Lampung Barat sai betik, Danau Ranau sai helau sa, Payu kham khamik-khamik, Cekhema di Mariza
Itu adalah sepenggal pantun dalam bahasa daerah Lampung yang antara lain menyebutkan bahwa Danau Ranau merupakan sebuah danau yang indah. Jangan minta aku terjemahin kata demi kata ya, aku gak ngerti lho. Buat tahu bahwa pantun itu menyebutkan kalau Danau Ranau itu indah saja aku setengah mati nanya kiri kanan. Yang ngerti pun cuma ngerti beberapa patah kata saja. Nanti deh kalau aku dapat terjemahan lengkapnya, aku up-date tulisan ini. Itupun kalau dapat lho ya
Ok deh, kali ini aku pengen sedikit cerita mengenai perjalananku ke Danau Ranau, sebuah danau yang tersembunyi di antara deretan bukit dan gunung di Pegunungan Bukit Barisan bagian selatan. Kata orang, danau terluas kedua di Sumatera ini semakin indah karena adanya Gunung Seminung yang berdiri kokoh seolah-olah menaungi danau yang tenang ini. Konon kabarnya jalan menuju kesana harus ditempuh dengan jalan darat selama lebih dari 6 jam, dari Bandar Lampung menuju ke arah Palembang melalui jalan yang tidak terlalu bagus. Kalau kita berangkat dari Palembang-pun, waktu tempuhnya relatif hampir sama. Itu pula sebabnya belum terlalu banyak orang yang mengenalnya, kecuali orang-orang yang memang berasal dari daerah itu sendiri, atau orang-orang yang memang hobby kluyuran kaya aku 🙂
Ide untuk jalan membuktikan cerita tentang keindahan Danau Ranau sebetulnya sudah timbul sejak lama. Kebetulan sekolah anak-anakku diliburkan beberapa hari untuk sebuah term-break. Iseng-iseng aku tanya mereka, mau apa gak kalau aku ajak jalan ke sebuah danau di Sumatera, tetapi jalan ke sana akan makan waktu lama, dan di lokasi belum tentu ada penginapan yang enak. Tanpa aku duga, mereka langsung setuju. Istriku juga menyetujuinya, malah dia langsung membuka peta Sumatera untuk melihat rute yang akan dilalui nantinya.
Nah berhubung semua sudah ok, mulailah aku dan istri sibuk mencari mobil sewaan dengan sopirnya sekalian yang bisa dan tahu jalan ke arah Ranau, di samping juga mencari ticket pesawat Jakarta – Bandar Lampung pergi pulang. So far aku belum berani jalan di daerah mempergunakan kendaraan umum dengan membawa keluarga, apalagi daerah yang belum pernah aku datangi sama sekali. Bukan apa-apa sih, selain faktor keamanan dan kenyamanan, kalau mempergunakan kendaraan sewa, aku dan keluarga merasa lebih bebas. Kapan perlu berhenti kalau ada pemandangan indah, kita bisa berhenti tanpa perlu diomelin orang lain. Belum lagi kalau aku minta untuk mempergunakan rute yang tidak biasa untuk menghindari macet atau sekedar mencari trempat istirahat. Kalau pakai kendaraan umum kan gak bisa begitu.
Setelah banyak pertimbangan, akhirnya aku putuskan mempergunakan Sriwijaya Air. Ini pertama kalinya aku mempergunakan maskapai ini. Ada rasa was-was dengan service-nya, tapi ok-lah. Kalau tidak dicoba kan kita tidak tahu bukan? Apalagi dengan harga ticket promo yang aku dapatkan.
Mobil akhirnya juga bisa didapat dengan rekomendasi seorang teman dari Lampung. Siip . . . jadi deh berangkat. Ganjelannya tinggal satu, yaitu soal penginapan. Sampai tiba tanggal keberangkatan masih belum kebayang mau nginap dimana disananya nanti. Tapi istriku menenangkan aku, katanya dia sudah menghubungi beberapa temannya yang tahu mengenai daerah yang akan aku dan keluarga datangi, dan teman-temannya mengatakan bahwa kalau hanya untuk sekedar menginap, maka tidak perlu khawatir, apalagi relatif tidak ada turis yang menuju ke daerah itu. Memang istriku ini amazing juga, di saat-saat begini, selalu ada saja channel-nya yang bisa membantu. Ini sudah keberapa kalinya lho.
So . . . akhirnya pada hari H, pagi-pagi aku dan keluarga sudah dalam perjalanan menuju Bandara Soekarno-Hatta. Hal yang sudah kuperkirakan ternyata terjadi juga, pesawatnya delay. Untung cuma delay setengah jam, sehingga jam 11.00 aku dan keluarga sudah mendarat di Bandara Radin Intan II, Bandar Lampung. Setelah mengurus bagasi dan juga bertemu dengan pengemudi kendaraan yang disewa, aku dan keluarga langsung berangkat menuju Ranau. Tetapi berhubung waktu sudah menunjukkan mendekati tengah hari, diputuskan untuk berhenti makan siang dulu di Bandarjaya, sebuah kota kecil kira-kira 1 jam perjalanan dari airport Bandar Lampung mengarah ke utara.
Meskipun kecil, Bandarjaya ternyata cukup ramai, dan banyak sekali pilihan rumah makan. Untuk menghemat waktu, aku dan keluarga pilih mampir ke sebuah rumah makan Padang. Aku pengen cepat-cepat dengan harapan sempat mendapatkan sunset di tepi Danau Ranau. Itu pula sebabnya aku berharap agar cuaca cerah sepanjang hari itu. Dalam hati kecilku, sebetulnya aku khawatir juga, karena berdasarkan prakiraan cuaca yang sempat aku lihat, diprakirakan hujan akan turun di sekitar Danau Ranau pada siang hingga sore harinya. Ya . . . mudah-mudahan prakiraan cuacanya meleset deh.
Dari Bandarjaya perjalanan lumayan lancar, apalagi ternyata jalan yang dilalui juga praktis beraspal mulus, tidak seperti yang diperkirakan semula. Satu-satunya hambatan adalah banyaknya truk-truk besar yang melintas di jalan itu. Maklumlah karena jalan yang aku ambil adalah jalan lintas Sumatera.
Menjelang sore, apa yang aku khawatirkan terjadi juga. Langit yang semula cerah, dengan tiba-tiba berubah semakin gelap, dan tidak lama kemudian hujan mulai turun. Kadang lebat, kadang berubah menjadi gerimis. Begitu terus, bahkan setelah melewati kota Bukit Kemuning juga masih turun hujan gerimis, meskipun mendung berangsur-angsur memudar. Sayang juga, padahal sepanjang perjalanan banyak pemandangan indah, dan juga beberapa kali jalan yang aku lalui melalui pedesaan yang masih dipenuhi dengan rumah-rumah adat Lampung yang terbuat dari kayu dan tampak tua, meskipun masih kelihatan terawat juga. Wah harus atur waktu buat jalan kesini lagi nih.

road to Lumbok Resort
Hujan baru benar-benar berhenti pada saat kendaraan yang aku tumpangi memasuki kota Liwa, meskipun mendung masih tetap bergayut di langit. Liwa, Batu Brak, Kota Batu, hanya aku lewati dengan harap-harap cemas bisa mencapai Lumbok sebelum matahari terbenam. Selain itu, aku juga berharap masih bisa mendapatkan kamar yang nyaman untuk bermalam di Seminung Lumbok Resort yang berlokasi tepat di bibir Danau Ranau.
Setelah beberapa kali bertanya, akhirnya lokasi resort yang aku tuju ketemu juga. Cuma koq gelap banget ya? Mana sepi lagi. Anak-anakku sudah kuatir kalau tersesat atau salah jalan. Tapi papan petunjuknya betul koq. Akhirnya aku putuskan terus saja mengikuti petunjuk arah untuk menuju ke front office, sambil sesekali berhenti kalau mendapatkan spot yang bagus.

a view from Lumbok Resort
Di ujung jalan akhirnya ketemu juga front office-nya. Tapi ya memang gelap dan sepi. Di situ cuma ada dua orang yang sedang mengobrol di depan pintu utama kantornya. Sewaktu aku dan istri menghampiri mereka untuk bertanya, ternyata sore itu Seminung Lumbok Resort sedang mendapat giliran pemadaman listrik. Repotnya lagi, karena aku dan keluarga merupakan satu-satunya tamu yang akan menginap malam itu, mereka tidak mau menyalakan generator karena rugi. Ya sudah, apa boleh buat, aku batalkan saja rencana menginap di situ. Masa mau nginep bergelap-gelapan, gak ada makanan buat makan malam lagi. Padahal tempatnya kelihatan ok dan pemandangannya lumayan bagus lho.
Jadilah dari situ aku dan keuarga berputar balik mengarah ke jalan utama lagi dalam gelap. Betul-betul gelap lho, selain karena sudah mulai malam, ditambah mendung, ditambah lagi tidak ada listrik. Semula aku bermaksud kembali lagi saja ke Liwa, toh paling cuma sekitar 40 menit dari situ, dan sudah pasti di Liwa ada penginapan, karena sewaktu lewat tadi aku sempat melihatnya. Tetapi istriku mengusulkan untuk lanjut saja, dengan pilihan bisa menginap di Wisma Pusri di Sukarame, atau mencari losmen di Simpang Sender. Pilihan untuk menginap di Sukarame tidak aku ambil karena kuatir kalau Wisma Pusri juga mengalami mati listrik. Jadi deh kita semua langsung menuju Simpang Sender.
Sekitar jam 19.30 sampailah di Simpang Sender. Aku dan istri, dibantu Pak Kamit, driver yang mengemudikan mobil sewa, clingak clinguk mencari dimana ada penginapan. Tidak sampai setengah jam, seluruh jalan utama Simpang Sender sudah selesai dijelajahi tanpa menemukan penginapan. Maklum kota kecamatan yang sangat kecil. Ada sih kita lihat papan nama sebuah losmen, tetapi pada saat dihampiri, ternyata pintunya tertutup rapat. Waduh repot juga nih. Masa iya harus tidur di mobil? Akhirnya aku putuskan untuk cari pengganjal perut dulu sambil mencari informasi.
Aku dan keluarga mampir di sebuah warung tenda yang menjual pempek. Jadilah makan malam dengan menu pempek. Sambil menikmati pempeknya, istriku ngobrol dengan si ibu pemilik warung, sekaligus mencari informasi mengenai penginapan. Ternyata penginapan di Simpang Sender sudah tutup, dan si ibu menyarankan untuk kembali saja ke Sukarame dan menginap di Wisma Pusri, atau sekalian maju lagi sejauh setengah jam perjalanan untuk menginap di Banding Agung.
Perjalanan Simpang Sender – Banding Agung relatif lancar. Tidak sampai setengah jam, Banding Agung yang relatif tidak lebih besar dari Simpang Sender sudah kami masuki. Di sanapun beberapa papan nama yang menunjukkan adanya losmen ternyata menunjuk ke sebuah rumah yang tertutup rapat pintunya. Untung sekelompok anak muda menunjukkan kalau di salah satu sudut kota ada sebuah wisma yang dikenal dengan nama Wisma Sebimbing Sekundang, dan di situ mereka menerima tamu yang mau bermalam. Tempatnyapun cukup representatif, tentunya untuk ukuran Banding Agung.
Dengan harap-harap cemas, akhirnya Wisma Sebimbing Sekundang ketemu juga. Kondisinya sama-sama sepi dan gelap. Anak-anakku yang sudah kecapaian sudah mulai putus asa, dan sudah membayangkan untuk tidur di mobil. Meskipun demikian, akhirnya aku dan keluarga turun juga untuk bertanya. Untunglah ibu penjaga wisma yang sudah tidur masih mau dibangunkan dan bersedia menerima aku dan keluarga plus Pak Kamit untuk menginap di situ. Wah . . . leganya. Semakin lega setelah tahu bahwa kamarnya cukup bersih dan luas. Adem pula, meskipun tanpa AC. Cuma saja ranjangnya berisik. Jadi sepanjang malam, kalau aku, atau istri ataupun salah satu dari kedua anakku membalik badan dalam tidur, ranjangnya akan “berteriak-teriak”. Kebayang kan bagaimana ramainya kalau pengantin baru yang nginep di situ? 😀

bringing commodities to the market
Pagi-pagi, aku dan keluarga sudah mandi, dan langsung berjalan menuju ke tepi danau (ternyata Banding Agung juga berlokasi ditepian Danau Ranau). Pagi itu bertepatan dengan hari pasaran di Banding Agung, jadi suasana cukup ramai. Di dermaga saja aku dan keluarga asyik memperhatikan kapal-kapal kecil yang baru merapat. Mereka membawa barang dagangan dari seberang danau untuk dijual di pasar Banding Agung. Kuli-kuli sibuk mengangkat ikatan-ikatan kayu manis ataupun karung-karung berisi hasil bumi lainnya. Tidak jauh dari situ, pasar juga mulai ramai dengan orang yang berjual beli. Istriku menyempatkan diri membeli gula aren asli dan juga sesisir pisang raja yang matang pohon. Dari pasar, aku dan keluarga sempat juga sedikit menjelajah masuk lebih dalam ke pedalaman untuk melihat kehidupan masyarakat di sekitar situ.
Setelah puas berkeliling, aku dan keluarga kembali ke wisma untuk berkemas-kemas sekalian check-out. Tujuanku pagi itu mau balik ke Sukarame dan mengarah ke tepi Danau Ranau dari sisi yang lain lagi, yaitu dari arah Wisma Pusri, sekaligus juga cari informasi mengenai Wisma Pusri itu. Siapa tahu suatu ketika kesana lagi kan? Waktu yang aku pergunakan di sana menurut aku masih sangat kurang, masih banyak yang bisa dilihat tetapi belum sempat soalnya.

lake shore cottages
Ternyata pilihanku untuk melewatkan Wisma Pusri sebagai tempat bermalam, salah besar. Wisma Pusri cukup bagus, ada restorannya, berlokasi juga di tepi danau, dan pemandangannya juga cukup indah. Dari tepian danau di Wisma Pusri ini, tampak jelas Danau Ranau dengan airnya yang biru tenang, dengan latar belakang Gunung Seminung yang berdiri kokoh seolah-olah menjaga ketenangan danau. Wah . . kalau bisa dapat suasana senja atau fajar di situ, pasti pemandangannya lebih indah.
Kira-kira 500 meter dari Wisma Pusri, terdapat air terjun yang dikenal masyarakat dengan nama Air Terjun Subik Tuha. Mata airnya berasal dari atas Gunung Seminung, dan alirannya masuk ke sungai kecil yang bermuara di Danau Ranau. Sayang aku berkunjung pada waktu yang kurang tepat. Karena saat itu adalah akhir musim kemarau yang relatif kering, maka aliran air terjunnya juga tidak terlalu deras. Air di aliran sungainya juga praktis tidak terlihat. Wah . . andai di musim penghujan, pastilah akan lebih indah, karena aliran airnya lebih deras.
Sekira jam 11.00 aku dan keluarga harus mengucapkan selamat tinggal kepada Danau Ranau. Meskipun demikian, kunjungan kali ini bisa dibilang lumayan juga, karena bisa melihat keelokan Danau Ranau dari tiga lokasi yang berbeda. Katanya sih masih ada lokasi lain yang juga memiliki akses sampai ke tepi danau. Di samping itu, ada pemandian air panas di pulau Mariza yang terletak di tengah danau, dan juga katanya air terjun lain di sekitar situ. Tapi biarlah, itu akan menjadi daya tarik tersendiri buat aku dan keluarga supaya balik lagi ke sana di lain waktu.—
Summary :
Danau Ranau or Ranau Lake is the second largest fresh water lake in Sumatera. Its beauty is hidden in a mountain range known as Bukit Barisan. There are not many who know about the lake even-though the scenery in there is very beautiful. Perhaps it is because of the long ride by car, either from Palembang or from Bandar Lampung. To reach the site, it took about 6 to 7 hours from both places. Fortunately, when I went there, the road was in good condition.
At that time, I started my trip in a bright morning. After about 40 minutes flight from Jakarta, I arrived at Radin Intan Airport in Bandar Lampung. From there, I used a rented car to reach the lake. At first I planned to spend a night at Lumbok Seminung Resort, a relatively new resort located at the shore of the lake. But I got bad luck, the resort was closed that day because they had no electricity. So, be careful if you planned to go there not in a holiday season like what I did. Since I was the only guest, the hotel refused to use their generator. Well . . . at last I changed my plan to spend a night there, and decided to look for another place instead. Actually there was another resort no too far from Lumbok. But I was worried that they also had no electricity that night.

the waterfall
After looked for other alternatives, I found a simple hotel called Sebimbing Sekundang in Banding Agung, a small town about 1 hour drive from Lumbok. The place was quite clean and the rooms were big enough, but without air conditioning since the temperature in Banding Agung was already quite cool. There were 2 big beds that can be used by 4 people. For only Rp 100.000,– (approximately US$ 10.–) per room per night, it was ok just to spend a night.
The following morning, I roamed around the small town, which is located at the shore of the lake too. I spent the whole morning roaming around the town, even walked a little further to its rural area to see their daily life. After that, I continued my trip to visit the lake through another part which called Sukarame. There is a small waterfall not too far from the lake shore. It is called Subik Tuha Waterfall.
At around noon, I was already in the car on my way back to Bandar Lampung