Bali, an island in Indonesia, is known as the island of thousands temples because there are so many temples, both large and small, scattered on the entire island. Most of the main temples are quite old; many are more than 100 years old. On my last visit to the beautiful island, I got an opportunity to stop by at one of those temples. The one that I visited was Pura Rambut Siwi or Rambut Siwi Temple.
Located in Jembrana Regency, the temple was around 17 kilometers away from Negara, one of the main city in the regency. It could be reached in about 2.5 hours drive from Denpasar. Travelers could find the temple easily since it was on the side of Denpasar – Gilimanuk main road. Many people passing the area would stop to pray in Pura Rambut Siwi for their safe trip, because it was believed that Pura Rambut Siwi was the perfect place to ask for God’s protection against any accidents and bad lucks.
There were many stories and legends about the origin about the temple which was on top of a cliff by the sea, as well as the origin of its name. According to an old manuscript called Pasraman Teledu Nginyah Jembrana, it was said that a very long time ago there was a holy-man called Ida Maharsi Markandia who was deep in meditation on a mountain in East Java called Mount Raung. One day, he saw a very bright light emanated from a place far to the east from the place he meditated, so Ida Maharsi decided to go to the place in order to find what was the cause of the celestial light.
Soon he started his journey to the east and came at a place where the light emanated; it was at the beach which later on became the location of Pura Rambut Siwi. At the top of a cliff, where he could see almost all the beach area, Ida Maharsi Markandia started to meditate to get God’s direction. One day, as an answer to his pray, Hyang Jagadnatha (the supreme God who ruled the world) appeared and said that the place was a part of a sacred island in which Gods resided; so only selected people were allowed to come and live on the island. As for Ida Maharsi Markandia, the God said that he was a very special man who was invited by the God to come to the island to help administering the island as well as to protect the island from intruders.
Ida Maharsi Markandia accepted Hyang Jagadnatha’s order, and to be able to fulfill his task, he seek help from Hyang Vishnu (the God who maintained and preserved the world) and also from Hyang Varuna (the God of the ocean). The two Gods agreed to help Ida Maharsi in performing the task. They helped him by creating a flaming giant net that appeared from the ocean off the coast where Ida Maharsi meditated. The net would sort out the people who intended to land on Bali. It was a net made of tangled sea-weeds. Sea-weed was ‘bulung rambut’ in the local tongue. That was why the place was called Rambut Siwi, because ‘rambut siwi‘ could be translated freely as tangled sea-weed.
Later on, long after that, according to another old manuscript known as Dwijendra Tatwa, a Brahmana (Hindhu priest) called Danghyang Dwijendra came to the place in his journey around the island. He met a man who did his job cleaning the area around an old temple which believed was built by Ida Maharsi Markandia. The man held Danghyang Dwijendra and urged him to stop and pray in the temple. He said that the temple was sacred as well as haunted. People who passed the area without stopping and praying in the temple would surely die because of tiger’s attack. To hear about that, just to respect the man, Danghyang Dwijendra agreed to pray in the temple.
As Danghyang Dwijendra started meditating and chanting his pray, suddenly the main structure in the site collapsed. Having seen what has happened to the main structure, the man was in panic and felt afraid at the same time. He came to Danghyang Dwijendra and asked for forgiveness. He also asked Danghyang Dwijendra to restore the place and to become the spiritual leader in there. Danghyang Dwijendra felt pity, and with his spiritual power he re-built the place. He also took a string oh his hair to be placed in the temple as a mean of worship and also as a sign that he would always protect everybody who pray in the temple from any bad lucks or accidents.
Nowadays, there have been many restorations in the temple compound in order to maintain the existence of the old temple. The restoration was also make the compound easier to reach and comfortable enough for people who come to pray. Beautiful structures were built around the old temple which still preserved and being the center of the compound. Pura Rambut Siwi was a perfect place to enjoy the tranquil atmosphere and respecting God’s creation, as it was a perfect place to enjoy sunset, too.–
Keterangan :
Bali, sebuah pulau indah yang dikenal juga sebagai Pulau Seribu Pura karena dengan mudah pelancong dapat menjumpai pura baik besar maupun kecil tersebar di hampir semua tempat di Bali. Tentu saja kalau duhitung betul-betul jumlahnya pasti akan lebih dari seribu sih :P. Tapi biarlah, karena sebutan Pulau Seribu Pura hanyalah sebutan yang menggambarkan betapa banyaknya bangunan pura yang ada di Bali. Banyak juga bangunan pura itu yang sudah berumur ratusan tahun. Nah . . aku sempat mampir juga di salah satu pura yang katanya sudah cukup tua itu dalam perjalananku ke Bali beberapa waktu lalu.
Pura ini terletak di Kabupaten Jembrana, kira-kira 17 kilometer di sebelah timur kota Negara. Pura yang terletak di atas sebuah tebing yang menghadap ke Selat Bali ini dikenal dengan nama Pura Rambut Siwi. Karena letaknya yang di tepi jalur utama Denpasar – Gilimanuk, menyebabkan pura ini juga banyak dikunjungi orang-orang yang sedang melakukan perjalanan di rute itu, baik yang berkunjung untuk bersembahyang memohon perlindungan Yang Maha Esa dalam perjalanannya maupun yang sekedar berwisata.
Mengenai asalu usul nama Pura Rambut Siwi, sebetulnya ada beberapa versi yang menceritakannya. Kalau mengikuti versi seperti yang tertuang dalam Pasraman Teledu Nginyah Jembrana, diceritakan bahwa pada jaman dahulu kala ada seorang Brahmana suci bernama Ida Maharsi Markandia yang sedang bersemedi di Gunung Raung yang terdapat di Jawa Timur. Pada suatu hari, Sang Maharsi melihat kemunculan seberkas sinar yang sangat terang di arah timur.
Karena penasaran, Ida Maharsi Markandia menunda tapanya, dan segera menuruni Gunung Raung kemudian berjalan ke arah timur untuk mencari tahu apa kiranya yang bisa menimbulkan sinar yang sangat terang itu. Sinar tersebut seolah menjadi bintang pedoman Sang Maharsi dalam melakukan perjalanannya yang terus menuju ke timur. Perjalanannya tidak terhenti di ujung timur Pulau Jawa, melainkan dilanjutkan sampai menyeberangi Selat Bali sehingga akhirnya tiba di tempat dimana sekarang terdapat Pura Rambut Siwi.
Di tempat itu, Ida Maharsi Markandia kembali melakukan puja semedi untuk memohon petunjuk Dewata. Karena khusyuknya tapa yang dilakukannya, Sang Hyang Jagadnatha (Dewa penguasa alam semesta) menampakkan diri di hadapan Ida Maharsi. Sang Jagadnatha memberitahukan kepada Sang Maharsi kalau tempat tersebut merupakan bagian dari sebuah pulau yang disucikan karena merupakan tempat tinggal para dewa. Karena itulah, hanya orang-orang terpilih yang diperkenankan datang dan bertempat tinggal di pulau tersebut. Ida Maharsi Markandia sendiri sebenarnya diundang secara khusus oleh dewata untuk datang ke tempat itu dangan sarana pancaran sinar yang sangat terang tersebut. Hyang Jagadnatha bersabda pula bahwa dengan kesucian dan kesaktiannya, para dewata berharap agar Sang Maharsi dapat membantu para dewa dalam menata pulau tersebut sekaligus juga menjaga jangan sampai ada orang-orang yang tidak pantas yang masuk ke pulau tersebut. Setelah menyampaikan amanatnya itu, Sang Hyang Jagadnatha menghilang.
Guna dapat memenuhi amanat Sang Jagadnatha, Ida Maharsi Markandia kembali memusatkan seluruh indranya dan memohon bantuan kepada Sang Hyang Batara Wisnu (dewa pemelihara alam semesta) dan juga kepada Sang Hyang Batara Baruna (dewa penguasa lautan). Kedua dewa tersebut terkesan dengan kesungguhan dan ketulusan Sang Maharsi, dan bersedia memberikan bantuan. Seolah sebagai jawaban atas tapanya, tiba-tiba di lepas pantai muncul sebuah jala raksasa yang bernyala-nyala dari dalam laut. Jala yang terbuat dari anyaman rumput laut ini akan mencegah orang-orang yang tidak mendapat perkenan dewata mendarat di pantai pulau suci tersebut. Sebaliknya, jika ada orang yang cukup pantas untuk masuk ke pulau suci yang sekarang kita kenal dengan nama Pulau Bali ini, maka jala raksasa tersebut akan lenyap dan membiarkan orang tersebut mencapai pantai.
Rumput laut dikenal juga dengan istilah ‘bulung rambut’ oleh masyarakat setempat. Karena itu, orang-orang menyebut pantai dimana Ida Maharsi Markandia bersemedi hingga memunculkan jala raksasa yang terbuat dari jalinan rumput laut itu di lepas pantainya dengan sebutan rambut siwi, karena rambut siwi bisa juga diartikan sebagai jalinan rumput laut.
Lama kemudian setelah itu, menurut Kitab Dwijendra Tatwa, seorang Brahmana dari Majapahit bernama Danghyang Dwijendra tiba juga di tempat tersebut dalam perjalanannya menyebarkan dharma. Saat itu di tempat tersebut sudah berdiri sebuah pura yang dipercaya masyarakat setempat sebagai pura yang suci sekaligus angker. Pada saat sang Brahmana melintas di tempat tersebut, langkahnya dihentikan seseorang yang sedang menyapu membersihkan halaman di sekitar pura. Si Tukang Sapu memaksa Sang Brahmana untuk bersembahyang di pura tersebut karena kalau tidak maka Sang Brahmana akan mati diterkam harimau.
Untuk tidak menyinggung perasaan si Tukang Sapu, Danghyang Dwijendra setuju untuk berhenti sejenak dan bersembahyang di pura yang dipercaya sebagai peninggalan Ida Maharsi Markandia tersebut. Pada saat Sang Brahmana mulai bersemedi dan merapalkan puja mantranya, tiba-tiba bangunan tersebut runtuh. Melihat itu, si Tukang Sapu menjadi sangat ketakutan. Dengan berurai air mata dan tubuh gemetar, si Tukang Sapu menemui Danghyang Dwijendra untuk memohon ampun atas perbuatannya yang tidak pantas itu. Si Tukang Sapu juga memohon agar Danghyang Dwijendra sudi memulihkan kembali bangunan tersebut sekaligus juga memohon kesediaan Sang Brahmana untuk menjadi pemimpin rohani di situ. Danghyang Dwijendra yang merasa iba meluluskan permohonan tersebut. Dengan kesaktiannya, dipulihkannya bangunan tersebut ke keadaannya semula. Setelah itu, Danghyang Dwijendra mengambil sehelai rambutnya dan diserahkan kepada si Tukang Sapu untuk diletakkan di dalam pura sebagai sarana pemujaan sekaligus juga sebagai tanda bahwa Sang Brahmana akan melindungi orang-orang yang bersembahyang di situ dari kecelakaan dan nasib buruk.
Sekarang, kompleks Pura Rambut Siwi sudah tidak lagi tampak sebagai sebuah bangunan yang sudah tua. Banyak perbaikan dan juga bangunan baru yang didirikan untuk memudahkan dan memberikan kenyamanan bagi umat yang ingin bersembahyang di situ. Meskipun demikian, bangunan baru tersebut dibuat selaras dengan bangunan lama, termasuk pura utama, yang masih tetap di jaga keasliannya. Banyak orang yang datang ke tempat ini hanya untuk menikmati ketenangan suasananya dan juga keindahan pemandangan sekitar pura. Meskipun demikian, hanya orang-orang yang mau bersembahyang saja yang diperkenankan masuk ke pura utama. Dari dalam kompleks Pura Rambut Siwi ini, semilir angin laut bisa dinikmati sambil menyaksikan betapa ombak seakan tak pernah lelah berkejaran menuju pantai dan kembali lagi. Pemandangan sawah milik penduduk di sekitar kompleks pura juga menyebabkan banyak orang betah untuk berlama-lama di sini. Sayang waktu itu waktuku cukup sempit, sehingga aku tidak bisa terlalu lama menikmati keindahan ini.–