I was still in North Kalimantan Province, Indonesia. After spending a night in Tarakan, I moved further north to a town called Malinau.
To reach Malinau from Tarakan, travelers could choose to fly in a very short flight or a long trip through Sesayap River on a speedboat. The flight from Tarakan to Malinau was only 17 minutes, while the speedboat from Tarakan’s port to Malinau’s port took approximately 3 hours.
So what made me went to Malinau? 🙄
First of all, I’d never been in Malinau before. Another reason was . . . I heard that there was a unique waterfall located close to Malinau. The waterfall was not high; even it might be called a dwarfed waterfall. Or . . . was it waterfall the right term to call this one?
The height of the waterfall was only a few meters. It was a terraced waterfall that consisted of many terraces with a shallow pool under each terrace. The final pool was a river that literary bordering the forest area with the non forest area; and the two parts was connected by a hanging bridge.
Travelers could climb and play at each pool without worry because it was not slippery. Aside of that, the more interesting thing was the fact that the water flowed through the waterfall was quite warm.
At that time, triggered by an escalating curiosity, I asked my trip partner to walk deeper to the forest, along by the river to find the hot spring. After walking for about 200 meters, our steps stopped when there was a giant rock blocked our way. The river we followed also ended at that very place. It seemed that the spring was located behind the rock, because when we stood in the river, we could feel warmer current flow from that direction. We also saw a tiny waterfall beside the rock.
Before we decided to go back to the waterfall, my trip partner suddenly saw a path that almost covered by grass and bushes located across the river. Was that the path that would lead us to the real hot spring?
So . . . to find the answer, instead of heading back to the waterfall, we crossed the river and started to climb, to reach and then followed the hidden path.
The path ended at a point which forced us to go down to the river and we continued our trek literary in the middle of the warm current with cliff on both sides. We walked against the current, and the further we walk the warmer the water in the river.
At last, hidden behind a cliff, we found a pool with vapor emanating from the water, indicating that the water was quite hot comparing to the temperature of the surrounding area. In the middle of the pool, there was a rock covered by yellowish material, and from the rock hot water gushed like a man made fountain.
The same yellowish material also covering some parts of other rocks located at the pool side. Some of those rocks also had hot water squirting although those were not as big as the natural fountain in the middle of the pool.
The place, which was known to locals as Semolon Hot Spring, located in Paking Village, Malinau Regency. It took approximately 1.5 hours drive to come to the place from the town center. There was no public transports serving the route, so to come to Semolon, travelers should rent a car or a bike in Malinau. The place was relatively deserted when I was there, but it was good for travelers who want to feel and to hear the nature, wasn’t it? 🙂
Keterangan :
Aku masih pengen sedikit membagikan catatan dan foto-foto yang aku dapatkan di Propinsi Kalimantan Utara nih ceritanya. Jadi . . . setelah semalam bermalam di Tarakan, aku beranjak lebih jauh ke utara, menuju sebuah kota yang menjadi ibukota dari salah satu kabupaten yang berlokasi tidak jauh dari perbatasan negara kita dengan Malaysia. Nama kota yang menjadi tujuanku itu adalah Malinau. Konon nama kota ini muncul pada masa penjajahan Belanda. Jadi ketika itu ada orang Belanda yang datang kepada penduduk setempat dan menanyakan nama sungai yang mengalir di daerah itu, tetapi penduduk setempat menyangka kalau orang Belanda itu menanyakan apa yang sedang mereka kerjakan. Karena itu mereka menjawab sedang membuat sagu dari pahon aren. Dalam bahasa penduduk setempat, membuat sagu disebut mal dan pohon aren di sebut inau. Dari situlah orang-orang Belanda mengenal daerah itu dengan nama Malinau, dan sampai sekarang daerah yang akhirnya menjadi kota itu tetap disebut dengan nama Malinau.
Untuk menuju Malinau, pelancong bisa memilih moda transportasi udara ataupun moda transportasi air. Jika memilih untuk terbang, jarak Tarakan – Malinau bisa ditempih dalam waktu yang sangat singkat, kurang lebih hanya 17 menit; sedangkan jika mempergunakan transportasi air, jarak tersebut bisa ditempuh dalam waktu kurang lebih 3 jam dengan mempergunakan speedboat.
Jadi . . . apa yang membuat aku tertarik untuk ke Malinau? 🙄
Pertama-tama tentu saja karena aku belum pernah ke sana sebelumnya 😛. Alasan lain adalah karena aku dapat kisikan bahwa di sana terdapat sebuah air terjun yang unik meskipun air terjun tersebut tidaklah tinggi, bahkan mungkin bagi beberapa di antara kita tidak akan menyebutnya sebagai air terjun.
Betapa tidak, dengan tinggi yang hanya beberapa meter, itupun airnya tidak terjun dengan deras ke sebuah kolam di dasarnya seperti umumnya air terjun yang kita kenal, melainkan airnya seolah turun melalui beberapa tingkatan yang masing-masing tingkatannya memiliki kolam dangkal, sebelum akhirnya mengalir ke sebuah sungai yang seolah membatasi wilayah hutan tempat air yang mengaliri alur air terjun itu berasal, dengan daerah yang tidak berhutan, dan sebagian sudah dijadikan sarana parkir kendaraan yang dilengkapi dengan bangunan serupa gazebo untuk duduk-duduk para pelancong.
Meskipun demikian, pelancong tetap bisa menyeberangi sungai tersebut dan bermain di kaki air terjun itu, baik dengan cara menyeberangi sungai yang dangkal itu ataupun melalui jembatan gantung yang melintang di atas sungai.
Selain untuk mengagumi keindahannya, banyak pelancong sengaja menyeberangi sungai dan bermain di kaki air terjun itu, bahkan memanjat dan bermain di kolam-kolam kecil yang berada di masing-masing tingkatan air terjun itu. Banyak dari mereka sengaja duduk dan berendam di situ karena air yang mengalir di air terjun itu hangat. Yup, betul-betul hangat, dan itulah keunikan air terjun ini disamping bentuknya yang tidak biasa itu. Banyak yang percaya kalau air yang hangat itu bisa menyembuhkan penyakit kulit 😕
Keunikan itu membuat aku dan teman seperjalananku tertarik untuk menyusuri sungai yang air hangatnya mengalir di air terjun itu untuk mencari mata air panasnya.
Perjalanan menyusuri sungai dan menembus hutan cukup menyenangkan dan relatif tidak sulit karena sudah ada jalurnya, maklumlah karena tempat itu sempat dicoba dikembangkan menjadi tujuan wisata pemandian air hangat meskipun rupanya tidak berhasil. Aku sempat melihat bekas-bekas bangunan kolam renang dan kamar ganti yang sudah rusak. Ada juga beberapa jembatan kayu yang dibangun untuk memudahkan para pelancong menyeberangi anak-anak sungai yang sesekali memotong jalur jalan di tengah hutan itu. Suasana cukup sunyi, hanya desir angin yang menggoyangkan daun-daun pepohonan saja yang terdengar. Sesekali terdengar juga suara burung ataupun suara berkeresek ketika ada binatang yang lari karena terusik dengan kehadiranku berdua teman seperjalananku. Tidak terdengar suara pelancong lain ketika itu. Apalagi matahari juga sudah mulai condong ke barat.
Perjalananku akhirnya terhenti ketika aku dan teman seperjalananku mendapati kalau jalan setapak yang kami ikuti bercabang dua, yang pertama melewati sebuah jembatan kayu yang sudah lapuk dan kelihatan sudah lama tidak dilewati sementara cabang yang kedua berbelok di samping jembatan dan berakhir di sungai. Wah . . . dua-duanya mentok 😦 . Sungainya pun seolah-olah memang bersumber di situ karena aku melihat sebuah batu besar menutupi aliran sungai dan tampak air sungai keluar dari bawah batu itu. Di sampingnya tampak sebuah pancuran kecil. Aku mencoba merasakan suhu air di pancuran itu yang ternyata cukup dingin, sementara air yang mengalir di bawah batu terasa hangat. Jangan-jangan memang mata airnya ada di bawah batu besar itu . . .
Kebetulan tepat sebelum kami memutuskan untuk kembali ke air terjunnya, teman seperjalananku sempat melihat kalau di seberang sungai, mengarah agak ke atas, tampak ada jalan setapak yang tertutup belukar. Setelah berunding sejenak, akhirnya diputuskan untuk mencoba mengikuti jalan setapak itu. Jalurnya memang tidak mudah. Di beberapa tempat harus memanjat dengan berpegangan pada akar atau batang pohon yang terdapat di situ; bahkan di suatu tempat jalurnya berhenti di tebing sungai yang menyebabkan aku dan teman seperjalananku masuk ke sungai dan melanjutkan perjalanan melalui sungai yang diapit tebing dan airnya terasa semakin meningkat suhunya.
Akhirnya, dibalik sebuah tebing, kami menemukan sebuah kolam dangkal dengan uap tipis melayang di permukaannya yang menandakan bahwa air kolam itu relatif panas jika dibandingkan dengan kesejukan alam sekitarnya. Di tengah-tengah kolam tersebut, terdapat sebuah batu yang permukaannya seolah dilapisi sesuatu yang berwarna kuning. Dan dari batu itu memancar air yang cukup deras sehingga menyerupai air mancur. Rupanya inilah sumber airnya karena air yang terpancar dari bebatuan itu terasa panas.
Air panas juga memancar keluar dari beberapa celah batu di sekitar kolam itu, meskipun alirannya tidak sederas air yang memancar dari batu yang berada di tengah kolam.
Setelah beberapa saat mengagumi keunikan tempat itu sekalian beristirahat, aku dan teman seperjalananku segera kembali menyusuri sungai dan mencari jalan setapak yang semula sudah membawa kami berdua ke situ. Sebetulnya jaraknya sih tidak terlalu jauh. Dari air terjun ke mata air panas itu rasanya hanya sekitar 250 meter. Cuma memang medan yang harus ditelusuri sejak jalur setapak yang tertutup belukar itu agak berat.
Eh iya, sejak tadi aku belum menyebutkan nama tempat ini ya? Sorry, keasyikan cerita akhirnya jadi lupa :P. Orang mengenal tempat itu dengan nama Sumber Air Panas Semolon. Lokasinya ada di Desa Paking, Kecamatan Mentarang, Kabupaten Malinau. Untuk mencapai tempat ini, waktu itu aku butuh waktu sekitar satu setengah jam berkendara dengan mobil dari pusat kota Malinau melalui jalan yang beberapa ruasnya tidak terlalu bagus.
Nah . . . tertarik untuk berkunjung ke tempat yang unik ini?