Posts Tagged With: unique

A mountain with three changing colors crater-lakes

Kelimutu was the name of an active volcano located in Flores, Indonesia. It was not considered as a very high mountain as it height was only 1,690 meters above sea level.

So . . . what so special about Kelimutu then?

Well . . . Kelimutu was said to be unique because it had three crater lakes which constantly changed their colors depended on the minerals composition change in the lake water triggered by the mountain volcanic activity, the quantity of the water microorganisms and also on the discoloration by the sunlight which included the reflection from the base and the surrounding walls of each lakes.

And as their colors change happened naturally, up till now the time of their color change was still unpredictable. Sometimes it changed quite often, while on any other time the lakes color were not change for a long time. In 2016, for instance, the colors of the crater lakes were changed 6 times, which was considered quite often for a certain period.

To see the three crater lakes, travelers should climb up to the summit. Don’t worry; the trek was not too hard since the local government had already built a climbing path through a forest on the mountain slope, there even a stone stairway close to the top to make it easier to reach the summit.

At the summit, there was a stone platform with a monument as a mark.

Usually, travelers would start their climb quite early in the morning in order to get the sunrise from the mountain top. For that, many travelers preferred to spend the night before the climb in Moni, a small town located about 13 kilometers from the car park which was usually being the starting point to start the climb, too.

But nature had its own rule. When I was there, instead of a bright and beautiful sunrise, what I found was thick cloud hung quite low and made it impossible to watch the sunrise.

But the attraction that could be enjoyed from the summit was not only the sunrise; the beautiful scenery with layers of mountains and the sight of the three crater lakes were enough to make many people dumbstruck and reluctant to go down from the summit.

Kelimutu was not a mere tourist destination; for the Lio tribe who lived there, Kelimutu was considered a sacred mountain. They believed that the mountain, especially the three crater lakes were the eternal resting place where all souls would return after their journey of life had ended.

According to them, when somebody died, his or her soul would come to Kelimutu and met Konde Ratu the gate keeper, who then sorted the souls depended on their deeds when they were still living humans. For them who were good and died at old age, they would be placed in the Lake of Old People or Tiwu Ata Mbupu to live in eternal peace and happiness. The lake location was separated from the other two lakes. When I was there, the lake’s color was dark green. According to the records, in between 1915 to 2011, Tiwu Ata Mbupu had changed its color 16 times. Once it reported to have dark brown, greenish brown even white color, but usually it had blue color.

The closest lake to the summit was the deepest as well as the largest lake known as Tiwu Koo Fai Nuwa Muri or The Lake of Young Men and Maidens. It has a soothing light green color. The Lio believed that the lake was the eternal resting place for they who died at young age. In the same period, the lake changed its color more often than Tiwu Ata Mbupu. It was said that it had already changed its color 25 times; but most of the times it retain its light green color although it was reported that once it had greenish white color.

The third lake was seen from the summit as if peeking from behind Tiwu Koo Fai Nuwa Muri; although for them who want to have a closer look could come to a specific spot on the crater-lake’s rim which located below the summit. The third lake was known as Tiwu Ata Polo or the Enchanted Lake of Evil Spirits. Tiwu Ata Polo was usually had red color, but when I was there it had green color that resembled the color of Tiwu Koo Fai Nuwa Muri. Tiwu Ata Polo was the smallest among the third lake, and it was believed that the lake was the resided place for the soul of people who did evil deed and practicing black magic when they were still living humans. Although the smallest in size, but Tiwu Ata Polo change its color most often compared to the other two.

Up till now, the Lio Tribe members still conducted a ritual called Pati Ka Du’a Bapu Ata Mata which was held in an area close to the three lakes. At that time the tribe elders which known as the Mosalaki, would come together bringing offerings to the deceased who reside in the three lakes. Together they chanted prayers, praises and traditional song accompanied by traditional dances. The ritual usually held annually in mid August.

And at last . . . when the sun had already risen and the temperature became warmer, usually travelers started to go down from the summit. At the same time, the true inhabitant of Kelimutu came into sight. Some of them stood on the side of the climbing path hoping to get food from travelers, while others just staring from afar. Some of them were running along the lake wall with agility. Yes the true inhabitant of the forest of Kelimutu that also often roaming to the summit were monkeys . . .

So . . . interested in visiting the three lakes that naturally could change their colors?

Keterangan :

Kelimutu, sebuah gunung berapi yang terletak di Pulau Flores, di Propinsi Nusa Tenggara Timur, sudah cukup terkenal karena memiliki tiga buah danau kawah di puncaknya. Uniknya, ketiga danau kawah itu memiliki warna yang berbeda jika dilihat dari kejauhan. Secara ilmiah, perubahan warna ketiga danau itu disebabkan oleh berubahnya komposisi kandungan berbagai mineral yang larut dalam air danau akibat aktifitas vulkanis gunung. Maklum saja karena Kelimutu merupakan gunung berapi yang masih aktif sampai sekarang. Perubahan warna danau juga dipengaruhi oleh banyak sedikitnya mikroorganisme yang hidup di air danau pada suatu saat dan juga akibat pantulan cahaya matahari di bebatuan di dinding maupun dasar danau.

Trus kapan tuh warna danaunya berubah?

Perubahan warna danau terjadi secara alamiah, karena itu sampai sekarang masih susah untuk diprediksi kapan akan terjadinya. Bisa saja dalam setahun danau-danau itu berganti warna beberapa kali, tapi bisa juga untuk waktu yang lama tidak terjadi perubahan warna, bahkan warna ketiga danau yang harusnya berbeda-beda justru tampak hampir sama semuanya.

Untuk bisa melihat ketiga danau yang unik itu, para pelancong harus mendaki sampai ke puncak Kelimutu. Jangan khawatir, treknya cukup ramah koq. Apalagi pemerintah setempat sudah membangun jalur pendakian yang jelas sejak dari tempat parkir mobil yang menjadi titik awal pendakian sampai ke puncak; bahkan mendekati puncak sudah dibuatkan undak-undakan dari batu yang memudahkan pelancong menggapai puncak.

Biasanya para pelancong akan memulai pendakian pada saat subuh dengan harapan bisa menyaksikan terbitnya matahari dari puncak Kelimutu. Karena itulah sebagian besar Pelancong lebih memilih menginap di Moni, sebuah kota kecil berjarak kurang lebih 45 menit berkendara sampai ke gerbang masuk kawasan Kelimutu, meskipun memang ada juga beberapa orang yang lebih suka berkendara selama 4 jam dari Ende selepas tengah malam dengan pertimbangan bahwa penginapan di Ende lebih baik dibanding penginapan di Moni.

Sayangnya ketika aku kesana, cuaca sedang kurang bersahabat. Harapan akan menikmati pemandangan indah saat terbitnya matahari harus aku kubur dalam-dalam karena pagi itu ternyata langit cukup berawan. Tapi . . . keindahan yang bisa dinikmati dari sana bukan melulu saat terbitnya matahari. Pemandangan alam yang tersajipun sangatlah indah. Deretan gunung di kejauhan yang tampak seperti berlapis lapis, ditambah juga dengan mulai tampak jelasnya danau kawah yang memang menjadi tujuan utama pendakian itu membuat banyak pelancong terkagum-kagum, tidak terkecuali aku sendiri.

Dan ketika banyak orang datang ke Kelimutu untuk berwisata karena tertarik dengan keindahan dan keunikannya, masyarakat Suku Lio yang bermukim di sekitar gunung itu memiliki tujuan lain ketika mereka datang mendaki Kelimutu. Bagi mereka, Kelimutu merupakan gunung yang mereka keramatkan. Mereka percaya bahwa Kelimutu, khususnya ketiga danau kawahnya merupakan tempat peristirahatan abadi arwah mereka yang sudah meninggal.

Menurut kepercayaan mereka, ketika seseorang meninggal, maka arwahnya akan datang ke Kelimutu dan bertemu dengan Konde Ratu sang Juru Kunci yang bertugas menilai perbuatan orang tersebut semasa hidupnya, kemudian menempatkannya di tempat yang sesuai.

Mereka yang selama hidupnya banyak berbuat kebaikan dan meninggal dalam usia lanjut, akan ditempatkan di Tiwu Ata Mbupu atau Danau Para Orang Tua. Danau ini terpisah lokasinya dari dua danau lainnya. Ketika aku ke sana, aku menemukan kalau danau ini berwarna hijau tua meskipun konon biasanya berwarna kebiruan. Berdasarkan catatan yang ada, sejak tahun 1915 sampai tahun 2011, Tiwu Ata Mbupu telah berganti warna sebanyak 16 kali. Tercatat bahwa danau ini pernah berwarna coklat gelap, coklat kehijauan, bahkan putih.

Kemudian bagi mereka yang meninggal selagi muda, arwahnya akan ditrempatkan di Tiwu Koo Fai Nuwa Muri. Danau ini merupakan danau yang paling besar selain juga paling dalam di antara ketiga danau yang ada di sana. Warnanya hijau cerah meskipun pernah juga warnanya berubah menjadi hijau muda mendekati putih. Dalam periode yang sama, dilaporkan bahwa Tiwu Koo Fai Nuwa Muri pernah berganti warna sampai 25 kali.

Danau yang terakhir disebut Tiwu Ata Polo yang menjadi tempat berkumpulnya arwah para tukang tenung dan mereka yang selama hidupnya berbuat jahat. Biasanya danau ini berwarna merah gelap meskipun ketika aku kesana berwarna hijau terang sama seperti warna Tiwu Koo Fai Nuwa Muri. Danau ini merupakan danau yang paling kecil dan juga paling dangkal, sehingga kontras sekali dengan Tiwu Koo Fai Nuwa Muri yang berada di sebelahnya dan hanya dipisahkan oleh dinding tipis yang rawan longsor kalau sampai terjadi gempa besar.

Meskipun paling kecil, tetapi ternyata Tiwu Ata polo merupakan danau yang paling sering berganti warna. Tercatat sejak tahun 1915 sampai 2011 danau ini pernah berganti warna 44 kali. Jika dilihat dari puncak Kelimutu, Tiwu Ata polo seolah mengintip di belakang Tiwu Koo Fai Nuwa Muri. Meskipun demikian, sebetulnya danau ini bisa dilihat lebih dekat dari sebuah anjungan yang terletak sedikit di bawah puncak Kelimutu.

Kekeramatan Gunung Kelimutu masih terjaga hingga saat ini di antara masyarakat Suku Lio. Sampai sekarang mereka secara rutin tetap menyelenggarakan upacara Pati Ka Du’a Bapu Ata Mata atau upacara membeir makan arwah leluhur dan sanak saudara yang tinggal di sana. Biasanya upacara dilakukan pada pertengahan bulan Agustus tiap tahunnya. Pada saat itu para pemuka masyarakat yang disebut Mosalaki akan secara bersama-sama berkumpul di sebidang tanah di dekat danau sambil membawa sesaji. Doa dan mantra akan diucapkan dengan diiringi lagu-lagu tradisional sambil menarikan tari tradisional Suku Lio yang disebut Gawi.

Nah . . . kembali ke puncak Kelimutu yang ketika subuh ramai pelancong; ketika matahari sudah semakin meninggi dan suhu yang semula dingin menggigit perlahan mulai menghangat kawasan puncak juga mulai ditinggalkan. Berbondong-bondong para pelancong mulai berjalan turun, tetapi pada saat itu pulalah para penunggu Kelimutu mulai muncul. Mereka biasanya hanya menatap para pelancong sambil berharap ada yang memberikan sekedar bahan pengganjal perut di pagi hari. Para penunggu Kelimutu ini adalah kera-kera berbulu abu kecoklatan. Beberapa dari mereka hanya duduk diam di pagar atau anak tangga menuju ke puncak, ada pula yang menatap para pengunjung dari balik semak dan perdu, sementara beberapa lagi aktif berlari-larian dengan cekatan di tebing dinding danau.

Nah . . . bagaimana? Tertarik untuk datang ke Kelimutu? Aku sendiri masih tertarik untuk berkunjung ke sana lagi . . . .–

Categories: My Pictures, Travel Pictures | Tags: , , , , , , , , | 11 Comments

The war-like ritual in Sumba

I was in Sumba, Indonesia, in Ratenggaro Village to be precise. That very morning, the usually quiet village looked pretty busy and also crowded. Many people passing by the village’s gate; almost all of them walked toward the village square while many had already gathered around the square ignoring the heat caused by the scorching morning sun. Locals and visitors were mingled in there. Sounds of talking people were like the sound of buzzing bees rising into the air. Some local vendors had been ready with their merchandise under temporary tents offering bottled waters, simple snacks, and also simple toys to everyone passing their stalls. No doubt that there was a big event being held in there.

Yup . . . you’re right. That day was the day of Pasola, a big event for the Sumbanese, especially the Kodi Tribe who live in the western part of the island. Pasola was part of a series of traditional ritual which been held once a year before the rice planting season.

The name Pasola was derived from a word in local language, “sola” or “hola” which means a wooden spear that would be thrown to each other from a fast running horse between two opposing groups of clans or tribes. The word then added by prefix “pa” and became “pasola” or “pahola” that means a game or competition. So the word “pasola” could be translated as a battle like game where the participants throwing the wooden spears to their opponents while riding a fast running horse.

That morning, two groups of Sumbanese warriors were ready on each side of the fields. They sit on the back of Sumba endemic horses called the sandel horses which was known as one of the finest horses in the region. The horses were not too big, but have good endurance, easy to manage and also a fast runner. Those warriors held some wooden spears in their hands. The spears were dull, but it still could cause a serious injury when it hit bare flesh. Yes, casualties did really occur in this ritual, even death was not impossible to happen if the wooden spears hit a vital part of the body.

To the Sumbanese belief, blood that shed in a Pasola would fertilize the soil and made a very rich harvest in the coming harvesting season. No grudge was held against any casualties in the ritual; even death would be treated as a great honor.

As the sun rose higher, the tension in the battlefield also arose. The sound of whinnying horses was heard among the buzzing sounds of people. One or two warriors from each clan starting galloping their horses towards their opponents to provoke. War cry also heard from some young warriors while they made their horses run fast around the field.

At a specific time, some village’s elders with their aides entering the field followed by some horsemen. When they reached the center of the fields, those elders summoned the warriors from both sides, gave some short speech and blessed them and the square as well. It did not take too long. And when they left the square, the war began.

Warriors from each side spurred their horses and then threw their wooden spears to their targeted opponents. The targeted warriors were also very agile; they would duck or even slid at the side of their horses’ body to evade. Some of them were skilful and experienced in such a game so they can catch the wooden stick threw to them. Many others suffer and even fell from their horses when being hit by a wooden spear. Loud cheers broke into the hot air every time those situations happened.

Pasola was held once a year in the month of February and March. There were no exact dates for the ritual; it was the village elders’ decision. There were many preceding rituals before the Pasola. Unfortunately, I was only able to attend the Pasola. Hope that I can also attending and documenting the rituals before and after the Pasola next time I visit Sumba again.–

Keterangan :

Pagi di pertengahan bulan Maret yang lalu, setelah beberapa saat berjalan-jalan di Pantai Ratenggaro seperti yang sudah aku ceritakan di postingan yang lalu, aku kembali menuju ke arah Desa Adat Ratenggaro.Hari sudah semakin siang dan sinar matahari pun sudah terasa makin menyengat. Meskipun demikian, orang yang berlalu lalang rasanya semakin banyak saja. Semuanya bergerak ke satu tujuan, sebuah lapangan terbuka yang terletak tidak jauh dari gerbang masuk desa.

Sesampainya di lapangan tersebut, aku melihat sudah banyak juga orang yang berdiri di sekeliling lapangan. Para pedagang musiman juga sudah menggelar barang dagangan mereka yang berupa minuman ringan, makanan kecil dan juga beberapa jenis mainan sederhana, dibawah lindungan terpal ataupun kain yang dibuat sebagai tenda darurat. Dan seperti pada umumnya terdapat di tiap-tiap keramaian, ada saja umbul-umbul perusahaan rokok yang sudah berdiri berjajar dengan rapi 😛

Hari itu di Desa Ratenggaro memang sedang ada keramaian, sebuah event tahunan yang menyedot banyak pengunjung, bahkan pengunjung dari tempat yang sangat jauh karena aku juga melihat banyak turis asing ikut berkerumun di sekitar lapangan itu. Ya . . hari itu bertepatan dengan diselenggarakannya Pasola di daerah itu.

Pasola adalah sebuah upacara adat yang dijalankan oleh masyarakat Sumba, khususnya suku Kodi yang tinggal di bagian barat Pulau Sumba ini. Pasola diadakan setahun sekali sebelum musim tanam padi. Pasola berasal dari kata “sola” atau “hola” yang berarti tombak kayu yang saling dilontarkan dari atas punggung kuda yang dipacu dengan kencang oleh dua kelompok penunggang kuda yang berasal dari desa yang berbeda ataupun kelompok yang berbeda. Setelah mendapat awalan “pa” artinya berubah menjadi “permainan”. Jadi “pasola” atau” pahola” bisa diartikan sebagai permainan ketangkasan saling melemparkan tombak kayu antara dua kelompok penunggang kuda yang melakukan pelemparan dari atas punggung kuda yang sedang dipacu kencang.

Pagi itu, dua kelompok penunggang kuda sudah nampak bersiaga di kedua ujung lapangan. Di tangan mereka tergenggam tiga atau lebih tombak kayu yang siap untuk dilontarkan ke arah lawan nantinya. Mata mereka tajam mengawasi kelompok lawan di seberang lapangan. Kuda-kuda sandel yang mereka tunggangi seolah bisa merasakan ketegangan yang makin meninggi, beberapa di antara kuda-kuda itu meringkik sementara yang lain menghentak-hentakan kaki depannya ke tanah seolah tidak sabar untuk segera dipacu menyongsong lawan.

Tombak-tombak kayu yang dipergunakan dalam pasola ujungnya tumpul. Ketika tombak kayu itu dilontarkan dengan sekuat tenaga, meskipun tumpul, tetap saja akan mampu menghasilkan luka terbuka jika terkena. Dalam pasola, luka terbuka yang menyebabkan tumpahnya darah, bahkan juga tewasnya peserta pasola mungkin saja terjadi. Bagi masyarakat Sumba, darah yang membasahi bumi dipercaya akan menyuburkan tanah dan membuat hasil panen mendatang berkelimpahan. Karena itulah bagi mereka nggak ada dendam yang dibawa keluar dari arena pasola. Bahkan kematian dalam arena pasola dianggap sebagai kematian yang sangat terhormat.

Ketika hari makin siang dan ketegangan juga terasa meningkat seiring dengan bertambah panasnya udara di sekitar lapangan, satu atau dua penunggang kuda mulai menderapkan kudanya ke arah kelompok lawan. Mereka hanya berputar-putar di depan kelompok lawan seolah mengejek dan menantang.

Ketika tiba waktunya, masuklah iringan tetua adat yang disebut “Rato” beserta dengan pembantu-pembantunya, diiringi beberapa penunggang kuda. Setibanya di tengah lapangan mereka memanggil perwakilan dari kedua kelompok penunggang kuda yang akan “bertempur” di arena pasola hari itu. Entah apa yang disampaikannya karena aku kebetulan berdiri cukup jauh dari mereka. Kelihatannya sih mereka diberkati. Lapangan yang akan dipakai juga mereka berkati. Setelah ritual itu selesai, Sang Rato beserta dengan pengiringnya kembali keluar dari lapangan, dan pertempuran pun dimulai . . .

Para penunggang kuda dari kedua belah pihak mulai memacu kudanya keluar dari kelompoknya masing-masing menyerbu ke arah kelompok lawan. Ketika mereka menjumpai lawan yang masuk dalam jarak tembak mereka, maka terlontarlah tombak-tombak kayu dari tangan mereka. Ketangkasan mereka dalam melontarkan tombak kayu dari atas kuda yang sedang berlari kencang memang patut diacungi jempol, apalagi kuda-kuda yang mereka tunggangi tidak dilengkapi dengan pelana. Hanya semacam bantal yang mengalasi duduk mereka di punggung kuda. Para penunggang kuda itu tidak hanya tangkas dalam melontarkan tombak kayu lho, mereka juga tangkas menghindar dari tombak kayu yang meluncur deras ke arah mereka; beberapa orang menghindar dengan cara berbaring di punggung kuda, beberapa lainnya menggantung di samping tubuh kuda yang masih berlari kencang, bahkan ada pula yang cukup tangkas menangkap tombak kayu yang terbang ke arah mereka. Sorak sorai penonton membuat para penunggang kuda semakin bersemangat dan “pertempuran” juga makin seru.

Pasola biasanya diadakan pada bulan-bulan Februari dan Maret. Tanggal pastinya ditentukan oleh Rato. Sebetulnya sebelum dilaksanakannya pasola, ada juga ritual-ritual lain yang mereka jalankan di hari-hari sebelumnya. Sayang waktu itu aku hanya sempat menyaksikan ritual pertempurannya saja. Mudah-mudahan kali berikut aku ke Sumba lagi di bulan Februari atau Maret, aku sempat juga menghadiri ritual-ritual yang mendahului pasola.–

Categories: Event Pictures | Tags: , , , , , , , | 13 Comments

A piece of cake on the sea

What I meant with a piece of cake on the sea was not really a piece of cake, of course. It was actually a tiny island on a place called Tapak Balai in Bengkulu, Indonesia. The shape of the island was really looked like a piece of cake on a plate. Let me show you the island’s pictures . . .

So . . what do you think? It was pretty similar, wasn’t it? 😆

It seemed that in the past the tiny island was a part of Tapak Balai Beach. The strong waves of the Indian Ocean which continuously slammed to the cliff on the beach caused a very serious damage. Parts of the beach collapsed, even a part of the main road which connected Bengkulu to Padang was collapsed, too; but now the government had already made a new road parallel and quite close to the collapsed road. Up till now, travelers could see the remnants of the collapsed road and imagining how bad the land slide was when it happened.

Anyway, in Tapak Balai, the abrasion was not only made disasters, on the contrary it made the place prettier and unique. The waves had already carved the cliff on the beach, even made a part of the beach been separated from the mainland.

The pretty landscape in there attracted people to come, and that made the locals saw an opportunity to get financial benefit from the tourists. Some of them made a simple restaurant that provided simple foods and refreshments, while others provide simple wooden chairs to be used by travellers who wanted to enjoy the place.

Tapak Balai Beach was not a beach which could be used to play along its shore. It could not be used to swim or just playing in the water, too. The shore was far below the cliff, and the waves were pretty strong. It was not a sandy beach; it seemed that the beach was a corral or rocky beach. More than that, it was not easy to climb down to the shore, as the road and also the parking lot was located at the top of the cliff.

Tapak Balai Beach was quite easy to find as it was located on the main road that connected Bengkulu to Padang. It was located in Tebing Kandang Village which could be reached within 1 hour drive from Bengkulu city center. Teenagers used to use their motorcycles to come to Tapak Balai. The unique small island was the main magnet that attracted them. It was said that the island was similar to that in Bali called Tanah Lot, hence they called the island as Bengkulu’s Tanah Lot.

The beach was facing to the west, to the Indian Ocean. So for them the sunset hunter and sunset lover, Tapak Bali could be used to wait for the sunset while enjoying the refreshing young coconut water.—

Keterangan :

Judulnya membingungkan ya? Sepotong kue di tengah laut. Trus memang kenapa kalau ada kue di tengah laut? Biar aja dimakan ikan. Ya kan? 😛

Yang aku maksud dengan sepotong kue di tengah laut itu sebetulnya bukan betul-betul kue, melainkan sebuah pulau kecil di lepas Pantai Tapak Balai, Bengkulu, yang bentuknya mengingatkan aku akan bentuk sepotong kue di atas piring. Coba deh perhatikan bentuknya di foto-foto yang aku sertakan dalam postingan kali ini.

Gimana . . ? Mirip kan? 😆

Rasanya, dulunya pulau kecil itu merupakan bagian dari daratan Pulau Sumatra, hanya saja gempuran ombak Samudera Indonesia yang ganas dan terus menerus selama berbilang tahun akhirnya membuat sebagian tebing di pantai itu menyerah dan runtuh. Bagian tebing yang masih bertahan dan nggak mau menyerah kepada gampuran ombak itu tetap tegak berdiri meskipun akhirnya harus terpisah dari daratan dan membentuk sebuah pulau mungil di lepas pantainya.

Di Pantai Tapak Balai inilah kita bisa menemukan bahwa abrasi hebat dari air laut ternyata tidak hanya menyisakan kehancuran, tetapi bisa juga menghasilkan keindahan dan keunikan, bahkan bisa memberikan manfaat ekonomis bagi masyarakat setempat. Bagaimana tidak, pemandangan tebing pantai yang kemerahan dengan pulau kecil yang terbentuk dari abrasi itu ternyata menarik banyak pelancong untuk datang berwisata ke sana. Banyaknya pengunjung membuat munculnya kedai-kedai sederhana yang menyediakan aneka penganan dan minuman ringan, selain juga dibangunnya meja dan kursi kayu sederhana yang bisa membuat pelancong semakin betah menghabiskan waktu di sana.

Pantai Tapak Balai terletak di tepi jalan raya Trans Sumatra yang menghubungkan Bengkulu dengan Padang. Jadi tidaklah sulit untuk menemukan lokasinya. Meskipun demikian, pengguna jalan tidak akan bisa langsung melihat dahsyatnya deburan ombak Samudera Indonesia yang sempat membuat jalan ini terputus karena longsor beberapa waktu lalu karena pantai aslinya terletak jauh di bawah. Ya . . jalan raya terletak di lamping bukit dan pantai yang sebenarnya terletak di kaki bukit. Kedai-kedai yang ada dan juga meja kursi kayu pun nggak terletak di tepi pantai seperti yang kita bayangkan, tetapi terletak di sebidang tanah di bekas jalan lama yang memungkinkan pelancong duduk-duduk santai di bawah rindangnya pepohonan sambil memandang laut lepas yang dihiasi adanya sebuah pulau yang mirip sepotong kue itu.

Pantai yang terletak di Desa Tebing Kandang ini jaraknya lumayan dekat dari Bengkulu. Kalau mempergunakan kendaraan roda empat, Pantai Tapak Balai bisa dicapai dalam waktu kurang lebih satu jam saja melalui jalanan yang lumayan mulus. Bahkan para remaja biasanya kesana dengan motor mereka hanya untuk bersantai sambil menikmati pemandangan pulau yang sering mereka sebut dengan nama Tanah Lotnya Bengkulu itu. Sore hari akan menjadi waktu yang menjadi favorit mereka karena pemandangan akan semakin mempesona dengan latar langit lembayung menjelang saat-saat terbenamnya matahari.–

Categories: Travel Pictures | Tags: , , , , , | 18 Comments

Blog at WordPress.com.