My Notes

Cerianya anak-anak desa nelayan

Hari kedua aku di Pulau Buton, pagi itu aku terbangun karena mendengar kesibukan di jalan yang ada persis di bawah jendela kamar hotelku. Secara refleks aku meraih jam tangan yang aku letakkan di meja samping tempat tidurku, hhmm . . . sudah jam enam rupanya. Nyenyak juga rupanya tidurku 😀

Setelah mandi dan sarapan, aku segera menghubungi La Ode Azis yang menemaniku kemana-mana selama di Pulau Buton. Hari itu, aku berencana untuk melihat-lihat daerah di pesisir timur Pulau Buton, ya memang tidak semua karena adanya keterbatasan waktu, karenanya aku membatasi diri untuk berkunjung ke Desa Wabula saja. Untuk itu, dari Baubau yang terletak di pesisir barat, La Ode Azis langsung mengarahkan kendaraan menuju ke Pasarwajo, sebuah kota kecil yang merupakan Ibu Kota Kabupaten Buton. Pasarwajo terletak kurang lebih 2 jam perjalanan dengan mobil ke arah timur kota Baubau. Nah Desa Wabula itu berjarak kurang lebih 28 kilometer dari Pasarwajo itu. Jalan menuju Desa Wabula sudah relatif bagus koq, jadi kalau ada pelancong yang mau kesana, jangan kuatir . . 😎

Nah . . apa yang bikin aku penasaran dengan desa Wabula ini? Sebetulnya semua bermula ketika aku membaca sebuah artikel tentang adanya sebuah desa nelayan yang terletak di tepian Laut Banda, dan foto yang menyertai artikel tersebut memperlihatkan sebuah perkampungan yang resik dan rapi sehingga enak dipandang mata.

Dan ternyata apa yang digambarkan dalam artikel itu betul adanya. Ketika kendaraan yang aku tumpangi masuk ke Desa Wabula, aku mendapati jalan utama desa yang cukup lebar dan rata. Rumah-rumah berjajar rapi di sepanjang jalan desa itu, baik rumah semi modern berbahan batu maupun rumah tradisional yang berbentuk rumah panggung dari kayu. Hanya saja yang membuat aku bingung ketika itu adalah karena aku tidak melihat garis pantai. Bukannya desa nelayan selalu berada di tepi pantai ya? 😯 Desapun waktu itu bisa dibilang sepi.

IMG_WAB01

Ketika kendaraan yang aku tumpangi berhenti di depan salah satu rumah, barulah terasa ada kehidupan di Wabula. Beberapa orang wanita terlihat keluar menyongsong dengan wajah ramah. Belakangan baru aku ketahui kalau salah satunya adalah istri dari Kepala Desa Wabula. Setelah saling berkenalan, mereka mengajak aku ke arah belakang deretan rumah yang ada di sebelah kiri. Dan ternyata di belakang deretan rumah itu ada lagi sebuah jalan yang sejajar dengan jalan utama desa, hanya saja di seberang jalan bukanlah deretan rumah lagi melainkan laut. Pantas saja pantainya tidak nampak dari jalan utama desa 😀

Ketika aku mendekati bibir pantai, nampak bahwa laut di siang yang mendung itu cukup tenang, bahkan nampak seperti permukaan danau saja. Kawasan pantainya juga nggak panas. Eh ini nggak panas bukan gara-gara mendung saja lho ya, tapi karena di sepanjang bibir pantai itu tumbuh banyak pohon kelapa dan juga pohon-pohon lainnya yang berdaun cukup rindang.

IMG_WAB02IMG_WAB10

Tanpa aku sadari, selama aku memandang ke arah laut lepas, di belakangku telah berkumpul anak-anak Desa Wabula. Mereka semua tertawa lepas ketika melihat aku kaget melihat kehadiran mereka. Ah . . . anak-anak yang polos dengan wajah-wajah ceria.

IMG_WAB03

Kepolosan mereka dan tingkah polah mereka membuat tanganku gatal untuk mengabadikannya dengan jepretan kameraku. Beberapa anak terlihat cukup berani dan percaya diri, mereka tidak malu ketika aku bilang mau aku foto, beberapa lagi segera lari menjauh sambil tertawa malu-malu, sementara di kejauhan aku lihat satu dua anak yang hanya melihat ke arahku dengan wajah malu-malu.

IMG_WAB17

Mereka yang tidak malu mau saja ketika aku bilang supaya mereka main saja seperti biasa mereka bermain di tepi pantai itu sementara aku memotret mereka. Beberapa bahkan segera berlomba memanjat pohon yang tumbuh di tepi pantai dan duduk di cabangnya, sementara beberapa anak perempuan terlihat bermain ayunan.

IMG_WAB14

Ketika aku selesai berkeliling di sekitar pantai, beberapa butir kelapa hijau utuh sudah tersaji. Ah . . keramahan khas pedesaan yang selalu aku rindukan. Maka dengan tanpa sungkan juga aku segera menghampiri beberapa butir kelapa itu. Salah satu wanita itu segera berteriak kepada anaknya untuk mengambilkan gelas dan sendok untuk aku. Wah . . . rupanya mereka mengira aku tidak terbiasa meminum air kelapa langsung dari kelapa utuh. Ketika aku menolak untuk mempergunakan gelas dan sendok, mereka terlihat cukup sangsi. Karenanya, untuk menepis kesangsian mereka, segera aku mengambil sebutir kelapa yang sudah dilubangi ujungnya. Dan tahu nggak . . . ketika aku mulai mengangkat kelapa itu, anak-anak yang semula berceloteh ramai jadi terdiam sambil memperhatikan aku. Dan . . . ketika aku sudah selesai minum, pecahlah tawa mereka melihat mulutku yang basah berlepotan air kelapa 😀

Selesai minum air kelapa yang segar dan juga memakan sedikit daging kelapa yang gurih itu, sambil ngobrol akrab, aku diajak melihat beberapa ibu yang sedang membuat kain tenun secara manual, sementara anak-anak desa itu dengan tetap berceloteh dan bercanda mengikuti di belakang sehingga seperti membentuk barisan di belakangku.

IMG_WAB09

Sarung tenunan Wabula sudah cukup terkenal meskipun coraknya boleh dibilang cukup sederhana karena hanya bercorak kotak-kotak atau garis-garis saja seperti sarung pada umumnya. Biasanya yang bercorak kotak-kotak dipakai oleh kaum lelaki sementara yang bercoarak garis-garis dipakai oleh kaum perempuan. Beda kain tenunan dari Wabula dengan sarung pada umumnya adalah permainan warnanya, karena sarung tenunan Wabula lebih berani dalam mempergunakan warna-warni yang cerah, khususnya kain tenun yang diperuntukan bagi kaum hawa. Kain tenunan Wabula juga lebih tebal meskipun tetap lembut.

Biasanya kaum wanita Wabula menenun kain sembari menunggu kedatangan suami atau ayah mereka yang pergi melaut. Karena itulah konon mereka bisa menenun selama rata-rata 6 jam seharinya, dan satu lembar kain tenun bisa mereka selesaikan dalam waktu antara 4 sampai 5 hari saja. Menurut penuturan mereka, kaum wanita Desa Wabula sudah sejak jaman dahulu akrab dengan kegiatan tenun- menenun ini. Bahkan sejak usia yang relatif dini anak perempuan Wabula sudah diperkenalkan dan diajarkan bagaimana caranya menenun dengan peralatan tenun dari kayu yang boleh dibilang belum banyak berubah sejak jaman dahulu.

Dengan mata kepalaku sendiri aku melihat betapa dengan tekun dan telaten para ibu itu memasukkan helai demi helai benang yang lama kelamaan membentuk selembar kain. Sambil menenun para ibu itu tetap ngobrol satu sama lain, apalagi ketika aku di sana suasananya terkesan lebih ramai karena anak-anak ikut berkerumun di sekitar tempat menenun yang aku datangi itu sambil tetap berceloteh dengan ramai. Selembar kain tenunan yang sudah berbentuk sarung mereka jual seharga Rp 200.000,– ke atas, tergantung warna dan coraknya. Mahal? Ya relatif sih. Menurut aku sih ya nggak mahal juga kalau melihat proses pembuatannya yang masih dilakukan secara manual itu.

Siang menjelang sore itu akhirnya aku pamit setelah mengucapkan terimakasih atas keramahan penduduk Wabula. Sebelum aku masuk ke kendaraan untuk menuju ke tujuanku berikutnya, ibu istri Kepala Desa sempat menyayangkan kedatanganku yang kurang pas waktunya; menurut beliau, aku pasti akan lebih senang berada di desa itu kalau bertepatan dengan dilaksanakannya upacara Pidoano Kuri yang biasanya dilakukan beberapa hari menjelang tibanya bulan suci Ramadhan, karena pada saat itu aku pasti akan bisa memperoleh lebih banyak lagi foto suasana Desa Wabula. Yah . . . mudah-mudahan lain waktu aku bisa kesana lagi bertepatan dengan dilaksanakannya upacara itu ya Bu :).—

IMG_WAB05

Summary :

The article is about a small fishing village in the eastern coast of Buton Island. The village was called Wabula. I went there in my second day in Buton. Wabula could be reached within 3 hours drive from Baubau through a relatively good road.

When I entered the village, I found a neat and clean environment. Row of houses, either semi modern or traditional wooden houses with their well groomed yard were built on either sides of the village main road. At that time the village looked quite deserted. I just found few children playing in the yard. I also did not see the beach which made me quite confused since fishing villages were always laid at the beach or at least not far from the beach.

IMG_WAB16

Before my confusion grew too big, a group of women emerged from one of the houses and greeted me. After a short introduction, I was ushered towards an alley which led me to a second road paralleled with the village’s main road, only across the second road was the beach.

IMG_WAB19

At that time the beach also looked empty, no boats nor any activities except for a group of children that looked quite eager to follow me and looked at me when I took some pictures there. They seemed cheerful, and when I asked them for some pictures, some of them ran away while laughing shyly while some were still there, even made a pose in front of my camera 😀

After taking some pictures at the beach, I was taken to a place where some women were busily made woven clothes. It was a hand made cloth, and it was said that by working around 6 hours a day, a piece of woven cloth could be finished within 4 to 5 days. The women usually weaved while they wait for their man to come back from their fishing trip.

IMG_WAB18

The woven clothes of Wabula were known for their attractive color although the patterns were quite simple. The clothes were usually used as sarongs as well as shirts. Some people also used the cloth as a blanket as it was quite warm when been used.

In the afternoon, I bid the people of Wabula farewell as I had to go to my next destination. And when they said their good byes, some of them asked me to come again next time, especially when they carried out their ritual to greet the fasting month that called the Pidoano Kuri. Well, thanks for the invitation, and hope that someday I can be back there to join them in their Pidoano Kuri :).–

IMG_WAB12

Categories: Travel Notes | Tags: , , , , | 20 Comments

Segelas kopi es di kedai kopi yang melegenda

Ngomong-ngomong soal kopi . . . pasti banyak di antara kita yang suka dengan minuman yang katanya bisa membuat orang tahan melek ini; meskipun bagi beberapa orang, termasuk aku sendiri, kalau sudah ngantuk meskipun minum kopi ya tetap ngantuk aja. Kata orang, biar gak ngantuk, kopinya jangan diminum, tapi dituangin ke mata. Ha ha ha . . . itu sih ngaco, bukannya melek malah bisa-bisa harus segera dilarikan ke dokter mata ya 😆

Nah . . kalau kita ditanya mengenai tempat ngopi favorit kita, tentu jawaban kita bakal macam-macam. Buat para eksekutif muda yang berkantor di berbagai perkantoran mentereng, tentu akan menyebut nama beberapa cafe maupun kedai kopi yang sudah terkenal dengan tempat yang rata-rata bernuansa modern. Beberapa bahkan dilengkapi dengan sofa-sofa yang memungkinkan para pengunjungnya bersantai sambil ngobrol, tentu saja sambil minum berbagai minuman berbahan dasar kopi dengan nama-nama yang bagi sebagian kita, terkesan asing. Mungkin nama-nama seperti Americano, Cappuccino, Latte, Macchiato, Espresso dan lain sebagainya itu akan menaikkan gengsi para peminumnya juga disamping tentunya juga akan mendongkrak harganya. Bayangkan saja, segelas kopi bisa dibanderol harga beberapa puluh ribu Rupiah :(, padahal rasa kopinya sendiri bagi beberapa penggemar kopi dirasa kurang mantap karena kopi yang dipergunakan di cafe-cafe seperti itu rata-rata sudah diberi campuran bahan-bahan lain untuk menciptakan rasa yang khas, meskipun akibatnya menurunkan kualitas kopinya itu sendiri.

Sebagai salah satu negara penghasil kopi terbesar di dunia, Indonesia sendiri sebetulnya sudah lama memiliki tradisi ngobrol sambil ngopi yang dilakukan di warung-warung maupun kedai-IMG_KET17kedai, baik di kota maupun di pelosok desa. Di beberapa daerah bahkan tradisi ngobrol sambil ngopi ini sudah demikian terkenal, kedai kopi tidak hanya menjadi tempat orang minum kopi sambil mengudap makanan kecil, melainkan kedai kopi bahkan menjadi tempat orang bersosialisasi. Jadi fenomena yang sekarang mewabah dimana-mana, bahwa sebuah kedai kopi menjadi tempat bertemu dengan relasi ataupun sekedar menjadi tempat menghabiskan waktu sambil ngobrol santai, sebetulnya sudah lama di kenal di negara kita ini. Banyak kedai kopi yang sudah berdiri sejak berpuluh tahun lalu, bahkan sebelum kedai kopi modern seperti yang kita kenal sekarang berdiri, sampai sekarang masih menjadi ajang bertemunya kawan maupun keluarga diseling seruputan kopi. Salah satu kedai kopi tua yang masih eksis sampai sekarang, bahkan namanya sudah menjadi legenda bagi para pecinta kopi di Jakarta ini, adalah Kopi Es Tak Kie.IMG_KET01

Memang nama Kopi Es Tak Kie tidaklah mendunia seperti gerai-gerai kopi modern yang memiliki banyak cabang dan tampilannya modern. Tak Kie tidak memiliki cabang satupun dan tempatnyapun tidaklah mentereng. Tak Kie hanya menempati sebuah ruangan yang relatif tersembunyi di dalam sebuah gang yang berada di kawasan pecinan kota Jakarta. Tepatnya di dalam Gang Gloria di kawasan Glodok, Jakarta Barat. Meja dan kursi yang dipergunakan di sana adalah meja dan kursi kayu yang tampaknya sudah berusia cukup tua, mungkin seusia kedai kopi itu sendiri. Demikian pula dengan peralatan pembuat kopinya. Gak ada tuh mesin kopi modern seperti di gerai-gerai kopi modern yang untuk menghasilkan segelas kopi tinggal tekan tombol. Di Tak Kie, minuman yang disediakan seluruhnya dibuat secara manual.

IMG_KET02

the barista in his corner (menyiapkan segelas kopi yang nikmat)

IMG_KET03

kitchen appliances used to prepare a cup of coffee (peralatan dapur yang dipergunakan di kedai Tak Kie)

Meskipun tempatnya tidak bisa dibilang mewah, tetapi kedai kopi yang buka dari jam 06.30 pagi sampai sekitar jam 14.00 ini hampir selalu penuh. Paling tidak dua kali aku berkesempatan ke sana, pengunjungnya penuh, bahkan aku sempat menunggu beberapa saat sebelum bisa mendapatkan kursi. Memang kalau diperhatikan, bisa dikata di sana tidak ada anak muda dengan dandanan necis seperti yang biasa kita temui di gerai kopi modern, hampir semua pengunjungnya berdandan santai, beberapa di antaranya bahkan bercelana pendek dengan baju kaos santai. Meskipun demikian, di antara mereka yang memenuhi ruangan sambil minum kopi dan makan, ada saja pembicaraan dalam bahasa asing yang ku dengar. Bukan hanya pembicaraan dalam bahasa Mandarin karena memang sebagian besar pengunjungnya beretnis Tionghoa, tapi aku dengar juga pembicaraan dalam Bahasa Jepang dan Korea. Di salah satu kesempatan aku ke sana itu, bahkan aku melihat wajah bule terselip di antara para pengunjung di sana.

almost every table occupied  (hampir semua meja penuh)

almost every table occupied (hampir semua meja penuh)

Eh tadi itu disebutkan bahwa para pengunjung kedai kopi itu selain minum kopi juga makan? Memangnya apa saja yang tersedia di Kopi Es Tak Kie itu?

IMG_KET04Yup, gak salah sih kalau aku sebutkan minum dan makan. Untuk minumnya, sesuai dengan namanya, di situ tersedia kopi es maupun kopi panas, baik kopi hitam maupun kopi susu. Gak usah mengernyit gitu, Kawan, aku gak salah tulis koq kalau dari awal tulisan ini aku menuliskan kopi es dan bukan es kopi. Menurut orang-orang yang ada di situ, memang yang tersedia di Tak Kie adalah kopi es karena untuk membuat kopi es, mereka sudah menyiapkan kopi yang dimasak sejak subuh, sehingga ketika siap disajikan, kopi tersebut sudah mendingin sehingga rasa kopi tidak akan berubah ketika dimasuki es batu. Kalau es kopi yang biasa kita temui di tempat lain kan biasanya kopi yang baru diseduh, dan panas-panas dimasukin es batu, sehingga rasa kopinya tidak akan keluar secara maksimal, baik karena bubuk kopi belum larut secara sempurna, juga karena larutan kopi itu menjadi “terkontaminasi” oleh es yang mencair karena panasnya kopi.

having breakfast in Tak Kie  (sarapan di Kopi Es Tak Kie)

having breakfast in Tak Kie (sarapan di Kopi Es Tak Kie)

Soal makanannya, tidak seperti gerai kopi modern yang utamanya menyediakan makanan kecil, di Tak Kie, rata-rata orang makan besar karena di situ mereka bisa memesan mie, nasi campur, bubur maupun sup daging kura-kura yang dikenal dengan nama sup pi oh. Selain itu, di meja dekat kasir tampak ada beberapa penganan seperti bakcang dan beberapa jenis roti. O ya, makanan di situ sebagian besar mengandung daging babi lho ya, sehingga bagi yang tidak memakannya, harus jeli dalam memilih makanan dan juga jangan segan bertanya supaya tidak salah beli.

some breads on the table  (roti di meja dekat sang kasir)

some breads on the table  (roti di meja dekat sang kasir)

Suasana kedai kopi yang tidak berpendingin udara ini memang khas, sehingga membuat banyak yang sudah jadi pelanggan Kopi Es Tak Kie ini secara turun temurun, selain banyak pula konsumen yang sudah pernah merasakan nikmatnya kopi di situ yang kembali lagi ke sana ketika mereka kangen dengan rasa kopi yang asli, meskipun mereka sudah tidak tinggal lagi di Jakarta, bahkan sudah bermukim di luar negeri. Ruangan kedai yang dilengkapi kursi dan meja dari kayu yang berwarna coklat tua karena usia, dinding yang agak kusam, kipas angin yang tergantung di langit-langit, tv tabung yang nangkring di salah satu sudut, sampai beberapa foto orang penting yang terpajang di dinding memang seolah-olah membawa pengunjung yang memasuki ruangan itu seolah kembali ke jaman dulu.

Tak Kie was located in the alley  (Gang Gloria dimana Kopi Es Tak Kie berada)

Tak Kie was located in the alley (Gang Gloria dimana Kopi Es Tak Kie berada)

Jadi . . siapa sangka di dalam gang yang sempit yang dipenuhi penjual makanan di kiri kanannya terdapat sebuah kedai kopi tua yang melegenda. Mudah-mudahan saja Kedai Kopi Es Tak Kie yang berdiri sejak tahun 1927 ini masih bisa tetap bertahan hingga bertahun-tahun ke depan tanpa harus tergerus oleh persaingan yang makin keras, khususnya dengan hadirnya kedai kopi modern yang semakin menjamur. Ah tapi dengan kualitas dan rasa yang masih terjaga dan juga dengan konsumen yang setia dan masih ingin menikmati suasana pecinan jaman dulu, rasanya Kedai Kopi Es Tak Kie masih akan bisa bertahan lama, selama pengelolanya tidak bosan dan masih mau meneruskan usahanya. Semoga . . . .—

 

Summary:

It is all about a traditional coffee stall in the heart of Jakarta’s Chinatown, which has been existed since 1927, and became a legend among the coffee lovers, especially in Jakarta. The name was Kopi Es Tak Kie (translated literary as Iced Coffee Tak Kie).

Why iced coffee? Well . . iced coffee was its specialty of course :D. Although iced coffee was its specialty, travelers could also order hot coffee there. Iced coffee, either black or milk added, would be served in a tall glass while hot coffee would be served in a smaller cup.

IMG_KET19

Kopi Es Tak Kie hampir selalu penuh  (Tak Kie was always pretty crowded in the morning)

In the morning, the place was pretty cramped with consumers who came to the place just to sip the legendary coffee and have a chat or two with friends or relatives. Many also came to the place to have breakfast because there were some food sellers that serve breakfast, shared the room with Tak Kie. There was a Nasi Campur (rice with assorted side dish, mainly pork) seller, a noodle seller, and also a special kind of herbal soup seller. Some street vendor could also be easily been seen offering theirs in there as some of them sold traditional snacks, even others sold undergarment (yup, you read it correctly, some street vendors sold men undergarment to Tak Kie’s consumers while they sip their morning coffee or eat their breakfast 😆)

The taste of coffee in Tak Kie was so special as they used pure coffee to make the drinks. They also used a special brand of condensed milk with a specific quantity to be added in the coffee so they could maintain the same taste up till now.

IMG_KET16Entering Tak Kie was like going back to the early 1930’s. There was no air condition in there, but only cooling fans hanging from the ceiling. The furniture was so simple, all was old wooden furniture. Even the barista did not use modern coffee machine in preparing the drinks, all they used in there were old kitchen appliances.

Anyway, even though Tak Kie seems old and not as cosy as any modern coffee-shops, even Tak Kie’s name was not as famous as their worldwide “competitors” which could be easily found in almost every big city in the world, and Tak Kie had no other branches, some people purposefully came to have a glass or a cup of coffee just to feel the old Jakarta Chinatown’s atmosphere in there as Tak Kie was located in a cramped alley full of Chinese specific food street-vendors with some old Chinese shops alongside.

So . . someday when you came to Jakarta, why don’t you try a glass of a legendary iced coffee in Kopi Es Tak Kie? 😉

IMG_KET24

Categories: Food Notes | Tags: , , , , | 31 Comments

Bertaruh nyawa untuk suatu ketidak-pastian

Siang itu, sepintas aku lirik jam tanganku yang ternyata sudah menunjukkan jam 11.00. Matahari yang sebentar lagi berada tegak lurus di atas kepala terlihat sangat terik. Sinarnya yang panas langsung menghunjam bumi tanpa dihalangi oleh gumpalan awan yang aku lihat hanya bergerombol nun jauh di kaki langit, seolah takut akan kegarangan sang surya. Alat pendingin udara yang berada dalam kendaraan yang aku tumpangi dalam perjalanan dari Banjarmasin ke arah Martapura hanya sedikit mengusir rasa gerah. Kebayang bagaimana panasnya di luar sana. Pantas saja tidak banyak orang berlalu lalang aku lihat di sepanjang perjalananku itu, mungkin merekapun enggan tersengat panasnya sinar matahari yang terik.

Ketika aku sedang asyik memperhatikan keadaan di luar mobil yang seolah lari berkejaran ke arah yang berlawanan dengan arah laju kendaraanku itulah, tiba-tiba Pak Sopir membelokkan kendaraan ke arah kiri memasuki sebuah jalanan desa yang tidak beraspal. Ditelusurinya jalanan tanah yang cukup lebar itu selama beberapa saat, sampai tiba-tiba tanpa kusadari ternyata kendaraan yang aku tumpangi tersebut sudah berjalan menyusuri tepian sebuah kawasan terbuka yang cukup luas. Di kejauhan aku lihat ada beberapa bangunan berbentuk aneh. Dibilang aneh karena bangunan tersebut mirip seperti menara tetapi tidak terlampau tinggi juga, dan bentuknya juga tidak mengerucut ke atas layaknya menara pada umumnya.

IMG_CPK01

Sejurus Pak Sopir masih menjalankan kendaraan tersebut menyusuri tepian tanah lapang luas itu, dan ketika kendaraan mencapai halaman samping sebuah rumah sederhana yang di terasnya tampak sekelompok orang yang sedang bercakap-cakap, dihentikannya kendaraan di situ.

Ketika melihat kendaraan yang aku tumpangi berhenti, beberapa diantara orang-orang tersebut segera beranjak menghampiri. Dari dalam kendaraan kulihat orang-orang tersebut semuanya pria berkulit legam dengan sorot mata tajam. Kulihat pula tak ada senyum sedikitpun di wajah-wajah yang tampak keras itu. Sempat terbersit pikiran untuk segera meminta Pak Sopir untuk menjalankan kembali kendaraannya dan pergi meninggalkan tempat itu. Tetapi sebelum apa yang ada dalam pikiranku itu terlontar keluar, Pak Sopir sudah mendahului mengajak aku untuk turun dan menemui orang-orang tersebut. Melihat bahwa aku tidak punya pilihan lain, aku segera keluar dari kendaraan.

Ketika aku turun dan sedang berusaha menyesuaikan mata yang silau karena sinar matahari yang begitu terik, lelaki-lelaki berkulit gelap tersebut sudah tiba di depanku. Mereka berhenti beberapa langkah di depanku. Tidak kuduga, ternyata setelah aku memberanikan diri menyapa mereka, wajah-wajah yang semula kelihatan garang tersebut berubah menjadi ramah dengan senyum yang tersungging di bibir mereka. Baru kemudian aku tahu kalau orang-orang tersebut adalah para pendulang intan. Ya . . rupanya kendaraanku berhenti di Cempaka, tempat yang dikenal sebagai salah satu tempat pendulangan intan terbesar di Kalimantan Selatan.

Pak Sopir segera memperkenalkanku kepada orang-orang tersebut dan juga menerangkan tujuanku datang ke Cempaka.

Ketika mereka mengetahui maksud kedatanganku itu, yaitu untuk melihat bagaimana usaha para penambang itu dalam menemukan intan secara tradisional, salah seorang di antara mereka yang kelihatannya merupakan salah satu orang yng dituakan di situ segera maju menghampiriku, kemudian dengan ramah mengajakku menuju ke arah tengah tanah lapang luas itu, dimana terdapat bangunan serupa menara itu.

IMG_CPK02

Sepintas di kananku aku melihat sekelompok orang sedang menggali tanah dan menaikkannya ke sebuah truk, mengira kalau kegiatan tersebut adalah bagian dari kegiatan para penambang intan itu, aku mengarahkan kameraku untuk menangkap kegiatan tersebut, tetapi ternyata dugaanku salah karena orang yang mengantarku itu dengan tertawa berkata, “Wah yang itu gak usah difoto Pak, mereka bukan mencari intan tetapi memang mengangkut tanah untuk bahan bangunan. Yang mencari intan itu letaknya di depan sana, sebentar lagi juga Bapak akan melihatnya sendiri”

Ha ha ha . . . ternyata aku salah. Jadi malu juga . . :oops:, karena terlalu bersemangat dan juga malas bertanya akhirnya aku salah. Kalau cuma melihat kegiatan orang mengangkut pasir ngapain juga jauh-jauh aku datang ke Kalimantan Selatan ini kan ya? 😀

Akhirnya untuk menutupi rasa malu sekaligus juga untuk menggali sedikit informasi mengenai tempat tersebut, aku membarengi langkah orang tersebut yang langsung saja bercerita mengenai kehidupan para pencari intan di situ.

Diceritakannya bahwa di situ ada dua jenis penambang, yaitu penambang yang bekerja secara berkelompok dan penambang yang bekerja sendirian. Biasanya mereka yang berkelompok tersebut memiliki modal yang lebih besar dan dalam melakukan penambangan, mereka sudah mempergunakan mesin sederhana. Sebetulnya yang disebut mesin itupun hanyalah sebuah pompa yang bisa menyedot atau menyemprotkan air dengan deras, serta juga bisa mengalirkan udara ke dalam lubang-lubang galian. Bangunan-bangunan aneh serupa menara yang sempat aku lihat dari kejauhan, ternyata merupakan bagian dari perlengkapan para penambang yang bekerja berkelompok itu. Bangunan tersebut dipergunakan untuk menyaring dan memisahkan tanah dari material berharga lainnya dengan cara menyiramnya dengan air dari puncak bangunan tersebut.

Sementara itu, para penambang yang bekerja sendiri-sendiri biasanya mencari material berharga dari sisa-sisa buangan para penambang yang berkelompok tersebut, karena penyaringan dengan alat sering kali masih banyak meloloskan material berharga juga. Dengan mengambil material sisa buangan tersebut, para penambang individual tersebut tidak perlu bersusah payah turun ke lubang-lubang raksasa yang mereka sebut kawah untuk mencari material berharga tersebut. Dengan tidak turun ke dalam kawah, para penambang individual tersebut juga bisa terhindar dari terkena longsoran tepian kawah yang seringkali mengundang maut.

Mengundang maut? 😯 Ya, memang kedengarannya menyeramkan, tetapi itulah yang dihadapi para penambang di sana, khususnya mereka yang bekerja berkelompok. Jadi mereka bekerja dengan cara menggali tanah yang mereka perkirakan mengandung banyak batuan berharga, termasuk intan. Galian tersebut akan membentuk sebuah lubang raksasa, sehingga tidak salahlah kalau mereka menyebutnya sebagai “kawah”, karena memang menyerupai kawah gunung berapi bentuknya. Lubang-lubang yang sudah sangat dalam pada gilirannya mengharuskan para penambang untuk turun ke dasar kawah, baik untuk menggali di dinding kawah maupun untuk mengoperasikan mesin penyedot air kalau dasar kawah tergenang air.

IMG_CPK03

Nah . . mereka yang turun ke dasar kawah inilah yang menghadapi risiko terbesar, baik dari kematian yang diakibatkan oleh tipisnya kadar oksigen di dasar kawah maupun dari longsoran tebing kawah yang seringkali runtuh menimbun mereka. Dan jika sampai terjadi longsor, menurut informasi yang aku terima, biasanya sangat sulit untuk menyelamatkan para penambang yang tertimbun itu, karena tanah yang menimbun mereka bisa bermeter-meter tebalnya, disamping juga sangat sulit untuk menemukan dimana lokasi tepatnya orang-orang yang tertimbun longsoran dinding kawah itu.

Tetapi meskipun risikonya tinggi, para penambang itu seolah tidak mempedulikannya karena mereka juga masih dibayangi harapan tinggi bahwa mereka akan bisa kaya mendadak jika menemukan intan, apalagi intan dengan ukuran yang sangat besar seperti pernah terjadi pada tahun 1965, dimana ditemukan intan sebesar telur burung merpati.

Sementara itu, para penambang individual yang mengambil sisa-sisa buangan material akan mencari batu-batu berharga dengan cara meletakkan material sisa buangan mereka yang bekerja secara berkelompok tersebut sedikit demi sedikit di sebuah alat yang bentuknya mirip caping berwarna hitam, kemudian mereka akan mengayak material tersebut secara perlahan di dalam air dengan cara memutar caping itu sehingga lapisan tanah akan larut dalam air sementara batuan ataupun mineral lainnya yang lebih berat akan mengendap di dasar alat mereka itu. Alat semacam caping itu dikenal dengan nama “linggangan”. Sementara itu, para penambang tradisional dikenal dengan nama “pendulang” dan pekerjaan mereka mencari intan dan bahan berharga lainnya itu disebut “mendulang”.

Para pendulang tersebut bekerja dengan cara berendam di kolam ataupun kubangan air di bawah terik matahari. Dengan telaten diayaknya material-material berharga itu dengan tidak mempedulikan panasnya matahari yang menyengat sehingga tidaklah heran kalau kulit mereka menjadi legam terbakar matahari. Mereka juga tidak berputus asa meskipun bisa berhari-hari bahkan kadang berbulan-bulan belum menemukan intan sebutirpun. Ketika aku tanyakan, darimana mereka memperoleh penghasilan kalau sampai berbulan-bulan belum menemukan intan; aku memperoleh jawaban bahwa hasil pendulangan itu tidak hanya intan. Kadang mereka menemukan emas, batu-batu berharga seperti safir dan sejenisnya, dan kadang juga barang-barang peninggalan masa lampau. Ketika aku berada di sana, aku menyaksikan sendiri seorang pendulang menemukan beberapa keping uang logam kuno. Nah . . jika mereka belum menemukan intan, barang-barang temuan tersebut akan mereka jual. Hasilnya lumayan juga meskipun memang tidak sebesar kalau mereka menemukan intan.

Terus seperti apa bentuk intan yang belum di asah?

Mau tahu? Sepintas sih bentuk intan yang belum diasah tidak ada bedanya dengan batu atau pecahan kaca biasa saja. Kalau aku yang disuruh ikut mendulang di situ, mungkin ada intan sebesar kelerengpun akan aku buang karena aku kira cuma pecahan kaca biasa :P.

raw diamond  (intan mentah yang belum diasah)

raw diamonds  (intan mentah yang belum diasah)

Meskipun demikian, karena para pendulang tersebut sudah melakukan pekerjaannya selama bertahun-tahun, mereka secara sepintas saja sudah bisa membedakan mana yang intan, mana yang merupakan batu berharga, mana batuan yang mengandung emas atau logam lainnya, dan mana yang hanya batuan biasa yang layak dibuang.

Jadi ternyata intan yang baru di dapat dari hasil tambang itu betul-betul tidak ada indah-indahnya sama sekali. Baru ketika kemudian intan tersebut selesai di gosok, tampaklah keindahannya.

Kawasan pendulangan intan Cempaka terbuka untuk umum sehingga siapapun bisa datang dan menyaksikan kegiatan para pendulang untuk menemukan intan. Baik para pendulang yang bekerja secara berkelompok maupun yang bekerja secara perorangan. Bagi mereka yang berminat membeli intan mentah, mereka bisa juga langsung bertransaksi dengan para pendulang itu. Biasanya harga yang mereka minta tidak terlalu tinggi. Meskipun demikian, jika membeli intan dari mereka, pembeli tidak memiliki jaminan apakah intan yang mereka beli itu memiliki kualitas bagus atau jelek, maklumlah karena para pendulang tersebut tentu saja tidak bisa mengeluarkan sertifikat seperti jika seandainya kita membeli batu-batu berharga tersebut di toko khusus yang menjual intan ataupun batu-batu berharga lain yang banyak terdapat di Pasar Cahaya Bumi Selamat, Martapura.

Satu hal yang aku sayangkan ketika aku melihat langsung pendulangan intan di sana. Yaitu bahwa banyak sekali lubang-lubang bekas galian yang sudah tidak terpakai lagi. Ya lubang-lubang itu dibiarkan menganga. Beberapa memang dijadikan tempat pemeliharaan ikan, tetapi masih lebih banyak lagi yang ditinggalkan begitu saja. Ah sayang sekali . . .  😦

IMG_CPK08

Trus, susah apa gak sih kalau mau ke tempat pendulangan intan di Cempaka itu?

Sebetulnya gak susah sih, jaraknya cuma 47 kilometer dari Banjarmasin atau kira-kira satu jam berkendara. Hanya saja kalu mau ke sana, pelancong harus siap-siap untuk kepanasan karena di sana tidak ada tempat berteduh. Demikian juga kalau hujan para pelancong pasti akan basah kuyup. Tidak hanya tidak ada tempat berteduh, fasilitas penunjang seperti kamar kecil atau warung yang menjual minuman segar juga tidak terdapat di sana. Jadi . . . buat yang tertarik mau ke sana, siap-siap ya, bawa topi atau payung jika memang tidak tahan panas. Soal makan dan minum, setelah dari Cempaka, pelancong bisa bebas memilih berbagai rumah makan yang terdapat di Martapura, karena Cempaka hanya berjarak sekitar 7 kilometer dari Martapura.—

polished diamond (intan yang sudah diasah)

polished diamond  (intan yang sudah diasah)

Summary:

The post is about my trip to Cempaka, which known as a place where the locals did the panning for diamonds traditionally. The place was located about 47 kilometers from Banjarmasin, the capital city of South Kalimantan Province, Indonesia.

When I was there, I was told that there were two kind of panning activities although both were conducted traditionally. The first was peoples who did the panning in a group. They worked by digging a large hole on the ground and with a simple machine, they sucked the materials from the bottom of the hole to a wooden rig-like structure where they separated the dirt from any precarious materials. The dirt would be thrown aside and they only took precious stones, included raw diamonds.

While they worked at the bottom of the hole, they actually risked their own life since sometimes there were not enough oxygen when the hole was deep enough. Other than that, when they dig the wall of the hole, they risked their life for the land slide. It was already happened several times when some of the workers were buried alive by the land slide, and yet the disasters never stopped them to climb down the hole again after some time to look for precious stones, mainly the diamonds.

IMG_CPK09

Aside of the peoples who worked in group, there were also peoples who work individually. This kind of peoples usually took the materials from under the rig-like structures used by them who worked in a group. The materials were considered waste, so it was free for others outside the group to take. Even though considered as waste, for the people who worked individually, the materials were still quite precious as they could still get some precious stones, gold, some old artifacts such as old coins, and even diamonds. Usually this kind of people took the materials to a pond nearby, there they would stand in waist deep water, panning the materials on a plate-like tool made of wood which called “linggangan”. They moved the “linggangan” in the water in circle in order to separate the precious materials from the waste.

It was a tough life they did, as nobody knew when they would get a jackpot by finding a diamond. For their daily life, they also sold anything they found in their activity. There was a market not far from Cempaka called Cahaya Bumi Selamat Market, where they could sell any precious stones they found. Sometimes, there were also travelers who bought raw diamonds or any precious stones directly from them as a souvenir. Some of them also had small polished diamonds which they offered to travelers who visited the place.

For travellers who wanted to visit Cempaka and see directly how they worked, they should be prepared by bringing along a hat or an umbrella because there were neither shelters nor big trees that could be used to protect them from the sun. Anyway, it was still worth it to visit the place as travelers could see how hard to find a diamond before it came to the jewelery stores.–

IMG_CPK17

Categories: Travel Notes | Tags: , , , , | 34 Comments

Blog at WordPress.com.