On my short visit to Madura, I passed a village called Nepa. The village was under Banyuates Subdistrict, Sampang Regency. I stop for a while at the beach in the village because I heard that there was a forest inhabited by long tailed monkeys closed to the beach. What interested me most was neither the beach nor the forest, but the legend related to the place. It was a local legend which was believed to be really happened in the past.
The beach itself was not too interesting, although it was the place for the locals to spend their leisure time. It was a wide and flat sandy beach, so it would be a perfect beach to do beach sports; unfortunately the beach was pretty dirty with trashes threw to the beach by the tides. The locals, who were mainly doing their living as fishermen, seemed not too care about the cleanliness of the beach.
Like I said before, close to the beach, there was a small forest inhabited by monkeys. Around the forest, there was a river that flow to the sea and which was usually used to park the locals’ sampan. The beach itself was called Nepa Beach because there were many coastal plants called Nipah (nypa fruticans) grew wild along the beach. The village, which was then formed close to the beach as many people came to the place to settle, was also called Nepa. That was also the name used to call the forest closed to the beach. Nepa . . . as the Maduresse called the plant in their local tongue.
Anyway, legend said that very long ago, when the place was not called Nepa yet, as now known, and even the island itself was not have its recent name, there was a big kingdom in Java Island called Medangkamulan. The grand palace of the kingdom was called Gilingwesi and the king’s name was Sangyangtunggal. The king had a beautiful daughter who in a night dreamt that the moon came to her and then entered her body. Not long after that, the princess was pregnant. The king was very angry to know about her daughter pregnancy, more than that, the princess could not give him the name of the man who made her pregnant. In his rage, the king asked his prime minister, known as Patih Pranggulang, to bring her to the forest, killed her and brought back her head as the proof of her death for the king.
Something unusual happened when Patih Pranggulang tried to kill the princess. Every time he slashed his sword, the sword flung as if grabbed by an invisible hand and then threw away. Patih Pranggulang then realized that it was not the princess fault to be pregnant that way; so instead of killing her, he decided not to be back to the palace and protected her wherever she went with his supernatural power. In order not to be easily recognized, Patih Pranggulang changed his royal attire with a kind of clothes known as ‘kain poleng’, so later on he was known as Kyai Poleng.
Kyai Poleng then made a bamboo raft, placed the princess on it, and then kicked the raft which made the raft threw across the sea to a place known as Gunung Geger. In her new place, the princess gave birth to handsome boy that she named Raden Segoro. When Raden Segoro was 7 years old, the princess and his son moved to another place which later known as Nepa because the princess found that there were many ‘nepa’ plants on that place.
Meanwhile, Gilingwesi Palace was often been attacked by a powerful troop from across the ocean. The upset king once got an insight that there was a boy, who lived in the island which was looked unreal because when in high tide the land will vanished, that could help him winning the battle and drove the enemy away. The land that looked unreal was called ‘lemah duro’ in local language, and that was the origin of the island name, Madura.
To make the story short, Raden Segoro really could defeat the enemy. In the party to celebrate the victory, the king honoured Raden Segoro with the title Tumenggung Gemet, more than that the king intended to marry Raden Segoro to his daughter. For that, the king asked him about his father. As Raden Segoro never knew who his father was, he asked the king’s permission to ask his mother. The king agreed, and sent some of his chosen soldiers to accompany Raden Segoro to his place.
Upon their arrival at Nepa, Raden Segoro asked his escorts to stay away from him when he asked his mother about his father. He forbade them to overhear his conversation with his mother. Then . . . Raden Segoro directly asked his mother about his father, which made his mother dumbstruck for a while. At last he told Raden Segoro that his father was somebody from the spirit world. Unfortunately, some of Raden Segoro’s escorts were overhearing the conversation on purpose, which made Raden Segoro very angry and cursed them to become monkeys. He also turned his palace in Nepa into a forest before he and his mother vanished and join Raden Segoro’s father in the spirit world. The monkeys, which before were the soldiers of Medangkamulan, then lived in the forest up till now.
Well . . , that was the legend about the place called Nepa in Madura Island. Now travellers could visit the place that located about 100 kilometers from Surabaya by car through the Suramadu Bridge which spanned over Madura strait, easily. Only a few people came to the place. If travellers want to see the monkeys, travellers could enter and roam in the monkey forest. At that time, due to my very limited time, I did not enter the forest, so I did not see any monkeys there. There was a path in the forest for them who want to explore the area, or they could rent a sampan from the locals to explore the mangrove at the outer side of the forest. Anyway, I was not too disappointed for not finding any monkeys because I got the local legend from the place 🙂 .–
Ringkasan :
Pada kesempatan berkunjung ke Madura baru-baru ini, aku melewati sebuah desa bernama Desa Nepa yang terletak di Kecamatan Banyuates, Kabupaten Sampang. Aku menyempatkan mampir sejenak di pantainya yang memiliki hutan yang dihuni kawanan kera ekor panjang. Adanya sebuah cerita rakyat yang dipercaya merupakan asal-usul nama pulau inilah yang menarik aku untuk sejenak singgah di sana. Syukur-syukur kalau juga bisa bertemu dengan beberapa ekor kera yang bermain di pantai 😛. Jarang kan lihat ada kera yang main-main di pantai?
Pantainya sendiri sih tidak terlalu menarik ya. Sepi dan agak kotor, meskipun kotornya disebabkan oleh sampah yang terbawa air pasang dari laut. Penduduk sekitar yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan kelihatannya kurang peduli dengan kebersihan pantai itu. Pasirnya yang lembut, datar dan bentangannya luas sebetulnya berpotensi sebagai tempat dilakukannya aktifitas olahraga pantai. Di sepanjang pantai, di tepi hutan, banyak tumbuh pohon nipah. Dalam dialek local, ‘nipah’ disebut ‘nepa’. Karena banyaknya tumbuhan itu di sana, maka pantai itu dikenal dengan nama Pantai Nepa, meskipun ada juga yang menyebutnya sebagai Pantai Nipah. Desa yang kemudian muncul di sekitar pantai itu juga dikenal dengan nama Desa Nepa, pun hutan kecil di situ dikenal sebagai Hutan Kera Nepa.
Mengenai legendanya sendiri, berdasarkan yang aku dengar, secara singkat adalah sebagai berikut. Konon pada jaman dahulu di tanah Jawa ada sebuah kerajaan yang dikenal sebagai Kerajaan Medangkamulan dengan istananya yang bernama Keraton Gilingwesi. Raja Medangkamulan yang bernama Sangyangtunggal memiliki seorang puteri yang cantik jelita. Puterinya ini pada suatu malam bermimpi bahwa bulan purnama jatuh dari langit dan masuk ke dalam tubuhnya. Tidak lama kemudian Sang Puteri menjadi hamil.
Sang Raja yang mengetahui kehamilan puterinya itu berusaha mencari tahu siapa pemuda yang berani menghamili puterinya itu, tetapi Sang Puteri tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan Baginda. Dengan semakin besarnya perut Sang Puteri, Sang Raja menjadi semakin tidak sabar, dan akhirnya ketidak sabarannya itu berubah menjadi kemurkaan. Ketika Sang Puteri tetap tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan, dalam kemarahannya Baginda menugaskan patih kerajaan yang bernama Patih Pranggulang untuk membawa Sang Puteri ke hutan, memenggal kepalanya dan membawa kepalanya untuk diperlihatkan padanya sebagai bukti. Kalau tidak berhasil, Sang Patih tidak diperkenankan untuk kembali ke istana.
Pada waktu yang telah ditentukan, berangkatlah Patih Pranggulang membawa Sang Puteri ke hutan untuk di bunuh. Tetapi keanehan terjadi . . . tiap kali Sang Patih mengayunkan pedangnya untuk memenggal leher Sang Puteri, pedang itu terlepas dari tangannya dan terpental jauh. Beberapa kali hal ini terjadi, sehingga akhirnya Patih Pranggulang menyadari kalau kehamilan Sang Puteri bukanlah merupakan kesalahannya, melainkan terjadi karena sesuatu yang di luar kuasanya. Karena itulah Patih Pranggulang mengurungkan niatnya untuk membunuh Sang Puteri, bahkan berbalik justru berniat melindunginya. Karena tidak mungkin kembali ke istana, dan juga supaya tidak mudah dikenali, Sang Patih kemudian menanggalkan pakaian kebesarannya dan menggantinya dengan pakaian yang terbuat dari kain poleng, sehingga kemudian Sang Patih lebih dikenal dengan nama Kyai Poleng.
Untuk menghindarkan Sang Puteri dari kejaran Sang Baginda, Kyai Poleng kemudian membuat sebuah rakit dari pahon bambu yang banyak tumbuh di tepi pantai. Setelah rakit itu jadi, Kyai Poleng mendudukkan Sang Puteri di atas rakit, kemudian ditendangnya rakit itu dengan kesaktiannya, sehingga rakit itu meluncur menyeberangi laut dan mendarat di suatu tempat yang dikenal dengan nama Gunung Geger. Di tempat itulah Sang Puteri tinggal sampai akhirnya melahirkan seorang putera yang tampan dan diberinya nama Raden Segoro. Sejak itulah para pelaut yang melewati laut di depan tempat tinggal Raden Segoro dan ibunya pada waktu malam kerap melihat cahaya seterang sinar bulan purnama memancar dari tempat itu. Para pelaut tersebut kemudian banyak yang mengucapkan ‘janji’ bahwa jika tujuan pelayaran mereka sukses, mereka akan mampir dan melakukan selamatan ataupun menyembah sumber cahaya tersebut sebagai ungkapan terimakasih mereka. Dan itulah yang terjadi, karena banyak dari para pelaut itu yang sukses dengan urusannya, maka banyak pula ‘hadiah’ yang diterima ibu dan anak itu.
Ketika Raden Segoro berusia 7 tahun, Sang Puteri memutuskan untuk meninggalkan daerah Gunung Geger untuk mencari tempat tinggal baru. Dalam perjalanannya, Sang Puteri tiba di sebuah pantai yang banyak ditumbuhi pohon nipah. Sang Puteri dan puteranya memutuskan tinggal di tempat tersebut, sehingga dibangunnyalah tempat tinggal di tempat yang kemudian dinamainya Nepa itu.
Singkat cerita, Keraton Gilingwesi kerap diserang oleh pasukan yang sangat kuat yang berasal dari seberang lautan. Sang Prabu yang kewalahan melakukan puja semedi kepada Yang Maha Kuasa untuk memperoleh petunjuk bagaimana caranya bisa lepas dari masalah tersebut. Pada suatu hari, Sang Prabu memperoleh wisik bahwa pasukan asing itu akan dapat dikalahkan, bahkan diusir jauh dengan bantuan seorang pemuda yang tinggal di sebuah pulau yang tampak antara ada dan tiada, karena ketika laut pasang maka pulau itu seolah-olah lenyap dari pandangan. Tanah yang tidak nyata disebut ‘lemah duro’ oleh masyarakat setempat; dan itulah asal mula nama Madura yang dipergunakan untuk menyebut pulau itu sampai sekarang.
Betul saja, dengan bantuan Raden Segoro, pasukan asing yang menyerbu Keraton Gilingwesi dapat dikalahkan dengan telak. Dalam pesta yang diadakan untuk menyambut kemenangannya, Sang Prabu menganugerahi gelar Tumenggung Gemet kepada Raden Segoro, bahkan Sang Prabu bermaksud mengangkatnya sebagai menantunya. Untuk itu Sang Prabu berkeinginan untuk mengetahui siapa orang tua Raden Segoro. Raden Segoro tidak bisa menjawab pertanyaan Sang Baginda, khususnya mengenai ayahnya karena memang sejak lahir belum pernah mengenal siapa ayahnya. Oleh karena itulah Raden Segoro meminta ijin kepada Sang Baginda untuk pulang terlebih dahulu ke Nepa untuk bertanya kepada ibunya. Sang Baginda mengabulkan permintaan Raden Segoro, dan kemudian memerintahkan sepasukan prajurit pilihan untuk mengantar Raden Segoro kembali ke rumahnya di Pulau Madura.
Setiba di Nepa, Raden Segoro meminta prajurit-prajurit tersebut untuk menunggu sementara Raden Segoro bertanya kepada ibunya. Dipesankannya pula supaya para prajurit tersebut jangan mendekat ke arah rumahnya, apalagi mencuri dengar pembicarannya dengan ibunya. Para prajurit itu menyanggupinya, sehingga Raden Segoro langsung masuk ke rumah untuk bertemu dengan ibunya.
Mendapat pertanyaan dari puteranya itu, ibunda Raden Segoro terdiam beberapa saat. Ketika Raden Segoro terus mendesaknya untuk menjelaskan siapa ayahandanya, akhirnya ibu Raden Segoro mengatakan bahwa ayah Raden Segoro adalah seorang siluman yang sangat sakti. Tengah Raden Segoro termangu mendengar jawaban ibunya itu, tiba-tiba didapatinya prajurit-prajurit yang ditugaskan mengawalnya tersebut tidak mematuhi perintahnya untuk tidak mencuri dengar pembicaraannya dengan ibunya, sehingga Raden Segoro menjadi sangat marah. Dalam kemurkaannya itu, dikutuklah prajurit-prajurit itu menjadi kera. Raden Segoro juga mengubah kediamannya menjadi hutan sebelum kemudian Raden Segoro dan ibunya menghilang karena masuk ke dunia siluman untuk tinggal bersama ayah Raden Segoro. Kera-kera yang dahulunya prajurit itu kemudian tinggal di hutan yang semula adalah kediaman Raden Segoro bersama ibunya, berkembang biak dan bertambah banyak, sampai sekarang. Karena itulah konon kera-kera tersebut cukup jinak dan bisa berinteraksi dengan baik kalau bertemu manusia. Sayangnya waktu aku di sana, aku tidak bertemu dengan seekor kerapun, mungkin karena cuaca yang cukup terik, menyebabkan kera-kera itu tetap tinggal dalam hutan, sementara akupun sengaja tidak masuk dan mejelajahi Hutan Kera Nepa karena waktu yang tidak memungkinkan. Meskipun demikian, aku tidak terlalu kecewa tidak bertemu dengan kera-kera yang dahulunya prajurit Medangkamulan itu, karena sebagai penggantinya aku mendapatkan legenda yang cukup menarik ini.
Buat para pelancong yang mau ke Pantai Nepa, pantai ini berjarak kurang lebih 100 kilometer dari Surabaya. Jangan khawatir terlalu jauh, karena dengan melewati Jembatan Suramadu, jarak itu bisa ditempuh dalam waktu kurang lebih satu setengah jam. Pantainya sendiri relatif sepi, kendaraan bisa diparkir di tempat parkir yang telah disediakan penduduk setempat di bibir pantai. Eh tapi di sekitar situ praktis gak ada yang jualan lho ya, jadi kalau pas ke sana siang hari, siap-siaplah membawa bekal kalau gak mau kelaparan. Trus buat yang mau ketemu saudara tua . . eh maksudku mau ketemu kera, bisa masuk ke kawasan Hutan Kera Nepa. Di situ sudah ada jalan yang bisa dipergunakan untuk menjelajahi hutan itu, atau bisa juga menyewa perahu nelayan untuk mengelilingi hutan mangrove yang ada di bagian luar Hutan Kera Nepa itu. Buat yang mau ke sana pagi-pagi, menanti matahari terbit di pantai yang menghadap ke Laut Jawa ini, kelihatannya asyik juga sih 🙂 .