Monthly Archives: September 2014

A lake view from above

The lake in the picture below was Danau Maninjau (Maninjau Lake), a lake located in Tanjung Raya Sub-district, Agam Regency, in West Sumatra Province, Indonesia. It was the second largest lake in the province, and became the source of the water of Batang Sri Antokan River that flow to the Indian Ocean.

IMG_MBL01

To see the lake from above, travelers could see that the mountains rim around the lake was similar to that of a crater rim. Yes, Maninjau Lake was a volcanic lake which was formed after a massive eruption of an old volcano called Mt. Sitinjau. It was the caldera of the mountain that became the lake.

IMG_MBL02

I took all the pictures in this post from the highest point on the mountains range surrounding the lake that called Puncak Lawang or Lawang Top. Lately Puncak Lawang became one of the top view point of Danau Maninjau, and for that there was a resort at Puncak Lawang which enabled travelers who want to spend a night or two just for experiencing the tranquil atmosphere there while enjoying the view of Danau Maninjau. Aside of them who spend their night in the resort, there were also many who came to Puncak Lawang just to admire the beauty of God’s creation that laid below them like what I did. Unfortunately, when I was in Puncak Lawang, dark clouds covering the area above so the view to the lake was quite dull  😦

With the height of 1,200 meters above sea level, it was sure that the temperature in Puncak Lawang was quite cool all year long. It was quite windy too at the top. So . . make sure to bring the jacket along with you when visiting Puncak Lawang.

To reach Puncak Lawang from the province’s capital city, Padang, travellers had two alternative routes. The first route was from Padang through Pariaman to the lake shore, and then drove upward to Puncak Lawang; and it took about 3.5 hours drive. The other route was from Padang through Bukittinggi then went directly to Puncak Lawang; it took longer if travellers chose the second route as it need more or less 4 hours drive through a scenic road. Unfortunately, there were no public transports to reach the place, so travellers could either use a taxi or a rented car.—

IMG_MBL10

 

Keterangan :

Pemandangan danau yang aku sajikan kali ini adalah pemandangan Danau Maninjau yang merupakan Danau terluas kedua di Propinsi Sumatera Barat. Danau yang terletak di Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, ini juga merupakan hulu dari Sungai Batang Sri Antokan yang mengalirkan air danau ini dengan deras, sehingga Pemerintah membangun sebuah PLTA di sungai tersebut.

IMG_MBL06

Kalau kita lihat dari ketinggian, akan tampak bahwa deretan pegunungnan yang mengelilingi Danau Maninjau menyerupai dinding kawah sebuah gunung berapi. Hal ini tidaklah mengherankan karena Danau Maninjau merupakan sebuah danau vulkanik yang terbentuk akibat meletusnya gunung api purba yang bernama Gunung Sitinjau. Kisah meletusnya gunung ini menjadi legenda yang dipercaya masyarakat setempat sebagai asal mula terbentuknya danau yang indah ini dan juga asal mula nama-nama nagari yang ada di sekitar danau tersebut. Bagi rekan-rekan yang ingin mengetahui kisah legenda tersebut secara lengkap, bisa membacanya di sini.

IMG_MBL08

Foto-foto yang aku sajikan di sini aku ambil dari salah satu titik tertinggi yang ada di deretan pegunungan yang mengelilingi Danau Maninjau tersebut. Titik tertinggi tersebut sekarang sudah semakin dikenal sebagai salah satu titik terbaik untuk menikmati keindahan Danau Maninjau dari ketinggian. Orang menyebut tempat tersebut dengan nama Puncak Lawang. Di Puncak Lawang sekarang sudah terdapat sebuah resort yang memungkinkan para pelancong yang ingin menghabiskan waktu untuk merasakan ketenangan sambil mengagumi keindahan ciptaanNya tinggal barang semalam atau dua malam. Meskipun demikian, selain mereka yang menginap, Puncak Lawang juga tidak pernah sepi dari pengunjung yang hanya sekedar ingin lepas dari kejenuhan maupun mereka yang ingin menghabiskan waktu dengan orang-orang yang dikasihinya sambil memandang keindahan yang terhampar di bawahnya.

IMG_MBL07

Sayangnya ketika aku berkunjung ke sana, awan hitam bergayut sepanjang waktu sehingga pemandangan yang seharusnya indah terkesan agak suram. Itupun tidak mengurangi minat banyak pengunjung lain yang datang untuk menikmati semilir angin dan udara yang cukup sejuk di Puncak Lawang itu. Maklumlah, dengan ketinggian kurang lebih 1.200 meter di atas permukaan laut, bisa dipastikan bahwa hawa di tempat itu akan selalu sejuk sepanjang tahun. Karena itu, bagi mereka yang tidak tahan dengan udara dingin, ada baiknya tidak lupa membawa jaket jika ingin berkunjung ke tempat ini.

IMG_MBL11

Untuk mencapai Puncak Lawang, para pelancong yang mengambil Padang sebagai titik awal perjalanan mereka bisa memilih salah satu dari dua rute yang bisa ditempuh. Yang pertama dari Padang pelancong bisa berkendara menuju Lubuk Basung melalui Pariaman, dan setelah mencapai tepian Danau Maninjau bisa mengambil jalur naik menuju Bukittinggi melalui Kelok Ampek Puluah Ampek yang terkenal itu. Tidak jauh dari kelokan yang terakhir akan ada petunjuk arah berbelok ke kiri, naik menuju ke Puncak Lawang. Jalur ini bisa ditempuh dalam waktu kurang lebih 3,5 jam. Jalur lain yang juga bisa diambil jika tidak mau lewat Pariaman adalah dengan melalui jalur Padang – Bukittinggi kemudian di teruskan ke arah Danau Maninjau. Jalur ini merupakan kebalikan dari jalur yang pertama, oleh karenanya jalan masuk menuju ke Puncak Lawang terdapat sebelum kelokan pertama dari Kelok Ampek Puluah Ampek itu. Tepatnya di Kecamatan Matur. Dengan mengambil jalur ini, Puncak Lawang bisa dicapai dalam waktu kurang lebih 4 jam berkendara. Hanya saja perlu diingat, bahwa belum ada kendaraan umum yang melayani penumpang langsung ke Puncak Lawang ini, sehingga pelancong yang ingin berkunjung ke Puncak Lawang disarankan untuk mempergunakan taksi ataupun mobil sewaan.–

IMG_MBL09

Categories: Travel Pictures | Tags: , , , , | 44 Comments

The plates were not used only in the dining room

West Sumatra, Indonesia, a province which is known of its beautiful scenery and its delicious culinary. It is also known for its traditional dances, for the province has so many, such as Tari Indang (Indang Dance), Tari Pasambahan (Offering Dance), and Tari Payuang (Umbrella Dance). The most known, however, was Tari Piriang (Plate Dance).

IMG_PIR05

The dance was originated from a town called Solok. It was called Tari Piriang or Plate Dance because the performers used plates in their dance. They held plates, one in each hand, which then the plates would be swung fast and rhythmically without the dancers lost their grips at the plates while clicking their ringed middle finger at the plates they hold, while a traditional music played with gandang (big drum), talempong (traditional gamelan percussion) and saluang (traditional flute) accompanied the dance.

playing the saluang  (meniup saluang)

playing the saluang  (meniup saluang)

Once, I got an opportunity to attend a traditional dance performance which one of the dances they performed that night was Tari Piriang. At that time, the performers were two boys and four girls which wore modernized traditional bright attires. They dance for about 10 minutes, and when it reached the climax, all dancers smashed the plates they held to the ground and then they continued their dance on top of the shattered plates.

Wow . . . weren’t they hurt because they stepped on the broken plates? 😯

Amazingly they were not hurt even-though they danced and even jumped on the sharp broken plates 😐

Tari Piriang was once used to be performed by young boys and girls to show their gratitude to their gods for the good harvest. The performers would dance energetically by holding plates in their hands. The movements were a combination of moves which they called tupai bagaluik (fighting squirrels), bagalombang (a surge of waves) and aka malilik (twisted roots) which were based on their traditionally martial arts called silek. It was said that originally when the dance was meant to appease the gods, the plates were full of dishes, but now only empty plates which were used in the dance.

Anyway, for you who want to see the full Plate Dance performance, at the end of the post I embed a simple video made by my youngest daughter. Sorry for the poor quality since she made it with her simple pocket camera 😛

IMG_PIR06

 

Keterangan :

Sumatra Barat, merupakan salah satu propinsi di negara kita yang sudah terkenal akan keelokan alamnya dan juga akan berbagai jenis makanannya yang lezat. Selain itu, propinsi ini juga terkenal memiliki berbagai jenis tari tradisional, misal saja Tari Indang yang menggambarkan kehidupan nelayan di derah Pariaman, Tari Pasambahan yang sering dipergunakan sebagai tarian untuk menyambut tamu kehormatan, dan Tari Payuang yang menggambarkan sepasang remaja yang saling jatuh cinta. Meskipun demikian, rasanya yang paling terkenal adalah Tari Piring atau jika mengikuti dialek lokal disebut dengan nama Tari Piriang.

IMG_PIR03

Tari Piriang berasal dari sebuah kota yang bernama Solok. Disebut Tari Piriang karena dalam tarian tersebut, para penarinya memegang masing-masing sebuah piring di masing-masing tangannya. Piring-piring di kedua tangan para penari itu akan diayunkan ke kiri kanan depan belakang secara cepat dan berirama tanpa jatuh dengan ditingkah bunyi berdetik yang dihasilkan dari beradunya cincin di jari para penari dengan piring-piring yang mereka pegang tersebut. Biasanya tari piring diiringi dengan irama yang rancak dari peralatan musik tradisional seperti gandang, talempong dan saluang.

memainkan talempong  (playing the talempong percussion)

memainkan talempong (playing the talempong percussion)

Sekali waktu kebetulan aku berkesempatan menyaksikan pertunjukan berbagai jenis tari tradisional Minangkabau yang salah satunya adalah Tari Piriang ini. Waktu itu tarian ini dibawakan oleh dua orang pemuda dan empat orang gadis. Mereka mengenakan pakaian tradisional Minang yang sudah dimodernisasi, mungkin karena mereka menari dalam suatu pertunjukan. Tarian yang aku saksikan itu berdurasi kurang lebih selama 10 menit. Mula-mula mereka menari dengan gerakan cepat meskipun tetap indah dipandang. Panggung seolah-oleh mereka kuasai karena mereka menari dengan gerakan maju mundur dan juga kekiri dan kanan seluas panggung. Ketika menginjak puncak tarian, tiba-tiba semua penari tersebut berdiri berkeliling dan membanting piring-piring yang mereka pegang tersebut ke lantai panggung sehingga pecah berkeping-keping. Setelah itu, para penari segera melanjutkan lagi tariannya dengan menginjak pecahan-pecahan piring tersebut.

IMG_PIR09

Wah . . memangnya kaki mereka gak luka dan berdarah tuh 😯

Nah itu dia hebatnya, ternyata mereka tidak terluka meskipun mereka menari dan bahkan melompat-lompat di atas pecahan piring tersebut. Bahkan pada akhir pertunjukkan, tiba-tiba lampu ruangan dipadamkan dan seorang penari pria dengan bertelanjang dada membawa obor masuk mempertunjukkan betapa tubuhnya kebal meskipun obor yang menyala-nyala di sundutkan ke beberapa bagian tubuhnya. Bahkan tubuhnya juga tetap tidak terluka ketika penari tersebut berbaring di atas pecahan piring dengan diinjak oleh salah seorang kawannya sambil memainkan gandang  😐

IMG_PIR10

Kalau dilihat dari asal mula timbulnya tari ini, dikatakan bahwa Tari Piriang semula dimaksudkan sebagai tari untuk mengucap syukur kepada para dewata atas panenan yang melimpah. Pada masa itu, piring-piring tersebut berisi aneka hidangan untuk sesembahan. Tetapi dengan berlalunya waktu, Tari Piriang mengalami pergeseran menjadi tari untuk menghormati raja bahkan kemudian bergeser lebih jauh menjadi tari yang kerap dipertunjukkan dalam acara-acara yang dihelat oleh masyarakat Minang. Dan karena tidak lagi dipergunakan untuk mengantar sesembahan kepada para dewa, piring-piring yang dipergunakan dalam Tari Piriang adalah piring-piring kosong. Gerakan dalam tari ini merupakan kombinasi dari berbagai gerakan dasar seperti tupai bagaluik (tupai berkelahi), bagalombang (bergelombang) dan aka malilik (akar melilit) yang sebetulnya merupakan gerakan-gerakan ilmu bela diri tradisional Minang yang dikenal dengan nama Silek.

IMG_PIR12

Mudah-mudahan saja tarian yang indah dan unik ini tetap lestari sehingga anak cucu kita masih bisa menyaksikannya secara langsung.

O ya buat yang kebetulan ada waktu dan ingin menyaksikan tariannya secara lengkap, di bawah ini aku sertakan juga sebuah rekaman video yang dibuat oleh putri bungsuku ketika menonton pertunjukkan tersebut. Sorry kualitas rekamannya gak bagus karena dia merekamnya dengan kamera saku. Tapi gerakan-gerakan tariannya masih kelihatan koq  :P.–

Categories: Event Pictures | Tags: , , , | 48 Comments

Corner of Bukittinggi : A building at the top of a hill

Bukittinggi, which known as the second largest city in West Sumatra Province, Indonesia, also known as one of the province’s tourist destinations. The city lies on a range of mountains that stretch along Sumatra Island and known as Bukit Barisan. The location, which was more that 900 meters above sea level, made the city has cool climate along the year.

The name Bukittinggi consists of two words in Bahasa Indonesia; ‘bukit’ and ‘tinggi’. ‘Bukit’ means hill and ‘tinggi’ means high, so . . together, the two words means a high hill, which describe precisely about the city hilly topography. There are hills within the city area such as Ambacang Hill, Tambun Tulang Hill, Campago Hill, Mandiangin hill, and many others.

And since all the hills had beautiful scenery, people built hotels, resorts and also offices on top of some of the hills. As an example, the hotel I used when I visited the city, was located on top of a hill called Campago Hill.

IMG_KWB01

At that late afternoon, when I just walked toward my room, I passed an open window which faced to the adjacent hill. There, I saw a big building with its typical Minangese roof on top of it while the reddish sky became its background. For an instant I just stopped to admire the scenery, and then I remember that I had to snap one or two pictures to share with you :). Later I learn that the building was the new Lord Major of Bukittinggi’s Office which was located on the top of Gulai Bancah Hill. Unfortunately my limited time in Bukittinggi prevented me to admire the pretty building from a closer distance at that time 😦

Keterangan :

Bukittinggi adalah kota terbesar kedua di Propinsi Sumatera Barat, selain dikenal juga sebagai kota yang bersejarah dan juga kota tujuan Wisata. Kota Bukttinggi memiliki ketinggian lebih dari 900 meter di atas permukaan laut, sehingga udara di sana bisa dikatakan sejuk sepanjang tahun. Maklum sajalah, karena kota ini terletak di atas rangkaian pegunungan Bukit Barisan yang membujur di sepanjang Pulau Sumatera.

Kalau di telaah, nama Bukittinggi sebetulnya merupakan gabungan dari kata-kata ‘bukit’ dan ‘tinggi’, yang ternyata sangat cocok untuk menggambarkan lokasi kota tersebut yang berada di ketinggian disamping juga kontur tanah dalam wilayah kota itu yang berbukit-bukit dan juga berlembah. Di dalam wilayah kota sendiri terdapat beberapa bukit yang tidak terlalu tinggi, misal saja Bukit Ambacang, Bukit Tambun Tulang, Bukit Campago, Bukit Mandiangin, dan masih ada banyak lagi.

Pada gilirannya, kondisi alam yang berbukit dan berlembah itu menyebabkan daerah tersebut memiliki pemandangan yang indah. Karena itulah tidak heran kalau di beberapa puncak bukit itu kini dibangun hotel-hotel dan juga resort untuk menampung pelancong yang ingin berlibur di Bukittinggi. Selain hotel dan resort, di puncak beberapa bukit dibangun juga kantor, utamanya kantor pemerintah.

IMG_KWB07

Pada kunjunganku baru-baru ini ke kota yang berhawa sejuk itu, kebetulan aku menginap di salah satu hotel yang terletak di atas Bukit Campago. Sore itu, ketika aku baru saja membereskan segala urusan check-in dan sedang berjalan santai menuju ke kamarku, kebetulan aku melewati sebuah jendela yang terbuka. Ketika pandanganku ku arahkan ke luar jendela, sejenak aku terpana mendapati pemandangan yang sangat cantik dimana di puncak bukit yang tampak dari Bukit Campago itu berdiri sebuah bangunan dengan atap khas bangunan tradisional Minang dilatar belakangi langit kemerahan karena sinar surya yang mulai terbenam dibiaskan oleh awan mendung. Untung aku segera tersadar dari bengongku, dan bergegas mengambil beberapa foto sehingga bisa aku bagikan di sini :). Belakangan baru aku tahu kalau bangunan tersebut ternyata adalah Kantor Walikota Bukittinggi yang baru. Sayangnya aku tidak berkesempatan berkunjung dan mengagumi keindahannya dari jarak dekat karena waktu yang tidak memungkinkan 😦

IMG_KWB08

Categories: Travel Pictures | Tags: , , , , | 67 Comments

Blog at WordPress.com.