Event Pictures

The war-like ritual in Sumba

I was in Sumba, Indonesia, in Ratenggaro Village to be precise. That very morning, the usually quiet village looked pretty busy and also crowded. Many people passing by the village’s gate; almost all of them walked toward the village square while many had already gathered around the square ignoring the heat caused by the scorching morning sun. Locals and visitors were mingled in there. Sounds of talking people were like the sound of buzzing bees rising into the air. Some local vendors had been ready with their merchandise under temporary tents offering bottled waters, simple snacks, and also simple toys to everyone passing their stalls. No doubt that there was a big event being held in there.

Yup . . . you’re right. That day was the day of Pasola, a big event for the Sumbanese, especially the Kodi Tribe who live in the western part of the island. Pasola was part of a series of traditional ritual which been held once a year before the rice planting season.

The name Pasola was derived from a word in local language, “sola” or “hola” which means a wooden spear that would be thrown to each other from a fast running horse between two opposing groups of clans or tribes. The word then added by prefix “pa” and became “pasola” or “pahola” that means a game or competition. So the word “pasola” could be translated as a battle like game where the participants throwing the wooden spears to their opponents while riding a fast running horse.

That morning, two groups of Sumbanese warriors were ready on each side of the fields. They sit on the back of Sumba endemic horses called the sandel horses which was known as one of the finest horses in the region. The horses were not too big, but have good endurance, easy to manage and also a fast runner. Those warriors held some wooden spears in their hands. The spears were dull, but it still could cause a serious injury when it hit bare flesh. Yes, casualties did really occur in this ritual, even death was not impossible to happen if the wooden spears hit a vital part of the body.

To the Sumbanese belief, blood that shed in a Pasola would fertilize the soil and made a very rich harvest in the coming harvesting season. No grudge was held against any casualties in the ritual; even death would be treated as a great honor.

As the sun rose higher, the tension in the battlefield also arose. The sound of whinnying horses was heard among the buzzing sounds of people. One or two warriors from each clan starting galloping their horses towards their opponents to provoke. War cry also heard from some young warriors while they made their horses run fast around the field.

At a specific time, some village’s elders with their aides entering the field followed by some horsemen. When they reached the center of the fields, those elders summoned the warriors from both sides, gave some short speech and blessed them and the square as well. It did not take too long. And when they left the square, the war began.

Warriors from each side spurred their horses and then threw their wooden spears to their targeted opponents. The targeted warriors were also very agile; they would duck or even slid at the side of their horses’ body to evade. Some of them were skilful and experienced in such a game so they can catch the wooden stick threw to them. Many others suffer and even fell from their horses when being hit by a wooden spear. Loud cheers broke into the hot air every time those situations happened.

Pasola was held once a year in the month of February and March. There were no exact dates for the ritual; it was the village elders’ decision. There were many preceding rituals before the Pasola. Unfortunately, I was only able to attend the Pasola. Hope that I can also attending and documenting the rituals before and after the Pasola next time I visit Sumba again.–

Keterangan :

Pagi di pertengahan bulan Maret yang lalu, setelah beberapa saat berjalan-jalan di Pantai Ratenggaro seperti yang sudah aku ceritakan di postingan yang lalu, aku kembali menuju ke arah Desa Adat Ratenggaro.Hari sudah semakin siang dan sinar matahari pun sudah terasa makin menyengat. Meskipun demikian, orang yang berlalu lalang rasanya semakin banyak saja. Semuanya bergerak ke satu tujuan, sebuah lapangan terbuka yang terletak tidak jauh dari gerbang masuk desa.

Sesampainya di lapangan tersebut, aku melihat sudah banyak juga orang yang berdiri di sekeliling lapangan. Para pedagang musiman juga sudah menggelar barang dagangan mereka yang berupa minuman ringan, makanan kecil dan juga beberapa jenis mainan sederhana, dibawah lindungan terpal ataupun kain yang dibuat sebagai tenda darurat. Dan seperti pada umumnya terdapat di tiap-tiap keramaian, ada saja umbul-umbul perusahaan rokok yang sudah berdiri berjajar dengan rapi 😛

Hari itu di Desa Ratenggaro memang sedang ada keramaian, sebuah event tahunan yang menyedot banyak pengunjung, bahkan pengunjung dari tempat yang sangat jauh karena aku juga melihat banyak turis asing ikut berkerumun di sekitar lapangan itu. Ya . . hari itu bertepatan dengan diselenggarakannya Pasola di daerah itu.

Pasola adalah sebuah upacara adat yang dijalankan oleh masyarakat Sumba, khususnya suku Kodi yang tinggal di bagian barat Pulau Sumba ini. Pasola diadakan setahun sekali sebelum musim tanam padi. Pasola berasal dari kata “sola” atau “hola” yang berarti tombak kayu yang saling dilontarkan dari atas punggung kuda yang dipacu dengan kencang oleh dua kelompok penunggang kuda yang berasal dari desa yang berbeda ataupun kelompok yang berbeda. Setelah mendapat awalan “pa” artinya berubah menjadi “permainan”. Jadi “pasola” atau” pahola” bisa diartikan sebagai permainan ketangkasan saling melemparkan tombak kayu antara dua kelompok penunggang kuda yang melakukan pelemparan dari atas punggung kuda yang sedang dipacu kencang.

Pagi itu, dua kelompok penunggang kuda sudah nampak bersiaga di kedua ujung lapangan. Di tangan mereka tergenggam tiga atau lebih tombak kayu yang siap untuk dilontarkan ke arah lawan nantinya. Mata mereka tajam mengawasi kelompok lawan di seberang lapangan. Kuda-kuda sandel yang mereka tunggangi seolah bisa merasakan ketegangan yang makin meninggi, beberapa di antara kuda-kuda itu meringkik sementara yang lain menghentak-hentakan kaki depannya ke tanah seolah tidak sabar untuk segera dipacu menyongsong lawan.

Tombak-tombak kayu yang dipergunakan dalam pasola ujungnya tumpul. Ketika tombak kayu itu dilontarkan dengan sekuat tenaga, meskipun tumpul, tetap saja akan mampu menghasilkan luka terbuka jika terkena. Dalam pasola, luka terbuka yang menyebabkan tumpahnya darah, bahkan juga tewasnya peserta pasola mungkin saja terjadi. Bagi masyarakat Sumba, darah yang membasahi bumi dipercaya akan menyuburkan tanah dan membuat hasil panen mendatang berkelimpahan. Karena itulah bagi mereka nggak ada dendam yang dibawa keluar dari arena pasola. Bahkan kematian dalam arena pasola dianggap sebagai kematian yang sangat terhormat.

Ketika hari makin siang dan ketegangan juga terasa meningkat seiring dengan bertambah panasnya udara di sekitar lapangan, satu atau dua penunggang kuda mulai menderapkan kudanya ke arah kelompok lawan. Mereka hanya berputar-putar di depan kelompok lawan seolah mengejek dan menantang.

Ketika tiba waktunya, masuklah iringan tetua adat yang disebut “Rato” beserta dengan pembantu-pembantunya, diiringi beberapa penunggang kuda. Setibanya di tengah lapangan mereka memanggil perwakilan dari kedua kelompok penunggang kuda yang akan “bertempur” di arena pasola hari itu. Entah apa yang disampaikannya karena aku kebetulan berdiri cukup jauh dari mereka. Kelihatannya sih mereka diberkati. Lapangan yang akan dipakai juga mereka berkati. Setelah ritual itu selesai, Sang Rato beserta dengan pengiringnya kembali keluar dari lapangan, dan pertempuran pun dimulai . . .

Para penunggang kuda dari kedua belah pihak mulai memacu kudanya keluar dari kelompoknya masing-masing menyerbu ke arah kelompok lawan. Ketika mereka menjumpai lawan yang masuk dalam jarak tembak mereka, maka terlontarlah tombak-tombak kayu dari tangan mereka. Ketangkasan mereka dalam melontarkan tombak kayu dari atas kuda yang sedang berlari kencang memang patut diacungi jempol, apalagi kuda-kuda yang mereka tunggangi tidak dilengkapi dengan pelana. Hanya semacam bantal yang mengalasi duduk mereka di punggung kuda. Para penunggang kuda itu tidak hanya tangkas dalam melontarkan tombak kayu lho, mereka juga tangkas menghindar dari tombak kayu yang meluncur deras ke arah mereka; beberapa orang menghindar dengan cara berbaring di punggung kuda, beberapa lainnya menggantung di samping tubuh kuda yang masih berlari kencang, bahkan ada pula yang cukup tangkas menangkap tombak kayu yang terbang ke arah mereka. Sorak sorai penonton membuat para penunggang kuda semakin bersemangat dan “pertempuran” juga makin seru.

Pasola biasanya diadakan pada bulan-bulan Februari dan Maret. Tanggal pastinya ditentukan oleh Rato. Sebetulnya sebelum dilaksanakannya pasola, ada juga ritual-ritual lain yang mereka jalankan di hari-hari sebelumnya. Sayang waktu itu aku hanya sempat menyaksikan ritual pertempurannya saja. Mudah-mudahan kali berikut aku ke Sumba lagi di bulan Februari atau Maret, aku sempat juga menghadiri ritual-ritual yang mendahului pasola.–

Categories: Event Pictures | Tags: , , , , , , , | 13 Comments

When the demon swallowed the sun

Once again the sun, the moon and earth were in a parallel position, and the occasion darkened the sky over a certain places. In March 9, 2016, the moon was passed close enough to the earth; while the sun which actually much bigger than the moon passed very far away behind the moon, and that made the sun is almost covered by the moon, leaving only a faint ring of rays exposed to view from the earth. Yes it was a total solar eclipse which visible clearly in some parts of Indonesia, while in any other parts outside the eclipse’s path there was only a partial solar eclipse.

IMG_TSE14

There were many myths and legends that related to the eclipse. Most of them say that the eclipse was caused by actions of supernatural beings or gods. In Indonesia, the most popular one was a story about Batara Kala.

IMG_TSE02

The story says that Kala, a very powerful demon, wanted to get the sacred water called Tirta Amerta that gives more power and eternal life to them who drank it. From time to time the water was distributed among the gods so they can live forever and help Batara Guru, the father of all gods, administering the world.

IMG_TSE03

As demon was forbidden to have the sacred water, Kala decided to come in disguise. He came in the form of a god, so he could mingle with other gods that came to get the sacred water directly from the sacred lake. Unfortunately, Batara Surya (the god of the sun) and Batara Candra (the god of the moon) knew about Kala’s act and they told Batara Wisnu, who in his rage to know Batara Kala’s ill conduct launched his deadly weapon called Cakra to Kala.

IMG_TSE04

At that time, Batara Kala had already started to drink the Tirta Amerta from the eternal lake. When the Cakra hit his neck and beheaded him, Kala’s head fell to the lake and it made the head immortal while the body was dead.

IMG_TSE05

In his rage, Kala’s head chased Surya and Candra to avenge what they did to him as he know that Batara Surya and Batara Candra were they who made him met his fate in Wisnu’s hand. From time to time, Kala’s head always chased the two gods and when he got one of them, Kala would swallow the gods. When Kala swallowed Batara Candra, it was the time that people saw a lunar eclipse. The same if Kala swallowed Batara Surya, it was the time when people saw a solar eclipse.

IMG_TSE06

And as Kala only had his head with no other parts of his body, once he swallowed Surya or Candra the gods would surely be free after passing through Kala’s throat. That moment was the moment when an eclipse was over.

IMG_TSE07

I was in Penyak Beach, Bangka Island, on the morning the eclipse happened. It was one of the best locations to view the eclipse. The weather was good, but thin clouds hung low which made me worry. As the winds blew strong, however, the clouds were dispersed and stay thin, so it was still possible for me to capture the eclipse’s phases. Even with the clouds, the sightings were more spectacular.

IMG_TSE08

The awe-inspiring phenomenon of a total solar eclipse successfully hypnotized thousands of people in Penyak Beach and Terentang Beach in Bangka who had already came to the beach since before the sunrise time, even many of them camped on the beach just to get the best place to view the rare event.

IMG_TSE09

Here I shared some of the pictures I captured there. Please enjoy! 🙂

IMG_TSE10

Keterangan :

Sekali lagi matahari, bulan dan bumi berada pada posisi sejajar, dan kondisi demikian membuat langit di beberapa daerah di Indonesia menjadi gelap. Gelap karena bulan yang memiliki orbit lebih dekat ke bumi seolah-olah menutupi matahari yang garis edarnya cukup jauh dari bumi dan menyisakan bentuk serupa cincin bercahaya yang tampak dengan jelas dari bumi. Ya . . . tanggal 9 Maret 2016 yang baru lalu telah terjadi gerhana matahari total yang dapat disaksikan dari beberapa wilayah yang dilalui jalur gerhana, sementara daerah-daerah lain di luar jalur gerhana hanya menyaksikan gerhana matahari sebagian.

IMG_TSE11

Kalau ngomongin soal gerhana yang merupakan sebuah fenomena alam yang menakjubkan, tentunya tidak bisa dilepaskan dari adanya mitos yang hidup di masyarakat. Hampir di semua tempat di dunia memiliki mitosnya masing-masing, tetapi hampir semuanya bercerita bahwa gerhana disebabkan oleh para dewa atau oleh mahluk-mahluk gaib. Di Indonesia sendiri, mitos terkait gerhana yang paling terkenal adalah yang menyangkut Batara Kala.

IMG_TSE12

Dalam kisah itu dikatakan bahwa ada seorang rakasasa sakti yang bernama Batara Kala, yang sebenarnya adalah putra dari Batara Guru, yang ingin ikut meminum Tirta Amerta. Tirta Amerta adalah air kehidupan yang diperoleh dari sebuah telaga yang berada di khayangan, barang siapa meminum Tirta Amerta, maka dia akan menjadi sakti dan tidak akan pernah mati. Karena itulah semua dewa memperoleh kesempatan meminum Tirta Amerta sehingga mereka bisa selalu membantu Batara Guru menata dunia ini sepanjang masa.

IMG_TSE13

Tidak seperti para dewa, raksasa bukanlah termasuk golongan yang diperbolehkan meminum Tirta Amerta. Tapi karena keinginannya sangat besar, Batara Kala nekat datang ke tepi telaga ketika diadakan acara pembagian Tirta Amerta. Hanya saja, Kala datang dengan menyamar sebagai salah seorang dewa sehingga dia bisa membaur dengan dewa-dewa lainnya. Sayangnya penyamarannya diketahui oleh Batara Surya (dewa matahari) dan Batara Candra (dewa bulan) yang bertugas melakukan pengawasan. Kedua dewa itu kemudian melaporkan temuan mereka kepada Batara Wisnu.

IMG_TSE15

Mengetahui hal itu, Batara Wisnu sangat marah, dan tanpa basa basi langsung melemparkan senjata andalannya yang bernama Cakra langsung ke arah Batara Kala. Kesaktian Cakra memang tidak tertandingi. Kala yang sakti itupun seketika terpenggal kepalanya. Tubuhnya langsung ambruk ke bumi dan mati, sementara kepalanya terlontar dan jatuh masuk ke dalam telaga yang berisikan Tirta Amerta, karena itulah meski telah terpisah dari tubuhnya, kepala Kala tetaplah hidup. Kepala Kala langsung melarikan diri setelah itu.

IMG_TSE16

Dalam pelariannya, kepala Kala yang mengetahui bahwa Batara Surya dan Batara Candra yang menyebabkan kejadian itu, menjadi sangat dendam kepada mereka berdua. Kepala Kala bermaksud membalas dendam kepada keduanya. Karena itulah kepala Batara Kala itu selalu mengejar kedua dewa itu dari waktu ke waktu. Tiap kali salah satu dari kedua dewa itu tertangkap, yang bisa dilakukan oleh kepala Kala itu hanyalah menelannya bulat-bulat. Ketika Batara Candra yang tertangkap dan tertelan, manusia melihatnya sebagai gerhana bulan, sementara kalau yang tertangkap Batara Surya, manusia akan menyaksikan gerhana matahari.

IMG_TSE17

Sayangnya, karena kepala Batara Kala itu tidak lagi memiliki badan, maka tiap kali Batara Surya atau Batara Candra ditelannya, kedua dewa itu akan selalu bisa keluar lagi setelah melewati kerongkongan Batara Kala. Saat itulah manusia melihat kalau gerhana menuju ke tahap selesai.

IMG_TSE18

Pada saat terjadi gerhana matahari total beberapa hari lalu, aku kebetulan berada di Pantai Penyak, Pulau Bangka yang merupakan salah satu spot terbaik untuk menyaksikannya. Pagi itu sebetulnya cuaca sedikit berawan sehingga sempat membuat banyak orang khawatir tidak akan dapat mengamati proses berlangsungnya gerhana dengan leluasa. Untungnya angin yang berhembus cukup kencang membuat lapsan awan tidak selalu menutupi matahari yang tampak kian mengecil dari waktu ke waktu. Proses gerhana tetap dapat teramati dengan baik, bahkan menurut aku, dengan adanya awan yang berarak membuat suasana terasa lebih mistis.

IMG_TSE19

Kejadian alam yang luar biasa ini betul-betul menghipnotis ribuan orang yang berada di Pantai Penyak dan Pantai Terentang sejak subuh hanya untuk menyaksikan peristiwa alam yang langka ini. Aku bahkan mendapati banyak juga yang dengan sengaja mendirikan tenda dan bermalam di pantai sehingga mereka mendapatkan tempat terbaik dan juga tidak sampai melewatkan gerhana matahari total kali ini.

IMG_TSE20

Dalam postingan kali ini aku sertakan beberapa foto yang berhasil aku dapatkan selama berlangsungnya gerhana yang aku ambil dari Pantai Penyak, Bangka Tengah. Please enjoy  🙂

IMG_TSE01

Categories: Event Pictures | Tags: , , , | 36 Comments

Cultural performance on the street

It was a foggy Sunday morning in a corner of Tangerang, one of Jakarta’s satellite cities. The sun seemed quite lazy to show his face. On the contrary, the people in the area seemed energetic. Many had already flooding the street doing simple exercises, some were cycling, and others were jogging or just walking around. At a certain area, the street was closed for cars so people would be safer to have activities on the street.

Among them who did many activities, I saw a group of traditional performers preparing their action in there. Three men, each of them wearing a heavy mask depicting a big tiger with a peacock on its head, were easily seen from a far. From the mask they used, I know that they were a group of Reog dancers. And as I walked closer, I saw other performers in the group, there were three other men wearing masks with faces full of hair, four pretty girls in costume, and a group of traditional musician.

IMG_RPO01

The big heavy masks were called “Singa Barong” or “Dadak Merak”, and became the main character in the show. It was made of woods, bamboo and rattan before covered by peacock’s tail feathers. The masks were so huge, they were more than 2 meters high and also 2 meters wide that made its weight were more than 50 kilograms each. And you know what . . . ? The man who wore the mask would maintain the mask from falling of his head by biting the inner part of the mask while they danced. That was why many said that reog shows always involved magical powers.

IMG_RPO02

Actually reog came from East Java, especially from an area known as Ponorogo, hence the reog more known as Reog Ponorogo. The reog ‘s origin could be traced back to an era as old as the 15th century when an ancient kingdom in Java called Majapahit was close to its end.

Legend says that at that time there was a beautiful princess in a small kingdom called Kediri that located in the eastern part of Java. The princess had special requests to be fulfilled by anyone who wanted to marry her. And as the requests were so difficult, almost all who came to propose her cancelled their intention, except of the king of Bantarangin Kingdom and the king of Lodaya Kingdom.

IMG_RPO07

So what were the princess special requests then?

Well . . . there were three things; the first was that in the marriage procession, the bride and the groom would be escorted by a troop of good-looking soldiers mounted in a row of twin horses; the second was that the princess want to see a new kind of dances which was not existed before accompanied by a band of ‘gamelan’ musician; and the last was there should be a two headed beasts as a gift for the princess.

IMG_RPO06

To make the story short, there broke a fierce battle between the handsome king of Bantarangin called Kelanasewandana who already had a troop of good looking soldiers mounted on a row of twin horses, against the tiger-like-faced king of Lodaya called Singabarong who intended to seize the troops. In the duel, Singabarong with his pet, a peacock that always sit on his shoulder, got magically hit by Kelanasewandana which in turn made the peacock body merged into Singabarong’s body. So now Singabarong became a two headed beasts. Then, Kelanasewandana brought along Singabarong with him in his trip to propose the princess as the dower asked by her.

IMG_RPO08

When the party entered the palace, they were greeted by gamelan sound that played rhythmically by the palace’s musicians. To everybody surprise, Singabarong started to dance along the gamelan music with movements that nobody had seen before. So with that, Kelanasewandana had fulfilled all the princess’ requests and could marry her.

IMG_RPO09IMG_RPO10

In modern Reog performances, aside of Singabarong that had represented by the man wearing the huge mask, there were many other characters appeared in the show, such as the jester which called Bujang Ganong and some girls who brought bamboo horses with them that represented the escort troop on twin horses. But again, the main attraction was still the Singabarongs who show their ability in controlling and lifting the heavy masks while danced along the traditional gamelan music.

Anyway, the short cultural performance on the street could attract many people to gather around them and watch the show on the foggy Sunday morning. Even many followed the group when they went back to their starting point before leaving for their home base.—

IMG_RPO13

Keterangan :

Hari Minggu pagi yang berkabut tidak menghalangi banyak orang untuk berolahraga ringan di sekitar tempat tinggal mereka. Demikian pula di salah satu kompleks perumahan yang terletak di sudut Tangerang. Bahkan di sana pagi itu berlangsung kegiatan Hari Tanpa Kendaraan Bermotor (Car Free Day). Dan seperti selalu terjadi di tempat-tempat dimana diadakan kegiatan serupa, jalanan yang dijadikan ajang diselenggarakannya Car Free Day selalu dipenuhi oleh orang, baik yang berolah raga ringan, bersepeda, berjalan-jalan, ataupun melakukan berbagai kegiatan lain.

Di antara yang melakukan berbagai kegiatan itu, dari kejauhan aku melihat tiga topeng khas yang dipergunakan dalam pertunjukan Reog Ponorogo sedang meliuk-liuk. Segera aku memburu ke tempat itu, dan ternyata benar, sekelompok seniman reog sedang mempertunjukan kebolehan mereka di tengah kerumunan pengunjung Car Free Day.

Topeng khas reog berbentuk kepala harimau dengan ekor merak terkembang yang menjulang tinggi itu dikenal dengan nama Singabarong atau Dadak Merak. Topeng itu terbuat dari campuran kayu, bambu dan juga rotan sebelum akhirnya ditutup dengan mempergunakan kulit harimau dan bulu-bulu ekor merak jantan. Tingginya bisa mencapai lebih dari dua meter, demikian pula lebarnya, sehingga tidaklah mengherankan kalau topeng-topeng seperti itu memiliki bobot rata-rata 50 – 60 kilogram. Dan hebatnya, seniman yang memainkan tokoh Singabarong itu memegang topeng tersebut dengan kekuatan giginya selama melakukan atraksi meliuk-liukan topeng raksasa itu.

IMG_RPO11

Reog yang merupakan kesenian asli Jawa Timur ini bisa dirunut asal muasalnya dari jaman kerajaan Majapahit, tepatnya di masa-masa mendekati keruntuhan kerajaan besar tersebut. Ada banyak versi yang mengisahkan terbentuknya kesenian ini, tapi aku pribadi lebih suka dengan cerita yang mengisahkan mengenai perebutan Dewi Sanggalangit oleh dua orang raja yang sakti mandraguna, yaitu Prabu Kelanasewandana dari Kerajaan Bantarangin dan Prabu Singabarong dari Kerajaan Lodaya.

Dikisahkan bahwa putri Kerajaan Kediri yang bernama Dewi Sanggalangit itu sudah terkenal akan kecantikannya sehingga banyak pemuda yang berdatangan ingin menyuntingnya. Karena bingung menetapkan siapa yang akan dipilihnya untuk menjadi pendamping hidupnya, Dewi Sanggalangit mengajukan tiga syarat yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin meminangnya. Karena syarat yang sangat berat itulah makanya hampir semua pelamar mengundurkan diri, dan yang tertinggal hanyalah Prabu Kelanasewandana yang tampan dan Prabu Singabarong yang mukanya mirip muka harimau.

IMG_RPO12

Pengen tahu apa saja syarat yang diajukan Sang Putri?

Nah . . yang pertama adalah bahwa orang yang layak mendampingi dirinya haruslah mampu menyediakan sepasukan tentara yang menunggang kuda berpasang-pasangan yang akan menjadi pengiring pengantin nantinya. Syarat kedua adalah bahwa orang itu harus mampu mempertunjukan suatu kesenian baru yang belum pernah ada sebelumnya; dan syarat yang ketiga adalah menyediakan sesosok makhluk berkepala dua sebagai mas kawinnya.

IMG_RPO18

Untuk mempersingkat cerita, Prabu Kelanasewandana dengan segera sudah berhasil mengumpulkan pasukan berkuda seperti yang diminta Dewi Sanggalangit dan bermaksud mengantarnya ke Kediri.

Prabu Singabarong yang mengetahui hal tersebut berusaha merebutnya, sehingga di tengah perjalanan pecahlah perang antara tentara Bantarangin melawan pasukan Lodaya. Tidak hanya para prajurit yang terlibat pertarungan, kedua raja itupun ikut berlaga mengadu kesaktian. Meskipun demikian, akhirnya tampak bahwa Prabu Kelanasewandana lebih unggul. Dengan kesaktiannya, Prabu Kelanasewandana memukul Prabu Singabarong yang mengakibatkan terjadinya keanehan, dimana burung merak kesayangan Prabu Singabarong yang selama pertempuran tersebut tetap bertengger di bahunya tiba-tiba tubuhnya menyatu dengan tubuh Prabu Singabarong, sehingga Prabu Singabarong sekarang menjadi makhluk berkepala dua yang terbaring lemas sehingga dengan mudah diringkus dan ditawan oleh Prabu Kelanasewandana serta dibawanya serta ke Kediri.

IMG_RPO14

Sesampainya di tujuan, Raja Kediri menyambut kedatangan Raja Bantarangin tersebut dengan upacara kebesaran, lengkap dengan musik yang dihasilkan melalui seperangkat gamelan yang ditabuh oleh para nayaga terpilih. Saat itulah terjadi keanehan lagi. Prabu Singabarong yang semula terbaring lemas dalam keadaan terikat tiba-tiba bangkit dengan badan segar dan melepaskan ikatan yang melilit tubuhnya dengan mudah, tetapi alih-alih kembali melakukan perlawanan, Prabu Singabarong malah menari dengan lincahnya dan mempertunjukan gerakan-gerakan yang belum pernah dilihat orang sebelumnya.

Tetapi dengan kejadian itu, berarti semua permintaan Dewi Sanggalangit terpenuhi oleh Prabu Kelanasewandana, sehingga Sang Putri tidak ragu lagi menerima pinangan dari Raja Bantarangin yang tampan itu.

Dalam pertunjukan reog modern, sosok Prabu Singabarong diwakili oleh orang yang mengenakan Dadak Merak itu. Dan orang itulah yang menjadi aktor utama dalam pertunjukan, dimana orang tersebut akan mempertontonkan kebolehannya menari sambil mengenakan topeng yang berat itu. Beberapa gerakan sulit dan juga nyaris mustahil kerap dipertontonkannya. Karena itulah banyak yang berpendapat bahwa pertunjukan seni reog selalu melibatkan unsur magis. Mungkin pendapat itu pulalah yang menyebabkan setiap pertunjukkan Reog Ponorogo selalu dipenuhi penonton. Tidak dapat dipungkiri kalau segala seuatu yang berbau magis selalu menarik perhatian banyak orang. Pertunjukan akan semakin dipenuhi penonton jika pemeran Bujang Ganong-nya mempertunjukan juga berbagai gerakan lincah dan lucu sesuai dengan karakternya seperti yang aku sempat tonton di Minggu pagi yang berkabut itu.–

IMG_RPO19

Categories: Event Pictures | Tags: , , , | 31 Comments

Blog at WordPress.com.