber air ini sebetulnya merupakan aliran sungai bawah tanah yang muncul ke permukaan di situ. Derasnya aliran air membentuk semacam air terjun di mulut gua. Dengan adanya aliran air yang cukup deras ini, pemerintah daerah setempat pada tahun 1976 mulai membangun sebuah bendungan sehingga aliran air itu bisa memiliki manfaat lebih, bagaimana tidak, aliran air yang cukup deras itu sekarang juga sudah dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik tenaga air yang memasok daya listrik ke daerah sekitar situ.
Sumber air di Waikelo Sawah ini tidak pernah kering, bahkan di musim kemarau panjang sekalipun. Karena itulah di musim kemarau, jika pelancong berkunjung ke sana, maka pelancong akan mendapati bahwa banyak orang datang ke Waikelo Sawah. Tujuan utama mereka ke sana bukannya berwisata, melainkan untuk memenuhi kebutuhan mereka akan air, termasuk juga untuk mandi dan mencuci.
Biasanya Waikelo Sawah akan banyak dikunjungi pelancong pada bulan-bulan Februari dan Maret karena pada bulan-bulan itu bertepatan dengan diselenggarakannya Pasola yang rutin diadakan oleh masyarakat setempat setahun sekali. Kemudian pada bulan November kembali akan banyak pelancong datang karena di bulan itu bertepatan dengan diselenggarakannya ritual Wula Podu.–