What do you think about the picture above? Although it looked neglected, it still pretty, isn’t it? A brown water lake bordered by a row of mountains in afar; a big tree stood by the lake shore as if protecting anybody who came to the lake of the heat of the sun that shone brightly.
The lake was actually not a natural lake. It was an open mining hole which was already abandoned by the miners because they believe that the expected mines had already run out. As the time went by, the abandoned pit was filled by rainwater, and the locals started to utilize some of the pits as fish ponds.
Anyway, behind the pretty scenery there were stories of how people should struggle in agony to mine.
The place where I took the pictures was called Cempaka, a place which known as one of the largest diamond mines in Indonesia. Cempaka was the place where a big diamond was found in the 1960s. It was said that it was as big as a chicken egg.
Nowadays, many miners still hoping that other big diamonds would be found in there. They still mined the land of Cempaka, practically in a traditional way. Some of them worked in a group while others worked individually.
It was my second visit to Cempaka. On my first visit two years ago, my main attention drew to big but simple structures that looked like wooden rigs. The structures were used to unearth sands and stones from the pit with the help of a simple machine. From the materials they’d got, the miners would separate the dirt form any gems including raw diamonds. Some of the miners separated any precious stones manually using simple tools that look like a pan in a pool of water. The water helped the miners extracting precious mines from the dirt.
In my second visit, my attention drew to a more traditional way in looking for diamonds. The way was cheaper but at the same time had a higher risk.
The way they mine was by digging a hole and then place wooden stakes around the hole to prevent the land to slide back into the hole. Sometimes, however, the hole was collapsed and buried miners alive. It happened several times and had already taken many lives among the miners; and yet the disasters never stopped them to climb down into the hole again after some time to look for precious mines, mainly for diamonds.
Travelers could visit the traditional mine anytime. The miners were open to visitors and would be gladly explained the process, even they often offered travelers to climb down the pit and felt by themselves the feeling of the miners when they were in the bottom of the pit. They also been very pleased if there were somebody came to try to pan in a waist-deep pool, looking for precious stones.
Cempaka was not far from Banjarmasin, the capital city of South Kalimantan Province, Indonesia. The distance was about 47 kilometers from Banjarmasin; it took only about one hour drive in a relatively good road. To visit Cempaka, however, travelers should prepare themselves as there were no public facilities nor shelter to avoid the scorching sun or a downpour.
Anyway, it was quite interesting to visit the place as travelers could see how the agony behind the beauty of the scenery in Cempaka and also the hard effort to find precious stones before they came to the jewellery stores.
Keterangan :
Sepintas pemandangan yang tersaji di foto di bawah ini tampak indah, meskipun air danaunya tidak berwarna biru kehijauan melainkan berwarna coklat. Tapi tahu nggak sih kalau sebetulnya ada cerita menyedihkan yang berkaitan dengan danau itu. Bukan berupa kisah legenda tejadinya danau itu, tetapi adanya korban jiwa di danau-danau sejenis, bahkan mungkin juga di danau yang fotonya aku pasang di bawah ini.
Lhah . . . koq serem sih? Memang orang-orang yang meninggal itu tenggelam di situ atau bagaimana? 😯
Dibilang tenggelam bisa juga sih, tapi mungkin lebih tepatnya tertimbun. Nggak usah bingung, aku nggak salah tulis. Memang tertimbun dan kejadiannya sebelum danau ini terbentuk. Bagaimanapun danau ini bukan bentukan alam. Danau yang tampak dalam foto itu sebetulnya adalah bekas galian tambang yang berbentuk seperti kawah. Ketika hasil tambang yang diharapkan sudah tidak ditemukan lagi, maka lubang-lubang bekas galian tambang itu ditinggalkan begitu saja, sehingga lama kelamaan lubang-lubang semacam itu mulai terisi dengan air hujan sehingga sejalan dengan berlalunya waktu berubah menjadi danau.
Terus cerita soal orang-orang yang katanya meninggal di danau itu . . . ?
Sabar . . aku pasti akan ceritakan. Nah aku mulai ya . . .
Jadi . . tempat di mana aku mengambil foto itu dikenal dengan nama Cempaka. Sebuah kecamatan yang terkenal sebagai daerah penghasil intan terbesar di Indonesia. Di Cempaka jugalah pada tahun 60-an ditemukan sebongkah intan sebesar telur ayam yang kemudian dikenal dengan nama intan Trisakti.
Sampai sekarang, masih banyak penambang yang berharap masih akan bisa menemukan bongkahan intan besar lagi di sana. Karena itu kegiatan menambang masih marak di Cempaka meskipun mereka menambang dengan cara-cara tradisional. Para penambang itu ada yang bekerja secara berkelompok, ada pula yang bekerja sendiri-sendiri.
Kunjunganku kali ini sebetulnya merupakan kunjunganku yang kedua ke sana. Aku ke sana pertama kalinya pada tahun 2014, dan ketika itu aku tertarik mengamati bangunan kayu yang menjulang di tengah-tengah tanah lapang. Dari orang yang mengantarku, baru aku tahu kalau bangunan itu merupakan alat untuk mengeduk aneka barang tambang dari dalam perut bumi . Gumpalan-gumpalan tanah bercampur air menyembur dari ujung bangunan itu ke penampungan di bawahnya. Beberapa penambang kemudian akan memisahkan hasil tambang itu secara manual dengan semacam alat seperti caping terbalik di dalam genangan air. Pekerjaan itu disebut dengan istilah me-lenggang. Dari hasil lenggang itu, mereka bisa memperoleh batu mulia, emas, besi, benda-benda peninggalan jaman dahulu, dan yang paling mereka cari tentunya intan.
Pada kunjunganku kali ini, perhatianku tidak lagi tertuju pada bangunan kayu itu, melainkan pada para penambang intan yang melakukan penggalian betul-betul secara manual. Memang cara ini relatif lebih murah, tapi juga lebih berisiko. Bagaimana tidak, dengan cara demikian, mereka betul-betul membuat lubang di tanah dengan kedalaman sesuai perkiraan dimana mereka akan menemukan intan. Tepi lubang akan disangga dengan kayu untuk menghindari longsor, dan pada kedalaman-kedalaman tertentu di dalam lubang juga dibangun semacam panggung untuk tempat berpijak.
Tetapi, meskipun tepian lubang sudah diganjal dengan kayu, tetap saja ada kejadian dimana dinding lubang itu runtuh dan mengubur hidup-hidup para penambang yang masih ada di dalam lubang. Biasanya kalau hal ini terjadi, penduduk sekitar akan bergegas bergotong royong menggali lubang itu untuk menolong temannya yang terkubur. Tidak jarang karena dalamya lubang tambang, mereka yang terkubur tidak dapat ditemukan 😦
Nah . . gitu ceritanya kenapa aku tadi katakana ada kemungkinan di danau itu pernah ada orang yang meninggal, bukan karena tenggelam tetapi karena tertimbun longsoran sebelum air hujan mengisi cekungan bekas tambang yang sudah ditinggalkan tersebut.
Kalau mau menyaksikan secara langsung kegiatan para penambang itu, para pelancong bisa berkunjung ke Cempaka. Praktis mereka melakukan kegiatan tiap hari, kecuali hari Jumat. Meskipun sepintas kelihatan seram karena sorot mata mereka yang tajam, tapi sebetulnya para penambang itu cukup ramah koq. Mereka akan dengan senang hati menceritakan proses menambang dan melenggang, bahkan mereka nggak sungkan untuk memperagakannya kepada pelancong jika diminta. Buat yang punya cukup nyali untuk turun ke dasar tambang, merekapun akan dengan senang hati mempersilahkan untuk turun dan merasakan apa yang dirasakan para penambang intan tradisional di dasar lubang tambang.
Lokasi tambang intan ini nggak terlalu jauh dari Banjarmasin. Jaraknya kurang lebih hanya 47 kilometer, atau kurang lebih 1 jam perjalanan dengan mobil. Hanya saja, karena di sana bukan merupakan tempat wisata yang umum, jadi jangan berharap kalau di sana terdapat fasilitas umum seperti yang biasa terdapat di tempat-tempat wisata lain ya . . .
Anyway, kunjungan ke Cempaka rasanya perlu juga; karena dengan berkunjung ke sana, kita bisa mengetahui bagaimana tingginya risiko yang dihadapi para penambang dalam menemukan intan maupun batu mulia lain. Betapa banyak keringat dan air mata yang tertumpah sebelum sebuah perhiasan indah dan mahal diletakkan di etalase toko perhiasan.–