Monthly Archives: January 2017

Agony behind beauty

img_tic01

What do you think about the picture above? Although it looked neglected, it still pretty, isn’t it? A brown water lake bordered by a row of mountains in afar; a big tree stood by the lake shore as if protecting anybody who came to the lake of the heat of the sun that shone brightly.

The lake was actually not a natural lake. It was an open mining hole which was already abandoned by the miners because they believe that the expected mines had already run out. As the time went by, the abandoned pit was filled by rainwater, and the locals started to utilize some of the pits as fish ponds.

Anyway, behind the pretty scenery there were stories of how people should struggle in agony to mine.

The place where I took the pictures was called Cempaka, a place which known as one of the largest diamond mines in Indonesia. Cempaka was the place where a big diamond was found in the 1960s. It was said that it was as big as a chicken egg.

img_tic02

Nowadays, many miners still hoping that other big diamonds would be found in there. They still mined the land of Cempaka, practically in a traditional way. Some of them worked in a group while others worked individually.

It was my second visit to Cempaka. On my first visit two years ago, my main attention drew to big but simple structures that looked like wooden rigs. The structures were used to unearth sands and stones from the pit with the help of a simple machine. From the materials they’d got, the miners would separate the dirt form any gems including raw diamonds. Some of the miners separated any precious stones manually using simple tools that look like a pan in a pool of water. The water helped the miners extracting precious mines from the dirt.

img_tic03

In my second visit, my attention drew to a more traditional way in looking for diamonds. The way was cheaper but at the same time had a higher risk.

The way they mine was by digging a hole and then place wooden stakes around the hole to prevent the land to slide back into the hole. Sometimes, however, the hole was collapsed and buried miners alive. It happened several times and had already taken many lives among the miners; and yet the disasters never stopped them to climb down into the hole again after some time to look for precious mines, mainly for diamonds.

Travelers could visit the traditional mine anytime. The miners were open to visitors and would be gladly explained the process, even they often offered travelers to climb down the pit and felt by themselves the feeling of the miners when they were in the bottom of the pit. They also been very pleased if there were somebody came to try to pan in a waist-deep pool, looking for precious stones.

img_tic07

Cempaka was not far from Banjarmasin, the capital city of South Kalimantan Province, Indonesia. The distance was about 47 kilometers from Banjarmasin; it took only about one hour drive in a relatively good road. To visit Cempaka, however, travelers should prepare themselves as there were no public facilities nor shelter to avoid the scorching sun or a downpour.

Anyway, it was quite interesting to visit the place as travelers could see how the agony behind the beauty of the scenery in Cempaka and also the hard effort to find precious stones before they came to the jewellery stores.

img_tic15

Keterangan :

Sepintas pemandangan yang tersaji di foto di bawah ini tampak indah, meskipun air danaunya tidak berwarna biru kehijauan melainkan berwarna coklat. Tapi tahu nggak sih kalau sebetulnya ada cerita menyedihkan yang berkaitan dengan danau itu. Bukan berupa kisah legenda tejadinya danau itu, tetapi adanya korban jiwa di danau-danau sejenis, bahkan mungkin juga di danau yang fotonya aku pasang di bawah ini.

img_tic08

Lhah . . . koq serem sih? Memang orang-orang yang meninggal itu tenggelam di situ atau bagaimana? 😯

Dibilang tenggelam bisa juga sih, tapi mungkin lebih tepatnya tertimbun. Nggak usah bingung, aku nggak salah tulis. Memang tertimbun dan kejadiannya sebelum danau ini terbentuk. Bagaimanapun danau ini bukan bentukan alam. Danau yang tampak dalam foto itu sebetulnya adalah bekas galian tambang yang berbentuk seperti kawah. Ketika hasil tambang yang diharapkan sudah tidak ditemukan lagi, maka lubang-lubang bekas galian tambang itu ditinggalkan begitu saja, sehingga lama kelamaan lubang-lubang semacam itu mulai terisi dengan air hujan sehingga sejalan dengan berlalunya waktu berubah menjadi danau.

img_tic14

Terus cerita soal orang-orang yang katanya meninggal di danau itu . . . ?

Sabar . . aku pasti akan ceritakan. Nah aku mulai ya . . .

Jadi . . tempat di mana aku mengambil foto itu dikenal dengan nama Cempaka. Sebuah kecamatan yang terkenal sebagai daerah penghasil intan terbesar di Indonesia. Di Cempaka jugalah pada tahun 60-an ditemukan sebongkah intan sebesar telur ayam yang kemudian dikenal dengan nama intan Trisakti.

Sampai sekarang, masih banyak penambang yang berharap masih akan bisa menemukan bongkahan intan besar lagi di sana. Karena itu kegiatan menambang masih marak di Cempaka meskipun mereka menambang dengan cara-cara tradisional. Para penambang itu ada yang bekerja secara berkelompok, ada pula yang bekerja sendiri-sendiri.

img_tic16

Kunjunganku kali ini sebetulnya merupakan kunjunganku yang kedua ke sana. Aku ke sana pertama kalinya pada tahun 2014, dan ketika itu aku tertarik mengamati bangunan kayu yang menjulang di tengah-tengah tanah lapang. Dari orang yang mengantarku, baru aku tahu kalau bangunan itu merupakan alat untuk mengeduk aneka barang tambang dari dalam perut bumi . Gumpalan-gumpalan tanah bercampur air menyembur dari ujung bangunan itu ke penampungan di bawahnya. Beberapa penambang kemudian akan memisahkan hasil tambang itu secara manual dengan semacam alat seperti caping terbalik di dalam genangan air. Pekerjaan itu disebut dengan istilah me-lenggang. Dari hasil lenggang itu, mereka bisa memperoleh batu mulia, emas, besi, benda-benda peninggalan jaman dahulu, dan yang paling mereka cari tentunya intan.

img_tic10

Pada kunjunganku kali ini, perhatianku tidak lagi tertuju pada bangunan kayu itu, melainkan pada para penambang intan yang melakukan penggalian betul-betul secara manual. Memang cara ini relatif lebih murah, tapi juga lebih berisiko. Bagaimana tidak, dengan cara demikian, mereka betul-betul membuat lubang di tanah dengan kedalaman sesuai perkiraan dimana mereka akan menemukan intan. Tepi lubang akan disangga dengan kayu untuk menghindari longsor, dan pada kedalaman-kedalaman tertentu di dalam lubang juga dibangun semacam panggung untuk tempat berpijak.

img_tic11

img_tic12

Tetapi, meskipun tepian lubang sudah diganjal dengan kayu, tetap saja ada kejadian dimana dinding lubang itu runtuh dan mengubur hidup-hidup para penambang yang masih ada di dalam lubang. Biasanya kalau hal ini terjadi, penduduk sekitar akan bergegas bergotong royong menggali lubang itu untuk menolong temannya yang terkubur. Tidak jarang karena dalamya lubang tambang, mereka yang terkubur tidak dapat ditemukan  😦

Nah . . gitu ceritanya kenapa aku tadi katakana ada kemungkinan di danau itu pernah ada orang yang meninggal, bukan karena tenggelam tetapi karena tertimbun longsoran sebelum air hujan mengisi cekungan bekas tambang yang sudah ditinggalkan tersebut.

Kalau mau menyaksikan secara langsung kegiatan para penambang itu, para pelancong bisa berkunjung ke Cempaka. Praktis mereka melakukan kegiatan tiap hari, kecuali hari Jumat. Meskipun sepintas kelihatan seram karena sorot mata mereka yang tajam, tapi sebetulnya para penambang itu cukup ramah koq. Mereka akan dengan senang hati menceritakan proses menambang dan melenggang, bahkan mereka nggak sungkan untuk memperagakannya kepada pelancong jika diminta. Buat yang punya cukup nyali untuk turun ke dasar tambang, merekapun akan dengan senang hati mempersilahkan untuk turun dan merasakan apa yang dirasakan para penambang intan tradisional di dasar lubang tambang.

img_tic13

Lokasi tambang intan ini nggak terlalu jauh dari Banjarmasin. Jaraknya kurang lebih hanya 47 kilometer, atau kurang lebih 1 jam perjalanan dengan mobil. Hanya saja, karena di sana bukan merupakan tempat wisata yang umum, jadi jangan berharap kalau di sana terdapat fasilitas umum seperti yang biasa terdapat di tempat-tempat wisata lain ya . . .

Anyway, kunjungan ke Cempaka rasanya perlu juga; karena dengan berkunjung ke sana, kita bisa mengetahui bagaimana tingginya risiko yang dihadapi para penambang dalam menemukan intan maupun batu mulia lain. Betapa banyak keringat dan air mata yang tertumpah sebelum sebuah perhiasan indah dan mahal diletakkan di etalase toko perhiasan.–

img_tic09

Categories: Pictures of Life | Tags: , , , , | 24 Comments

An island roamed by monkeys

I was still in South Kalimantan Province, Indonesia. That morning my travel partner and I were just visiting one of the famous floating markets of Banjarmasin in Lok Baintan. On our way back to our hotel via Martapura River, the boat man offered us to visit a small island located at the junction of Alalak River with its main river, the Barito. So the island was actually a river delta, a land formed by sediments carried years after years by rivers that met up at the junction. The tiny island was known as Pulau Kembang.

The island was known as the habitat of long tailed monkeys (macaca fascicularis) for a long time. It was said that there were hundredth of them living on the more than 125 acre island. The island, which now had become one of Banjarmasin’s tourist destinations could be reached easily by a small boat from many piers in the city. The distance from the city was only about 1.5 kilometres from the city, so it would only take about 15 minutes trip on the river to reach the monkey island.

img_puk01

To accommodate travelers who wanted to explore and interact with the monkeys, on the shore, the local government had built a permanent pier, so travelers could land on the island easily. Aside of the pier, they also built a ticket booth. Yes, to enter the island, travelers should buy a ticket. The price was relatively cheap, please not to worry 😎

On the island itself, to make travelers easy and comfortable exploring the mangrove forest which had been the nest of the monkeys, a wooden path had been made. The path crisscrossed some part of the island entering the forest, so travelers could see the monkeys playing, climbing the trees, running and doing anything in their natural habitat.

img_puk03

img_puk04

There were many legends lived among the locals that related to the origin of the island and many monkeys that inhabited it. One of them was about an invasion to the local kingdom of Banjar in the 18th century. It was said that a big ship from China once came through the river, and the intention was to conquer the kingdom of Banjar. Later on, the grand vizier of Banjar with its supernatural power could defeat the intruder and sunk the intruder ship along with all the people inside the ship.

Time after time, the sunken ship was covered by mud and sediments, and turned into an island. Seeing the island at the junction of Alalak and Barito River, the later king of Banjar ordered one of his men to guard the island. To accompany him guarding the newly formed island, the guard bring along with him two monkeys. After a long time, the monkeys bred and now the population was so big.

img_puk18

On the other hand, the Chinese community in the area considered the island as the tomb of their kin. They often pray for the deceased on the island. They brought flowers to use in their ritual. The locals who passed the island often saw many flowers laid on the island shore. And since then, the locals called the new island Pulau Kembang (pulau means island and kembang means flower). Later on, the Chinese community also built a small temple with an altar on the island for the purpose of their ritual. The altar was still existed up till now and still being used at a certain time.

img_puk05

So . . . are you interested to meet and play with some cute monkeys on the island? If so, please be careful because the monkeys on Pulau Kembang were still wild monkeys, they were not pets :mrgreen:

img_puk21

Keterangan :

Pagi itu, setelah berkunjung ke salah satu lokasi pasar terapung yang sudah menjadi ikon Banjarmasin, aku dan teman seperjalananku menyusuri Sungai Martapura untuk kembali ke kota ketika tiba-tiba si bapak yang mengemudikan perahu kelotok menawarkan untuk langsung ke Pulau Kembang sekalian sebelum kembali ke kota. Katanya sih lokasinya nggak jauh dari kota, paling juga sekitar 1.5 kilometer dan bisa ditempuh dalam waktu yang nggak terlalu lama dengan kelotok yang aku tumpangi itu.

Pulau Kembang sebetulnya merupakan tanah delta sungai yang terletak di pertemuan antara aliran sungai Alalak dengan Sungai Barito. Endapan lumpur berbilang tahun di situ menyebabkan timbulnya daratan yang kemudian ditutupi mangrove. Pulau seluas kurang lebih 60 Hektar ini merupakan habitat kawanan kera ekor panjang (macaca fascicularis). Konon sih ada juga bekantan yang hidup di sana, tapi sayangnya bekantan-bekantan ini jarang menampakkan dirinya. Mungkin malu karena hidungnya yang besar itu 😆

img_puk09

Pulau Kembang sudah dikembangkan menjadi salah satu tujuan wisata andalan Banjarmasin. Di sana sudah dibangun dermaga yang memudahkan perahu-perahu kelotok yang mengangkut pelancong bersandar dan menurunkan penumpangnya. Di dekat dermaga juga sudah dibangun sebuah bangunan yang difungsikan sebagai loket penjualan tiket.

Lho . . jadi ke situ harus bayar tiket segala ya? 😯

Iya, tapi jangan kuatirlah. Buat kita orang lokal, harga tiketnya murah banget koq. Ketika aku kesana, per orang hanya dikenakan Rp 5.000,– pada hari biasa dan Rp 7.500,– di hari libur.

Kemudian untuk memudahkan para pelancong menjelajah sebagian pulau, pemerintah setempat sudah membangun jalur jalan dari kayu yang saling bersilangan masuk ke dalam hutan mangrove yang tumbuh lebat di pulau itu. Dengan demikian, pelancong juga tidak perlu berjalan di lumpur yang menutupi permukaan pulau kalau ingin melihat tingkah polah monyet-monyet di sana. Ya meskipun jadinya kita juga sering berbagi jalan bersama monyet-monyet yang kadang main kejar-kejaran di jalur jalan itu atau malahan asyik saling mencari kutu atau berpacaran layaknya jalur jalan itu punya moyangnya 😛

img_puk10

img_puk12

Ada banyak legenda yang berkaitan dengan asal mula Pulau Kembang dan monyet-monyet yang hidup di sana. Salah satunya menceritakan bahwa pada abad ke 18, sebuah jung besar dari negeri tirai bambu masuk melalui Sungai Barito dengan tujuan ingin menaklukan kerajaan Banjar. Patih Banjar yang sakti segera menghadang rombongan tersebut dan meminta mereka untuk mengurungkan niatnya. Tapi rupanya pertempuran tidak bisa dihindarkan.

Akhirnya Sang Patih berhasil mengalahkan para penyerbu itu; bahkan dengan kesaktiannya, perahu besar itu dapat ditenggelamkan beserta seluruh isinya.

Berbilang tahun kemudian, kapal yang tenggelam tersebut menjadi penghambat aliran air sungai Barito maupun Alalak sehingga tubuh kapal mulai tertutup lumpur yang terbawa aliran sungai-sungai tersebut. Lama kelamaan lumpur yang melapisi badan kapal menjadi semakin tebal bahkan mengendap dan membentuk daratan yang kemudian perlahan mulai ditumbuhi berbagai tanaman mangrove. Rupanya tanah endapan yang subur itu memang cocok sebagai tempat tumbuh tanaman mangrove sehingga tidak terlalu lama, tumbuhan yang ada di pulau itu sudah membentuk hutan.

Raja Banjar yang kemudian, meminta salah satu orang kepercayaannya untuk tinggal di pulau yang baru terbentuk itu sekaligus menjaganya. Orang tersebut membawa serta dua ekor kera kesayangannya untuk menemaninya di pulau itu. Konon setelah beberapa tahun orang tersebut menghilang dan rohnya dipercaya menjadi penunggu pulau; sementara sepasang kera yang dibawanya berkembang biak menjadi sangat banyak bahkan sekarang jumlah kera keturunannya di sana sudah ratusan.

img_puk11

Sementara itu masyarakat keturunan Tionghoa yang tinggal di sekitar sungai Barito, menganggap bahwa pulau yang baru terbentuk itu juga merupakan pusara bagi kerabat mereka. Karena itulah mereka sering datang ke pulau itu sambil membawa bunga dan melakukan ritual persembahyangan di sana.

Penduduk sekitar sering kali melihat taburan maupun tumpukan bunga yang cukup banyak di pulau itu, sehingga lambat laun mereka mulai menyebut pulau itu dengan nama pulau yang banyak bunga atau kembangnya; dan lama kelamaan nama Pulau Kembang menjadi sebutan untuk pulau tersebut.

Belakangan, di pulau tersebut dibangun juga sebuah bangunan terbuka dengan altar persembahyangan di dalamnya. Bangunan dan altar ini sampai sekarang masih sering dipergunakan oleh masyarakat Tionghoa setempat untuk melakukan ritual persembahyangan.

img_puk13

Nah itu sedikit gambaran mengenai Pulau Kembang, sebuah pulau yang ada di tengah sungai dan dihuni oleh ratusan ekor monyet. Tertarik ke sana? Kalau iya, tetap harus berhati-hati kalau bercanda dengan para monyet di sana ya. Biarpun kelihatan lucu dan jinak, tetap saja monyet-monyet itu hewan liar yang bisa sewaktu-waktu nakal dan bahkan beringas.–

img_puk20

Categories: Travel Pictures | Tags: , , , , , | 28 Comments

They lived on the river-banks

Banjarmasin is the capital of South Kalimantan Province, Indonesia. The city which was considered as one of Indonesia’s largest cities, was located on an island at the junction of two big rivers called Barito River and Martapura River. The rivers had also many rivulets and man-made canals that crisscrossing the entire city, hence Banjarmasin had also known as a river city.

Many rivers and rivulets were big enough for medium sized boats that could accommodate many people traveling together like a river bus, while others were quite small so that only small boats and sampans could pass through them.

img_rvr01

Because of the existence of many rivers in the area, for the Banjarese (the indigenous ethnic group of Banjarmasin and the surrounding area), the rivers played a significant role in their daily life, even it became their way of life. For them, rivers were not only meant as a way to travel, rivers also meant as their source of water that supporting their daily life, as a place to interact and communicate with others as well as a place to make a living. Yes the place to make a living, as their traditional markets were also on the river which now was quite known as one of Banjarmasin’s places of interest.

In those floating markets, travelers could see that early in the morning, people, mostly woman, row their sampans to a known meeting place where they could sell or buy things on the river. The traffic in the river could be very heavy with many sampans full of vegetables, fruits, spices, foods, and also other daily needs. Nowadays, as many tourists also regularly came to the market, there were sampans that sold souvenirs, too. The people in the markets expertly maneuvering their sampans as the sampans constantly wobbled on the river currents. Some little bumps between sampans could not be avoided, of course.

img_rvr02

Most Banjarese, traditionally built their home on the river banks and formed a kind of waterfront villages. The culture was derived from their ancestors who developed the ability to build their dwellings on the river banks without spoiling the environment.

img_rvr03

The Banjarese respected the river, so that they built their home on stilts and facing the river. Woods were used to build their houses. In front of their homes, they also built a kind of small wooden piers where they could tie their sampans. The wooden piers also been used as the place where they washed their clothes and took bath. Sometimes the wooden piers were built together by more than one house owners so that neighbors could interact and communicate each other while doing their morning routines.

img_rvr04

Nowadays, many people built their house by “violating” their local wisdom. The house were not built out of woods anymore, some were built in a modern way with stones and cements. More than that, the houses were not built on stilts. They built their houses and any other structures literally on the river-banks with the risk of flood at the high tide. Many industries were also grown rapidly on the banks.

img_rvr05

img_rvr06

Well . . . hope that the rivers would not become narrower or even vanished by such an acts. Somehow someway we still need healthy rivers to flow, aren’t we?

Keterangan :

Banjarmasin, sebuah kota yang termasuk salah satu kota besar di Indonesia yang juga merupakan ibu kota Propinsi Kalimantan Selatan. Kota ini didirikan di sebuah delta yang merupakan pertemuan dua buah sungai besar yang mengalir di propinsi itu, yaitu Sungai Barito dan Sungai Martapura. Dan karena kedua sungai ini memiliki banyak anak-anak sungai yang mengalir saling silang di sana, maka tidaklah heran kalau Banjarmasin dikenal juga sebagai kota seribu sungai.

Sungai dan anak sungai tersebut bermacam-macam ukurannya, ada yang cukup kecil dan sempit sehingga hanya bisa dimasuki oleh sampan, tetapi ada juga yang sedemikian besar dan luas sehingga bisa dilayari oleh kapal-kapal berukuran menengah atau besar, baik kapal tunda, kapal barang, maupun kapal penumpang yang juga berfungsi seperti angkutan umum di sungai.

img_rvr07

Bagi masyarakat Banjar, sungai memainkan peran yang sangat penting dalam kehidupan mereka, bahkan bisa dibilang sudah menjadi identitas diri. Sungai bukan hanya merupakan tempat mengalirnya air dari hulu ke hilir, tapi sungai merupakan segalanya bagi mereka. Baik sebagai sarana transportasi pengganti jalan raya, sebagai sumber air yang menunjang kehidupan sehari-hari, sebagai tempat untuk berinteraksi dan berkomunikasi dan juga sebagai sumber penghasilan mereka. Betul, sumber penghasilan atau tempat mereka mencari nafkah. Tidak hanya nafkah dari hasil mencari ikan sungai, tetapi juga nafkah dari hasil jual beli. Ya . . . pasar mereka ada di atas sungai. Para penjual dan pembeli melakukan transaksi dari atas sampan-sampan yang mereka naiki. Dan karena keunikannya ini, maka pasar terapung di Banjarmasin ini sudah menjadi salah satu ikon wisata di Banjarmasin.

Kata orang,berkunjung ke Banjarmasin tanpa berkunjung ke salah satu pasar terapungnya belumlah bisa disebut sudah berkunjung ke Banjarmasin 😀

img_rvr08

Pentingnya sungai bagi kehidupan urang Banjar juga nampak dari rumah-rumah mereka. Di sepanjang sungai, bisa kita lihat deretan rumah kayu urang Banjar yang berupa rumah panggung dengan semacam dermaga kecil di depannya. Dengan gaya bangunan yang seperti itu, keberadaan sungai tetaplah lestari. Itulah kearifan lokal yang diturunkan nenek moyang mereka sampai sekarang.

img_rvr09

img_rvr10

Sayangnya akhir-akhir ini, modernisasi mulai melunturkan nilai-nilai luhur itu. Mulai banyak rumah yang tidak dibangun di atas panggung, melainkan dengan cara menguruk tepian sungai ataupun didirikan langsung di tepian sungai. Bahan pembuat rumahnyapun tidak lagi dari kayu, melainkan sudah dari batu. Praktek yang demikian dikhawatirkan akan berdampak dengan makin sempitnya aliran sungai yang pada gilirannya akan mempengaruhi ekosistim di sana. Belum lagi bangunan industri yang juga banyak dibangun di sepanjang tepi sungai dengan segala macam pertimbangannya.

img_rvr11

img_rvr12

Padahal, jika kearifan lokal itu tetap terjaga, banyak hal positif akan tetap terjaga pula. Tidak hanya lestarinya aliran sungai dan lingkungan sekitarnya, tetapi juga guyub rukunnya masyarakat di sana. Bagaimana tidak, dengan rumah panggung kayu yang memiliki dermaga kecil di depannya itu, penduduk masih berkomunikasi secara akrab dengan tetangganya karena selain untuk menambatkan perahu, dermaga kecil itu juga berfungsi sebagai tempat mencuci dan mandi masyarakat. Pada saat mereka melakukan aktifitas pagi itulah seringkali mereka juga melakukannya bersama dengan tetangga sebelah menyebelah sambil bersosialisasi karena banyak juga dermaga kecil yang dibangun bersama di depan beberapa rumah.

img_rvr14

Ah . . . semoga saja budaya dan kearifan lokal di sana tetap terjaga dan alam juga bisa terjaga kelestariannya ya  😎

img_rvr13

Categories: Pictures of Life | Tags: , , , | 22 Comments

Create a free website or blog at WordPress.com.