Continuing my last post about the Fortress of The Buton Palace, in this post I would bring you to explore more in the fortress perimeter since there were many historical structures and artifacts in there, besides there were also villages inhabited by the descendants of noble families in the past.
The first building which I visited was an old mosque which was built in the reign of Sultan Murhum Qaimuddin Khalifatul Khamis in 1542. It was just a simple building back then since it was only made of wood. In the reign of Sultan Saqiuddin Darul Alam in 1712, however, the mosque was renovated. The wall had been replaced into stone wall. Nowadays, the old mosque was still in a good condition and still became the place of worship for the Moslem lived there. It became the Grand Mosque of Wolio and named Masjid Al Muqarrabin Syafyi Shaful Mu’min. It was a two storey building with two canons laid side by side the main entrance. Unfortunately, when I was there, I met no one so I could not tell you how the interior looked like 😦
In front of the mosque, there was also a 21 meters-high old flag pole made of wood. The locals called it Kasulana Tombi. It was made at the same time as the Grand Mosque. It was said that in the year 1870 the flag pole was struck by lightning, but then it was been repaired not long afterward and still exist until now.
Other interesting thing was an inscription where travelers could see all the rulers of Buton, from the first ruler known as Wa Kaa Kaa that was believed as a princess came from China until the last sultan of Buton who was reign in 1938 – 1960. Close to the inscription, there was a typical Buton house made of wood. It was said that there were no metal nail used in there. All nails used were made also of wood. It was a four storeys building. And again, I came at the wrong time so I could not gain access to the inside of the building 😦
Up on a narrow hill not far from the mosque, there was an old tomb. It was the tomb of Sultan Murhum, the first Sultan of the Buton Sultanate who was reign in 1530 – 1584. The Sultan’s name has been used as the main port in the largest city on the island up till now.
At the foot of the hill, there was a big stone as big as a calf, and the locals called it Batu Wolio or Batu Yigandangi (Wolio Stone or Yigandangi Stone). It was believed that the first ruler of Buton, who was known as Wa Kaa Kaa, was found by the four founding fathers of Buton Kingdom known as the Mia Patamiana in the location where the stone was.
There was sayings that somebody could not been said to be in Buton if he or she did not touch the stone. So . . . that was what I did, touched the stone so officially I was in Buton :).—
Keterangan :
Melanjutkan postinganku sebelumnya mengenai Benteng Keraton Buton, dalam postingan kali ini aku ingin mengajak Sahabat semua untuk melihat apa saja yang ada di dalam tembok benteng itu. Banyak hal menarik sebetulnya yang bisa ditemukan di dalam lingkup banteng keraton itu, apalagi di dalam benteng juga banyak penduduk yang masih merupakan keturunan dari raja ataupun bangsawan penguasa Buton di masa lampau. Banyak juga bangunan maupun tempat-tempat bersejarah yang bisa dikunjungi. Hanya saja mungkin waktu kunjunganku ke sana kurang tepat sehingga aku tidak bisa leluasa mengeksplor wilayah di dalam benteng itu.
Bangunan pertama yang aku kunjungi adalah Masigi Ogena atau Masjid Agung Wolio. Masjid yang masih terlihat kokoh ini dibangun pertama kali oleh Sultan Murhum Qaimuddin Khalifatul Khamis pada tahun 1542. Ketika itu bangunan masjid masih merupakan bangunan yang sangat sederhana dengan dinding dan tiang dari kayu sementara atapnya dari alang-alang. Pada tahun 1712, Sultan Saqiuddin Darul Alam merenovasi masjid tersebut dengan mengubah dindingnya menjadi dinding batu yang dilekatkan dengan pasir dan kapur serta atapnya diganti dengan atap dari daun nipah. Renovasi terakhir dilakukan oleh Sultan Buton ke 37 yaitu La Ode Muhamad Hamidi Qaimuddin pada tahun 1929, dimana atap masjid diganti dengan seng dan tangga serta beberapa bagian di dalam masjid diperkuat dengan semen seperti yang terlihat sekarang. Sampai saat ini, masjid ini masih terlihat dalam kondisi yang cukup terawat selain juga masih dipergunakan untuk beribadat bagi umat Islam yang tinggal di sana. Sayangnya ketika itu aku tidak berkesempatan melihat bagian dalam masjid karena tidak ada seorangpun di sana 😦
Di bagian depan sebelah kiri masjid tersebut, terdapat sebuah tiang bendera dari kayu yang kelihatan sangat tua, bahkan di beberapa bagiannya sampai ditumbuhi tanaman pakis. Konon tinggi tiang bendera itu 21 meter. Pembuatan tiang bendera itu dilakukan bersamaan dengan saat dibangunnya Masjid Agung Wolio. Pada tahun 1870, tiang bendera itu sempat disambar peitr sehingga rusak parah, tetapi kemudian diperbaiki dan masih bertahan hingga sekarang. Di tiang bendera itulah dikibarkan panji-panji kebesaran Kesultanan Buton yang disebut Tombi Longa-Longa.
Tidak jauh dari tiang bendera itu, terdapat sebuah papan yang memuat nama-nama semua penguasa Buton beserta dengan kapan mereka memerintah, dimulai dari penguasa pertama yaitu Ratu Wa Kaa Kaa sampai Sultan Buton terakhir yang berkuasa dari tahun 1938 sampai dengan tahun 1960. Didekat papan tersebut, terdapat sebuah bangunan empat lantai yang merupakan rumah adat Buton. Konon dalam pembangunannya, tidak dipergunakan satupun paku dari bahan logam di rumah itu, Semua paku dan pasak yang dipergunakan terbuat dari kayu seperti juga sebagian besar bahan pembuat rumah tersebut.
Sedikit lebih jauh, terdapat sebuah bukit kecil yang di atasnya tampak sebuah makam. Ketika aku mendatanginya, tampaklah bahwa itu adalah makam dari Sultan Buton yang pertama yaitu Sultan Murhum.
Di bawah bukit itu, terdapat sebuah batu sebesar anak kerbau yang sedang berbaring. Batu yang disebut sebagai Batu Wolio atau Batu Yigandangi ini memainkan peranan yang penting dalam kehidupan masyarakat Buton. Bahkan seseorang belum bisa dikatakan pernah menginjakan kaki di bumi Buton kalau belum menyentuh Batu Yigandangi itu. Di dekat batu itulah konon Mia Patamiana menemukan Wa Kaa Kaa yang kemudian dilantik menjadi pemimpin pertama Kerajaan Buton.
Di bagian lain dari benteng itu, juga terdapat sekelompok makam yang kalau dari keterangan yang terpampang disebutkan sebagai makam Sultan Alimuddin yang bergelar Oputa Mosambuna Yi Wandayilolo dan kerabatnya. Sultan Alimudin memerintah Kesultanan Buton dari tahun 1788 sampai dengan tahun 1791.
Sebetulnya masih banyak sih tempat-tempat menarik yang bisa dijelajahi di dalam Benteng Keraton Buton yang luas itu. Tapi nantilah kalau aku berkesempatan berkunjung ke sana lagi, aku akan jelajahi sampai pelosok-pelosoknya kemudian akan aku ceritakan lewat psotingan di sini. Kali ini, karena merupakan kunjungan pertama, cukuplah segini dulu ya :cool:.–