Once again the sun, the moon and earth were in a parallel position, and the occasion darkened the sky over a certain places. In March 9, 2016, the moon was passed close enough to the earth; while the sun which actually much bigger than the moon passed very far away behind the moon, and that made the sun is almost covered by the moon, leaving only a faint ring of rays exposed to view from the earth. Yes it was a total solar eclipse which visible clearly in some parts of Indonesia, while in any other parts outside the eclipse’s path there was only a partial solar eclipse.
There were many myths and legends that related to the eclipse. Most of them say that the eclipse was caused by actions of supernatural beings or gods. In Indonesia, the most popular one was a story about Batara Kala.
The story says that Kala, a very powerful demon, wanted to get the sacred water called Tirta Amerta that gives more power and eternal life to them who drank it. From time to time the water was distributed among the gods so they can live forever and help Batara Guru, the father of all gods, administering the world.
As demon was forbidden to have the sacred water, Kala decided to come in disguise. He came in the form of a god, so he could mingle with other gods that came to get the sacred water directly from the sacred lake. Unfortunately, Batara Surya (the god of the sun) and Batara Candra (the god of the moon) knew about Kala’s act and they told Batara Wisnu, who in his rage to know Batara Kala’s ill conduct launched his deadly weapon called Cakra to Kala.
At that time, Batara Kala had already started to drink the Tirta Amerta from the eternal lake. When the Cakra hit his neck and beheaded him, Kala’s head fell to the lake and it made the head immortal while the body was dead.
In his rage, Kala’s head chased Surya and Candra to avenge what they did to him as he know that Batara Surya and Batara Candra were they who made him met his fate in Wisnu’s hand. From time to time, Kala’s head always chased the two gods and when he got one of them, Kala would swallow the gods. When Kala swallowed Batara Candra, it was the time that people saw a lunar eclipse. The same if Kala swallowed Batara Surya, it was the time when people saw a solar eclipse.
And as Kala only had his head with no other parts of his body, once he swallowed Surya or Candra the gods would surely be free after passing through Kala’s throat. That moment was the moment when an eclipse was over.
I was in Penyak Beach, Bangka Island, on the morning the eclipse happened. It was one of the best locations to view the eclipse. The weather was good, but thin clouds hung low which made me worry. As the winds blew strong, however, the clouds were dispersed and stay thin, so it was still possible for me to capture the eclipse’s phases. Even with the clouds, the sightings were more spectacular.
The awe-inspiring phenomenon of a total solar eclipse successfully hypnotized thousands of people in Penyak Beach and Terentang Beach in Bangka who had already came to the beach since before the sunrise time, even many of them camped on the beach just to get the best place to view the rare event.
Here I shared some of the pictures I captured there. Please enjoy! 🙂
Keterangan :
Sekali lagi matahari, bulan dan bumi berada pada posisi sejajar, dan kondisi demikian membuat langit di beberapa daerah di Indonesia menjadi gelap. Gelap karena bulan yang memiliki orbit lebih dekat ke bumi seolah-olah menutupi matahari yang garis edarnya cukup jauh dari bumi dan menyisakan bentuk serupa cincin bercahaya yang tampak dengan jelas dari bumi. Ya . . . tanggal 9 Maret 2016 yang baru lalu telah terjadi gerhana matahari total yang dapat disaksikan dari beberapa wilayah yang dilalui jalur gerhana, sementara daerah-daerah lain di luar jalur gerhana hanya menyaksikan gerhana matahari sebagian.
Kalau ngomongin soal gerhana yang merupakan sebuah fenomena alam yang menakjubkan, tentunya tidak bisa dilepaskan dari adanya mitos yang hidup di masyarakat. Hampir di semua tempat di dunia memiliki mitosnya masing-masing, tetapi hampir semuanya bercerita bahwa gerhana disebabkan oleh para dewa atau oleh mahluk-mahluk gaib. Di Indonesia sendiri, mitos terkait gerhana yang paling terkenal adalah yang menyangkut Batara Kala.
Dalam kisah itu dikatakan bahwa ada seorang rakasasa sakti yang bernama Batara Kala, yang sebenarnya adalah putra dari Batara Guru, yang ingin ikut meminum Tirta Amerta. Tirta Amerta adalah air kehidupan yang diperoleh dari sebuah telaga yang berada di khayangan, barang siapa meminum Tirta Amerta, maka dia akan menjadi sakti dan tidak akan pernah mati. Karena itulah semua dewa memperoleh kesempatan meminum Tirta Amerta sehingga mereka bisa selalu membantu Batara Guru menata dunia ini sepanjang masa.
Tidak seperti para dewa, raksasa bukanlah termasuk golongan yang diperbolehkan meminum Tirta Amerta. Tapi karena keinginannya sangat besar, Batara Kala nekat datang ke tepi telaga ketika diadakan acara pembagian Tirta Amerta. Hanya saja, Kala datang dengan menyamar sebagai salah seorang dewa sehingga dia bisa membaur dengan dewa-dewa lainnya. Sayangnya penyamarannya diketahui oleh Batara Surya (dewa matahari) dan Batara Candra (dewa bulan) yang bertugas melakukan pengawasan. Kedua dewa itu kemudian melaporkan temuan mereka kepada Batara Wisnu.
Mengetahui hal itu, Batara Wisnu sangat marah, dan tanpa basa basi langsung melemparkan senjata andalannya yang bernama Cakra langsung ke arah Batara Kala. Kesaktian Cakra memang tidak tertandingi. Kala yang sakti itupun seketika terpenggal kepalanya. Tubuhnya langsung ambruk ke bumi dan mati, sementara kepalanya terlontar dan jatuh masuk ke dalam telaga yang berisikan Tirta Amerta, karena itulah meski telah terpisah dari tubuhnya, kepala Kala tetaplah hidup. Kepala Kala langsung melarikan diri setelah itu.
Dalam pelariannya, kepala Kala yang mengetahui bahwa Batara Surya dan Batara Candra yang menyebabkan kejadian itu, menjadi sangat dendam kepada mereka berdua. Kepala Kala bermaksud membalas dendam kepada keduanya. Karena itulah kepala Batara Kala itu selalu mengejar kedua dewa itu dari waktu ke waktu. Tiap kali salah satu dari kedua dewa itu tertangkap, yang bisa dilakukan oleh kepala Kala itu hanyalah menelannya bulat-bulat. Ketika Batara Candra yang tertangkap dan tertelan, manusia melihatnya sebagai gerhana bulan, sementara kalau yang tertangkap Batara Surya, manusia akan menyaksikan gerhana matahari.
Sayangnya, karena kepala Batara Kala itu tidak lagi memiliki badan, maka tiap kali Batara Surya atau Batara Candra ditelannya, kedua dewa itu akan selalu bisa keluar lagi setelah melewati kerongkongan Batara Kala. Saat itulah manusia melihat kalau gerhana menuju ke tahap selesai.
Pada saat terjadi gerhana matahari total beberapa hari lalu, aku kebetulan berada di Pantai Penyak, Pulau Bangka yang merupakan salah satu spot terbaik untuk menyaksikannya. Pagi itu sebetulnya cuaca sedikit berawan sehingga sempat membuat banyak orang khawatir tidak akan dapat mengamati proses berlangsungnya gerhana dengan leluasa. Untungnya angin yang berhembus cukup kencang membuat lapsan awan tidak selalu menutupi matahari yang tampak kian mengecil dari waktu ke waktu. Proses gerhana tetap dapat teramati dengan baik, bahkan menurut aku, dengan adanya awan yang berarak membuat suasana terasa lebih mistis.
Kejadian alam yang luar biasa ini betul-betul menghipnotis ribuan orang yang berada di Pantai Penyak dan Pantai Terentang sejak subuh hanya untuk menyaksikan peristiwa alam yang langka ini. Aku bahkan mendapati banyak juga yang dengan sengaja mendirikan tenda dan bermalam di pantai sehingga mereka mendapatkan tempat terbaik dan juga tidak sampai melewatkan gerhana matahari total kali ini.
Dalam postingan kali ini aku sertakan beberapa foto yang berhasil aku dapatkan selama berlangsungnya gerhana yang aku ambil dari Pantai Penyak, Bangka Tengah. Please enjoy 🙂