Monthly Archives: March 2015

Corner of Nganjuk – morning activities in rural area

On my recent trip in East Java, I passed by a small town called Nganjuk. It was an ordinary small town, but when I passed the rural area, something attracted me that early morning. A group of people sat down at the road side, eating their simple breakfast. Most of them were women. Well . . . from their appearance, I was pretty sure that they were not planning for a strike because I did not see any banner nor board to shout their protest  🙂

When I came close to them, it turned out that they were a group of farmers who were ready to work in a rice field just right on the road side. And yes, as I looked at the direction they pointed at, I saw a part of rice paddy fields that still empty and bunches of young paddy plants were ready to be planted.

IMG_SAN01

After a simple chat with them, they told me that it was time for them to go to work, and off they went to the field. They stood in a row, bended their body and plant the young paddy one by one. Not like other farmers in developed countries, in most part of Indonesia, paddy was planted manually.

IMG_SAN02

Row by row they planted until the field was full and after several months would be ready to be harvested.–

 

Keterangan :

Dalam perjalanan di daerah Jawa Timur baru-baru ini, aku kebetulan melewati sebuah kota kecil yang bernama Nganjuk. Aku sengaja tidak masuk ke dalam kota Nganjuk, tetapi justru memilih untuk menempuh perjalanan melalui pinggiran kota pagi itu. Langit yang agak berawan menyebabkan suasana masih lumayan temaram. Meskipun demikian, aktifitas masyarakat sudah cukup terasa geliatnya di sana. Kendaraan yang sengaja dipacu tidak terlalu kencang menyebabkan aku bisa dengan leluasa menikmati pemandangan bentangan sawah yang menghijau karena memang saat itu baru musim tanam.

Ketika sedang asyik menikmati pemandangan itulah tiba-tiba pandangan mataku tertumbuik pada sekelompok ibu-ibu yang sedang duduk-duduk di tepi jalan. Wah . . jangan-jangan ada demo nih. Tetapi ketika kendaraan semakin mendekati mereka, tampak jelas bahwa ibu-ibu yang sedang berkumpul di tepi jalan itu sedang menikmati sarapan mereka. Wah . . . ternyata orang lagi piknik rupanya 😀

Ketika aku menghentikan kendaraan dan turun mendekati mereka, baru jelas kalau dugaanku yang kedua itupun ternyata salah. Ibu-ibu itu sedang sarapan sebelum kemudian turun ke sawah untuk menanam padi. Ya memang sih, di dekat situ kelihatan dengan jelas masih ada sepetak sawah yang belum ditanami sementara petak-petak lainnya telah selesai ditanami semua.

Setelah mengobrol sejenak dengan mereka, para ibu itu berpamitan karena mereka harus segera turun ke sawah sebelum matahari naik terlalu tinggi dan cuaca menjadi lebih terik. Aku sendiri tetap nongkrong di tempat mereka tadi berkumpul sambil memperhatikan bagaimana mereka bekerja. Baris demi baris benih padi mereka tanam dengan teratur dengan jarak kurang lebih 20 cm satu sama lain. Mereka bekerja sambil bergurau sehingga baris demi baris tanaman padi dengan cepat telah selesai mereka tanam. Meskipun mereka mengerjakannya secara manual, tetapi kecepatannya lumayan juga lho.

IMG_SAN03

Setelah penanaman selesai, tahap berikutnya tinggallah perawatan tanaman padi yang ada dalam petak-petak sawah itu sampa padi menguning, tanda bahwa sudah masak dan siap untuk dipanen. HHmm . . rasanya perlu direncanakan buat datang lagi ke situ untuk melihat kegiatan mereka memanen padi nih 🙂 .–

IMG_SAN11

Categories: Pictures of Life | Tags: , , , | 34 Comments

Cultural performance on the street

It was a foggy Sunday morning in a corner of Tangerang, one of Jakarta’s satellite cities. The sun seemed quite lazy to show his face. On the contrary, the people in the area seemed energetic. Many had already flooding the street doing simple exercises, some were cycling, and others were jogging or just walking around. At a certain area, the street was closed for cars so people would be safer to have activities on the street.

Among them who did many activities, I saw a group of traditional performers preparing their action in there. Three men, each of them wearing a heavy mask depicting a big tiger with a peacock on its head, were easily seen from a far. From the mask they used, I know that they were a group of Reog dancers. And as I walked closer, I saw other performers in the group, there were three other men wearing masks with faces full of hair, four pretty girls in costume, and a group of traditional musician.

IMG_RPO01

The big heavy masks were called “Singa Barong” or “Dadak Merak”, and became the main character in the show. It was made of woods, bamboo and rattan before covered by peacock’s tail feathers. The masks were so huge, they were more than 2 meters high and also 2 meters wide that made its weight were more than 50 kilograms each. And you know what . . . ? The man who wore the mask would maintain the mask from falling of his head by biting the inner part of the mask while they danced. That was why many said that reog shows always involved magical powers.

IMG_RPO02

Actually reog came from East Java, especially from an area known as Ponorogo, hence the reog more known as Reog Ponorogo. The reog ‘s origin could be traced back to an era as old as the 15th century when an ancient kingdom in Java called Majapahit was close to its end.

Legend says that at that time there was a beautiful princess in a small kingdom called Kediri that located in the eastern part of Java. The princess had special requests to be fulfilled by anyone who wanted to marry her. And as the requests were so difficult, almost all who came to propose her cancelled their intention, except of the king of Bantarangin Kingdom and the king of Lodaya Kingdom.

IMG_RPO07

So what were the princess special requests then?

Well . . . there were three things; the first was that in the marriage procession, the bride and the groom would be escorted by a troop of good-looking soldiers mounted in a row of twin horses; the second was that the princess want to see a new kind of dances which was not existed before accompanied by a band of ‘gamelan’ musician; and the last was there should be a two headed beasts as a gift for the princess.

IMG_RPO06

To make the story short, there broke a fierce battle between the handsome king of Bantarangin called Kelanasewandana who already had a troop of good looking soldiers mounted on a row of twin horses, against the tiger-like-faced king of Lodaya called Singabarong who intended to seize the troops. In the duel, Singabarong with his pet, a peacock that always sit on his shoulder, got magically hit by Kelanasewandana which in turn made the peacock body merged into Singabarong’s body. So now Singabarong became a two headed beasts. Then, Kelanasewandana brought along Singabarong with him in his trip to propose the princess as the dower asked by her.

IMG_RPO08

When the party entered the palace, they were greeted by gamelan sound that played rhythmically by the palace’s musicians. To everybody surprise, Singabarong started to dance along the gamelan music with movements that nobody had seen before. So with that, Kelanasewandana had fulfilled all the princess’ requests and could marry her.

IMG_RPO09IMG_RPO10

In modern Reog performances, aside of Singabarong that had represented by the man wearing the huge mask, there were many other characters appeared in the show, such as the jester which called Bujang Ganong and some girls who brought bamboo horses with them that represented the escort troop on twin horses. But again, the main attraction was still the Singabarongs who show their ability in controlling and lifting the heavy masks while danced along the traditional gamelan music.

Anyway, the short cultural performance on the street could attract many people to gather around them and watch the show on the foggy Sunday morning. Even many followed the group when they went back to their starting point before leaving for their home base.—

IMG_RPO13

Keterangan :

Hari Minggu pagi yang berkabut tidak menghalangi banyak orang untuk berolahraga ringan di sekitar tempat tinggal mereka. Demikian pula di salah satu kompleks perumahan yang terletak di sudut Tangerang. Bahkan di sana pagi itu berlangsung kegiatan Hari Tanpa Kendaraan Bermotor (Car Free Day). Dan seperti selalu terjadi di tempat-tempat dimana diadakan kegiatan serupa, jalanan yang dijadikan ajang diselenggarakannya Car Free Day selalu dipenuhi oleh orang, baik yang berolah raga ringan, bersepeda, berjalan-jalan, ataupun melakukan berbagai kegiatan lain.

Di antara yang melakukan berbagai kegiatan itu, dari kejauhan aku melihat tiga topeng khas yang dipergunakan dalam pertunjukan Reog Ponorogo sedang meliuk-liuk. Segera aku memburu ke tempat itu, dan ternyata benar, sekelompok seniman reog sedang mempertunjukan kebolehan mereka di tengah kerumunan pengunjung Car Free Day.

Topeng khas reog berbentuk kepala harimau dengan ekor merak terkembang yang menjulang tinggi itu dikenal dengan nama Singabarong atau Dadak Merak. Topeng itu terbuat dari campuran kayu, bambu dan juga rotan sebelum akhirnya ditutup dengan mempergunakan kulit harimau dan bulu-bulu ekor merak jantan. Tingginya bisa mencapai lebih dari dua meter, demikian pula lebarnya, sehingga tidaklah mengherankan kalau topeng-topeng seperti itu memiliki bobot rata-rata 50 – 60 kilogram. Dan hebatnya, seniman yang memainkan tokoh Singabarong itu memegang topeng tersebut dengan kekuatan giginya selama melakukan atraksi meliuk-liukan topeng raksasa itu.

IMG_RPO11

Reog yang merupakan kesenian asli Jawa Timur ini bisa dirunut asal muasalnya dari jaman kerajaan Majapahit, tepatnya di masa-masa mendekati keruntuhan kerajaan besar tersebut. Ada banyak versi yang mengisahkan terbentuknya kesenian ini, tapi aku pribadi lebih suka dengan cerita yang mengisahkan mengenai perebutan Dewi Sanggalangit oleh dua orang raja yang sakti mandraguna, yaitu Prabu Kelanasewandana dari Kerajaan Bantarangin dan Prabu Singabarong dari Kerajaan Lodaya.

Dikisahkan bahwa putri Kerajaan Kediri yang bernama Dewi Sanggalangit itu sudah terkenal akan kecantikannya sehingga banyak pemuda yang berdatangan ingin menyuntingnya. Karena bingung menetapkan siapa yang akan dipilihnya untuk menjadi pendamping hidupnya, Dewi Sanggalangit mengajukan tiga syarat yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin meminangnya. Karena syarat yang sangat berat itulah makanya hampir semua pelamar mengundurkan diri, dan yang tertinggal hanyalah Prabu Kelanasewandana yang tampan dan Prabu Singabarong yang mukanya mirip muka harimau.

IMG_RPO12

Pengen tahu apa saja syarat yang diajukan Sang Putri?

Nah . . yang pertama adalah bahwa orang yang layak mendampingi dirinya haruslah mampu menyediakan sepasukan tentara yang menunggang kuda berpasang-pasangan yang akan menjadi pengiring pengantin nantinya. Syarat kedua adalah bahwa orang itu harus mampu mempertunjukan suatu kesenian baru yang belum pernah ada sebelumnya; dan syarat yang ketiga adalah menyediakan sesosok makhluk berkepala dua sebagai mas kawinnya.

IMG_RPO18

Untuk mempersingkat cerita, Prabu Kelanasewandana dengan segera sudah berhasil mengumpulkan pasukan berkuda seperti yang diminta Dewi Sanggalangit dan bermaksud mengantarnya ke Kediri.

Prabu Singabarong yang mengetahui hal tersebut berusaha merebutnya, sehingga di tengah perjalanan pecahlah perang antara tentara Bantarangin melawan pasukan Lodaya. Tidak hanya para prajurit yang terlibat pertarungan, kedua raja itupun ikut berlaga mengadu kesaktian. Meskipun demikian, akhirnya tampak bahwa Prabu Kelanasewandana lebih unggul. Dengan kesaktiannya, Prabu Kelanasewandana memukul Prabu Singabarong yang mengakibatkan terjadinya keanehan, dimana burung merak kesayangan Prabu Singabarong yang selama pertempuran tersebut tetap bertengger di bahunya tiba-tiba tubuhnya menyatu dengan tubuh Prabu Singabarong, sehingga Prabu Singabarong sekarang menjadi makhluk berkepala dua yang terbaring lemas sehingga dengan mudah diringkus dan ditawan oleh Prabu Kelanasewandana serta dibawanya serta ke Kediri.

IMG_RPO14

Sesampainya di tujuan, Raja Kediri menyambut kedatangan Raja Bantarangin tersebut dengan upacara kebesaran, lengkap dengan musik yang dihasilkan melalui seperangkat gamelan yang ditabuh oleh para nayaga terpilih. Saat itulah terjadi keanehan lagi. Prabu Singabarong yang semula terbaring lemas dalam keadaan terikat tiba-tiba bangkit dengan badan segar dan melepaskan ikatan yang melilit tubuhnya dengan mudah, tetapi alih-alih kembali melakukan perlawanan, Prabu Singabarong malah menari dengan lincahnya dan mempertunjukan gerakan-gerakan yang belum pernah dilihat orang sebelumnya.

Tetapi dengan kejadian itu, berarti semua permintaan Dewi Sanggalangit terpenuhi oleh Prabu Kelanasewandana, sehingga Sang Putri tidak ragu lagi menerima pinangan dari Raja Bantarangin yang tampan itu.

Dalam pertunjukan reog modern, sosok Prabu Singabarong diwakili oleh orang yang mengenakan Dadak Merak itu. Dan orang itulah yang menjadi aktor utama dalam pertunjukan, dimana orang tersebut akan mempertontonkan kebolehannya menari sambil mengenakan topeng yang berat itu. Beberapa gerakan sulit dan juga nyaris mustahil kerap dipertontonkannya. Karena itulah banyak yang berpendapat bahwa pertunjukan seni reog selalu melibatkan unsur magis. Mungkin pendapat itu pulalah yang menyebabkan setiap pertunjukkan Reog Ponorogo selalu dipenuhi penonton. Tidak dapat dipungkiri kalau segala seuatu yang berbau magis selalu menarik perhatian banyak orang. Pertunjukan akan semakin dipenuhi penonton jika pemeran Bujang Ganong-nya mempertunjukan juga berbagai gerakan lincah dan lucu sesuai dengan karakternya seperti yang aku sempat tonton di Minggu pagi yang berkabut itu.–

IMG_RPO19

Categories: Event Pictures | Tags: , , , | 31 Comments

A bridge that has not been used as it meant to be anymore

It was an old wooden bridge located in the old city area of Jakarta, Indonesia. The bridge was built in 1628 by the Dutch Colonial Government in Batavia (old Jakarta) as the sole connector between the Dutch Fort and the British Fort over a river that separated the two forts; hence it named Engelse Burg (England Bridge). In the same year, it was destroyed during an attack by Banten and Mataram army, and then rebuilt in 1930. At that time, the new bridge was located close to a chicken market so it named De Hoender Pasarbrug (Chicken Market Bridge). Later on, it named Jembatan Kota Intan (Diamond City Bridge) up till now, even though the bridge that still exists was not the original bridge.

IMG_JKI01

The recent bridge was a wooden draw-bridge which was built in 1938 to prevent damages happened as a result of regular flood on the area as well as to accommodate ships that passing through the river. It was said that the shape and dimension of the draw-bridge was similar to the original bridge, only the structure was different as the old one was not a draw-bridge.

IMG_JKI02

According to local historical records, the name Jembatan Kota Intan was given because it was so close to an old Dutch bastion called Bastion Diamant (Diamond Bastion). Diamant or diamond in English could be translated as “intan”, and as the bastion was so huge that it looked like a city, the locals called it Kota Intan (Diamond City).

Nowadays, the bridge was not served as it meant to be as the river was not as deep as it was in the past, which in turn prevents any ships to sail along it. The bridge became a monument to remind the recent generation about Jakarta’s past history. Anyway, it still worth to visit as Jembatan Kota Intan was the only old draw-bridge built by the Dutch Colonial Government that still existed in Jakarta.—

IMG_JKI09

 

Keterangan :

Jembatan yang menjadi sebuah monumen yang aku maksud dalam postingan kali ini adalah sebuah jembatan kayu yang terletak di Kawasan Kota Tua Jakarta, tepatnya di Jalan Kali Besar. Pada mulanya, di atas sungai yang dikenal dengan nama Kali Besar itu pada tahun 1628 didirikan sebuah jembatan untuk menghubungkan Benteng Belanda dengan Benteng Inggris yang terletak di seberangnya. Karena itulah jembatan tersebut dikenal dengan nama Engelse Brug atau Jembatan Inggris. Tetapi jembatan tersebut hancur pada tahun 1628 itu juga akibat serangan balatentera Banten dan Mataram. Tetapi setelah peperangan tersebut usai, Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1630 membangun kembali jembatan tersebut. Hanya saja karena dengan berlalunya waktu di dekat lokasi jembatan itu terdapat sebuah pasar yang menjual ayam, jembatan tersebut berganti sebutan menjadi Jembatan Pasar Ayam (De Hoender Pasarbrug). Baru beberapa tahun kemudian namanya berubah lagi menjadi Jembatan Kota Intan seperti yang kita kenal sampai sekarang, meskipun jembatan yang kita kenal sekarang bukanlah jembatan yang dibangun pada abad ke-XVII itu.

IMG_JKI07

Jembatan seperti yang sekarang masih bisa kita saksikan baru dibangun pada tahun 1938. Bentuk jembatan yang semula tetap dipertahankan, demikian pula lokasi dan dimensinya, hanya saja strukturnya diubah menjadi jembatan gantung. Perubahan tersebut dilakukan untuk menghindari kerusakan yang kerap dialami jembatan ini akibat banjir yang sering melanda daerah itu, selain juga untuk memungkinkan kapal-kapal pengangkut komoditi yang masuk ke daerah tersebut berlayar di Kali Besar yang mengalir di bawah jembatan.

IMG_JKI06

Menurut catatan sejarah, nama Jembatan Kota Intan diberikan karena lokasi jembatan yang terletak cukup dekat dengan sebuah banteng pertahanan Belanda yang dikenal dengan nama Bastion Diamant. Kita tahu bahwa diamant atau diamond kalau diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia berarti intan. Sementara itu kondisi banteng pertahanan Belanda yang cukup besar hingga menyerupai sebuah kota menyebabkan penduduk setempat menyebutnya sebagai Kota Intan. Karena itulah, jembatan yang lokasinya dekat dengan Kota Intan akhirnya disebut juga dengan sebutan Jembatan Kota Intan.

IMG_JKI08

Sekarang jembatan ini sudah tidak berfungsi lagi sebagai sebuah jembatan, selain karena strukturnya yang sudah tua, juga Kali Besar sekarang sudah sedemikian dangkal sehingga tidak mungkin lagi dilayari oleh perahu-perahu pengangkut komoditi. Jembatan ini sekarang hanya menjadi semacam monumen penanda sejarah; sebagai peringatan kepada generasi sekarang akan sejarah kota Jakarta. Meskipun demikian, kalau kebetulan ada waktu, jembatan ini masih menarik juga koq kalau dikunjungi, apalagi Jembatan Kota Intan merupakan satu-satunya jembatan sejenis yang masih tersisa sampai sekarang di Jakarta ini.–

IMG_JKI10

Categories: Travel Pictures | Tags: , , , , | 17 Comments

Blog at WordPress.com.