Monthly Archives: August 2012

STASION BEOS – sederhana tetapi kelihatan cantik

Pintu Samping Stasion Kereta Api BEOSTulisan ini semula aku post di Multiply. Memang tulisan lama sih, karena waktu itu aku post di akhir tahun 2009 setelah aku sempat menjelajahi beberapa ruangan di dalam stasion, maupun juga daerah-daerah di sekitar stasion yang sebetulnya dulu, duluuuu sekali . . . menjadi bagian dari stasion ini, meskipun sekarang sudah menjadi pemukiman penduduk yang relatif kumuh. Tetapi aku rasa sih tidak ada salahnya kalau tulisan ini aku post lagi di sini setelah sedikit aku up-date, mengingat apa yang aku gambarkan dalam tulisan ini sebagian besar relatif tidak berubah koq sampai sekarang.

Ok, kita simak sama-sama deh ya. Eh koq menyimak, kaya lagi disekolahan aja J. Kita . . .  apa ya istilahnya yang pas, ehmmm . . . ya kita lihat bareng-bareng gitu aja deh ya.

Nah . . . jadi gak bisa dipungkirilah kalau banyak dari kita yang mengenal Stasion Kereta Api Jakarta Kota, yang terletak di kawasan Kota Tua Jakarta ini sebagai Stasion BEOS. Bahkan untuk angkatan orang tua kita, nama Stasion BEOS pastilah lebih mereka kenal dibandingkan nama Stasion Kereta Api Jakarta Kota. Stasion ini pernah menjadi sebuah stasion kereta api yang sangat megah pada jamannya. Gedung stasion yang dirancang oleh Asselberghs, Ghijsels, dan Hesslan dari Algemeen Ingenieurs en Architecten Bureau (AIA) ini juga bergaya art deco seperti halnya Stasion Kereta Api Tanjung Priok. Mereka merancang stasion ini dengan memadukan struktur dan teknik barat yang dipadukan dengan bentuk-bentuk tradisional setempat. Oleh karena itulah, stasion kereta api ini tetap kelihatan cantik dan menarik dalam kesederhanaannya.

AIA mulai membangun stasion ini pada tahun 1923 di bekas lokasi stasion kereta api sebelumnya, yaitu stasion kereta api Batavia Zuid atau Stasion Batavia Selatan. Menurut catatan sejarah, proses pembangunan stasion ini sempat dinodai dengan suatu skandal keuangan yang pada waktu itu sempat menyebabkan kerugian cukup besar bagi pemerintah Hindia Belanda. Untungnya pembangunan stasion ini bisa diselesaikan dengan baik, dan diresmikan penggunaannya pada tanggal 8 Oktober 1929. Dengan demikian, pada tanggal 8 Oktober 2012 yang akan datang, stasion kereta api ini akan merayakan ulang tahunnya yang ke-83. Cukup tua ya. Kalau manusia pasti sudah masuk golongan kakek atau nenek nih.

Nah kalau kita ngobrolin soal stasion yang cantik dan anggun ini, rasanya tidaklah lengkap kalau tidak membicarakan mengenai sejarah perkereta-apian di Jakarta, karena asal mula dibangunnya stasion ini erat kaitannya dengan berkembangnya sistem perkereta-apian di Jakarta, atau pada waktu itu masih disebut Batavia.

Sejarah perkereta-apian di Jakarta bisa dirunut dari dibangunnya jalur kereta api yang menghubungkan kawasan pelabuhan (pada saat itu disebut Kleine Boom) dengan kawasan Medan Merdeka (waktu itu dikenal sebagai Köeningsplein) sepanjang kurang lebih 9 kilometer pada tahun 1871. Jalur ini kemudiannya diteruskan sampai ke Bogor atau Buitenzorg, sehingga mempermudah perjalanan dari Batavia ke Buitenzorg. Jalur ini dimiliki oleh NIS (Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij), dengan stasion utamanya terletak di belakang Staadhuis yang sekarang menjadi Museum Sejarah Jakarta. Kantor pusat NIS ini sebetulnya bukan di Batavia, melainkan di Semarang, dan bekas kantor pusat NIS ini sekarang kita kenal dengan nama Gedung Lawang Sewu. Meskipun mempergunakan nama Nederlandsch-Indische, NIS juga mempunyai kantor di Den Haag, negeri Belanda. Dengar-dengar sih gedungnya sampai sekarang masih ada, hanya saja peruntukannya pastilah sudah berubah, sama halnya dengan Gedung Lawang Sewu itu.

Kembali ke urusan sejarah perkereta-apian; di akhir abad ke-XIX itu, selain NIS, ada pula perusahaan kereta api lain yang bernama Batavia Ooster Spoorweg Matschappij atau disingkat BOS. Jalur yang dikelola oleh BOS adalah jalur Batavia menuju Bekasi dengan melewati sisi timur kota. Stasion utama milik BOS berlokasi di sebelah selatan stasion milik NIS atau tepatnya di lokasi Stasion Jakarta Kota sekarang.

Perkembangan kotaBatavia yang sangat cepat diiringi dengan munculnya berbagai kawasan hunian baru seperti Menteng, Cideng, Gondangdia, dan lain-lain menimbulkan adanya kebutuhan akan suatu sistem transportasi yang lebih baik dan juga lebih aman. Oleh karena itulah Pemerintah Hindia Belanda membentuk sebuah perusahaan kereta api sendiri yang dinamainya Staatsspoorwegen atau SS, yang kemudian pada tahun 1897 mengambil alih pembangunan dan pengelolaan jalur kereta api Tanjung Priok – Batavia dari BOS, kemudian disusul dengan pengambil-alihan jalur kereta api Batavia – Buitenzorg dari NIS pada tahun 1913.

Meskipun telah mengambil alih jalur-jalur tersebut, SS tetap mempertahankan dua buah stasion kereta api yang sudah ada. Stasion yang semula milik NIS disebut sebagai Stasion Batavia Nord (Stasion Batavia Utara) dan stasion yang tadinya milik BOS disebut sebagai Stasion Batavia Zuid (Stasion Batavia Selatan). Stasion Batavia Nord oleh SS dijadikan stasion utama dan untuk keperluan itu stasion direnovasi. Bangunan yang sudah ada diperpanjang, dan jumlah rel serta peron juga diperbanyak.

Pada tahun 1923 stasion kereta api Batavia Zuid dihancurkan dan kemudian diatasnya dibangunlah sebuah stasion kereta api baru dengan kontraktor Hollandsche Beton Maatschappij dan diarsiteki oleh Asselberghs, Ghijsels, dan Hesslan tersebut. Stasion inilah yang kemudian menjadi stasion kereta api utama yang menggantikan kedua stasion kereta api sebelumnya. Pembangunan stasion baru ini selesai pada tanggal 19 Agustus 1929, meskipun baru diresmikan penggunaannya beberapa bulan kemudian.

Stasion baru yang sangat megah ini memiliki 12 jalur rel dan peron serta dilengkapi pula dengan jaringan listrik yang rapi, karena waktu itu penggunaan kereta rel listrik dianggap cara pengoperasian kereta api yang paling efisien dan aman. Stasion ini diberi nama resmi Batavia Benedenstad. Tetapi orang-orang pada masa itu yang tahu bahwa Batavia Benedenstad didirikan di lokasi yang sebelumnya merupakan stasiun BOS, tetap saja menyebut stasion itu sebagai Stasion BOS (dibaca: be o es), yang karena pelafalan oleh penduduk lokal lama kelamaan sebutan Stasion BOS berubah menjadi Stasion Beos sampai sekarang.

Untuk nama Beos ini, ada sumber lain yang mengatakan bahwa nama atau sebutan Beos itu bukan berasal dari pergeseran pelafalan BOS, melainkan berasal dari kata Batavia En Omstreken, yang artinya Batavia dan sekitarnya. Sebutan ini menerangkan fungsi stasiun sebagai pusat transportasi kereta api yang menghubungkan kotaBatavia dengan kota-kota lain seperti Bekasi, Karawang, dan juga Bogor. Pendapat lain lagi mengatakan bahwa Beos itu berasal dari istilah Batavia En Oud Straken yang katanya berarti Batavia distrik tua untuk menerangkan lokasi dimana stasion ini berdiri.

Tapi apapun pendapat orang mengenai asal usul nama Stasion Beos, bagi kita gedung yang sudah dijadikan Bangunan Cagar Budaya sejak tahun 1993 ini hendaknya patut dilestarikan dan dipelihara. Jangan sampai bangunan ini beralih fungsi ataupun mengalami nasib yang sama seperti banyak bangunan kuno lainnya, dihancurkan dan diatasnya didirikan bangunan modern. Bukankah bangsa yang besar adalah juga bangsa yang bisa menghargai sejarahnya?

Untungnya stasion kereta api ini masih berfungsi sampai sekarang, meskipun di beberapa sudut kelihatan kurang terawat. Stasion Jakarta Kota merupakan salah satu dari sedikit stasion tipe terminus yang ada di Indonesia. Stasion tipe terminus artinya stasion yang menjadi tujuan akhir suatu perjalanan kereta api, dimana stasion itu tidak memiliki kelanjutan jalur

Nah . . . kalau sudah tahu sejarahnya, yuk kapan-kapan kita jalan-jalan ke sana.–

Categories: Travel Notes | Tags: , , | 6 Comments

Blog at WordPress.com.