Monthly Archives: March 2017

Fishing boats moored off the shore

It was late afternoon already, and I was still looking for a suitable place to catch the sunset moment at several beaches which spanned along the west coast of Bengkulu; I drove along the road started at Panjang Beach which was located behind the British Fort Marlborough, to Tapak Paderi Beach and went on to the north following the coastal road.

Soon the tourist areas were passed and I entered a fishing village. Malabero Baru, that was the sign by the road which stated the name of the village. I drove slowly into the village when suddenly I saw many traditional fishing boats moored off the shore. I also saw some fishermen on some of the boats, seemed that they were checking and preparing their boats to do their jobs for their living that night; catching fishes at the sea.

Rough sea and strong sea wind would not prevent those fishermen to go to the sea, because they had big responsibilities on their strong shoulders . . . . their family life.

The village was located not too far from the city center, 30 minutes was the maximum time to reach the place from the city center. Travelers could go to Malabero Baru by public transport as the village was passed by one of Bengkulu’s main road.

But bear in mind, as the village was not a tourist destination, travelers could not find any public facilities in there. I stop there just because I was interested by many fishing boats bobbing ups and downs on a relatively rough sea as if toys on a basin which water were churned by children hands.

The pictures I put in here were taken in the village. Yes . . at last I decided to choose it as a place to wait for the sunset. I just stop at the road side and walked up to the concrete sea-wall that prevented the sea water to invade the land at high tide. Unfortunately, clouds were still hanging low and made the sunset was not as I expected  😦

Keterangan :

Sore itu aku lagi agak galau. Bagaimana nggak, hari sudah semakin sore sementara aku masih belum menemukan tempat yang sreg buat mengabadikan saat-saat terbenamnya matahari. Salah satu penyebabnya adalah karena mendung tipis yang masih menggantung rendah di langit. Tapi . . . kalau aku memutuskan untuk pulang ke hotel koq ya sayang juga ya. Kan bisa saja tiba-tiba langit menjadi cerah dan sunset sore itu indah.

Akhirnya aku meminta Aga, teman yang menemaniku menjelajah Bengkulu, untuk menjalankan mobil yang aku tumpangi lanjut menyusuri jalan yang membentang sepanjang pantai sejak dari Pantai Panjang yang berada di belakang Benteng Marlborough terus ke utara, melewati Pantai Tapak Paderi, teruuuuss . . . hingga kawasan wisata seluruhnya terlewati, dan aku mulai memasuki daerah pemukiman nelayan setempat. Malabero Baru, demikian nama daerah itu.

Ketika mataku ku arahkan ke arah laut, aku melihat pemandangan yang menarik. Puluhan kapal nelayan tampak lepas jangkar di lepas pantainya.

Beberapa orang nelayan tampak pula di atas beberapa kapal. Kelihatannya mereka sedang bersiap-siap untuk melaut. Ya . . . memang biasanya para nelayan akan berangkat menangkap ikan di waktu senja dan kembali di waktu fajar. Pekerjaan yang berat memang, tetapi bagaimanapun mereka harus menjalaninya untuk menjaga agar dapur mereka tetap berasap.

Desa Malabero Baru mudah sekali dijangkau. Jaraknya yang tidak jauh dari pusat kota Bengkulu dan juga adanya angkutan umum yang melewati daerah itu membuat siapapun yang ingin berkunjung ke sana tidak menemui kesulitan. Tetapi . . . buat para pelancong yang mau ke sana, haruslah diingat kalau Malabero Baru bukanlah tempat wisata, bukan pula merupakan desa wisata. Malabero Baru betul-betul merupakan kawasan pemukiman nelayan. Jadi ya jangan berharap kalau di sana dapat dengan mudah menemukan fasilitas umum yang bisa dipakai oleh para pelancong. Bahkan mungkin buat sebagian orang, nggak ada sesuatu yang menarik di sana. Buat aku lain . . seperti sudah aku katakan tadi, aku tertarik melihat pemandangan puluhan kapal nelayan yang sedang terombang-ambing oleh ombak yang sore itu kelihatan agak besar dengan latar belakang langit senja yang dihiasi awan mendung, apalagi anginpun juga bertiup lumayan kencang. Meskipun demikian, tampaknya parta nelayan setempat menganggap cuaca seperti itu biasa saja. Terbukti beberapa orang pergi pulang ke kapal mereka dengan cara berenang di laut. Di wajah mereka juga nggak terlihat tanda-tanda khawatir akan kondisi cuaca sore itu.

Anyway, foto-foto yang aku sertakan dalam postingan kali ini semua aku ambil di Pantai Desa Malabero Baru. Ya . . akhirnya memang aku memutuskan untuk menantikan saat-saat terbenamnya matahari dari sana. Aku menantikan sunset di atas tembok tanggul yang menghalangi meluapnya air laut kala pasang tinggi ke jalan raya. Dengan adanya tanggul itu, diharapkan laju abrasi pantai juga bisa dikurangi sih. Tanggul itu juga bisa jadi tempat nongkrong dan tempat bermain anak-anak setempat karena temboknya tidak terlalu tinggi tetapi lumayan lebar.

Sayangnya sore itu mendung tipis tetap bergantung di langit, khususnya di arah barat, sehingga aku agak kecewa karena keindahan saat-saat matahari terbenamnya tidak seperti yang aku harapkan. Meskipun demikian, aku tetap bersyukur karena aku masih bisa memperoleh beberapa foto ini  🙂

Categories: Pictures of Life, Travel Pictures | Tags: , , , , , , | 14 Comments

When wastes turned into pretty decorations

Bengkulu, a city which was located at the west coast of Sumatra, Indonesia, had many beaches; and each beaches had their own uniqueness, either natural uniqueness or man-made uniqueness.

One of the beaches which I visited when I was in Bengkulu was Tapak Paderi Beach. Nowadays many had come to the beach because of its uniqueness, a man-made uniqueness, to be precise. In there, travelers could see how wastes had turned into pretty beach decorations and many people eager to use those decorations as their background pictures.

The decorations theme was love, and the idea was a place where people could see others loves expressions in the form of things; in France for example, the things were love padlocks. Usually, the couple who put a love padlock would inscribe their name on the padlock before they put the padlock on a specific place and threw away the key. With that they believed that their love would bind together forever.

As the habit spread rapidly, and many places became the place where couples put their love padlocks, many municipal authorities started to treat the act as vandalism or littering; while many others were willing to use the place as tourist destinations.

In Bengkulu, what happened in Tapak Paderi Beach was not exactly like that in other places where people put love padlocks in a certain places and the places became popular, later on. What the locals did in Tapak Paderi Beach was something different. It started with the locals actually took garbage from the beach area, mostly were wastes threw by the ocean to the beach. To their surprise, the quantity was quite huge. So they started to sort them out. Sandals and shoes, plastic bottles, woods and logs, even surfboards were among what they found.

Their creative minds soon found the idea to make the pretty Tapak Paderi Beach to be prettier. They started to turn the sea wastes into pretty decorations and ornaments. Among others, sandals were the most. They started to put the sandals to frame-like structures made of bamboo. The remaining sandals then were arranged in a wall made of bamboo, too.

One day, a man came to the beach. He said that one of his wife’s sandals was lost when they visited the neighboring beach. He was pretty sure that the wave would throw his wife’s sandal not too far from where it was lost. Pantai Tapak Paderi was the first beach he visited. Once he saw so many sandals turned into ornaments at the beach, he started to examine them. To his surprise, he found what he was looking for. The story became viral among the locals, and they started to call the beach with a new name, Pantai Sandal Jodoh (the Match Sandals Beach). Later on, visitors started to write their name in the sandals along with their loved one’s name. They believed that by doing so they stated that they already found their other half like the man’s wife’s sandal which was re-united.

Tapak Paderi Beach was located only about 10 kilometers from the city center. It was once became the main port of Bengkulu, that was the reason why the British Colonial Government decided to build a fort nearby. It was easy to come to the beach. Travelers could use public transports as well as their private vehicles.

The beach itself was a sandy beach. It was quite wide with rows of cypress grew and bordering the beach area. Fishermen lived nearby also used the beach to keep their sampan. Fortunately the sampans were quite colorful, so they can blend perfectly with the decorations.

So . . . interested to come to Tapak Paderi Beach and took selfie or wefie pictures with your loved one? 😀

Keterangan :

Bengkulu, sebuah kota yang juga merupakan ibukota propinsi yang bernama sama dengannya, yaitu Propinsi Bengkulu, merupakan sebuah kota yang sarat sejarah. Selain sarat sejarah, kota ini juga memiliki jajaran pantai yang indah dan unik sehingga menjadi tempat warga sekitar menghabiskan waktu di akhir minggu ataupun di hari-hari libur lainnya. Keunikan yang terdapat di masing-masing pantai itu bervariasi, ada yang merupakan keunikan alam dan ada juga yang merupakan keunikan buatan manusia.

Ketika aku berada di Bengkulu, aku sempat berkunjung ke beberapa pantai itu, salah satunya adalah Pantai Tapak Paderi yang akhir-akhir ini cukup menyedot perhatian banyak orang karena keunikan yang disajikannya. Keunikan yang ada di pantai tersebut merupakan keunikan buatan manusia karena berupa berbagai ornamen cantik yang terpasang di pantai. Tetapi tahukah teman-teman kalau bahan dasar ornamen-ornamen cantik itu adalah sampah yang terdampar di pantai sekitarnya?

Iya bener loh, ornamen-ornamen cantik yang akhir-akhir ini banyak menghiasi berbagai akun media sosial karena dipergunakan sebagai background foto pemilik akun tersebut betul-betul dibuat dari sampah.

Memang setelah jadi dan terpasang seperti sekarang, sepintas nggak tampak kalau itu sampah. Apalagi ornamen bertemakan cinta itu kelihatan cantik. Bukan melulu cinta antara sepasang kekasih, tetapi cinta secara umum juga.

Jika di berbagai tempat lain di dunia terdapat lokasi-lokasi dimana pasangan kekasih meletakkan gembok cinta, di Pantai Tapak Paderi yang ada bukan gembok cinta, melainkan sandal jodoh.

Menurut informasi yang aku dapatkan, dahulu Pantai Tapak Paderi cukup kotor dengan berbagai sampah yang terbawa ombak. Kawasan pantai yang kotor membuat kelompok nelayan disana menjadi risih, sehingga mereka tergerak untuk membersihkan kawasan pantai itu. Sampah-sampah yang mereka temukan dikumpulkan di suatu tempat di pantai. Berbagai macam barang mereka temukan dan jumlahnya lumayan banyak. Ada botol-botol plastik bekas minuman, berbagai jenis sandal dan sepatu, potongan-potongan kayu, plastik bekas kemasan, bahkan papan seluncur.

Melihat tumpukan sampah yang menggunung itu, ide kreatif muncul di benak mereka sehingga mereka mulai memilah-milah barang temuan itu. Di antara berbagai jenis sampah itu, ternyata banyak sekali sandal atau sepatu. Tentu saja cuma sebelah. Mereka mulai membuat bentuk-bentuk dari batang bambu, kemudian menata sandal-sandal tersebut menjadi berbagai bentuk dua dimensi. Ada kupu-kupu ada pula bentuk hati. Sisa sandal yang masih banyak mereka tata dalam bentuk seperti dinding.

Suatu hari seorang lelaki datang ke Pantai Tapak Paderi. Katanya dia mendapat informasi bahwa di Pantai Tapak Paderi terdapat banyak sekali sandal yang terdampar di pantai. Lelaki itu bermaksud mencari sebelah sandal istrinya yang terlepas dan hanyut ketika mereka bermain di pantai yang tidak jauh dari Pantai Tapak Paderi. Dan dasar memang masih berjodoh, lelaki itu menemukan sebelah sandal istrinya yang hilang di situ. Kabar ini tidak lama kemudian sudah menjadi viral dan pada gilirannya mengundang orang untuk datang berkunjung ke pantai itu. Orang-orang yang datang itu semula hanya ingin melihat seperti apa sih sandal-sandal yang ada di sana, dan ternyata apa yang mereka temukan di sana betul-betul di luar perkiraan mereka. Para pelancong itu tidak menemukan tumpukan sampah melainkan hiasan indah yang cocok sekali dijadikan latar belakang ketika mereka melakukan selfie atapun wefie.

Para pengunjung yang didominasi para remaja itu kemudian ada yang mulai menulisi sandal-sandal itu dengan nama mereka. Para remaja itu beranggapan bahwa kalau nama mereka tertulis di situ, maka berarti mereka betul-betul merupakan pasangan yang tak terpisahkan sama halnya seperti sandal milik istri lelaki dalam cerita di atas. Dengan kondisi begitu, sebutan sandal jodoh juga lama-lama menjadi terkenal, bahkan banyak orang sekarang menyebut pantai itu dengan sebutan Pantai Sandal Jodoh.

Pantai Tapak Paderi dahulu merupakan pelabuhan utama Bengkulu. Itu pula sebabnya tidak jauh dari pantai ini berdiri sebuah benteng peninggalan Inggris. Lokasinya yang tidak jauh dari kota dan akses serta transportasi yang mudah untuk datang ke pantai itu membuat Pantai Tapak Paderi hampir selalu ramai pengunjung. Baik mereka yang berkunjung karena penasaran dengan cerita sandal jodoh, maupun mereka yang datang untuk menikmati keindahan alami pantai tersebut.

Pantai Tapak Paderi memiliki wilayah pantai yang cukup luas sehingga banyak nelayan yang juga mempergunakan wilayah pantai itu untuk menyimpan perahunya. Dan menariknya lagi, perahu-perahu nelayan itu dicat dengan warna-warni yagn ceria sehingga bisa menyatu dengan berbagai dekorasi dan ornamen yang dipasang di sana. Ombaknya yang tidak terlalu besar meskipun langsung menghadap ke samudra luas, membuat banyak pengunjung yang bermain air di bibir pantai. Posisinya yang menghadap ke barat membuat pantai ini banyak dikunjungi para pemburu sunset juga.

Nah . . . gimana? Tertarik buat ikutan selfie atau wefie di Pantai Sandal Jodoh? 😀

Categories: Travel Pictures | Tags: , , , , , | 27 Comments

The house where they fell in love

Although this post was not intended to be a love story, yet it all began on February 14, 1938. Yes . . February 14, the date that also been celebrated as Valentine Day or the day of love. At that very date, Soekarno, the man who later on became the first president of Indonesia, arrived in Bengkulu from his exile in Ende, Flores. He was not came to Bengkulu on his own free will, the colonial government chose Bengkulu to be his next exile place since at that time it was not easy to reach that place. Bengkulu was like an isolated area.

A house had been prepared to be Sukarno’s dwelling in Bengkulu, but unfortunately the place was not ready when Soekarno arrived, so he lived in a hotel close to the house for a time being.

img_rpb01

The house which was intended to be Soekarno’s house in Bengkulu was initially owned by a Chinese trader. It was a nice house with a spacious yard, a typical colonial style house that not too large but quite airy so the people in the house would not feel the heat like that outside of the house, even at noon. The house consisted of five rooms; those were a study room, a living room and three bedrooms. At the back of the house, there was a row of three or four rooms which were used as service rooms. There was also a well at the back of the house, located between the main house and the service area.

img_rpb04

According to historical records, one day Hassan Din, one of the local Moslem important figures from the nearby town called Curup, visited Soekarno in that house to discuss about current political issues. He brought his daughter along with him. Her name was Fatmawati.

Not too long, Fatmawati became close friends with Ratna Djuami, Sukarno’s adopted daughter, and they even went to a same school. As their relationship became closer and closer, Ratna Djuami asked Fatmawati to stay with her in that house so they could study and go to the school together.

The pretty Fatmawati soon made Soekarno fell in love, and after some time proposed to marry her. Later, history recorded that Fatmawati became the first Indonesia’s first lady. She gave five children to Soekarno, one of them was Megawati Soekarnoputri, the fifth president of Indonesia.

img_rpb10

Nowadays, the house had already renovated, although the original structure was still preserved. The yard became more tidy and pretty. And as an effect of the city development, the house which was located in Ratu Samban Sub-district, Bengkulu, now was relatively at the city center area. So it was pretty easy for travelers who wanted to come to the house which was now became a museum as well as a monument to commemorate the time Soekarno was in Bengkulu.

img_rpb06

In there, travellers could still see some old books which once were Soekarno’s collection. In the study room, there was also a picture of a building designed by Soekarno. There were also beds which once were used by Soekarno’s family. In almost each and every room, there were photos of Soekarno and his family.

img_rpb03

Not too far from Soekarno’s exile house, there was another historical house. The house was smaller if compared to Soekarno’s exile house. It was a wooden house that built on stilts; a typical Bengkulunese house. In front of the house, there was a bust statue of Fatmawati. Yes . . . the house was owned by Fatmawati’s family, and once became Fatmawati’s home, too.

img_rpb11

The simple house was consisted of a living room, two bedrooms and one service area at the back of the house. In the living room, there were two big pictures side by side. One was the picture of Soekarno and the other was of Fatmawati. Aside of those two big pictures, there were many photos depicting Fatmawati’s activities, both as Indonesia’s first lady as well as her activities as a mother for her children.

img_rpb17

Well . . . that was a short story about the houses that once been used by Soekarno and Fatmawati. Hope that we don’t see the houses only as two small houses in Bengkulu, but let us aware of their role in Indonesia’s history, too.–

img_rpb14

Keterangan :

“Rumah dimana mereka jatuh cinta”. Judulnya romantis ya  :). Tapi percayalah kalau ini bukan cerpen. Aku nggak akan mulai mengubah isi blog ini menjadi blog sastra yang berisi cerpen ataupun sejenisnya, melainkan tetap akan selalu berisikan berbagai destinasi wisata, utamanya yang ada di Indonesia; dan kali ini yang akan aku bahas adalah destinasi wisata sejarah yang terletak di kota Bengkulu.

Ya … Bengkulu, kota yang memainkan banyak peran dalam sejarah bangsa kita. Di kota itulah pada tanggal 14 Februari 1938 Bung Karno pertama kali menginjakan kakinya untuk menjalani pengasingan setelah dipindahkan dari Ende, Flores. Bengkulu dipilih sebagai tempat pengasingan berikutnya karena pada masa itu akses ke Bengkulu relatif sulit. Bahkan saat itu Bengkulu seperti daerah yang terisolir.

Pada waktu itu, sebuah rumah sudah dipersiapkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk menjadi tempat tinggal Bung Karno selama dalam pengasingan di Bengkulu. Rumah itu aslinya milik seorang saudagar keturunan Tionghoa. Sayangnya ketika Bung Karno tiba di Bengkulu, rumah itu masih belum siap sepenuhnya. Karena itulah untuk sementara waktu Bung Karno tinggal di sebuah hotel yang terletak tidak jauh dari rumah itu.

img_rpb07

Rumah yang disediakan untuk Bung Karno itu bergaya Eropa tropis. Sebuah rumah dengan atap berbentuk limas yang cukup tinggi, memiliki jendela dan lubang angin yang berukuran besar, sehingga menjamin lancarnya sirkulasi udara di dalam rumah. Dengan demikian, meskipun cuaca sedang terik, mereka yang berada di dalam rumah tidak akan merasakannya.

img_rpb09

Rumah mungil ini memiliki ruang depan terbuka yang berfungsi juga sebagai teras tempat menyambut tamu, sebuah ruang tamu, sebuah ruang kerja dan tiga buah ruang tidur. Di bagian belakang rumah juga terdapat beranda yang rupanya dulu difungsikan juga sebagai ruang makan. Terlepas dari rumah induk, di bagian belakang, terdapat ruang-ruang yang difungsikan sebagai gudang dan dapur. Sebuah sumur terletak di antara rumah induk dan bangunan yang diperuntukan sebagai gudang dan dapur tersebut.

img_rpb05

Menurut catatan sejarah, ketika Bung Karno sudah tinggal di rumah itu, Bung Karno sering menerima kunjungan orang-orang penting dan tokoh-tokoh masyarakat, baik untuk sekedar bersilaturahmi maupun untuk membicarakan berbagai perkembangan politik pada masa itu. Salah satu yang sering berkunjung adalah Hassan Din, seorang tokoh Muhammadiyah yang berasal dari Curup, sebuah kota kecil yang masuk dalam wilayah Kabupaten Rejang Lebong.

Demikianlah pada suatu hari Hassan Din kembali bertamu, dan kali ini Hassan Din membawa serta putrinya yang masih belia bernama Fatmawati. Sementara Hassan Din bercakap-cakap dengan Bung Karno, Fatmawati ditemani oleh Ratna Djuami yang merupakan putri angkat Bung Karno. Rupanya kedua gadis itu merasa cocok satu sama lain, sehingga mereka cepat menjadi akrab. Bahkan setelah bertemu beberapa kali, akhirnya Ratna Djuami meminta Fatmawati untuk tinggal bersamanya sehingga mereka bisa belajar dan berangkat ke sekolah bersama, mengingat mereka juga bersekolah di sekolah yang sama.

Pepatah Jawa yang mengatakan tresno jalaran saking kulino memang ternyata betul adanya. Bung Karno yang tertarik dengan kecerdasan Fatmawati menjadi tertarik dan bahkan pada akhirnya jatuh cinta kepadanya. Fatmawati pun ternyata juga menaruh hati kepada Bung Karno yang penuh kharisma itu, sehingga Fatmawati tidak menolak ketika Bung Karno melamarnya.

Sejarah akhirnya mencatat bahwa gadis Bengkulu bernama Fatmawati ini adalah Ibu Negara pertama negara kita. Dari perkawinan itu, Fatmawati melahirkan lima orang anak yang salah satunya adalah Megawati Soekarnoputri yang kelak menjadi presiden wanita pertama di republik ini yang sekaligus juga merupakan presiden kelima Indonesia.

Rumah yang terletak di daerah Anggut Atas, Kecamatan Ratu Samban itu kini telah direnovasi dan difungsikan sebagai museum sekaligus juga monumen peringatan bahwa Bung Karno pernah diasingkan di Bengkulu dan tinggal di rumah itu dari tahun 1938 sampai dengan tahun 1942. Dan jika pada akhir tahun tigapuluhan itu rumah tersebut berada di pinggiran kota, tetapi karena perkembangan dan pembangunan kota, sekarang rumah tersebut berada praktis di tengah kota sehingga mudah bagi siapapun untuk berkunjung ke sana.

img_rpb02

Di dalam rumah yang dulu menjadi rumah pengasingan Bung Karno itu, para pelancong akan menemukan foto-foto Bung Karno yang terpasang di hampir semua ruangan. Di kamar yang dijadikan ruang kerja Bung Karno, tergantung denah gedung rancangan Bung Karno selain juga beberapa buku lama koleksinya. Di kamar-kamar yang dipergunakan sebagai kamar tidur, masih terdapat ranjang-ranjang besi yang pernah dipergunakan Bung Karno dan keluarganya. Sepeda yang dulu dipakai Bung Karno juga masih tersimpan di situ.

img_rpb08

Dalam kaitannya dengan perjalanan hidup Bung Karno di Bengkulu ini, tidak jauh dari rumah pengasingan Bung Karno terdapat sebuah rumah sederhana yang juga sarat nilai sejarah. Sebuah rumah berbentuk rumah panggung khas Bengkulu dengan bahan kayu berwarna coklat. Rumah mungil yang asri tersebut merupakan sebuah rumah dimana dahulu Bu Fatmawati pernah tinggal bersama kedua orang tuanya.

img_rpb12

Rumah tanpa halaman tersebut terdiri dari sebuah ruang tamu di bagian depan, yang berbatasan dengan dua buah kamar tidur yang saling berhadapan mengapit sebuah ruang semacam lorong yang menuju ke bagian belakang rumah. Sama seperti di rumah pengasingan Bung Karno, di rumah ini juga banyak terdapat foto, khususnya foto Bu Fatmawati dalam berbagai kegiatan; baik kegiatan resmi sebagai Ibu Negara, kegiatan informal, maupun foto keseharian Bu Fatmawati bersama keluarga. Khusus di ruang depan, terdapat dua buah lukisan besar. Satu menggambarkan Bung Karno dan yang satunya lagi menggambarkan Bu Fatmawati, Kedua lukisan tersebut diletakkan berdampingan.

img_rpb16

Di kamar yang pernah ditempati oleh Bu Fatmawati, selain masih terdapat ranjangnya, juga terdapat sebuah mesin jahit tangan berwarna merah. Mesin jahit inilah yang dahulu dipergunakan oleh Bu Fatmawati menjahit dua buah selendang menjadi Bendera Merah Putih yang dikibarkan ketika Proklamasi Kemerdakaan Indonesia dan sampai sekarang dikenal sebagai Bendera Pusaka.

Nah itulah sekelumit kisah mengenai dua buah rumah bersejarah di Bengkulu. Mudah-mudahan para pelancong yang berkunjung ke rumah-rumah itu tidak melihat rumah itu hanya sebagai bangunan bersejarah, melainkan melihat juga perannya dalam perjalanan sejarah negara kita,–

Categories: Travel Pictures | Tags: , , , , | 17 Comments

Create a free website or blog at WordPress.com.