It was a foggy Sunday morning in a corner of Tangerang, one of Jakarta’s satellite cities. The sun seemed quite lazy to show his face. On the contrary, the people in the area seemed energetic. Many had already flooding the street doing simple exercises, some were cycling, and others were jogging or just walking around. At a certain area, the street was closed for cars so people would be safer to have activities on the street.
Among them who did many activities, I saw a group of traditional performers preparing their action in there. Three men, each of them wearing a heavy mask depicting a big tiger with a peacock on its head, were easily seen from a far. From the mask they used, I know that they were a group of Reog dancers. And as I walked closer, I saw other performers in the group, there were three other men wearing masks with faces full of hair, four pretty girls in costume, and a group of traditional musician.

The big heavy masks were called “Singa Barong” or “Dadak Merak”, and became the main character in the show. It was made of woods, bamboo and rattan before covered by peacock’s tail feathers. The masks were so huge, they were more than 2 meters high and also 2 meters wide that made its weight were more than 50 kilograms each. And you know what . . . ? The man who wore the mask would maintain the mask from falling of his head by biting the inner part of the mask while they danced. That was why many said that reog shows always involved magical powers.

Actually reog came from East Java, especially from an area known as Ponorogo, hence the reog more known as Reog Ponorogo. The reog ‘s origin could be traced back to an era as old as the 15th century when an ancient kingdom in Java called Majapahit was close to its end.
Legend says that at that time there was a beautiful princess in a small kingdom called Kediri that located in the eastern part of Java. The princess had special requests to be fulfilled by anyone who wanted to marry her. And as the requests were so difficult, almost all who came to propose her cancelled their intention, except of the king of Bantarangin Kingdom and the king of Lodaya Kingdom.

So what were the princess special requests then?
Well . . . there were three things; the first was that in the marriage procession, the bride and the groom would be escorted by a troop of good-looking soldiers mounted in a row of twin horses; the second was that the princess want to see a new kind of dances which was not existed before accompanied by a band of ‘gamelan’ musician; and the last was there should be a two headed beasts as a gift for the princess.

To make the story short, there broke a fierce battle between the handsome king of Bantarangin called Kelanasewandana who already had a troop of good looking soldiers mounted on a row of twin horses, against the tiger-like-faced king of Lodaya called Singabarong who intended to seize the troops. In the duel, Singabarong with his pet, a peacock that always sit on his shoulder, got magically hit by Kelanasewandana which in turn made the peacock body merged into Singabarong’s body. So now Singabarong became a two headed beasts. Then, Kelanasewandana brought along Singabarong with him in his trip to propose the princess as the dower asked by her.

When the party entered the palace, they were greeted by gamelan sound that played rhythmically by the palace’s musicians. To everybody surprise, Singabarong started to dance along the gamelan music with movements that nobody had seen before. So with that, Kelanasewandana had fulfilled all the princess’ requests and could marry her.


In modern Reog performances, aside of Singabarong that had represented by the man wearing the huge mask, there were many other characters appeared in the show, such as the jester which called Bujang Ganong and some girls who brought bamboo horses with them that represented the escort troop on twin horses. But again, the main attraction was still the Singabarongs who show their ability in controlling and lifting the heavy masks while danced along the traditional gamelan music.
Anyway, the short cultural performance on the street could attract many people to gather around them and watch the show on the foggy Sunday morning. Even many followed the group when they went back to their starting point before leaving for their home base.—

Keterangan :
Hari Minggu pagi yang berkabut tidak menghalangi banyak orang untuk berolahraga ringan di sekitar tempat tinggal mereka. Demikian pula di salah satu kompleks perumahan yang terletak di sudut Tangerang. Bahkan di sana pagi itu berlangsung kegiatan Hari Tanpa Kendaraan Bermotor (Car Free Day). Dan seperti selalu terjadi di tempat-tempat dimana diadakan kegiatan serupa, jalanan yang dijadikan ajang diselenggarakannya Car Free Day selalu dipenuhi oleh orang, baik yang berolah raga ringan, bersepeda, berjalan-jalan, ataupun melakukan berbagai kegiatan lain.
Di antara yang melakukan berbagai kegiatan itu, dari kejauhan aku melihat tiga topeng khas yang dipergunakan dalam pertunjukan Reog Ponorogo sedang meliuk-liuk. Segera aku memburu ke tempat itu, dan ternyata benar, sekelompok seniman reog sedang mempertunjukan kebolehan mereka di tengah kerumunan pengunjung Car Free Day.
Topeng khas reog berbentuk kepala harimau dengan ekor merak terkembang yang menjulang tinggi itu dikenal dengan nama Singabarong atau Dadak Merak. Topeng itu terbuat dari campuran kayu, bambu dan juga rotan sebelum akhirnya ditutup dengan mempergunakan kulit harimau dan bulu-bulu ekor merak jantan. Tingginya bisa mencapai lebih dari dua meter, demikian pula lebarnya, sehingga tidaklah mengherankan kalau topeng-topeng seperti itu memiliki bobot rata-rata 50 – 60 kilogram. Dan hebatnya, seniman yang memainkan tokoh Singabarong itu memegang topeng tersebut dengan kekuatan giginya selama melakukan atraksi meliuk-liukan topeng raksasa itu.

Reog yang merupakan kesenian asli Jawa Timur ini bisa dirunut asal muasalnya dari jaman kerajaan Majapahit, tepatnya di masa-masa mendekati keruntuhan kerajaan besar tersebut. Ada banyak versi yang mengisahkan terbentuknya kesenian ini, tapi aku pribadi lebih suka dengan cerita yang mengisahkan mengenai perebutan Dewi Sanggalangit oleh dua orang raja yang sakti mandraguna, yaitu Prabu Kelanasewandana dari Kerajaan Bantarangin dan Prabu Singabarong dari Kerajaan Lodaya.
Dikisahkan bahwa putri Kerajaan Kediri yang bernama Dewi Sanggalangit itu sudah terkenal akan kecantikannya sehingga banyak pemuda yang berdatangan ingin menyuntingnya. Karena bingung menetapkan siapa yang akan dipilihnya untuk menjadi pendamping hidupnya, Dewi Sanggalangit mengajukan tiga syarat yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin meminangnya. Karena syarat yang sangat berat itulah makanya hampir semua pelamar mengundurkan diri, dan yang tertinggal hanyalah Prabu Kelanasewandana yang tampan dan Prabu Singabarong yang mukanya mirip muka harimau.

Pengen tahu apa saja syarat yang diajukan Sang Putri?
Nah . . yang pertama adalah bahwa orang yang layak mendampingi dirinya haruslah mampu menyediakan sepasukan tentara yang menunggang kuda berpasang-pasangan yang akan menjadi pengiring pengantin nantinya. Syarat kedua adalah bahwa orang itu harus mampu mempertunjukan suatu kesenian baru yang belum pernah ada sebelumnya; dan syarat yang ketiga adalah menyediakan sesosok makhluk berkepala dua sebagai mas kawinnya.

Untuk mempersingkat cerita, Prabu Kelanasewandana dengan segera sudah berhasil mengumpulkan pasukan berkuda seperti yang diminta Dewi Sanggalangit dan bermaksud mengantarnya ke Kediri.
Prabu Singabarong yang mengetahui hal tersebut berusaha merebutnya, sehingga di tengah perjalanan pecahlah perang antara tentara Bantarangin melawan pasukan Lodaya. Tidak hanya para prajurit yang terlibat pertarungan, kedua raja itupun ikut berlaga mengadu kesaktian. Meskipun demikian, akhirnya tampak bahwa Prabu Kelanasewandana lebih unggul. Dengan kesaktiannya, Prabu Kelanasewandana memukul Prabu Singabarong yang mengakibatkan terjadinya keanehan, dimana burung merak kesayangan Prabu Singabarong yang selama pertempuran tersebut tetap bertengger di bahunya tiba-tiba tubuhnya menyatu dengan tubuh Prabu Singabarong, sehingga Prabu Singabarong sekarang menjadi makhluk berkepala dua yang terbaring lemas sehingga dengan mudah diringkus dan ditawan oleh Prabu Kelanasewandana serta dibawanya serta ke Kediri.

Sesampainya di tujuan, Raja Kediri menyambut kedatangan Raja Bantarangin tersebut dengan upacara kebesaran, lengkap dengan musik yang dihasilkan melalui seperangkat gamelan yang ditabuh oleh para nayaga terpilih. Saat itulah terjadi keanehan lagi. Prabu Singabarong yang semula terbaring lemas dalam keadaan terikat tiba-tiba bangkit dengan badan segar dan melepaskan ikatan yang melilit tubuhnya dengan mudah, tetapi alih-alih kembali melakukan perlawanan, Prabu Singabarong malah menari dengan lincahnya dan mempertunjukan gerakan-gerakan yang belum pernah dilihat orang sebelumnya.
Tetapi dengan kejadian itu, berarti semua permintaan Dewi Sanggalangit terpenuhi oleh Prabu Kelanasewandana, sehingga Sang Putri tidak ragu lagi menerima pinangan dari Raja Bantarangin yang tampan itu.
Dalam pertunjukan reog modern, sosok Prabu Singabarong diwakili oleh orang yang mengenakan Dadak Merak itu. Dan orang itulah yang menjadi aktor utama dalam pertunjukan, dimana orang tersebut akan mempertontonkan kebolehannya menari sambil mengenakan topeng yang berat itu. Beberapa gerakan sulit dan juga nyaris mustahil kerap dipertontonkannya. Karena itulah banyak yang berpendapat bahwa pertunjukan seni reog selalu melibatkan unsur magis. Mungkin pendapat itu pulalah yang menyebabkan setiap pertunjukkan Reog Ponorogo selalu dipenuhi penonton. Tidak dapat dipungkiri kalau segala seuatu yang berbau magis selalu menarik perhatian banyak orang. Pertunjukan akan semakin dipenuhi penonton jika pemeran Bujang Ganong-nya mempertunjukan juga berbagai gerakan lincah dan lucu sesuai dengan karakternya seperti yang aku sempat tonton di Minggu pagi yang berkabut itu.–
