That afternoon, most of the South Western Sumba area was wet. Hard rain was pouring the usually dry island which was located in East Nusatenggara Province, Indonesia, since before noon. The usually hot and dry air turn into relatively cool; and made people preferred to stay in their home rather than in the open. For me and my travel partner, the rain made us worried since we planned to go to Pero Beach which was boasted as a beach with the best sunset in the area.
Fortunately, at around 2 PM, the rain began to subside. So hurriedly we ran to the car and off we went to Pero. We need to be in a hurry because the distance was quite long. It took us about 1.5 to 2 hours drive from Tambolaka, the city where we stayed in our trip that time.
Pero Beach was located in a fishing village called Pero Batang (also called Pero Kodi). The beach had a long coastal line which was a combination of a sandy beach and a coral beach. The sandy part was located closer to the village, while the coral area covered the shore. So traveler should step on the sharp corals whenever they want to go to the sea. It was quite difficult to walk on the corals because of the contours. One should wear a thick soled shoes or sandals to walk on it to avoid hurting their feet.
The coral in the part which was continuously hit by the waves was quite smooth. Waves also made many big holes which filled with water. I saw many tiny fishes and sea creatures were trapped on the holes and they had to wait for the high tide before they can be freed from those basins. In some parts a kind of green algae covered the surface like a soft green carpet.
Well . . .I did not have to wait for long before the natural show presenting the a stunning sunset began. In the west, the sky gradually turned flaming orange when the big fiery ball begin its final approach to the horizon for a rest before it raised again in the east the next morning.
Thank God, you gave us a chance to witness one of your great shows. The rain that poured the area was one of your gift to Sumba and also for us, as the rain cleared the air and made the sunset more brilliance.—
Keterangan :
Siang menjelang sore itu aku masih bermalas-malasan di kamar hotelku. Hujan yang turun sejak pagi menjadi penyebabnya. Memang nggak terlalu deras sih, tapi karena durasinya yang cukup lama, cuaca yang biasanya panas berdebu berubah menjadi sejuk. Tetapi aku bermalas-malasan bukan hanya karena udara yang sejuk saja, melainkan karena aku juga nggak tahu harus ngapain. Nggak mungkin juga kan aku jalan ke pantai untuk menikmati saat-saat terbenamnya matahari kalau hujan masih turun?
Ya . . . sebetulnya sore itu aku berencana untuk ke Pantai Pero yang konon merupakan salah satu pantai di Sumba yang menyajikan sunset yang paling indah.
Untunglah sekitar jam 2, hujan mulai mereda. Awan gelap yang semula kelihatan tebal bergulung-gulung mulai buyar tertiup angin dan menampakkan langit yang biru. Aku dan partner jalanku dengan segera bergegas mengemasi barang-barang kami dan langsung berjalan menuju ke kendaraan yang sudah siap untuk membawa kami berdua ke Pantai Pero. Memang kalau dipikir-pikir waktu terbenamnya matahari masih lama sih, tapi perjalanan dari Tambolaka ke Pantai Pero yang lumayan jauh membuat aku dan partner jalanku harus bergegas. Dari Tambolaka ke Pero ditempuh dalam waktu sekitar 2 jam, paling cepat juga 1.5 jam kalau pas jalanan sepi. Jalannya sendiri sih sudah lumayan bagus, hanya ketika sudah masuk ke Desa Pero Batang (ada juga yang menyebutnya Pero Kodi), jalanan sedikit menyempit dan tidak sehalus jalan raya sebelumnya. Pantai Pero memang masuk dalam wilayah Desa Pero Batang, Kecamatan Kodi, Kabupaten Sumba Barat Daya.
Pantai Pero yang menghadap langsung ke Samudera Hindia memiliki bentang pantai yang lumayan panjang. Pantainya cukup unik karena ada yang berpasir ada pula yang berbatu-batu karang. Bagian yang berpasir terletak lebih jauh dari bibir pantai. Jadi kalau mau menuju ke laut, para pelancong harus melalui bagian yang berkarang setelah melewati bagian yang berpasir tadi. Hamparan karangnya cukup luas dan konturnya tidak rata. Hal tersebut cukup menyulitkan kita melangkah. O ya, kalau ke sana, jangan lupa memakai alas kaki yang lumayan tebal. Hal ini perlu untuk menghindari terlukanya kaki kita karena karang yang harus dilewati untuk menuju ke bibir pantai lumayan tajam. Belum lagi di sana banyak pecahan botol juga. Partner jalanku sempat jadi korban, kakinya terluka karena terkena pecahan botol yang menembus sandalnya 😦
Untunglah mendekati pantai, hamparan karangnya makin halus akibat terkena gempuran ombak yang terus menerus. Di beberapa tempat ombak membuat ceruk-ceruk di permukaan karang yang menyerupai baskom. Ceruk-ceruk itu berisi air yang cukup jernih. Beberapa ceruk cukup lebar sehingga memungkinkan pelancong untuk duduk berendam di dalamnya :P. Aku juga melihat di beberapa ceruk itu ada ikan dan berbagai makhluk laut yang terjebak di sana. Mereka harus bersabar sampai tibanya air pasang yang akan membebaskan mereka dari kungkungan ceruk itu kembali ke laut lepas.
Di beberapa bagian, hamparan karang dan tepian ceruk dilapisi oleh sejenis ganggang yang menyerupai karpet hijau. Ombak yang nggak hentinya berkejaran menuju pantai dan menghantam karang kadang membuat semburan air yang cukup tinggi ke udara. Derasnya ombak membuat mereka yang ingin bermain air harus ekstra hati-hati. Kombinasi ombak yang deras dan hamparan batu karang yang di beberapa bagiannya runcing itu cukup membahayakan kan?
Balik ke soal saat-saat matahari terbenam . . . sore itu aku dan partner jalanku kebetulan nggak perlu menunggu terlalu lama. Langit di ufuk barat perlahan tapi pasti berubah warna dari biru menjadi oranye kemerahan mengiringi sang bola raksasa yang tampak dengan jelas turun per lahan-lahan ke balik horizon dengan anggunnya untuk berisitirahat setelah seharian bertugas.
Terimakasih Tuhan atas kesempatan yang Kau berikan kepada kami untuk ikut menyaksikan pertunjukan agung yang Kau rancang dengan indahnya berbonus selendang tujuh warna yang kau bentangkan di langit timur. Hujan yang kau tumpahkan seharian itu selain merupakan anugerah untuk Pulau Sumba yang biasanya kering, juga sekaligus membersihkan udara sehingga saat-saat terbenamnya matahari sore itu menjadi lebih indah.–