That afternoon, I was still wandering around Wulla Waijelu Districts in East Sumba, Indonesia when I arrived at a deserted beach known as Watu Parunu Beach. The tide was low, and according to information I got, that was the perfect time to visit and explore the beach because at that time, the beach showed all of its beauty and uniqueness.
The sight of a hill and at the foot of the hill a rock formation jutted to the sea like a wall with some gate-like holes greeted me when my step brought me to the beach area. The hill was on the west side of the beach area when on the other side a wide beach area was looked so barren.
The natural wall with some holes that similar to man-made gates was the main attraction and also made the beach quite unique because such a formation could not be found in other beaches in Sumba. The textures of the rock wall along with the holes were made by year after year of erosion caused by wind and sea waves.
The holes that looked like gates on the beach were big enough and people could pass through them to the other side of the so called wall. At that time, I walked pass through one of the holes to found a white cliff which looked like was carved by an artist. Its surface was full with patterns.
I stood before the white cliff in awe. My eyes could not stop to savor each part of the cliff, amazed by the beauty of the giant art piece made by nature. In some part, the pattern looked like batik pattern while in other part it was like contemporary abstract pattern.
When the sun started to set behind the cliff, I realized it was my time to leave the pretty and unique beach although I wanted to stay there and enjoy the tranquility of the beach by night.
Watu Parunu Beach was one of many secluded beaches in Sumba. Not many people visited the place. Travelers should drive for about 3.5 hours from Waingapu to the beach to cover a 135 kilometers distance on quite a good road. Unfortunately, there was no public transport could be used to come to the place. So the only way to come to the beach was by private car which could be rented in Waingapu.
For travelers who wanted to go to Watu Parunu, it would be better if they brought their own snack and drinks, because there was neither food nor refreshment vendors in the area. In my opinion, however, the hard effort to reach the beach from Waingapu and the lack of facilities in the beach area meant nothing if compared to the beauty of the beach when travelers came at the right time.—
Keterangan :
Siang menjelang sore itu aku dan teman seperjalananku masih menjelajah Kecamatan Wulla Waijelu di Kabupaten Sumba Timur, untuk mencari tempat-tempat indah yang bisa dinikmati sebelum hari terlanjur gelap. Setelah beberapa saat, mobil yang aku tumpangi mulai melambatkan lajunya dan kemudian masuk ke daerah pantai yang tampak sepi. Tampak ketika itu air laut sedang surut sehingga wilayah pantai tampak luas seperti tanah lapang berpasir halus. Air laut kelihatan tenang meskipun angin berhembus cukup kencang. Menurut informasi yang aku dapatkan, ketika laut pasang, air laut bisa mencapai tepi jalan raya. Jadi . . . kedatanganku di sana ketika air laut sedang surut memang tepat sekali. Apalagi, ketika laut sedang sururt seperti saat itu, keindahan dan keeksotisan pantai yang dikenal dengan nama Pantai Watu Parunu itu akan bisa dinikmati dengan sepenuhnya.
Di sisi barat pantai, aku melihat sebuah bukit yang menjulang tinggi. Di kakinya tampak gugusan karang yang menjorok ke laut, bentuknya menyerupai dinding, apalagi di beberapa bagiannya tampak lubang-lubang yang menyerupai gerbang. Gerbang untuk menuju daerah yang ada di balik tembok alam itu. Dan tahu nggak . . . meskipun lubang di dinding alam itu cukup besar dan orang bisa lewat di bawahnya, tetapi tetap saja orang akan sedikit menunduk kalau melewati lubang-lubang itu. Karena itulah pantai itu dikenal dengan nama Pantai Watu Parunu. Dalam bahasa setempat kata parunu berarti menunduk.
Dinding karang dengan lubang-lubang itu bukanlah buatan manusia, melainkan murni bentukan alam. Gerusan angin laut dan gempuran ombak berbilang tahun bahkan abad, membuat karang yang kokoh menjadi berlubang. Di bagian yang tidak menjadi lubang, angin dan air pun mengikis dan memahat bebatuan sehingga menimbulkan bentuk-bentuk yang unik.
Aku sendiri menyempatkan diri menjelajah di sekitar lubang-lubang di dinding karang itu. Melihat dari dekat akibat gerusan air dan angin di batu karang yang keras. Yah . . . di sini kita bisa melihat bahwa karang yang keras pun akan kalah oleh angin dan air yang lembut jika karang tersebut terus menerus “dibelai”-nya. Sama seperti di kehidupan kita, hati yang keras sering kali akan kalah oleh kelembutan, apalagi kalau kelembutan itu diberikan secara terus menerus.
Setelah aku rasa cukup, aku memutuskan untuk melihat daerah di balik dinding karang itu dengan cara masuk melalui “pintu-pintu” yang tersedia. Dan ketika aku memasukinya, memang mau tidak mau aku berjalan sedikit menunduk. Mungkin itu reflek juga karena takut kepala kita benjol terantuk karang di atasnya.
Begitu aku sudah melalui lubang di dinding karang itu, tetiba aku menjadi tertegun, tanpa aku sadari mulutku sudah ternganga menyaksikan karya Tuhan yang tersaji di depan mata. Bagaimana tidak, di depan mataku terpampang dinding karang berwarna putih yang menjulang tinggi dan dinding itu dipenuhi oleh guratan yang membentuk pola yang indah. Ada yang menyerupai pola batik dan ada juga yang menyerupai pola abstrak kontemporer. Lagi-lagi alam telah menciptakan karya seni yang menakjubkan di bumi Sumba.
Nggak bosan-bosannya aku memandangi keindahan alam yang tersaji ini, dan aku baru tersadar ketika aku merasakan suasana yang makin temaram karena sang surya sudah mulai beranjak menuju ke peraduannya di balik bukit karang itu. Yah . . sudah waktunya aku dan teman seperjalananku beranjak meninggalkan Pantai Watu Parunu meskipun sebetulnya masih ingin lebih lama lagi menikmati kesunyiannya.
Ya . . sunyi, karena Watu Parunu memang merupakan salah satu dari sekian banyak pantai terpencil yang ada di Pulau Sumba. Sampai ketika itu, belum banyak orang yang berkunjung ke sana. Mungkin faktor jarak menjadi pertimbangan para pelancong. Bagaimana tidak, butuh waktu kurang lebih selama tiga setengah jam berkendara untuk menempuh jarak sejauh 135 kilometer dari pusat kota Waingapu ke Pantai Watu Parunu. Jalannya memang cukup mulus, paling tidak sebagian besarnya, tetapi tetap saja di banyak tempat kendaraan tidak bisa dipacu kencang, bahkan harus berhenti ketika ada gerombolan sapi yang sedang bersantai di tengah jalan atau ketika serombongan kuda liar berlari menyeberang jalan.
O ya, di Pantai Watu Parunu ketika itu aku tidak melihat ada penjual makanan maupun minuman. Bahkan kawasan pantai bisa dibilang masih alami banget, tanpa fasilitas umum sama sekali. Jadi buat pelancong yang mau ke sana, ada baiknya membawa bekal yang cukup ya. Tapi semua kerepotan dan capek lelah berkendara selama itu terbayar koq. Pantai Watu Parunu memang indah 🙂 .–