Monthly Archives: October 2016

A wall beyond a gate

That afternoon, I was still wandering around Wulla Waijelu Districts in East Sumba, Indonesia when I arrived at a deserted beach known as Watu Parunu Beach. The tide was low, and according to information I got, that was the perfect time to visit and explore the beach because at that time, the beach showed all of its beauty and uniqueness.

img_pwp01

The sight of a hill and at the foot of the hill a rock formation jutted to the sea like a wall with some gate-like holes greeted me when my step brought me to the beach area. The hill was on the west side of the beach area when on the other side a wide beach area was looked so barren.

img_pwp02

The natural wall with some holes that similar to man-made gates was the main attraction and also made the beach quite unique because such a formation could not be found in other beaches in Sumba. The textures of the rock wall along with the holes were made by year after year of erosion caused by wind and sea waves.

The holes that looked like gates on the beach were big enough and people could pass through them to the other side of the so called wall. At that time, I walked pass through one of the holes to found a white cliff which looked like was carved by an artist. Its surface was full with patterns.

img_pwp06

I stood before the white cliff in awe. My eyes could not stop to savor each part of the cliff, amazed by the beauty of the giant art piece made by nature. In some part, the pattern looked like batik pattern while in other part it was like contemporary abstract pattern.

img_pwp12

When the sun started to set behind the cliff, I realized it was my time to leave the pretty and unique beach although I wanted to stay there and enjoy the tranquility of the beach by night.

img_pwp08

Watu Parunu Beach was one of many secluded beaches in Sumba. Not many people visited the place. Travelers should drive for about 3.5 hours from Waingapu to the beach to cover a 135 kilometers distance on quite a good road. Unfortunately, there was no public transport could be used to come to the place. So the only way to come to the beach was by private car which could be rented in Waingapu.

For travelers who wanted to go to Watu Parunu, it would be better if they brought their own snack and drinks, because there was neither food nor refreshment vendors in the area. In my opinion, however, the hard effort to reach the beach from Waingapu and the lack of facilities in the beach area meant nothing if compared to the beauty of the beach when travelers came at the right time.—

img_pwp07

img_pwp17

 

Keterangan :

Siang menjelang sore itu aku dan teman seperjalananku masih menjelajah Kecamatan Wulla Waijelu di Kabupaten Sumba Timur, untuk mencari tempat-tempat indah yang bisa dinikmati sebelum hari terlanjur gelap. Setelah beberapa saat, mobil yang aku tumpangi mulai melambatkan lajunya dan kemudian masuk ke daerah pantai yang tampak sepi. Tampak ketika itu air laut sedang surut sehingga wilayah pantai tampak luas seperti tanah lapang berpasir halus. Air laut kelihatan tenang meskipun angin berhembus cukup kencang. Menurut informasi yang aku dapatkan, ketika laut pasang, air laut bisa mencapai tepi jalan raya. Jadi . . . kedatanganku di sana ketika air laut sedang surut memang tepat sekali. Apalagi, ketika laut sedang sururt seperti saat itu, keindahan dan keeksotisan pantai yang dikenal dengan nama Pantai Watu Parunu itu akan bisa dinikmati dengan sepenuhnya.

img_pwp09

Di sisi barat pantai, aku melihat sebuah bukit yang menjulang tinggi. Di kakinya tampak gugusan karang yang menjorok ke laut, bentuknya menyerupai dinding, apalagi di beberapa bagiannya tampak lubang-lubang yang menyerupai gerbang. Gerbang untuk menuju daerah yang ada di balik tembok alam itu. Dan tahu nggak . . . meskipun lubang di dinding alam itu cukup besar dan orang bisa lewat di bawahnya, tetapi tetap saja orang akan sedikit menunduk kalau melewati lubang-lubang itu. Karena itulah pantai itu dikenal dengan nama Pantai Watu Parunu. Dalam bahasa setempat kata parunu berarti menunduk.

img_pwp10

Dinding karang dengan lubang-lubang itu bukanlah buatan manusia, melainkan murni bentukan alam. Gerusan angin laut dan gempuran ombak berbilang tahun bahkan abad, membuat karang yang kokoh menjadi berlubang. Di bagian yang tidak menjadi lubang, angin dan air pun mengikis dan memahat bebatuan sehingga menimbulkan bentuk-bentuk yang unik.

img_pwp11

Aku sendiri menyempatkan diri menjelajah di sekitar lubang-lubang di dinding karang itu. Melihat dari dekat akibat gerusan air dan angin di batu karang yang keras. Yah . . . di sini kita bisa melihat bahwa karang yang keras pun akan kalah oleh angin dan air yang lembut jika karang tersebut terus menerus “dibelai”-nya. Sama seperti di kehidupan kita, hati yang keras sering kali akan kalah oleh kelembutan, apalagi kalau kelembutan itu diberikan secara terus menerus.

img_pwp14

Setelah aku rasa cukup, aku memutuskan untuk melihat daerah di balik dinding karang itu dengan cara masuk melalui “pintu-pintu” yang tersedia. Dan ketika aku memasukinya, memang mau tidak mau aku berjalan sedikit menunduk. Mungkin itu reflek juga karena takut kepala kita benjol terantuk karang di atasnya.

Begitu aku sudah melalui lubang di dinding karang itu, tetiba aku menjadi tertegun, tanpa aku sadari mulutku sudah ternganga menyaksikan karya Tuhan yang tersaji di depan mata. Bagaimana tidak, di depan mataku terpampang dinding karang berwarna putih yang menjulang tinggi dan dinding itu dipenuhi oleh guratan yang membentuk pola yang indah. Ada yang menyerupai pola batik dan ada juga yang menyerupai pola abstrak kontemporer. Lagi-lagi alam telah menciptakan karya seni yang menakjubkan di bumi Sumba.

img_pwp13

Nggak bosan-bosannya aku memandangi keindahan alam yang tersaji ini, dan aku baru tersadar ketika aku merasakan suasana yang makin temaram karena sang surya sudah mulai beranjak menuju ke peraduannya di balik bukit karang itu. Yah . . sudah waktunya aku dan teman seperjalananku beranjak meninggalkan Pantai Watu Parunu meskipun sebetulnya masih ingin lebih lama lagi menikmati kesunyiannya.

Ya . . sunyi, karena Watu Parunu memang merupakan salah satu dari sekian banyak pantai terpencil yang ada di Pulau Sumba. Sampai ketika itu, belum banyak orang yang berkunjung ke sana. Mungkin faktor jarak menjadi pertimbangan para pelancong. Bagaimana tidak, butuh waktu kurang lebih selama tiga setengah jam berkendara untuk menempuh jarak sejauh 135 kilometer dari pusat kota Waingapu ke Pantai Watu Parunu. Jalannya memang cukup mulus, paling tidak sebagian besarnya, tetapi tetap saja di banyak tempat kendaraan tidak bisa dipacu kencang, bahkan harus berhenti ketika ada gerombolan sapi yang sedang bersantai di tengah jalan atau ketika serombongan kuda liar berlari menyeberang jalan.

img_pwp16

O ya, di Pantai Watu Parunu ketika itu aku tidak melihat ada penjual makanan maupun minuman. Bahkan kawasan pantai bisa dibilang masih alami banget, tanpa fasilitas umum sama sekali. Jadi buat pelancong yang mau ke sana, ada baiknya membawa bekal yang cukup ya. Tapi semua kerepotan dan capek lelah berkendara selama itu terbayar koq. Pantai Watu Parunu memang indah 🙂  .–

img_pwp18

img_pwp19

img_pwp21

Categories: Travel Pictures | Tags: , , , , | 23 Comments

In search for a hot spring

At that time, I came to an area known as Wula Waijelu, in a village called Lainjanji Village, to be precise. As far as I know, the village was the easternmost village in East Sumba Regency, East Nusa Tenggara, Indonesia.

One day, I heard something interesting about the village, and that made me intrigued to go there. The interesting thing was a local legend which was told among the locals that deep in the forest located close to the village, there was a hot spring which was guarded by a very big snake. Well . . . a story was still a story, but what if the hot spring was really existed? And you know what? I’d got information that the hot spring was really existed, and it really located deep in the forest which was believed to be sacred.

So . . . here I came to the village to proof that the hot spring was there. I didn’t care whether the giant snake was really existed or just a story told from generations to generations.

I started my journey to search for the hot spring from Waingapu, the capital of East Sumba Regency. After about 3.5 hours drive on a relatively good road, I came to the village. Right before a public school, I turned right and entering a dirt road until the car I was in could not move any further and had to stop in front of a simple house. After a brief chit chat to the owner, I continued my journey on foot.

img_mwm01

At first I had to cross a shallow river and then walked on the river bank before starting to go into the forest. There was no special track that could be followed, and the condition made me so grateful that I was accompanied by Ms. Johanna and her niece who knew the place quite well.

img_mwm02

It did not take too long before I came to place with a puddle beneath a big earth mound. Before the puddle, there was a hole that seemed to supply water from inside it. Thin vapor came from the water, indicated the water temperature was higher than the cool temperature of the surrounding area.

img_mwm07

Inside the hole, a soft gurgle clearly heard. Seemed that the big snake was inside the hole, hibernating for a very long time and the gurgle sound was its fiery breath beneath the water which made the water boiled. Was that the fact? Well . . . of course not  😛 . It seemed that beneath the mound was used to be an active volcano; although it was already inactive, the geothermal was still generated in the area. As a result, the underground river that flowed beneath the mound and out through the hole to the puddle was heated, which in turn made the water warm.

The locals believed that the water could cure many skin diseases. No wonder, because of a natural process beneath the surface, the water was infused with sulphur. It was the sulphur content in the water which cured various skin diseases  😎

img_mwm06

Matawai Mbana, that was the name used to address the hot spring according to the local language.

Travelers who wanted to go to Matawai Mbana could take a regular bus serving Waingapu – Kalala route. They could stop in Lainjanji and from there travelers should ask for the direction to Matawai Mbana to the locals since the place was not a popular tourist destination, yet. –

img_mwm15

img_mwm14

Keterangan :

Ketika itu aku sampai ke daerah Wula Waijelu, tepatnya ke sebuah desa yang bernama Desa Lainjanji. Konon Desa Lainjanji ini merupakan desa yang terletak di ujung timur Kabupaten Sumba Timur.

Mungkin banyak yang bertanya-tanya, ngapain juga jalan ke Desa Lainjanji? Memangnya ada yang menarik di sana?

Sebetulnya yang membawa aku ke desa itu adalah rasa penasaran. Bagaimana tidak. Aku mendengar cerita kalau di dekat Desa Lainjanji ada sebuah hutan keramat dimana di tengah hutan itu terdapat sebuah mata air panas yang dijaga seekor ular besar.

Ya memang sih itu hanya sebuah cerita rakyat yang diceritakan secara turun temurun di antara penduduk setempat, tetapi bagaimana kalau hutan dan mata air panasnya ternyata betul-betul ada? Soal apakah kemudian ular besarnya juga betul-betul ada atau nggak ada, itu urusan nanti. Tetapi hal ini betul-betul cukup menggoda dan membuat aku melangkahkan kaki ke sana untuk mencari dan melihat sendiri seperti apa bentuk mata air panasnya.

Aku berangkat dari Waingapu dengan kendaraan sewa untuk menghemat waktu. Sebetulnya bisa juga sih dengan mempergunakan bus umum, tetapi kan bus umum nggak berangkat setiap saat. Belum lagi waktu tempuhnya yang relatif lebih lama karena di sepanjang jalan pasti masih menaik turunkan penumpang. Itu saja dengan mobil sewa, aku membutuhkan waktu sekitar 3,5 jam untuk sampai ke sana melalui jalan yang relatif mulus. Sesampai di Lainjanji, tepat sebelum sekolahan, mobil yang aku tumpangi berbelok ke kanan melalui jalan tanah pedesaan sampai akhirnya berhenti di depan sebuah rumah sederhana. Di situlah kendaraan dititipkan dan aku melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.

img_mwm08

Dari rumah itu, langkah kakiku aku arahkan menuju ke sungai yang berair jernih di pinggiran hutan. Perjalanan ku mengharuskan aku menyeberangi sungai yang cukup dangkal itu sebelum kemudian masuk di kerimbunan hutan.

img_mwm10

img_mwm09

Begitu masuk ke kawasan hutan yang sunyi, segera aku menyadari kalau di hutan yang aku masuki itu tidak nampak jalan setapak yang akan membawa aku ke tujuanku. Semua nampak sama. Tapi untunglah Ibu Johanna yang menemani aku ke sana tahu dengan persis jalur mana yang harus ditempuh, sehingga tidak lama kemudian aku melihat ada semacam genangan air yang di permukaannya melayang uap tipis menandakan kalau suhu air lebih panas jika dibandingkan dengan suhu udara sekitar yang relatif sejuk.

img_mwm12

Genangan air itu terletak di bawah sebuah gundukan tanah yang dibawahnya terdapat sebuah lubang, dan dari lubang itulah air mengalir keluar. Rupanya inilah mata air panasnya.

Ketika aku mendekati mulut lubang itu, aku dengan jelas mendengar suara air bergolak di dalamnya. Wah . . . jangan-jangan ular besarnya betul-betul ada dan sekarang sedang tidur di dalam lubang itu. Suara menggelegak itu bisa jadi suara hembusan nafas panasnya di dalam air yang membuat air panas mengalir keluar dari lubang itu.

Ah . . . udahlah nggak usah menghayal berlebihan  😛

Suara menggelegak menandakan bahwa di dalam gua itu terdapat aliran sungai bawah tanah yang airnya mendidih karena terkena panas bumi. Konon di situ dulunya merupakan kawasan gunung berapi, tetapi sekarang sudah tidak aktif lagi. Tapi meskipun sudah tidak aktif, panas bumi yang dihasilkan masih mampu memanaskan air sungai bawah tanah yang airnya kemudian mengalir ke luar dari lubang yang mirip sarang ular itu.

Penduduk setempat menyebut tempat itu dengan nama Matawai Mbana. Secara harfiah, Matawai Mbana berarti mata air panas. Dari waktu ke waktu, penduduk di sekitar Matawai Mbana banyak juga yang datang ke mata air panas itu karena mereka percaya bahwa air hangat yang keluar dari lubang itu berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit kulit. Bagi kita, sembuhnya penyakit kulit karena dibasuh dengan air di Matawai Mbana tentu saja bukan karena tuah air itu melainkan karena adanya kandungan belerang yang cukup tinggi di air itu yang terbukti dari terciumnya bau belerang di mulut lubang itu   😎

img_mwm11

Matawai Mbana masih belum menjadi destinasi wisata, bahkan masih sedikit yang mengetahui keberadaannya. Karena itulah kondisinya masih apa adanya dan terkesan belum terjamah. Buat mereka yang menyukai alam yang asri, Matawai Mbana pastilah akan merupakan tujuan perjalanan yang cukup menarik untuk dikunjungi   🙂 .–

img_mwm13

img_mwm17

Categories: Travel Pictures | Tags: , , , , , | 12 Comments

Natural art pieces on a beach

Once again I was in Sumba, an island which was located in East Nusa Tenggara Province, Indonesia. Sumba was not as famous as Bali, yet. The island which was located beyond Lombok and Sumbawa in the east, was known as Eden of the east for many travelers, because of its pretty landscape.

At that time, after a long flight from Jakarta via Bali, I was landed in Umbu Mehang Kunda Airport in Waingapu, East Sumba. Right after taking my luggage, I went out to meet the person who was assigned to accompany my travel partner and me in our trip in East Sumba.

My first stop was Londa Lima Beach, a beach that was quite known by locals and became their main destination for spending their weekends and also their holiday times. In such days, the beach would be pretty crowded by people playing, picnicking or just relaxing under the shade of the trees growing on the beach.

img_pll01

I was there on weekdays, so I found a deserted beach area, except for some teenagers looking for worms which would be used as baits when they fished. Something drew my attention, a big dry trunk lying on a beach. Perhaps it was common to find a log stranded on a beach, but in my eyes, it was not an ordinary piece of wood. It seemed like an art piece created by a famous artist.

img_pll03

The trunk was lying on the white sands. The sea which was in its low tide and the bluish hills afar became the perfect background for the natural art display. Not too far from the “pretty art piece”, grew a mangrove tree. The tree was shaped like an art piece too. Its crooked and overgrowth trunk was quite unique as well as pretty. Don’t you agree with me? 😎

Leaving the two “wooden art pieces” behind, I walked along the beach which at the end brought me to encounter another “wooden art piece”, and this time was bigger than what I saw before. It was so big so it was pretty safe to climb on top of it just to strike a pose on it like what my travel partner did  😀

img_pll12

Later on, I found that the pretty natural wooden sculptures were not consisted only of dead and dry trunks. Close to the children playground area, there were some big mangrove trees which had twisted and overgrowth trunks too which were quite photogenic :P. The horses that freely roaming the area, could add some plus point to make the picture prettier.

img_pll15

In the previous paragraph, I mentioned a children play ground area on the beach. Yes, Londa Lima was quite well managed. To attract people to come to the beach area, there were facilities provided by the management. Children playground and parking lot, as well as some simple hut were some examples of the facilities existed on the beach.

img_pll17

Londa Lima Beach was located in Kuta Village, some 15 kilometers from Waingapu to the north west. Travelers could reach the beach in a 30 minutes drive from Waingapu. No public transport serving the area from Waingapu, so it would be better for travelers to rent a car from Waingapu. Don’t worry, the road from Waingapu to the beach was quite good, but travelers who drove by themselves should be very careful for passing cattle or horses, even pigs on the road. Don’t be surprised to find cows lying on the road, too 😯

Hope that the “natural art gallery” in Londa Lima Beach was still as it was, and the area’s development would not ruin the natural art pieces on the beach because they could be used to attract travelers to come to the beach. Right? 😉

img_pll08

img_pll19

Keterangan :

Aku kembali berada di Sumba, sebuah pulau yang sudah berhasil membuat aku jatuh cinta dengan keindahan alam dan keramahan penduduknya. Meskipun belum setenar Bali, tetapi Sumba sudah berhasil mencuri perhatian banyak penikmat keindahan ciptaan Yang Maha Kuasa, bahkan banyak orang menyebut Sumba sebagai Taman Firdaus di timur karena keindahannya.

Ketika itu, segera setelah mendarat di Bandara Umbu Mehang Kunda di Waingapu, Sumba Timur, aku dan kawan seperjalananku bergegas mengambil barang-barang bawaan kami yang cuma sedikit itu dan langsung berjalan keluar untuk segera pula memulai perjalanan menjelajah sebagian Sumba Timur.

Perhentian pertamaku waktu itu adalah Pantai Londa Lima, sebuah pantai yang sudah cukup kondang bagi masayarakat Sumba Timur, khususnya mereka yang tinggal di kota Waingapu karena pantai ini sudah lama menjadi tujuan utama mereka untuk berwisata bersama keluarga atau orang-orang tercinta di akhir pekan ataupun di hari-hari libur. Di hari-hari seperti itu, Pantai Londa Lima akan dipadati pengunjung. Untungnya aku dan teman seperjalananku berkunjung ke pantai itu bukan pada akhir minggu atau hari libur, jadi yang aku jumpai adalah kawasan pantai yang kosong, tak seorangpun nampak di sana, kecuali beberapa pemuda yang sedang mencari cacing untuk umpan memancing.

img_pll11

Ketika itulah pandangan mataku tertumbuk pada potongan batang pohon yang tergeletak di pasir pantai. Kelihatannya itu potongan batang pohon yang entah berasal dari mana, kemudian terbawa arus laut dan terdampar di pantai situ. Di mataku, potongan kayu itu tampak indah, nggak seperti potongan-potongan kayu pada umumnya. Bentuknya mengingatkanku pada adikriya karya salah seorang seniman dari Pulau Dewata, hanya saja yang tergeletak di pasir pantai ini adalah bentukan alam.

img_pll02

Dan . . tahu nggak? Ternyata karya seni yang dihasilkan alam yang ada di situ tidak hanya satu. Tidak jauh dari bongkahan kayu tadi, tegak berdiri sebatang pohon bakau dengan batangnya yang unik dengan bonggol-bonggol yang sepintas mirip ukiran. Unik tapi juga indah kan?  🙂

img_pll09

Setelah beberapa saat mengagumi karya Sang Seniman Agung di situ, aku dan teman seperjalananku berjalan menyusur pantai mengarah ke barat, dan ternyata kembali aku menemukan sebuah “karya seni” lain di sana. Masih berupa ukiran alam dengan bahan kayu. Bahkan kali ini lebih besar dari sebelumnya. Sedemikian besarnya sehingga bisa dipanjat, bahkan teman seperjalananku sempat berpose narsis di atasnya 😀

img_pll13

Belakangan aku juga menemukan kalau “karya seni” bentukan alam ini tidak melulu berupa batang kayu mati yang terdampar di pantai. Di balik tembok rendah penahan abrasi, aku menemukan beberapa pohon bakau raksasa dengan batang yang berbentuk unik juga.

img_pll14

Pantai Londa Lima sudah lumayan tertata. Beberapa fasilitas sudah tersedia di sana. Lahan parkir, toilet, warung-warung sederhana yang menyediakan makanan kecil, dan juga taman bermain anak-anak merupakan sebagian fasilitas yang sudah tersedia.

img_pll18

Pantai yang terletak di Desa Kuta ini tidak jauh dari Waingapu yang menjadi ibukota Kabupaten Sumba Timur. Jaraknya hanya sekitar 15 kilometer dari Waingapu ke arah barat laut melalui jalan yang sudah cukup baik dan masih relatif sepi. Meskipun sepi, tetap saja para pengemudi harus berhati-hati karena banyaknya sapi atau kuda bahkan babi dan kambing yang bebas berkeliaran sampai ke jalan raya. Bahkan di malam hari, tidak jarang kendaraan harus berhenti karena adanya ternak yang berbaring di tengah jalan 😯

Wah kalau gitu, enaknya kita naik kendaraan umum aja dong ya kalau mau ke Pantai Londa Lima?

Nah ini . . . sayangnya sampai ketika aku ke sana waktu itu, aku masih nggak menemukan adanya kendaraan umum dengan rute Waingapu – Londa Lima, ataupun yang rutenya melewati Londa Lima. Jadi ya memang harus menyewa kendaraan dari Waingapu kalau mau ke Londa Lima.

img_pll04

Eniwei . . . aku sih berharap agar “ukiran-ukiran” kayu ciptaan alam yang ada di Londa Lima tetap terjaga dan tidak tiba-tiba sudah berada di salah satu rumah mewah entah dimana sebagai barang pajangan. Aku berharap juga semoga penataan dan pengembangan Pantai Londa Lima sebagai suatu tempat tujuan wisata tetap memperhatikan kelestarian lingkungan, termasuk juga pohon-pohon bakau berbatang unik itu. Bagaimanapun, keberadaan pohon-pohon bakau dan juga batang-batang kayu yang terdampar di pantai dan punya bentuk artistik tentunya akan merupakan salah satu daya tarik tersendiri bagi para pelancong yang berkunjung ke sana. Ya nggak? 😉

img_pll10

img_pll16

Categories: Travel Pictures | Tags: , , , , , | 16 Comments

Blog at WordPress.com.