Monthly Archives: May 2014

Legend of a monkey forest closed to a beach

On my short visit to Madura, I passed a village called Nepa. The village was under Banyuates Subdistrict, Sampang Regency. I stop for a while at the beach in the village because I heard that there was a forest inhabited by long tailed monkeys closed to the beach. What interested me most was neither the beach nor the forest, but the legend related to the place. It was a local legend which was believed to be really happened in the past.

The beach itself was not too interesting, although it was the place for the locals to spend their leisure time. It was a wide and flat sandy beach, so it would be a perfect beach to do beach sports; unfortunately the beach was pretty dirty with trashes threw to the beach by the tides. The locals, who were mainly doing their living as fishermen, seemed not too care about the cleanliness of the beach.

IMG_NEP03

Like I said before, close to the beach, there was a small forest inhabited by monkeys. Around the forest, there was a river that flow to the sea and which was usually used to park the locals’ sampan. The beach itself was called Nepa Beach because there were many coastal plants called Nipah (nypa fruticans) grew wild along the beach. The village, which was then formed close to the beach as many people came to the place to settle, was also called Nepa. That was also the name used to call the forest closed to the beach. Nepa . . . as the Maduresse called the plant in their local tongue.

Anyway, legend said that very long ago, when the place was not called Nepa yet, as now known, and even the island itself was not have its recent name, there was a big kingdom in Java Island called Medangkamulan. The grand palace of the kingdom was called Gilingwesi and the king’s name was Sangyangtunggal. The king had a beautiful daughter who in a night dreamt that the moon came to her and then entered her body. Not long after that, the princess was pregnant. The king was very angry to know about her daughter pregnancy, more than that, the princess could not give him the name of the man who made her pregnant. In his rage, the king asked his prime minister, known as Patih Pranggulang, to bring her to the forest, killed her and brought back her head as the proof of her death for the king.

Something unusual happened when Patih Pranggulang tried to kill the princess. Every time he slashed his sword, the sword flung as if grabbed by an invisible hand and then threw away. Patih Pranggulang then realized that it was not the princess fault to be pregnant that way; so instead of killing her, he decided not to be back to the palace and protected her wherever she went with his supernatural power.  In order not to be easily recognized, Patih Pranggulang changed his royal attire with a kind of clothes known as ‘kain poleng’, so later on he was known as Kyai Poleng.

IMG_NEP02Kyai Poleng then made a bamboo raft, placed the princess on it, and then kicked the raft which made the raft threw across the sea to a place known as Gunung Geger. In her new place, the princess gave birth to handsome boy that she named Raden Segoro. When Raden Segoro was 7 years old, the princess and his son moved to another place which later known as Nepa because the princess found that there were many ‘nepa’ plants on that place.

Meanwhile, Gilingwesi Palace was often been attacked by a powerful troop from across the ocean. The upset king once got an insight that there was a boy, who lived in the island which was looked unreal because when in high tide the land will vanished, that could help him winning the battle and drove the enemy away. The land that looked unreal was called ‘lemah duro’ in local language, and that was the origin of the island name, Madura.

To make the story short, Raden Segoro really could defeat the enemy. In the party to celebrate the victory, the king honoured Raden Segoro with the title Tumenggung Gemet, more than that the king intended to marry Raden Segoro to his daughter. For that, the king asked him about his father. As Raden Segoro never knew who his father was, he asked the king’s permission to ask his mother. The king agreed, and sent some of his chosen soldiers to accompany Raden Segoro to his place.

IMG_NEP04

Upon their arrival at Nepa, Raden Segoro asked his escorts to stay away from him when he asked his mother about his father. He forbade them to overhear his conversation with his mother. Then . . . Raden Segoro directly asked his mother about his father, which made his mother dumbstruck for a while. At last he told Raden Segoro that his father was somebody from the spirit world. Unfortunately, some of Raden Segoro’s escorts were overhearing the conversation on purpose, which made Raden Segoro very angry and cursed them to become monkeys. He also turned his palace in Nepa into a forest before he and his mother vanished and join Raden Segoro’s father in the spirit world. The monkeys, which before were the soldiers of Medangkamulan, then lived in the forest up till now.

IMG_NEP09

Well . . , that was the legend about the place called Nepa in Madura Island. Now travellers could visit the place that located about 100 kilometers from Surabaya by car through the Suramadu Bridge which spanned over Madura strait, easily. Only a few people came to the place. If travellers want to see the monkeys, travellers could enter and roam in the monkey forest. At that time, due to my very limited time, I did not enter the forest, so I did not see any monkeys there. There was a path in the forest for them who want to explore the area, or they could rent a sampan from the locals to explore the mangrove at the outer side of the forest. Anyway, I was not too disappointed for not finding any monkeys because I got the local legend from the place 🙂 .–

 

Ringkasan :

Pada kesempatan berkunjung ke Madura baru-baru ini, aku melewati sebuah desa bernama Desa Nepa yang terletak di Kecamatan Banyuates, Kabupaten Sampang. Aku menyempatkan mampir sejenak di pantainya yang memiliki hutan yang dihuni kawanan kera ekor panjang. Adanya sebuah cerita rakyat yang dipercaya merupakan asal-usul nama pulau inilah yang menarik aku untuk sejenak singgah di sana. Syukur-syukur kalau juga bisa bertemu dengan beberapa ekor kera yang bermain di pantai 😛. Jarang kan lihat ada kera yang main-main di pantai?

Pantainya sendiri sih tidak terlalu menarik ya. Sepi dan agak kotor, meskipun kotornya disebabkan oleh sampah yang terbawa air pasang dari laut. Penduduk sekitar yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan kelihatannya kurang peduli dengan kebersihan pantai itu. Pasirnya yang lembut, datar dan bentangannya luas sebetulnya berpotensi sebagai tempat dilakukannya aktifitas olahraga pantai. Di sepanjang pantai, di tepi hutan, banyak tumbuh pohon nipah. Dalam dialek local, ‘nipah’ disebut ‘nepa’. Karena banyaknya tumbuhan itu di sana, maka pantai itu dikenal dengan nama Pantai Nepa, meskipun ada juga yang menyebutnya sebagai Pantai Nipah. Desa yang kemudian muncul di sekitar pantai itu juga dikenal dengan nama Desa Nepa, pun hutan kecil di situ dikenal sebagai Hutan Kera Nepa.

IMG_NEP01

Mengenai legendanya sendiri, berdasarkan yang aku dengar, secara singkat adalah sebagai berikut. Konon pada jaman dahulu di tanah Jawa ada sebuah kerajaan yang dikenal sebagai Kerajaan Medangkamulan dengan istananya yang bernama Keraton Gilingwesi. Raja Medangkamulan yang bernama Sangyangtunggal memiliki seorang puteri yang cantik jelita. Puterinya ini pada suatu malam bermimpi bahwa bulan purnama jatuh dari langit dan masuk ke dalam tubuhnya. Tidak lama kemudian Sang Puteri menjadi hamil.

Sang Raja yang mengetahui kehamilan puterinya itu berusaha mencari tahu siapa pemuda yang berani menghamili puterinya itu, tetapi Sang Puteri tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan Baginda. Dengan semakin besarnya perut Sang Puteri, Sang Raja menjadi semakin tidak sabar, dan akhirnya ketidak sabarannya itu berubah menjadi kemurkaan. Ketika Sang Puteri tetap tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan, dalam kemarahannya Baginda menugaskan patih kerajaan yang bernama Patih Pranggulang untuk membawa Sang Puteri ke hutan, memenggal kepalanya dan membawa kepalanya untuk diperlihatkan padanya sebagai bukti. Kalau tidak berhasil, Sang Patih tidak diperkenankan untuk kembali ke istana.

IMG_NEP05Pada waktu yang telah ditentukan, berangkatlah Patih Pranggulang membawa Sang Puteri ke hutan untuk di bunuh. Tetapi keanehan terjadi . . . tiap kali Sang Patih mengayunkan pedangnya untuk memenggal leher Sang Puteri, pedang itu terlepas dari tangannya dan terpental jauh. Beberapa kali hal ini terjadi, sehingga akhirnya Patih Pranggulang menyadari kalau kehamilan Sang Puteri bukanlah merupakan kesalahannya, melainkan terjadi karena sesuatu yang di luar kuasanya. Karena itulah Patih Pranggulang mengurungkan niatnya untuk membunuh Sang Puteri, bahkan berbalik justru berniat melindunginya. Karena tidak mungkin kembali ke istana, dan juga supaya tidak mudah dikenali, Sang Patih kemudian menanggalkan pakaian kebesarannya dan menggantinya dengan pakaian yang terbuat dari kain poleng, sehingga kemudian Sang Patih lebih dikenal dengan nama Kyai Poleng.

Untuk menghindarkan Sang Puteri dari kejaran Sang Baginda, Kyai Poleng kemudian membuat sebuah rakit dari pahon bambu yang banyak tumbuh di tepi pantai. Setelah rakit itu jadi, Kyai Poleng mendudukkan Sang Puteri di atas rakit, kemudian ditendangnya rakit itu dengan kesaktiannya, sehingga rakit itu meluncur menyeberangi laut dan mendarat di suatu tempat yang dikenal dengan nama Gunung Geger. Di tempat itulah Sang Puteri tinggal sampai akhirnya melahirkan seorang putera yang tampan dan diberinya nama Raden Segoro. Sejak itulah para pelaut yang melewati laut di depan tempat tinggal Raden Segoro dan ibunya pada waktu malam kerap melihat cahaya seterang sinar bulan purnama memancar dari tempat itu. Para pelaut tersebut kemudian banyak yang mengucapkan ‘janji’ bahwa jika tujuan pelayaran mereka sukses, mereka akan mampir dan melakukan selamatan ataupun menyembah sumber cahaya tersebut sebagai ungkapan terimakasih mereka. Dan itulah yang terjadi, karena banyak dari para pelaut itu yang sukses dengan urusannya, maka banyak pula ‘hadiah’ yang diterima ibu dan anak itu.

Ketika Raden Segoro berusia 7 tahun, Sang Puteri memutuskan untuk meninggalkan daerah Gunung Geger untuk mencari tempat tinggal baru. Dalam perjalanannya, Sang Puteri tiba di sebuah pantai yang banyak ditumbuhi pohon nipah. Sang Puteri dan puteranya memutuskan tinggal di tempat tersebut, sehingga dibangunnyalah tempat tinggal di tempat yang kemudian dinamainya Nepa itu.

IMG_NEP06

Singkat cerita, Keraton Gilingwesi kerap diserang oleh pasukan yang sangat kuat yang berasal dari seberang lautan. Sang Prabu yang kewalahan melakukan puja semedi kepada Yang Maha Kuasa untuk memperoleh petunjuk bagaimana caranya bisa lepas dari masalah tersebut. Pada suatu hari, Sang Prabu memperoleh wisik bahwa pasukan asing itu akan dapat dikalahkan, bahkan diusir jauh dengan bantuan seorang pemuda yang tinggal di sebuah pulau yang tampak antara ada dan tiada, karena ketika laut pasang maka pulau itu seolah-olah lenyap dari pandangan. Tanah yang tidak nyata disebut ‘lemah duro’ oleh masyarakat setempat; dan itulah asal mula nama Madura yang dipergunakan untuk menyebut pulau itu sampai sekarang.

Betul saja, dengan bantuan Raden Segoro, pasukan asing yang menyerbu Keraton Gilingwesi dapat dikalahkan dengan telak. Dalam pesta yang diadakan untuk menyambut kemenangannya, Sang Prabu menganugerahi gelar Tumenggung Gemet kepada Raden Segoro, bahkan Sang Prabu bermaksud mengangkatnya sebagai menantunya. Untuk itu Sang Prabu berkeinginan untuk mengetahui siapa orang tua Raden Segoro. Raden Segoro tidak bisa menjawab pertanyaan Sang Baginda, khususnya mengenai ayahnya karena memang sejak lahir belum pernah mengenal siapa ayahnya. Oleh karena itulah Raden Segoro meminta ijin kepada Sang Baginda untuk pulang terlebih dahulu ke Nepa untuk bertanya kepada ibunya. Sang Baginda mengabulkan permintaan Raden Segoro, dan kemudian memerintahkan sepasukan prajurit pilihan untuk mengantar Raden Segoro kembali ke rumahnya di Pulau Madura.

IMG_NEP07

Setiba di Nepa, Raden Segoro meminta prajurit-prajurit tersebut untuk menunggu sementara Raden Segoro bertanya kepada ibunya. Dipesankannya pula supaya para prajurit tersebut jangan mendekat ke arah rumahnya, apalagi mencuri dengar pembicarannya dengan ibunya. Para prajurit itu menyanggupinya, sehingga Raden Segoro langsung masuk ke rumah untuk bertemu dengan ibunya.

gerbang masuk ke hutan kera  ( the gate to the monkey forest )

gerbang masuk ke hutan kera ( the gate to the monkey forest )

Mendapat pertanyaan dari puteranya itu, ibunda Raden Segoro terdiam beberapa saat. Ketika Raden Segoro terus mendesaknya untuk menjelaskan siapa ayahandanya, akhirnya ibu Raden Segoro mengatakan bahwa ayah Raden Segoro adalah seorang siluman yang sangat sakti. Tengah Raden Segoro termangu mendengar jawaban ibunya itu, tiba-tiba didapatinya prajurit-prajurit yang ditugaskan mengawalnya tersebut tidak mematuhi perintahnya untuk tidak mencuri dengar pembicaraannya dengan ibunya, sehingga Raden Segoro menjadi sangat marah. Dalam kemurkaannya itu, dikutuklah prajurit-prajurit itu menjadi kera. Raden Segoro juga mengubah kediamannya menjadi hutan sebelum kemudian Raden Segoro dan ibunya menghilang karena masuk ke dunia siluman untuk tinggal bersama ayah Raden Segoro. Kera-kera yang dahulunya prajurit itu kemudian tinggal di hutan yang semula adalah kediaman Raden Segoro bersama ibunya, berkembang biak dan bertambah banyak, sampai sekarang. Karena itulah konon kera-kera tersebut cukup jinak dan bisa berinteraksi dengan baik kalau bertemu manusia. Sayangnya waktu aku di sana, aku tidak bertemu dengan seekor kerapun, mungkin karena cuaca yang cukup terik, menyebabkan kera-kera itu tetap tinggal dalam hutan, sementara akupun sengaja tidak masuk dan mejelajahi Hutan Kera Nepa karena waktu yang tidak memungkinkan. Meskipun demikian, aku tidak terlalu kecewa tidak bertemu dengan kera-kera yang dahulunya prajurit Medangkamulan itu, karena sebagai penggantinya aku mendapatkan legenda yang cukup menarik ini.

Buat para pelancong yang mau ke Pantai Nepa, pantai ini berjarak kurang lebih 100 kilometer dari Surabaya. Jangan khawatir terlalu jauh, karena dengan melewati Jembatan Suramadu, jarak itu bisa ditempuh dalam waktu kurang lebih satu setengah jam. Pantainya sendiri relatif sepi, kendaraan bisa diparkir di tempat parkir yang telah disediakan penduduk setempat di bibir pantai. Eh tapi di sekitar situ praktis gak ada yang jualan lho ya, jadi kalau pas ke sana siang hari, siap-siaplah membawa bekal kalau gak mau kelaparan. Trus buat yang mau ketemu saudara tua . . eh maksudku mau ketemu kera, bisa masuk ke kawasan Hutan Kera Nepa. Di situ sudah ada jalan yang bisa dipergunakan untuk menjelajahi hutan itu, atau bisa juga menyewa perahu nelayan untuk mengelilingi hutan mangrove yang ada di bagian luar Hutan Kera Nepa itu. Buat yang mau ke sana pagi-pagi, menanti matahari terbit di pantai yang menghadap ke Laut Jawa ini, kelihatannya asyik juga sih  🙂 .

IMG_NEP08

Categories: Travel Pictures | Tags: , , , | 56 Comments

Mengenal budaya Mataram di kesejukan lereng Merapi

Kali ini, supaya gak bosan bolak-balik main di pantai terus, sekali-kali aku posting tujuan wisata lain yang bukan pantai ya. Yuk kali ini kita mendaki ke tempat yang agak tinggi, sekaligus mencari udara sejuk :). Masih di sekitaran Yogyakarta juga koq. Bisa menebak kan? Yup seratus buat yang menebak betul; pada kesempatan ini aku mampir di Kaliurang, sebuah tempat wisata yang berlokasi di sebelah utara kota Yogyakarta. Karena letaknya yang berada dilereng Gunung Merapi dengan ketinggian sekitar 900 meter di atas permukaan laut, Kaliurang berhawa cukup sejuk. Eh tapi sekali ini aku gak ngajak jalan-jalan di Kaliurang, melainkan langsung menuju ke salah satu sudut Kaliurang. Tepatnya ke Jalan Boyong, Kaliurang.

“Lhah emangnya ada apa di situ?” 😯

Nah di salah satu sudut kawasan Kaliurang ini, terselip sebuah bangunan yang sepintas tampak seperti bangunan yang terbengkelai karena hampir tertutup oleh berbagai jenis tumbuhan yang tumbuh subur dan rimbun di sekelilingnya. Tembok-temboknyapun kelihatan sudah berlumut. Hus jangan bisik-bisik gitu, kita bukannya mau berburu Dracula di situ. Mentang-mentang bentuk bangunannya mirip kastil-kastil di Eropa itu, jangan terus berpikir horror gitu ah. Meskipun bangunannya bergaya gothic, bangunan itu sepenuhnya bukan milik orang asing, bahkan bangunan itu sebetulnya merupakan sebuah museum yang didedikasikan untuk seni dan budaya Jawa. Jadi memang merupakan sebuah tempat yang pantang dilewatkan oleh para pecinta budaya, khususnya budaya Jawa. Namanya Museum Ullen Sentalu. Tuh lihat di pintu masuknya jelas terlihat namanya di sela-sela rimbunan pohon itu.

the entrance to the museum  ( pintu masuk museum )

the entrance to the museum ( pintu masuk museum )

“Namanya koq kedengaran tidak biasa ya? Bukan Bahasa Jawa rasanya, ataukah nama itu diambil dari Bahasa Sansekerta?” 🙄

Untuk namanya, memang sepintas seperti mempergunakan bahasa asing, tetapi sebetulnya Ullen Sentalu merupakan singkatan kata-kata dalam Bahasa Jawa, yaitu dari kata-kata ‘Ulating Blencong Sejatine Tataraning Lumaku’, yang mengandung arti ‘nyala dian yang menjadi penuntun dalam melangkah dan meniti kehidupan’. Hal ini sesuai dengan tujuan didirikannya museum tersebut oleh Yayasan Ulating Blencong pada tahun 1994 yang lalu, yaitu untuk melestarikan kebudayaan Jawa sehingga adanya museum ini bisa diibaratkan bagai sebuah lampu penerang yang bisa menerangi suasana redup yang melingkupi kebudayaan, khususnya Budaya Jawa, yang semakin terkikis oleh kemajuan jaman.

Di dalam museum tersebut tersimpan dan juga tersaji dengan apik berbagai benda, tulisan dan juga foto yang berkaitan dengan Dinasti Mataram yang pernah berkuasa di Tanah Jawa ini sebelum akhirnya pecah menjadi empat keraton, dua di Yogya dan dua lagi di Solo. Yang di Yogya adalah Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman; sedangkan yang di Solo adalah Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran.

Untuk menjelajahi museum ini, pengunjung tidak dibiarkan kluyuran sendiri, melainkan dipandu oleh seorang pemandu yang menjelaskan dengan lancar dan cara yang cukup menarik mengenai isi keseluruhan museum itu dari ruangan ke ruangan, dari satu lemari pajang ke lemari pajang yang lain, dan dari satu panel ke panel yang lain juga. Lamanya penjelajahan ini kira-kira 1 jam. Jadi, kalau kebetulan ada pengunjung yang datang sendiri, biasanya akan digabung dengan pengunjung lain sehingga bisa membentuk suatu kelompok kecil.

Penjelajahan di dalam Museum Ullen Sentalu itu dimulai dengan memasuki Gua Selo Giri. Yang disebut dengan Gua Selo Giri ini sebetulnya bukan merupakan gua seperti bayangan kita, melainkan bangunan yang terletak sedikit di bawah permukaan tanah dan dibangun mengikuti kontur tanah dan juga akar-akar raksasa pepohonan yang sudah berusia ratusan tahun sehingga ruangan satu dengan ruangan lain dihubungkan dengan lorong-lorong. Dalam Gua Selo Giri ini pemandu menjelaskan mengenai sejarah dan kehidupan para bangsawan Dinasti Mataram jaman dahulu. Banyak benda dan lukisan baik besar maupun kecil yang merupakan peninggalan masa lalu terpajang di sana, antara lain perangkat gamelan dan lukisan-lukisan yang menggambarkan para penari keraton dan juga kehidupan para bangsawannya.

IMG_ULS02

Setelah keluar dari Gua Selo Giri, pengunjung akan diajak menjelajahi ruangan-ruangan lain berikutnya. Antara lain ruangan yang berisi berbagai macam batik, khususnya batik dengan pola-pola klasik. Di sini pengunjung memperoleh penjelasan menggenai kapan waktu yang tepat untuk mempergunakan batik dengan pola tertentu. Ternyata tidak sembarang pola batik bisa dipergunakan di setiap kesempatan lho :P. Dijelaskan pula beberapa corak batik yang diciptakan oleh puteri-puteri kraton dan latar belakang terciptanya pola batik tersebut. Misal saja pola batik truntum yang diciptakan oleh salah satu puteri keraton ketika hatinya bersedih kala mengetahui suaminya menikah lagi. Tetapi ketika suaminya melihat pola batik ciptaannya tersebut, sang suami kembali terbit rasa cintanya kepada puteri tersebut, sehingga pola batik itu dinamakan ‘truntum’ yang bisa berarti bersemi kembali <3.

Ada pula ruangan khusus yang seolah menjadi saksi kisah cinta seorang puteri dari Keraton Solo yang dikenal dengan nama Puteri Tineke, sehingga ruangan tersebut dinamakan Ruang Tineke, meskipun sebenarnya bernama Ruang Sekar Kedaton. Puteri Tineke adalah puteri dari Sunan Pakubuwono XI. Puteri yang bernama asli GRAy Koes Sapariyam ini memiliki kisah cinta yang cukup menyedihkan, karena hubungan cintanya dengan pemuda pujaannya tidak direstui oleh orang tuanya. Untungnya saat itu Sang Puteri memilik banyak kawan yang selalu mendukungnya. Dukungan itu berujud surat yang dikirimkan kepada Puteri Tineke dalam kurun waktu antara tahun 1939 – 1947. Sekarang, surat-surat yang pada umumnya berbentuk puisi cinta itu terpajang dengan rapi, bahkan disertai juga dengan foto-foto pengirimnya, serta juga diberikan terjemahannya karena sebagian surat-surat itu aslinya berbahasa Belanda. Pengunjung bisa membaca satu demi satu kumpulan surat yang sudah terpajang dalam panel-panel di dinding karena kesemua surat tersebut masih terawat dan tulisannya masih terbaca jelas. O ya, mungkin ada yang penasaran dengan akhir kisah cinta Puteri Tineke ini? Well . . . akhirnya adalah akhir yang indah seperti dalam buku-buku cerita dongeng, karena Sang Puteri akhirnya bisa menikah dengan pria pujaannya dan hidup berbahagia ❤ 🙂 ❤

IMG_ULS11

woman statue by the pool in the backyard (patung wanita di tepi kolam di halaman belakang museum)

Ruangan lain yang juga didedikasikan untuk seorang puteri dikenal dengan nama Ruang Puteri Dambaan. Dalam ruangan ini, pengunjung bisa lebih mengenal sosok Gusti Nurul, seorang puteri Keraton Mangkunegaran Solo yang betul-betul menjadi dambaan banyak pria pada saat mudanya karena selain memang berparas cantik, Gusti Nurul juga dikenal pandai dan cakap dalam menari, berkuda, bermain tenis dan juga berenang. Puteri Mangkunegoro VIII dengan Gusti Ratu Timur ini bernama asli GRAy Siti Nurul Kamaril Ngarasati Kusumawardhani. Konon pada waktu itu, hampir setiap sore Gusti Nurul berlatih menunggang kuda di suatu tanah lapang, dan setiap kali Gusti Nurul berkuda di situ, hampir dipastikan kalau tanah lapang itu akan dipenuhi para pemuda yang ingin menyaksikan kecantikan Gusti Nurul. Di dalam ruangan Puteri Dambaan tersebut terpajang banyak sekali foto Gusti Nurul, sejak beliau masih bayi sampai sekarang. Di antara foto-foto itu, tampak juga foto Gusti Nurul sedang menari di hadapan para tamu agung pada pesta pernikahan Puteri Juliana di Belanda. Uniknya, saat itu Gusti Nurul menari dengan iringan gamelan yang dimainkan di Solo dan diperdengarkan melalui sambungan telepon. Kalau jaman sekarang sih mungkin merupakan hal yang biasa, tetapi waktu itu merupakan hal yang sangat luar biasa. Gusti Nurul yang sekarang sudah berusia lebih dari 90 tahun dan tinggal di Bandung ini dikenal sebagai seorang puteri yang dengan tegas menentang poligami, sehingga pada masa mudanya berulangkali menolak pinangan para pangeran maupun pejabat tinggi yang pada saat itu biasa memiliki istri lebih dari satu.

Di ruangan lain dalam museum ini, pengunjung juga akan bisa mengetahui perbedaan busana pengantin Jawa gaya Surakarta dan gaya Yogyakarta. Di situ, selain dijelaskan secara detail apa saja perbedaannya pengunjung juga akan dijelaskan apa arti dari semua riasan dan perlengkapan busana yang dikenakan sang pengantin.

Sebelum mengakhiri kunjungan di museum ini, pengunjung akan diajak beristirahat sejenak di suatu ruangan. Di situ pemandu akan menyajikan minuman berupa ramuan berbagai bahan yang dipercaya bisa menyegarkan tubuh. Konon ramuan tersebut adalah ramuan yang berasal dari keraton. Rasanya . . . uenakkk lho, segar dan tidak pahit. Sayang gak boleh minta tambah 😀

IMG_ULS05

Penjelajahan dalam museum yang seolah membawa pengunjung ke jaman yang telah lampau itu diakhiri di sebuah ruangan yang merupakan sebuah toko, dimana pengunjung bisa membeli cendera mata, batik, baju dan lain sebagainya.

O ya, mungkin banyak yang bertanya juga mengapa tidak banyak foto yang aku sertakan dalam postingan ini. Ya, hal ini dikarenakan di dalam area museum, pengunjung dilarang mengambil foto. Jadi buat yang kurang puas dan ingin tahu lebih banyak, mampirlah ke Museum Ullen Sentalu kalau pas ke Yogyakarta 🙂 .—

IMG_ULS10

 

Summary:

The post is about a museum called Ullen Sentalu. The name was an abbreviation of a Javanese quotes “Ulating Blencong Sejatine Tataraning Lumaku” which can be translated freely as the light that guides people in their living on the world. The museum was located in a corner of Kaliurang, a resort at the slope of Mount Merapi, about 30 kilometers from Yogyakarta to the north.

The museum was a place to preserve Javanese culture as well as to display everything about Mataram Dynasty, a dinasty that once became the ruler of Java before then it was separated into four centers of authorities, two of them were in Yogyakarta and the other two were in Solo. In Yogyakarta they were known to rule from two palaces, Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat (Yogyakarta Sultanate) and Kadipaten Pakualaman (Pakualam Princedom); while in Solo there were Kasunanan Surakarta (Surakarta Sunanate) and Praja Mangkunegaran (Mangkunegara Special Teritory).

IMG_ULS01

To enter the museum, travelers would be escorted by an experienced guide who would lead the way and explain about everything in the museum. Yes this was a guided tour through the museum; and during the excursions, travelers were free to ask about everything related to the displayed items in there. The duration of the tour through the museum was approximately 1 hour.

To start the excursion, travelers would be guided through a tunnel to a room called Gua Selo Giri. The name Gua Selo Giri could be translated as the Mountain Stones Cave. It was not a real cave, actually. It has the name because the room was built underground like a cave, even though when people entered the room it was far from a look of a room in a cave. In the room, there was a set of ‘gamelan’ – Javanese traditional music instruments which was said to be given by the Sultan of Yogyakarta. There were also some big paintings depicting the life of Javanese noblemen in the past as well as paintings depicting the royal dancers in action.

IMG_ULS06

To come to the next room, travelers would pass through a path with many antique paintings and statues, most of the paintings were about the Sultans, Princes, and Princesses of the dynasty. In one of the room, travelers would be explained about the ‘batik’; how they were be made, the different style and pattern of ‘batik’ originated from Yogya and Solo, when one should wear a special pattern of ‘batik’, and also the story behind some of the ‘batik’ pattern.

There were also two rooms dedicated to certain princesses of Solo. The first one was called Balai Sekar Kedaton (the Princess Room) or most commonly known as Tineke Room because many things about Princess Tineke was displayed in the room; most of them were letters be written by the princess friends to encourage and support her when she was very depressed because she was not allowed to marry her lover by his father, the king of Solo called Sunan Pakubuwono XI. The princess, whose real name was GRAy Koes Sapariyam, received so many letters, either in Dutch as well as in Bahasa Indonesia during the period of the year 1939 through 1947. Most of the letters were poems. Now, most of the letters were on display together with the picture of the senders, so travellers could read and feel the same feeling as the princess, as all the letters were still intact. And . . . don’t you want to know how about the end of her love story? Well, as in almost every fairy tale, the story ended with happiness as the princess married her lover at last ❤ 🙂 ❤

modern style statues in the park  ( patung bergaya modern di taman belakang )

modern style statues in the park ( patung bergaya modern di taman belakang )

The other room that also dedicated to a princess was called Ruang Puteri Dambaan (the Room of the Desired Princess). The princess was known as Gusti Nurul, the daughter of Mangkunegoro VIII of Solo. Her real name was GRAy Siti Nurul Kamaril Ngarasati Kusumawardhani, and she was known for her beauty. She was also known as a smart girl as well as good in traditional Javanese dancing, horse ridding, lawn tennis and swimming. She was also known to strictly say no to polygamy, which was why she refused many marriage proposals sent by many princes and noblemen, because it was a common practice that kings and noblemen had more than one wife at that time. In the room, travelers could see many pictures of Gusti Nurul and could prove how pretty she was. Nowadays, Gusti Nurul, who was more than 90 years old, was lived in Bandung, Indonesia.

Well . . . to end this post, I think it was a trip worth to join, especially for travelers who love to explore many cultures 🙂 .–

Categories: Travel Notes | Tags: , , , | 73 Comments

A waterfall at the beach

Do you still remember the beach called Siung which I brought to you through my previous post? Well, close to Siung Beach, there was another pretty beach, and I must say that the beach was more attractive because it had a waterfall that poured its water directly to the sea. Unfortunately, when I visited the beach, the sea was in low tide, so I could not see the water dropped to the sea, but it dropped to the corral below, instead. The beach’s name was Jogan Beach, and it also located in Tepus District, Gunungkidul Regency, Yogyakarta.

IMG_JOG01

The beach waterfall at Jogan beach was not too high; I think it was only about 10 meters high. It was also not too wide. The water would be very small when it came to the dry season. So if you want to visit the beach, make sure that it was in rainy season (September to March).

To reach the beach, travelers had to take the same route as the route to Siung Beach. Before reaching Siung beach, there was a wooden sign at the right which show the road to Jogan Beach. The road to the beach was a dirt road and it was pretty narrow. At the end of the road, travelers would find a small river that flow directly to a cliff. Yes, the end of the dirt road was the top of the waterfall. The beach was laid below. It was not a sandy beach, but it was a corral beach. To come to the beach, travelers could use a narrow and slippery path by the side of the waterfall. I was not climb down to the foot of the waterfall at that time, because the path was too slippery because of the rain that poured in the morning. Right before me, a man slipped at the path. Lucky him that he could grab a strong root so his body was not slipped to far.

Jogan Beach was not as crowded as Siung Beach. Many people overlooked Jogan Beach, so they just passed it on their way to or from Siung Beach. As for the name, I assumed “Jogan” was derived from the word ‘grojogan’ which means waterfall in local language. Heard that nowadays, Jogan Beach became more and more popular, so many people came to see the uniqueness of Jogan Beach, either before or after they visited the neighbouring Siung Beach.—

IMG_JOG06IMG_JOG07

 

Keterangan :

Masih ingat postinganku mengenai Pantai Siung? Nah . . tidak jauh dari Pantai Siung itu, ada satu pantai lain yang siap untuk dinikmati kecantikannya. Bahkan menurutku, pantai ini justru lebih menarik, karena di pantai tersebut terdapat sebuah air terjun yang airnya tertumpah langsung ke Samudera Indonesia yang ada di bawahnya. Sayangnya ketika aku ke sana, kebetulan air laut sedang surut, sehingga aku tidak melihat air yang tertumpah ke dalam laut, melainkan air yang jatuh di hamparan karang yang ada di bawah air terjun itu. Hamparan karang itu akan berada di bawah permukaan air pada saat air pasang. Tahu kan pantai mana yang aku maksud? Ya pantai yang aku maksud ini adalah Pantai Jogan.

Air terjun yang ada di Pantai Jogan sebetulnya tidak terlalu tinggi. Taksiranku, tingginya tidak lebih dari 10 meter. Lebarnya juga tidak seberapa karena terjunan air itu turun di sebuah cerukan. Air yang ditumpahkan juga tidak terlalu deras, padahal ketika aku ke sana, masih termasuk di tengah-tengah musim penghujan. Katanya sih pada musim kemarau, air yang mengalir berkurang banyak, sehingga air yang tertumpah ke samudera itupun hanya serupa tirai air yang sangat tipis. Jadi, kalau mau ke sana, pastikan ke sana pada musim penghujan ya, supaya bisa menikmati kegagahan air terjunnya.

IMG_JOG05

Untuk mencapai Pantai Jogan, pelancong bisa mempergunakan route yang sama dengan route yang ditempuh untuk menuju Pantai Siung, hanya saja sebelum mencapai Pantai Siung – tidak jauh dari loket penjaga pantai, ada papan petunjuk di sebelah kanan jalan yang mengarahkan kendaraan yang dipergunakan pelancong yang mau berkunjung ke Pantai Jogan memasuki sebuah jalur sempit. Jalur ini belum beraspal, dan lebarnya prakstis hanya cukup untuk lewat satu mobil. Di ujung jalan, ada daerah yang agak luas sehingga kendaraan bisa diparkir di situ. Di situ pula pelancong akan menyaksikan sebuah aliran sungai yang berakhir di suatu tebing. Ya . . . memang di situlah puncak dari air terjun. Pantainya sendiri ada di bawahnya. Jadi kalau pelancong ingin turun ke pantai dan menyaksikan air terjun dari arah depan, pelancong harus menuruni sebuah jalur tanah yang cukup curam dan lumayan licin di samping air terjunnya. Aku sendiri waktu itu memutuskan untuk tidak turun ke pantai dan cukup puas menyaksikan keperkasaan air terjun dari samping. Aku tidak mau terpeleset seperti orang di depanku yang tubuhnya nyaris terbanting ke karang yang ada di bawah air terjun. Untung orang tersebut cukup sigap meraih tonjolan akar yang ada di situ. Hujan yang turun sepanjang pagi memang membuat jalur turun ke pantai sekaligus ke kaki air terjun itu lebih licin dari biasanya.

Nama ‘Jogan’ rasanya merupakan singkatan dari ‘grojogan’ yang berarti air terjun dalam bahasa setempat. Seperti umum terjadi dimana-mana, penduduk setempat akan menamakan sebuah daerah, termasuk pantai, sesuai dengan keunikan yang bisa menjadi penanda yang ada di daerah atau tempat tersebut. Nama Pantai Jogan sekarang semakin populer. Banyak orang yang sudah mendengar keunikannya dan akhirnya memutuskan untuk berkunjung guna melihat sendiri adanya air terjun yang airnya tertumpah langsung ke laut itu. Rasanya tidak lama lagi Pantai Jogan juga akan menjadi seramai Pantai Siung yang terletak di sebelah timurnya itu.–

IMG_JOG18

Categories: Travel Pictures | Tags: , , , | 74 Comments

Create a free website or blog at WordPress.com.