That day was my last day in Malang, East Java, and once again I had to wake up very early because I planned to chase the sunrise in another Malang’s beach. That time I wanted to go to beach called Pantai Goa Cina which literally translated as the Beach of a Chinese Cave.
And as other beaches which I had visited before, to reach the beach I had to drive about 2 – 3 hours from my hotel in Malang. So . . with a little worry about the weather, I departed at 2.30 AM, hoping that by 5 AM I would be already at the beach to greet the first ray of the sun. Along the way, I often looked at the sky, and you know what? I became more and more worry. The cloud which hanging quite low started to spit and drizzle showered my car all the way to the south. After about an hour, however, seemed that I had left the cloud and the drizzle behind. I started to see the morning star on my left following my car . . . and thank goodness I came at the beach on time. Hurriedly I ran to the beach to wait for the sun to show his bright face. I saw many people had already been there, too. All eyes set to the east eager to see the first sign of sunrise, while thin clouds started to form as if wanted to conceal the sun from all the eyes waiting for a spectacular sunrise.
The sun, however, did not want to be blocked by the thin cloud; he started to show his power and his rays piercing through the cloud which in turn made the eastern sky as if painted with bright colors of yellow, orange and red over the blue sky.
And as the sun rose higher, I started to explore the beach. I found that the beach was not a really sandy beach. Close to the water, there was corrals which was quite slippery in some parts. There was also an islet not too far from the beach. Travelers could walk to the islet at low tide.
More to the west, bordered by a small hill where there was a natural cave which was became the origin of the beach name, there was another beach. It was a beach with white sands along the shore. Further to the sea, some rocks islet decorated the horizon as if guarding the beach from the raging waves of the southern ocean. And their jobs looked quite success as the wave reaching the shore was pretty gentle. Travelers, however, were forbidden to swim there as the current was quite strong and very dangerous.
Actually, spending two or three hours there was not enough for me to capture the beach scenery; but realizing that I had to be back to Malang and preparing my things for flying back to Jakarta forced me to leave the beach. Well . . perhaps next time I’ll be back there to explore other parts of the beach, including the cave 😎 .–
Keterangan :
Hari itu adalah hari terakhirku di Malang; meskipun demikian bukan berarti aku bisa santai dan leyeh-leyeh di kamar hotel menanti waktu diantar ke airport. Sebaliknya, aku justru memilih untuk bangun beberapa saat setelah lewat tengah malam karena aku masih berkeinginan untuk menguber momen matahari terbit di pantai lain yang belum aku kunjungi sebelumnya. Tujuan pagi itu adalah Pantai Goa Cina yang lokasinya sebenarnya tidak terlalu jauh dari Pantai Sendang Biru.
Lokasi Pantai Goa Cina berjarak kurang lebih 70 kilometer dari kota Malang dengan akses jalan yang tidak semuanya lebar dan mulus, bahkan mendekati lokasi bisa dikatakan jalannya lumayan hancur, atau malah bisa dibilang belum dibuat jalanan beraspal. Nah . . .jadi ceritanya waktu itu aku berangkat sekitar jam 2.30 pagi ketika semua orang masih tidur nyenyak dengan harapan sebelum jam 5 subuh aku sudah bisa berada di pantai untuk menyaksikan terbitnya sang surya. Ya meskipun menghadap ke selatan, tetapi Pantai Goa Cina memungkinkan para pengunjungnya untuk menyaksikan sunrise dari tepi pantai.
Subuh itu aku berangkat dengan perasaan waswas. Bagaimana tidak, setelah malamnya Malang diguyur hujan deras, pagi itupun awan mendung masih terlihat melayang rendah di langit Malang. Bahkan tidak lama setelah kendaraan dipacu ke arah selatan di jalan yang masih sepi itu, hujan rintik mulai turun, sehingga semakin memuncaklah kekuatiranku, jangan-jangan aku bangun subuh pagi itu sia-sia belaka karena momen terbitnya matahari tidak akan bisa didapat. Untunglah setelah kurang lebih satu jam berkendara, gerimis mulai reda. Planet Venus yang bersinar cemerlang mulai tampak di sisi kiri seolah menemani perjalananku menuju Pantai Goa Cina. Dan . . untung aku bisa mencapai pantai sesuai dengan target, dan syukurlah hujan tidak turun di kawasan pantai. Segera aku bergegas mengarah ke pantai untuk menanti saat-saat munculnya Sang Surya di ufuk timur bersama banyak pengunjung lain yang telah lebih dahulu tiba di pantai. Saat semburat keemasan mulai muncul, saat itu juga awan mendung mulai terbentuk di langit timur, seolah-oleh memang sengaja mau menutupi ke cemerlangan sinar matahari.
Untungnya Sang Bagaskara tidaklah sudi kalau wajahnya yang gemilang itu ditutupi awan mendung. Sinarnya yang terang menembus lapis demi lapis awan yang pada gilirannya membuat langit seolah menjadi kanvas raksasa yang berwarna biru dengan torehan warna kuning, jingga dan merah dengan pola-pola abstrak yang indah.
Semakin tinggi matahari pagi itu, membuat keadaan juga semakin terang. Langit yang semula berwarna biru tua, berangsur berubah menjadi biru muda. Meskipun demikian, gumpalan-gumpalan awan yang ada masih tetap membiaskan warna yang indah meskipun sekarang didominasi warna kuning.
Ketika matahari semakin meninggi lagi dan suasana pantai juga semakin benderang, tampaklah bahwa kawasan pantai di tempat aku menunggu terbitnya matahari itu tidak semuanya tertutup pasir. Bagian yang dekat tepi air terdiri dari batuan karang yang di beberapa bagian lumayan licin tertutup lumut. Di bagian yang berpasir pun beberapa batu karang tampak menonjol seolah-olah mengintip dari balik pasir. Tidak jauh dari pantai, terdapat sebuah pulau karang yang bisa dikunjungi dengan berjalan kaki ketika laut sedang surut.
Lebih ke barat lagi, terdapat sebuah bukit rendah yang seolah menjadi pembatas dengan bagian pantai yang sepenuhnya berpasir putih. Jauh di tengah laut tampak beberapa gugusan karang yang seolah menghias cakrawala sehingga menambah keindahan panorama pantai.
Kembali ke bukit rendah yang jadi pembatas itu, nah di situlah terdapat sebuah goa yang dulu pernah dijadikan tempat bertapa oleh Hing Hok, seorang Cina yang bertapa selama bertahun-tahun di sana, bahkan sampai akhirnya meninggal pula di sana. Dan itu pulalah sebabnya kenapa pantai tersebut diberi nama Pantai Goa Cina. Pemerintah setempat sudah pula membangun sebuah gapura dengan bentuk mirip bangunan Cina untuk lebih menguatkan nama pantai itu.
Ah . . . waktu terasa cepat berlalu kalau sedang menikmati keindahan alam. Kalau saja aku tidak harus segera kembali ke Malang untuk selanjutnya bersiap-siap menuju ke airport untuk kembali ke Jakarta, mau rasanya berada lebih lama lagi di sana. Yah mudah-mudahan saja aku masih punya kesempatan untuk kembali ke Pantai Goa Cina untuk menjelajahi sudut-sudut pantainya yang belum sempat aku datangi, termasuk juga melongok ke dalam goa yang melegenda itu yang waktu itu belum sempat aku datangi 😎 .–