The Great Mosque of Sumenep, Madura was also called Masjid Jami’ Sumenep. It was an old mosque which was built in 1779 and considered as one of the 10 oldest mosques which had Indonesian specific architecture styles. The mosque was built by Panembahan Natakusuma who had also known as Panembahan Somala, Sumenep’s ruler in 1762 – 1811, after he had done building Sumenep’s royal palace. It was said that he built the mosque to replace the old one which was built by Radhin Tumenggung Anggadipa, the ruler of Sumenep in 1626 – 1644, that had already insufficient to accommodate Sumenep’s people at that time who came to the mosque to pray.
The mosque had been built for 8 years as it was inaugurated in 1787 by Panembahan Somala. It took so long because it had to use the sacred and finest materials known at that time. Panembahan Somala appointed Lauw Pia Ngo, the Chinese architect who built the royal palace, to build the mosque. So no wonder if the mosque structures looked similar to the palace’s structures.
The structure of the main gate of Masjid Jami’ Sumenep symbolized many things. For example, there were two open holes at the top part of the gate that symbolized human eyes. There were also a room on the top of the gate with two open doors at each sides which symbolized the human ears. The room itself was functioned to store the the original big drum.
In the main building, there were 9 big doors to enter the praying hall. It also had 10 windows along the wall which made the temperature in the hall quite cool compared to to the outside of the mosque. There were 13 big pillars inside the praying hall which supported the high wooden ceiling. There were also some old style hanging lamps and hanging fans attached to the wooden ceiling. Outside, there was an additional praying hall in the form of an open room which had 20 pillars that supported a concrete ceiling.
The pulpit, which was the main part of the praying hall, was brightly colored and decorated with Chinese style ornaments. All in all, the mosque was really great and still in a good condition. It also still been used as the place for worship up till know. With its function and its beauty as well as its historical aspects, no wonder if the mosque attracted many visitors, either to pray or just to admire it.–
Keterangan :
Masjid Agung Sumenep yang terletak di salah satu sisi alun-alun kota, dikenal juga sebagai Masjid Jami’ Sumenep. Masjid yang mulai dibangun pada tahun 1779 ini termasuk salah satu dari 10 masjid tertua di Indonesia yang memiliki arsitektur khas Indonesia. Adalah Panembahan Natakusuma yang dikenal juga sebagai Panembahan Somala, yang memerintah Sumenep pada tahun 1762 – 1811 yang membangun masjid ini setelah menyelesaikan pembangunan keraton yang terletak di sebelah timur masjid. Menurut pitutur orang-orang tua, Panembahan Somala memerintahkan pembangunan masjid ini untuk menggantikan masjid lama yang dibangun oleh Radhin Tumenggung Anggadipa, penguasa Sumenep pada tahun 1626 – 1644. Posisi masjid lama waktu itu ada di sebelah belakang keraton yang baru dibangun dan kondisinya juga sudah tidak memadai lagi untuk menampung umat Islam di Sumenep yang ingin beribadah di masjid itu karena umat Islam di Sumenep jumlahnya semakin bertambah.
Masjid Jami’ Sumenep dibangun selama 8 tahun, dan selesai pada tahun 1787 yang ditandai dengan diwakafkannya bangunan masjid tersebut oleh Panembahan Somala seperti yang ditulis oleh Tompo Karso Keraton dalam sebuah prasasti yang berbunyi: “Yang membangun Masjid adalah Pangeran Natakusuma di Negara Sumenep, dan Masjid ini selesai di Bulan Ramadhan Tahun Zi dan dijadikan wakaf pada jalan Allah (sabilillah) di dalam memulai pekerjaan kebajikan untuk shalat yang bertujuan taat kepada Allah. Ini tahun tarikhnya waktu selesainya Masjid tahun seribu dua ratus enam Hijriyah Nabi SAW” (isinya dikutip dari catatan Sejarah Singkat Masjid Jamik Sumenep yang diperoleh dari Takmir Masjid Jami’ Sumenep).
Pembangunan masjid membutuhkan waktu yang cukup lama karena dalam membangun sebuah bangunan yang nantinya akan dipergunakan sebagai tempat yang akan disucikan, haruslah dipergunakan bahan-bahan yang terbaik yang bisa diperoleh pada masa itu. Konon untuk merekatkan bata yang dipergunakan dalam pembangunan masjid ini mempergunakan air nira yang dicampurkan dengan tanah yang suci. Arsitek yang ditugaskan untuk merancang dan kemudian membangun masjid ini adalah Lauw Pia Ngo yang sebelumnya sudah berhasil merancang dan membangun Keraton Sumenep. Karena itu, tidaklah mengherankan kalau bentuk gapura masjid memiliki banyak kemiripan dengan bentuk gapura Keraton Sumenep.
Soal gapura masjid itu sendiri, ada beberapa simbol yang sengaja dibuat dan ditempatkan pada struktur gapura yang di bagian tertingginya terdapat sebuah ruangan temnpat menyimpan bedug yang berasal dari masa pertama kali dibangunnya masjid ini. Ruangan tempat menyimpan bedug itu memiliki dua buah pintu terbuka di sebelah kiri dan kanannya yang melambangkan telinga manusia yang harus terbuka untuk mendengarkan azan dan lantunan ayat-ayat suci. Di sebelah depannya, mengarah ke alun-alun, tampak adanya dua buah lubang berbentuk bundar yang melambangkan mata manusia yang sedang melihat. Di atas kedua lubang itu terdapat ornamen seperti jendela berbentuk segi lima memanjang ke atas yang mengapit ornamen berbentuk pintu besar. Ornamen berbentuk jendela itu melambangkan umat yang sedang duduk rapi menghadap ke arah kiblat; sedangkan ornamen berbentuk pintu melambangkan bahwa jika memasuki masjid untuk melaksanakan shalat hendaknya memakai tata krama, jangan sampai memisahkan dua orang yang sedang duduk bersama, pun imam ketika melangkah menuju mimbar hendaknya jangan sampai melangkahi leher seseorang.
Di dalam halaman masjid yang cukup luas, terdapat beberapa bangunan selain bangunan utama masjid. Pada bangunan utama masjid terdapat 9 buah pintu besar yang akan membawa pengunjung ke ruang sembahyang utama. Di ruang tersebut terdapat juga 10 jendela besar yang membuat sirkulasi udara cukup bebas sehingga udara dalam masjid terasa cukup sejuk, apalagi langit-langit masjid yang terbuat dari kayu-kayu utuh itu juga cukup tinggi. Langit-langit yang dihiasi dengan beberapa lampu gantung antik itu ditopang dengan 13 buah pilar bulat yang melambangkan jumlah Rukun Shalat. Dibagian depannya terdapat mimbar dan mihrab yang dihiasi dengan ornamen-ornamen bergaya Negeri Tirai Bambu dengan warna warni yang cukup mencolok, dan sebagiannya dilapisi juga dengan keramik berwarna kebiruan yang menambah keindahannya.
Di bagian luar ruangan utama ini sudah dibangun ruangan tambahan untuk menampung umat yang bersembahyang jika ruangan utama tidak mencukupi. Ruangan tambahan tersebut langit-langitnya juga disangga dengan pilar-pilar bulat; semuanya ada 20 pilar bulat di sana.
Secara keseluruhan, bangunan masjid dan gapuranya cukup mengundang decak kagum. Kagum akan keindahannya dan juga kekuatannya yang terbukti sudah berhasil mengarungi masa lebih dari dua abad dengan kondisi yang masih cukup baik dan terpelihara. Tidak heran kalau Masjid Jami’ Sumenep ini menjadi tujuan banyak orang, baik yang berasal dari Pulau Madura sendiri maupun yang berasal dari jauh; baik yang datang untuk menunaikan shalat di sana, maupun yang hanya sekedar berkunjung.
O ya, karena postingan ini juga dibuat bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri 1435 H, maka bersama ini perkenankanlah aku untuk mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri kepada sahabat, rekan, maupun siapa saja yang berkesempatan membaca blog ini yang merayakannya. Mohon kiranya dimaafkan jika dalam postingan-postingan yang lalu maupun pada saat menjawab komentar ada hal-hal yang tidak berkenan 🙂