That time I was wandering to a coal mining site not far from Banjarmasin, South Kalimantan, Indonesia, in order to look for a lake which was became a hot topic among the locals because of its beauty. Many had visited the lake and took self or group pictures with the lake as the background, and then posted the pictures in their social media; which in turn attracted more people to look for the lake.
The lake was not a natural lake, like the one in my previous post, the lake which I visited this time was also a neglected open pit of a mine. If the previous lake was an abandoned diamond mine, this one was a deserted coal mine. Yes . . Kalimantan was also rich of coal, which was why there were many coal mines scattered in the area. Unfortunately, nature had suffered a lot of those mining activities. Many holes and craters were just left behind; the land became barren because of the chemical used in the activity. It seemed that no conservation was done in order to heal the wound of the earth.
But the earth tried to heal itself by the help of the rain. From times to times the rain washed the area around the pit from the chemical and made the acidity of the soil became more tolerable for simple plants to grow. Rain also filled the holes with water, water which admitted or not was contained of chemical which previously used in the area. That was why the water in the pit was bluish green in colour, and no fishes could live in there.
After several times, the pit became a lake; grass and other plants started to grow and made the area started to live. Some of them became quite pretty and attracted travelers. With many people came to the area, the locals got benefit by providing anything that needed by the visitors, such as snacks and drinks or perhaps just a safe parking lot. By this, perhaps the ex mining site which initially abandoned would come back to life.
The one I visited that time was known as Danau Biru Pengaron which could literally be translated as The Blue Lake of Pengaron; it bore the name because the water of the lake was really blue . . . dark blue green to be precise. Perhaps it would look really blue if I came to the lake at noon when the sun shone brightly, not like when I was there. It was late afternoon and dark clouds hung low after a full-day raining which made the soil around the lake became clay and easily stuck to shoes or sandals. With a heavy pair of shoes or sandals and a slippery terrain, I decided not to try to go to the lake shore. It was too dangerous to go there through a relatively steep slope.
As seen on the pictures here, the surrounding area of the lake was red soil. At the cliff by the side of the lake, marks made by excavators and any other big machines used in the mining site was clearly seen. But the combination of the red soil around the blue lake combined with green vegetation was really soothing the eyes. The atmosphere was quiet but temporarily disrupted by the roar of mining trucks passed on the other side of the lake.
The lake was located in Pengaron Village, Banjar District, South Kalimantan. It was about 100 kilometers from Banjarmasin. The road to the lake was good when it was on the main road, but when entering the mining site, the road was relatively bad because the road was unsealed, and was only a hardened land. When it was raining, the road would become muddy and slippery; on the other hand, when it was dry, the dust billowing into the hot air every time vehicles passed the road. Aside of that, travelers who passed through the road should be careful because they had to share the road with big mining vehicles.
There was no public transport servicing the area since it was deep in a mining area. I was there on week-days; I was the only visitor at that time, aside of my travel partner of course. There were no public utilities or simple stalls selling snacks or refreshments. The area was still untouched. Hope if someday there would be somebody or any institution made the place a well managed tourist destination, they would also and always preserve the nature.
Keterangan :
Sore itu aku dan partner jalanku masih berkendara menyusuri jalan-jalan di luar kota Banjarmasin, tepatnya di arah selatan kota. Jalanan masih basah akibat gerimis yang sesekali masih turun. Maklumlah, namanya juga masih musim penghujan. Waktu yang sebenarnya kurang cocok untuk berburu keindahan di alam seperti aku waktu itu. Tapi biarlah . . . bagaimanapun kerjaan di kantor baru bisa ditinggal, lagipula toh sudah terlanjur sampai di situ juga kan 😆
Sore itu tujuanku mencari lokasi sebuah danau yang belakangan ini sedang menjadi hit di antara para remaja Banjarmasin. Sudah banyak yang ke sana dan mengambil foto selfie atau grupie dengan latar belakang danau itu. Memang dari foto-fotonya, kelihatan kalau pemandangan di sana cukup indah, kalau kata orang-orang sih instagramable gitu 😎
Danau yang aku cari ini bukanlah danau alam. Sama halnya dengan yang pernah aku unggah di postingan sebelumnya, apa yang nampak seperti danau ini sebetulnya adalah bekas tambang yang sudah ditinggalkan. Hanya saja di postingan sebelum ini, danaunya terbentuk dari bekas galian tambang intan, sementara yang aku cari ini merupakan bekas galian tambang batubara. Ya . . . bumi Kalimantan juga banyak mengandung batubara selain intan. Itu pula sebabnya banyak perusahaan tambang batubara yang beroperasi di sana. Sayangnya aktifitas penambangan terkesan merusak alam. Lubang dan cerukan besar serupa kawah akibat aktifitas pertambangan yang sudah tidak aktif lagi dibiarkan begitu saja. Tanah sekitarnya juga menjadi tandus akibat penggunaan bahan kimia.
Untunglah alam memiliki mekanisme untuk menyembuhkan “luka”-nya sendiri. Hujan membantu membasuh kandungan kimia dari daerah sekitar cekungan bekas tambang sehingga sedikit demi sedikit tingkat keasaman tanah di sana kembali normal yang memungkinkan tumbuhnya tanaman. Hujan juga mengisi cekungan dan lubang bekas galian yang sidah ditinggalkan itu dengan air; air yang diakui maupun tidak memiliki kandungan bahan kimia tertentu yang semula tertinggal di daerah itu tapi akhirnya larut dalam air yang menggenangi cekungan itu. Karena adanya kandungan bahan kimia tertentu itu pulalah maka air di dalam cekungan itu berwarna kebiruan. Konon air itu akan membuat kulit kita teriritasi kalau mengenai kulit kita 😮
Lama kelamaan, air yang mengisi cekungan itu semakin banyak sehingga cekungan itu berubah menjadi sebuah danau. Daerah tepian danau juga mulai ditumbuhi rumput dan ilalang serta berbagai tanaman lain yang membuat pemandangan di sana menjadi cukup menyejukan mata dan menarik pelancong untuk mengaguminya. Kedatangan para pelancong itu tentunya lama kelamaan akan membuat daerah yang semula sudah ditinggalkan menjadi hidup kembali.
Sore itu yang aku cari adalah sebuah danau yang dikenal dengan nama Danau Biru Pengaron. Nama itu disandangnya karena air danau tersebut betul-betul tampak berwarna biru jernih, biru kehijau-hijauan sih. Mungkin kalau aku ke sana pada siang hari bolong dimana matahari bersinar cerah, air danau itu akan nampak betul-betul biru, sementara aku ke sana sudah menjelang sore dan kondisi juga mendung berat.
Seperti nampak dalam foto-foto yang aku sertakan di sini, danau itu terletak di sebuah dataran yang tanahnya berupa tanah merah. Bekas-bekas garukan ekskavator dan berbagai alat berat lain kelihatan jelas di dinding tebing yang ada di salah satu sisi danau. Sementara di sisi lain tanah liat yang terbentuk akibat hujan yang mengguyur daerah itu betul-betul membuat aku dan partner jalanku kerepotan akibat sandal dan sepatu yang semakin berat. Bahkan sesekali membuat langkah terhenti karena kaki seolah tertancap di tanah dan tidak bisa digerakkan. Tanah liat itu juga licin, sehingga aku membatalkan turun ke tepi danau karena medannya yang cukup curam.
Tapi kalaupun harus menikmati danau hanya dari atas, tetaplah tidak mengurangi keasyikannya. Kombinasi warna biru kehijauan air danau yang dikelilingi tanah merah kecoklatan yang di sana-sini dironai semburat hijau rumput dan perdu, membuat mata tak bosan-bosannya melalap apa yang tersaji di depannya. Suasana cukup tenang ketika aku ke sana. Maklum aku kesana bukan di hari libur, sehingga saat itu pengunjung danau hanyalah aku dan partner jalanku. Kesunyian yang menyelimuti daerah itu hanya sesekali dipecahkan oleh deru truk tambang yang lewat di seberang danau.
Danau Biru Pengaron terletak di Desa Pengaron, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Kurang lebih berjarak 100 kilometer dari Banjarmasin ke arah selatan. Pada umumnya, jalan menuju ke lokasi sudah cukup baik selama masih berada di jalan utama. Tetapi ketika sudah memasuki daerah tambang, maka jalanan tanah yang membelah kebun dan bukitlah yang harus kita lalui. Jalan yang ketika hujan turun menjadi berlumpur dan licin , sementara ketika hari panas terik menjadi sangat berdebu. Apalagi kita harus berbagi jalan juga dengan kendaraan-kendaraan tambang yang besar-besar.
Sebagai informasi, nggak ada kendaraan umum yang bisa mengantar pelancong ke sana. Jadi mau nggak mau ya harus sewa kendaraan atau bawa kendaraan sendiri. Di lokasi juga tampak bahwa daerah itu masih alami, belum tersentuh tangan pengelola atau siapapun. Karena itulah, ketika aku ke sana masih belum ada penjual ticket masuk maupun pedagang yang menjual makanan dan minuman ringan di sana. Ya mudah-mudahan sih kalau nanti ada pihak-pihak yang mau menata dan mengelola Danau Biru Pengaron sebagai obyek wisata, kelestarian lingkungan sekitar bisa tetap terjaga, bahkan kerusakan yang sudah terlanjur terjadi bisa diperbaiki.-