Monthly Archives: July 2014

An old mosque that became a city landmark

The Great Mosque of Sumenep, Madura was also called Masjid Jami’ Sumenep. It was an old mosque which was built in 1779 and considered as one of the 10 oldest mosques which had Indonesian specific architecture styles. The mosque was built by Panembahan Natakusuma who had also known as Panembahan Somala, Sumenep’s ruler in 1762 – 1811, after he had done building Sumenep’s royal palace. It was said that he built the mosque to replace the old one which was built by Radhin Tumenggung Anggadipa, the ruler of Sumenep in 1626 – 1644, that had already insufficient to accommodate Sumenep’s people at that time who came to the mosque to pray.

The mosque had been built for 8 years as it was inaugurated in 1787 by Panembahan Somala. It took so long because it had to use the sacred and finest materials known at that time. Panembahan Somala appointed Lauw Pia Ngo, the Chinese architect who built the royal palace, to build the mosque. So no wonder if the mosque structures looked similar to the palace’s structures.

the main gate of the mosque  (tampak luar gerbang utama masjid)

the main gate of the mosque (tampak luar gerbang utama masjid)

The structure of the main gate of Masjid Jami’ Sumenep symbolized many things. For example, there were two open holes at the top part of the gate that symbolized human eyes. There were also a room on the top of the gate with two open doors at each sides which symbolized the human ears. The room itself was functioned to store the the original big drum.

In the main building, there were 9 big doors to enter the praying hall. It also had 10 windows along the wall which made the temperature in the hall quite cool compared to to the outside of the mosque. There were 13 big pillars inside the praying hall which supported the high wooden ceiling. There were also some old style hanging lamps and hanging fans attached to the wooden ceiling. Outside, there was an additional praying hall in the form of an open room which had 20 pillars that supported a concrete ceiling.

the pulpit area  (mimbar dalam ruangan utama masjid)

the pulpit area (mimbar dalam ruangan utama masjid)

The pulpit, which was the main part of the praying hall, was brightly colored and decorated with Chinese style ornaments. All in all, the mosque was really great and still in a good condition. It also still been used as the place for worship up till know. With its function and its beauty as well as its historical aspects, no wonder if the mosque attracted many visitors, either to pray or just to admire it.–

 

Keterangan :

Masjid Agung Sumenep yang terletak di salah satu sisi alun-alun kota, dikenal juga sebagai Masjid Jami’ Sumenep. Masjid yang mulai dibangun pada tahun 1779 ini termasuk salah satu dari 10 masjid tertua di Indonesia yang memiliki arsitektur khas Indonesia. Adalah Panembahan Natakusuma yang dikenal juga sebagai Panembahan Somala, yang memerintah Sumenep pada tahun 1762 – 1811 yang membangun masjid ini setelah menyelesaikan pembangunan keraton yang terletak di sebelah timur masjid. Menurut pitutur orang-orang tua, Panembahan Somala memerintahkan pembangunan masjid ini untuk menggantikan masjid lama yang dibangun oleh Radhin Tumenggung Anggadipa, penguasa Sumenep pada tahun 1626 – 1644. Posisi masjid lama waktu itu ada di sebelah belakang keraton yang baru dibangun dan kondisinya juga sudah tidak memadai lagi untuk menampung umat Islam di Sumenep yang ingin beribadah di masjid itu karena umat Islam di Sumenep jumlahnya semakin bertambah. 

pak husein - takmir masjid jami' sumenep  (the manager of the mosque)

pak husein – takmir masjid jami’ sumenep (the manager of the mosque)

Masjid Jami’ Sumenep dibangun selama 8 tahun, dan selesai pada tahun 1787 yang ditandai dengan diwakafkannya bangunan masjid tersebut oleh Panembahan Somala seperti yang ditulis oleh Tompo Karso Keraton dalam sebuah prasasti yang berbunyi: “Yang membangun Masjid adalah Pangeran Natakusuma di Negara Sumenep, dan Masjid ini selesai di Bulan Ramadhan Tahun Zi dan dijadikan wakaf pada jalan Allah (sabilillah) di dalam memulai pekerjaan kebajikan untuk shalat yang bertujuan taat kepada Allah. Ini tahun tarikhnya waktu selesainya Masjid tahun seribu dua ratus enam Hijriyah Nabi SAW” (isinya dikutip dari catatan Sejarah Singkat Masjid Jamik Sumenep yang diperoleh dari Takmir Masjid Jami’ Sumenep).

Pembangunan masjid membutuhkan waktu yang cukup lama karena dalam membangun sebuah bangunan yang nantinya akan dipergunakan sebagai tempat yang akan disucikan, haruslah dipergunakan bahan-bahan yang terbaik yang bisa diperoleh pada masa itu. Konon untuk merekatkan bata yang dipergunakan dalam pembangunan masjid ini mempergunakan air nira yang dicampurkan dengan tanah yang suci. Arsitek yang ditugaskan untuk merancang dan kemudian membangun masjid ini adalah Lauw Pia Ngo yang sebelumnya sudah berhasil merancang dan membangun Keraton Sumenep. Karena itu, tidaklah mengherankan kalau bentuk gapura masjid memiliki banyak kemiripan dengan bentuk gapura Keraton Sumenep.

gapura masjid dilihat dari alun-alun kota  (the facade of the main gate)

gapura masjid dilihat dari alun-alun kota (the facade of the main gate)

Soal gapura masjid itu sendiri, ada beberapa simbol yang sengaja dibuat dan ditempatkan pada struktur gapura yang di bagian tertingginya terdapat sebuah ruangan temnpat menyimpan bedug yang berasal dari masa pertama kali dibangunnya masjid ini. Ruangan tempat menyimpan bedug itu memiliki dua buah pintu terbuka di sebelah kiri dan kanannya yang melambangkan telinga manusia yang harus terbuka untuk mendengarkan azan dan lantunan ayat-ayat suci. Di sebelah depannya, mengarah ke alun-alun, tampak adanya dua buah lubang berbentuk bundar yang melambangkan mata manusia yang sedang melihat. Di atas kedua lubang itu terdapat ornamen seperti jendela berbentuk segi lima memanjang ke atas yang mengapit ornamen berbentuk pintu besar. Ornamen berbentuk jendela itu melambangkan umat yang sedang duduk rapi menghadap ke arah kiblat; sedangkan ornamen berbentuk pintu melambangkan bahwa jika memasuki masjid untuk melaksanakan shalat hendaknya memakai tata krama, jangan sampai memisahkan dua orang yang sedang duduk bersama, pun imam ketika melangkah menuju mimbar hendaknya jangan sampai melangkahi leher seseorang.

deretan jendela di dalam ruang utama masjid  (row of windows in the praying hall)

deretan jendela di dalam ruang utama masjid (row of windows in the praying hall)

Di dalam halaman masjid yang cukup luas, terdapat beberapa bangunan selain bangunan utama masjid. Pada bangunan utama masjid terdapat 9 buah pintu besar yang akan membawa pengunjung ke ruang sembahyang utama. Di ruang tersebut terdapat juga 10 jendela besar yang membuat sirkulasi udara cukup bebas sehingga udara dalam masjid terasa cukup sejuk, apalagi langit-langit masjid yang terbuat dari kayu-kayu utuh itu juga cukup tinggi. Langit-langit yang dihiasi dengan beberapa lampu gantung antik itu ditopang dengan 13 buah pilar bulat yang melambangkan jumlah Rukun Shalat. Dibagian depannya terdapat mimbar dan mihrab yang dihiasi dengan ornamen-ornamen bergaya Negeri Tirai Bambu dengan warna warni yang cukup mencolok, dan sebagiannya dilapisi juga dengan keramik berwarna kebiruan yang menambah keindahannya.

Di bagian luar ruangan utama ini sudah dibangun ruangan tambahan untuk menampung umat yang bersembahyang jika ruangan utama tidak mencukupi. Ruangan tambahan tersebut langit-langitnya juga disangga dengan pilar-pilar bulat; semuanya ada 20 pilar bulat di sana.

teras masjid yang jadi ruangan sembahyang tambahan (addititonal praying hall)

teras masjid yang jadi ruangan sembahyang tambahan (addititonal praying hall)

Secara keseluruhan, bangunan masjid dan gapuranya cukup mengundang decak kagum. Kagum akan keindahannya dan juga kekuatannya yang terbukti sudah berhasil mengarungi masa lebih dari dua abad dengan kondisi yang masih cukup baik dan terpelihara. Tidak heran kalau Masjid Jami’ Sumenep ini menjadi tujuan banyak orang, baik yang berasal dari Pulau Madura sendiri maupun yang berasal dari jauh; baik yang datang untuk menunaikan shalat di sana, maupun yang hanya sekedar berkunjung.

bagian samping kiri masjid (the outer left side of the praying hall)

bagian samping kiri masjid (the outer left side of the praying hall)

O ya, karena postingan ini juga dibuat bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri 1435 H, maka bersama ini perkenankanlah aku untuk mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri kepada sahabat, rekan, maupun siapa saja yang berkesempatan membaca blog ini yang merayakannya. Mohon kiranya dimaafkan jika dalam postingan-postingan yang lalu maupun pada saat menjawab komentar ada hal-hal yang tidak berkenan  🙂

Categories: Travel Pictures | Tags: , , , , | 42 Comments

A row of boats waiting on a beach

On my journey along the Madura coastal road, I came to a small village called Badur. It was located about 30 kilometers from Sumenep to the north. The road to the place was not too good, and there was only a few sign that could guide travellers to the place. So for travelers who were not familiar with the area, they had to ask for the right way to the place to villagers they met on the trip there. So with such a condition, what was made me interested in the village? Well to be honest, I was just passed by the village when I heard that there was a relatively pristine beach in the village called Badur Beach.

After some time and also some stops just to ask for the right direction, I came to the beach to find a relatively clean and quiet beach. There was nobody to be seen in the beach, just a row of traditional fishermen’s boat tied on the shore waiting to be used by their owners at a perfect time. It was a sandy beach with a row of beach oak (casuarina equisetifolia) on the eastern side and some big corrals formation on the other side of the beach.

IMG_BDR01IMG_BDR02

To reach the village and also the beach, travelers could not count on public transports since there was no public transports went directly to the area. So travelers had to provide their own transports to visit the place. And once reached the place, travelers also had to park their vehicles by the road, because to reach the beach travelers should walk on a paving track through the villagers’ field. But don’t worry; it was only a short stroll 😀 . There was also no one sold refreshments nor local snacks at the beach, so be sure to bring your own refreshments and snacks if you planned to spend a time on the beach.

IMG_BDR06

Unfortunately, at that time, I did not have a chance to explore the western side of the beach because dark clouds formed suddenly, and a light shower prevented me to go to the other side of the beach. Well, perhaps I have to plan another trip to Badur Beach 😛

Keterangan :

Dalam perjalananku menyusuri jalan-jalan sepanjang pantai Pulau Madura, aku sampai di sebuah desa bernama Desa Badur yang masih termasuk dalam Kecamatan Batu Putih, Kabupaten Sumenep. Posisinya kira-kira 30 kilometer di sebelah utara Kota Sumenep, tepatnya di antara Pantai Slopeng dan Pantai Lombang yang sudah cukup dikenal sebagai tempat wisata. Jalanan ke sana tidak bisa dibilang bagus, bahkan di beberapa tempat mobil harus berjalan berbelok-belok meskipun sebetulnya jalanan cukup lurus 😦 . Hal tersebut dilakukan untuk menghindari lubang-lubang yang cukup besar dan dalam sepanjang ruas jalan itu. Kebayang kalau sedang hujan dan lubang-lubang itu tertutup air. Pasti cukup berbahaya kalau sampai ada kendaraan yang terperosok ke dalamnya. Selain kondisi jalan yang tidak baik, petunjuk jalan menuju ke lokasi juga bisa di bilang minim, sehingga bagi mereka yang belum mengenal daerah itu, harus sering-sering bertanya kalau tidak mau nyasar. Lah kalau kondisinye begitu, ngapain juga ke sana. Ya kan? 🙄 Nah jangan salah sobat, Desa Badur memiliki pantai yang relative masih alami dan juga sepi karena masih belum banyak orang yang tahu, namanya Pantai Badur.

IMG_BDR03

Waktu itu, ketika aku sampai di pantai, aku menemukan pantai yang betul-betul sepi. Wah jadi ngerasa berada di pantai pribadi jadinya 😛 . Gak ada orang lain di sana, yang terlihat hanyalah deretan perahu nelayan yang terikat di pantai menunggu untuk dipergunakan oleh para pemiliknya mencari ikan pada waktu yang tepat. Pasir lembut yang putih kecoklatan membentang cukup luas. Pantainya cukup landai dengan ombak yang tidak terlalu besar sehingga rasanya cukup aman kalau ingin bermain air di pantai itu. Kondisi pantai yang bersih juga membuat betah siapapun yang berkunjung ke Pantai Badur ini. Deretan cemara udang yang ada di sepanjang pantai, selain menambah keindahan pemandangan juga membuat Pantai Badur tidak terlalu panas. Di bagian barat pantai terdapat gugusan karang yang seolah-olah menjadi pembatas daerah pantai itu.

IMG_BDR05

Sayangnya untuk menuju ke Desa Badur, pelancong harus membawa kendaraan sendiri karena tidak ada angkutan umum yang melalui daerah itu. Kemudian, karena Pantai Badur ini masih belum dikembangkan sebagai daerah tujuan wisata, sarana yang ada di sekitar tempat itupun masih bisa dibilang cukup minim. Untuk parkir misalnya, pengunjung yang membawa mobil harus memarkirkan kendaraannya di tepi jalan, atau di halaman rumah warga. Untuk menuju ke pantainya, dari tepi jalan utama, pelancong akan harus berjalan kaki melalui jalan setapak selebar kurang lebih 1 meter menembus kebun milik warga. O ya, di sana juga gak ada warung-warung yang menjual minuman ataupun penganan lho ya. Jadi kalau mau kesana, jangan lupa bawa bekal sendiri  :).

IMG_BDR04

Aku sendiri sangat menikmati suasana Pantai Badur yang bersih dan sepi itu. Sayangnya cuaca yang cerah pagi itu tiba-tiba berubah menjadi muram. Awan hitam dengan cepat berarak menutupi sinar matahari dan tidak lama kemudian gerimis tipis mulai turun sehingga aku harus segera mengakhiri kunjunganku ke Pantai Badur tanpa memperoleh kesempatan untuk menjelajah sampai ke sisi barat dimana terdapat gugusan karang di pantainya. Mudah-mudahan saja lain waktu aku berkesempatan berkunjung lagi ke sana, dan ketika kesempatan itu datang, aku juga berharap supaya kondisi pantai masih tetap bersih dan alamiah seperti waktu itu.

Categories: Travel Pictures | Tags: , , , , | 31 Comments

Where was the sun hiding?

As I wandering around Sumenep in Madura Island, I noticed that it was almost sunset time, so I decided to go to the nearest beach to Sumenep to capture the sunset moments there. My friend, who accompanied me in my trip to Madura, suggested to go to Kalianget, an old wharf who used to be the main port for transporting salts from Madura to many destinations as Madura was known to be the biggest salts manufacturers in the colonial era.

IMG_KAL01

According to historical records, Kalianget was built to be the center of the country’s salt producing facilities by the Dutch colonial government in the late 17th century. And as in the 1899 the colonial government built a modern salt factory in there in order to maintain its strong economic position in salt industry and trade, Kalianget was developing into a more modern city. It has many facilities to support the salt industry such as housings for the employees, good electricity facility, leisure centers as well as city parks, transportation, and even two wharves, one in the north and the other in the south.

Nowadays, Kalianget was fading away; renowned buildings in the past were only abandoned old buildings waiting to become just ruins. Such modern facilities which were owned by the city were nowhere to be seen anymore. As for the ports, the north one was publicly used by the locals who wanted to go to the surrounding islands, while the south port was really looked neglected.

Anyway, back to my intention to capture nice sunset moments, I went directly to the north port of Kalianget since it was the main port which was still actively used, and at that time I did not know that Kalianget had two ports. After exploring for some time there, I found that it was impossible to get a perfect sunset from the north port, because the sun would be blocked by a narrow cape as it set. Fortunately, I got information about the south port from one of the locals I met there. Hurriedly I left the north port to look for the south port. Unfortunately, however, as I came at the south port, dark clouds started to formed and blocked the sun. Did not want to leave the place empty handed, I still tried to shoot some frames, and the results were as follows :  🙂

IMG_KAL02

IMG_KAL06

 

Keterangan :

Suatu ketika, sewaktu aku sedang berkeliling Sumenep, tiba-tiba aku tersadar bahwa senja sudah menjelang. Langit di ufuk barat yang kelihatan cerah setelah seharian tertutup mendung yang sesekali menurunkan hujan, menyebabkan aku tergoda untuk menyaksikan keindahan matahari terbenam di pantai. Saat aku sedang menimbang-nimbang pantai mana sebaiknya yang harus aku tuju sore itu, temanku, yang menyertaiku dalam perjalanan ke Madura ini menyarankan untuk pergi ke Kalianget. Setahu aku Kalianget pernah terkenal sebagai salah satu penghasil garam terbesar di Madura, bahkan di negeri ini.

Rupanya ingatanku tidak salah, karena berdasarkan catatan sejarah, Kalianget sengaja dibangun sebagai pusat penghasil garam pada akhir abad ke 17 oleh Pemerintah Hindia Belanda. Bahkan ketika di tahun 1899 Pemerintah Hindia Belanda membangun sebuah pabrik garam briket yang modern di sana untuk menunjang kekuatannya dalam monopoli perdagangan garam, Kalianget dikembangkan menjadi sebuah kota yang lumayan modern dengan segala macam fasilitas penunjangnya, seperti perumahan bagi karyawan yang bekerja di perusahaan garam tersebut. Jaringan listrik dan transportasinya juga tertata rapi. Sarana hiburan seperti bioskop, gedung pertunjukan dan taman-taman kota dibangun juga di Kalianget. Bahkan untuk memperlancar pengiriman garam ke pelbagai penjuru, dibangunah dua dermaga di Kalianget, satu di sebelah utara dan lainnya ada di sebelah selatan.

Sayangnya, kini aura Kalianget sudah memudar. Gedung-gedung yang dulu megah, kini tinggal berupa gedung-gedung tua tidak terawat yang seolah hanya tinggal menunggu runtuh. Berbagai fasilitas yang bisa terbilang modern pada jamannya, kini bisa dikata tidak nampak lagi bekasnya. Pelabuhannyapun tampak tidak terawat meskipun yang disebelah utara masih aktif dipergunakan oleh masyarakat yang ingin menyeberang ke pulau-pulau kecil di sekitar Kalianget dengan mempergunakan kapal ferry maupun kapal-kapal kecil milik penduduk.

Nah . . . balik ke rencanaku untuk menikmati saat-saat tenggelamnya sang mentari, tempat pertama yang aku kunjungi begitu sampai di Kalianget, adalah pelabuhan yang di sebelah utara. Bukan apa-apa, selain memang karena pelabuhan yang di sebelah utara yang masih aktif, saat itu aku juga belum tahu kalau Kalianget memiliki dua buah pelabuhan. Aku baru mengetahui adanya pelabuhan yang di sebelah selatan ketika seorang pemancing menyarankan aku ke pelabuhan selatan kalau mau menikmati matahari tenggelam karena dari pelabuhan utara, pemandangannya akan terhalang sebuah tanjung. Mendengar informasi itu, aku segera beranjak untuk pindah ke pelabuhan yang di sebelah selatan itu. Sayangnya ketika aku sampai di pelabuhan selatan dan memperoleh posisi yang nyaman bersama banyak penduduk setempat yang juga ingin menikmati saat-saat tenggelamnya matahari, awan hitam mulai kembali terbentuk, dan tidak lama kemudian sudah betul-betul menjadi tempat bersembunyi yang sempurna bagi sang matahari. Melihat itu, aku hanya bisa nyengir sambil garuk-garuk kepala yang tidak gatal. Meskipun demikian, iseng-iseng aku tetap menjepretkan kameraku, dan hasilnya sekarang aku sertakan di sini. Yah lumayanlah daripada sudah jauh-jauh kesana dan pulang tanpa hasil 😛

IMG_KAL07

IMG_KAL11IMG_KAL14

Categories: Travel Pictures | Tags: , , , | 66 Comments

Blog at WordPress.com.