Posts Tagged With: landscape

A mountain with three changing colors crater-lakes

Kelimutu was the name of an active volcano located in Flores, Indonesia. It was not considered as a very high mountain as it height was only 1,690 meters above sea level.

So . . . what so special about Kelimutu then?

Well . . . Kelimutu was said to be unique because it had three crater lakes which constantly changed their colors depended on the minerals composition change in the lake water triggered by the mountain volcanic activity, the quantity of the water microorganisms and also on the discoloration by the sunlight which included the reflection from the base and the surrounding walls of each lakes.

And as their colors change happened naturally, up till now the time of their color change was still unpredictable. Sometimes it changed quite often, while on any other time the lakes color were not change for a long time. In 2016, for instance, the colors of the crater lakes were changed 6 times, which was considered quite often for a certain period.

To see the three crater lakes, travelers should climb up to the summit. Don’t worry; the trek was not too hard since the local government had already built a climbing path through a forest on the mountain slope, there even a stone stairway close to the top to make it easier to reach the summit.

At the summit, there was a stone platform with a monument as a mark.

Usually, travelers would start their climb quite early in the morning in order to get the sunrise from the mountain top. For that, many travelers preferred to spend the night before the climb in Moni, a small town located about 13 kilometers from the car park which was usually being the starting point to start the climb, too.

But nature had its own rule. When I was there, instead of a bright and beautiful sunrise, what I found was thick cloud hung quite low and made it impossible to watch the sunrise.

But the attraction that could be enjoyed from the summit was not only the sunrise; the beautiful scenery with layers of mountains and the sight of the three crater lakes were enough to make many people dumbstruck and reluctant to go down from the summit.

Kelimutu was not a mere tourist destination; for the Lio tribe who lived there, Kelimutu was considered a sacred mountain. They believed that the mountain, especially the three crater lakes were the eternal resting place where all souls would return after their journey of life had ended.

According to them, when somebody died, his or her soul would come to Kelimutu and met Konde Ratu the gate keeper, who then sorted the souls depended on their deeds when they were still living humans. For them who were good and died at old age, they would be placed in the Lake of Old People or Tiwu Ata Mbupu to live in eternal peace and happiness. The lake location was separated from the other two lakes. When I was there, the lake’s color was dark green. According to the records, in between 1915 to 2011, Tiwu Ata Mbupu had changed its color 16 times. Once it reported to have dark brown, greenish brown even white color, but usually it had blue color.

The closest lake to the summit was the deepest as well as the largest lake known as Tiwu Koo Fai Nuwa Muri or The Lake of Young Men and Maidens. It has a soothing light green color. The Lio believed that the lake was the eternal resting place for they who died at young age. In the same period, the lake changed its color more often than Tiwu Ata Mbupu. It was said that it had already changed its color 25 times; but most of the times it retain its light green color although it was reported that once it had greenish white color.

The third lake was seen from the summit as if peeking from behind Tiwu Koo Fai Nuwa Muri; although for them who want to have a closer look could come to a specific spot on the crater-lake’s rim which located below the summit. The third lake was known as Tiwu Ata Polo or the Enchanted Lake of Evil Spirits. Tiwu Ata Polo was usually had red color, but when I was there it had green color that resembled the color of Tiwu Koo Fai Nuwa Muri. Tiwu Ata Polo was the smallest among the third lake, and it was believed that the lake was the resided place for the soul of people who did evil deed and practicing black magic when they were still living humans. Although the smallest in size, but Tiwu Ata Polo change its color most often compared to the other two.

Up till now, the Lio Tribe members still conducted a ritual called Pati Ka Du’a Bapu Ata Mata which was held in an area close to the three lakes. At that time the tribe elders which known as the Mosalaki, would come together bringing offerings to the deceased who reside in the three lakes. Together they chanted prayers, praises and traditional song accompanied by traditional dances. The ritual usually held annually in mid August.

And at last . . . when the sun had already risen and the temperature became warmer, usually travelers started to go down from the summit. At the same time, the true inhabitant of Kelimutu came into sight. Some of them stood on the side of the climbing path hoping to get food from travelers, while others just staring from afar. Some of them were running along the lake wall with agility. Yes the true inhabitant of the forest of Kelimutu that also often roaming to the summit were monkeys . . .

So . . . interested in visiting the three lakes that naturally could change their colors?

Keterangan :

Kelimutu, sebuah gunung berapi yang terletak di Pulau Flores, di Propinsi Nusa Tenggara Timur, sudah cukup terkenal karena memiliki tiga buah danau kawah di puncaknya. Uniknya, ketiga danau kawah itu memiliki warna yang berbeda jika dilihat dari kejauhan. Secara ilmiah, perubahan warna ketiga danau itu disebabkan oleh berubahnya komposisi kandungan berbagai mineral yang larut dalam air danau akibat aktifitas vulkanis gunung. Maklum saja karena Kelimutu merupakan gunung berapi yang masih aktif sampai sekarang. Perubahan warna danau juga dipengaruhi oleh banyak sedikitnya mikroorganisme yang hidup di air danau pada suatu saat dan juga akibat pantulan cahaya matahari di bebatuan di dinding maupun dasar danau.

Trus kapan tuh warna danaunya berubah?

Perubahan warna danau terjadi secara alamiah, karena itu sampai sekarang masih susah untuk diprediksi kapan akan terjadinya. Bisa saja dalam setahun danau-danau itu berganti warna beberapa kali, tapi bisa juga untuk waktu yang lama tidak terjadi perubahan warna, bahkan warna ketiga danau yang harusnya berbeda-beda justru tampak hampir sama semuanya.

Untuk bisa melihat ketiga danau yang unik itu, para pelancong harus mendaki sampai ke puncak Kelimutu. Jangan khawatir, treknya cukup ramah koq. Apalagi pemerintah setempat sudah membangun jalur pendakian yang jelas sejak dari tempat parkir mobil yang menjadi titik awal pendakian sampai ke puncak; bahkan mendekati puncak sudah dibuatkan undak-undakan dari batu yang memudahkan pelancong menggapai puncak.

Biasanya para pelancong akan memulai pendakian pada saat subuh dengan harapan bisa menyaksikan terbitnya matahari dari puncak Kelimutu. Karena itulah sebagian besar Pelancong lebih memilih menginap di Moni, sebuah kota kecil berjarak kurang lebih 45 menit berkendara sampai ke gerbang masuk kawasan Kelimutu, meskipun memang ada juga beberapa orang yang lebih suka berkendara selama 4 jam dari Ende selepas tengah malam dengan pertimbangan bahwa penginapan di Ende lebih baik dibanding penginapan di Moni.

Sayangnya ketika aku kesana, cuaca sedang kurang bersahabat. Harapan akan menikmati pemandangan indah saat terbitnya matahari harus aku kubur dalam-dalam karena pagi itu ternyata langit cukup berawan. Tapi . . . keindahan yang bisa dinikmati dari sana bukan melulu saat terbitnya matahari. Pemandangan alam yang tersajipun sangatlah indah. Deretan gunung di kejauhan yang tampak seperti berlapis lapis, ditambah juga dengan mulai tampak jelasnya danau kawah yang memang menjadi tujuan utama pendakian itu membuat banyak pelancong terkagum-kagum, tidak terkecuali aku sendiri.

Dan ketika banyak orang datang ke Kelimutu untuk berwisata karena tertarik dengan keindahan dan keunikannya, masyarakat Suku Lio yang bermukim di sekitar gunung itu memiliki tujuan lain ketika mereka datang mendaki Kelimutu. Bagi mereka, Kelimutu merupakan gunung yang mereka keramatkan. Mereka percaya bahwa Kelimutu, khususnya ketiga danau kawahnya merupakan tempat peristirahatan abadi arwah mereka yang sudah meninggal.

Menurut kepercayaan mereka, ketika seseorang meninggal, maka arwahnya akan datang ke Kelimutu dan bertemu dengan Konde Ratu sang Juru Kunci yang bertugas menilai perbuatan orang tersebut semasa hidupnya, kemudian menempatkannya di tempat yang sesuai.

Mereka yang selama hidupnya banyak berbuat kebaikan dan meninggal dalam usia lanjut, akan ditempatkan di Tiwu Ata Mbupu atau Danau Para Orang Tua. Danau ini terpisah lokasinya dari dua danau lainnya. Ketika aku ke sana, aku menemukan kalau danau ini berwarna hijau tua meskipun konon biasanya berwarna kebiruan. Berdasarkan catatan yang ada, sejak tahun 1915 sampai tahun 2011, Tiwu Ata Mbupu telah berganti warna sebanyak 16 kali. Tercatat bahwa danau ini pernah berwarna coklat gelap, coklat kehijauan, bahkan putih.

Kemudian bagi mereka yang meninggal selagi muda, arwahnya akan ditrempatkan di Tiwu Koo Fai Nuwa Muri. Danau ini merupakan danau yang paling besar selain juga paling dalam di antara ketiga danau yang ada di sana. Warnanya hijau cerah meskipun pernah juga warnanya berubah menjadi hijau muda mendekati putih. Dalam periode yang sama, dilaporkan bahwa Tiwu Koo Fai Nuwa Muri pernah berganti warna sampai 25 kali.

Danau yang terakhir disebut Tiwu Ata Polo yang menjadi tempat berkumpulnya arwah para tukang tenung dan mereka yang selama hidupnya berbuat jahat. Biasanya danau ini berwarna merah gelap meskipun ketika aku kesana berwarna hijau terang sama seperti warna Tiwu Koo Fai Nuwa Muri. Danau ini merupakan danau yang paling kecil dan juga paling dangkal, sehingga kontras sekali dengan Tiwu Koo Fai Nuwa Muri yang berada di sebelahnya dan hanya dipisahkan oleh dinding tipis yang rawan longsor kalau sampai terjadi gempa besar.

Meskipun paling kecil, tetapi ternyata Tiwu Ata polo merupakan danau yang paling sering berganti warna. Tercatat sejak tahun 1915 sampai 2011 danau ini pernah berganti warna 44 kali. Jika dilihat dari puncak Kelimutu, Tiwu Ata polo seolah mengintip di belakang Tiwu Koo Fai Nuwa Muri. Meskipun demikian, sebetulnya danau ini bisa dilihat lebih dekat dari sebuah anjungan yang terletak sedikit di bawah puncak Kelimutu.

Kekeramatan Gunung Kelimutu masih terjaga hingga saat ini di antara masyarakat Suku Lio. Sampai sekarang mereka secara rutin tetap menyelenggarakan upacara Pati Ka Du’a Bapu Ata Mata atau upacara membeir makan arwah leluhur dan sanak saudara yang tinggal di sana. Biasanya upacara dilakukan pada pertengahan bulan Agustus tiap tahunnya. Pada saat itu para pemuka masyarakat yang disebut Mosalaki akan secara bersama-sama berkumpul di sebidang tanah di dekat danau sambil membawa sesaji. Doa dan mantra akan diucapkan dengan diiringi lagu-lagu tradisional sambil menarikan tari tradisional Suku Lio yang disebut Gawi.

Nah . . . kembali ke puncak Kelimutu yang ketika subuh ramai pelancong; ketika matahari sudah semakin meninggi dan suhu yang semula dingin menggigit perlahan mulai menghangat kawasan puncak juga mulai ditinggalkan. Berbondong-bondong para pelancong mulai berjalan turun, tetapi pada saat itu pulalah para penunggu Kelimutu mulai muncul. Mereka biasanya hanya menatap para pelancong sambil berharap ada yang memberikan sekedar bahan pengganjal perut di pagi hari. Para penunggu Kelimutu ini adalah kera-kera berbulu abu kecoklatan. Beberapa dari mereka hanya duduk diam di pagar atau anak tangga menuju ke puncak, ada pula yang menatap para pengunjung dari balik semak dan perdu, sementara beberapa lagi aktif berlari-larian dengan cekatan di tebing dinding danau.

Nah . . . bagaimana? Tertarik untuk datang ke Kelimutu? Aku sendiri masih tertarik untuk berkunjung ke sana lagi . . . .–

Categories: My Pictures, Travel Pictures | Tags: , , , , , , , , | 11 Comments

A unique volcanic lake in North Sulawesi

Tomohon, a small town located in between Mt. Lokon and Mt. Mahawu in North Sulawesi, Indonesia, which made its climate was quite cool; because of that, Tomohon became an escape city for people of Manado in the week-ends as well as in any holidays. The distance between Manado and Tomohon was only 30 kilometres which could be reached with an hour drive from Manado through relatively good roads.

Anyway, I don’t want to talk about the city itself, but about a volcanic lake located just outside the city. The lake was known as Danau Linow or Linow Lake. The lake’s name, Linow, derived from the word lilinowan which means a water gathering place in the local language that known as Minahasan language. Well . . it was not wrong as a lake was really a place where water from any sources, including from springs, gather in a basin lake place surrounded by land  🙂

Linow Lake was quite unique as the water in the lake could change its color from the greenish white to greenish blue and sometimes it looked yellowish brown. The color change was affected by the composition change and intensity of sulfur in the lake water, combined with the sun beam on the surface of the lake. I was there in the afternoon and what I saw was a greenish color as you can see it yourselves in the pictures accompanying my post this time.

Linow Lake spanned over 84 acre areas. Close to the lake, there were some geothermal facilities used as electricity generator; while on the lake-shore, there were some resorts and cafes.

The lake area had already been equipped with public facilities. A large parking area close to the lake shore would be the best place to park any vehicles used by travelers. Entering the area, there would be a small fee that should be paid by each visitor, but it was not just a kind of entrance fee as traveler could exchange the ticket with a cup of coffee or tea to be enjoyed in a large seating area by the lake.

Besides enjoying the pretty scenery while sipping a cup of coffee or tea, travelers could stroll along the lake shore following a short path. Swimming in the lake? Well . . . that was forbidden as the high intensity of sulphur in the lake water would affect human health and even would be very harmful.

So . . . can you imagine how great it feel . . . sipping a cup of hot coffee or tea by a pretty lake in a cool weather? Or perhaps you prefer to experience it yourself? 😉

Keterangan :

Tomohon, sebuah kota kecil di Sulawesi Utara yang dikenal juga sebagai Kota Bunga karena hawanya yang sejuk membuat aneka macam bunga tumbuh dengan subur di sana. Kota ini terletak di sebuah dataran tinggi yang diapit oleh Gunung Lokon dan Gunung Mahawu. Jaraknya yang hanya sekitar 30 KM dari Manado, membuat Tomohon menjadi kota peristirahatan warga Manado dan sekitarnya tiap akhir pekan maupun di hari-hari libur lainnya.

Tapi . . . kali ini aku masih belum akan menulis soal Tomohon, aku lagi pengen nulis soal sebuah danau vulkanik cantik yang lokasinya nggak jauh dari kota Tomohon. Danau ini dikenal dengan nama Danau Linow. Konon nama danau ini berasal dari sebuah kata dalam Bahasa Minahasa, yaitu lilinowan yang artinya tempat dimana air berkumpul.

Danau Linow bisa dibilang merupakan danau yang unik karena air danaunya kelihatan bisa berubah-ubah warnanya yang disebabkan oleh perubahan komposisi dan tinggi rendahnya kadar belerang dalam air danau yang dikombinasikan dengan pantulan sinar matahari pada saat itu. Itu sebabnya kadang air Danau Linow ini kelihatan berwarna hijau keputihan sementara di waktu lain berwarna hijau kebiruan, bahkan terkadang kelihatan berwarna coklat kekuningan. Aku dan partner jalanku ke sana waktu itu sudah menjelang sore, dan air danaunya kelihatan hijau kebiruan seperti yang tampak dari beberapa foto yang aku sertakan di sini.

Seperti sudah disebutkan di atas, Danau Linow merupakan danau vulkanik, dan ternyata aktifitas vulkaniknya masih sangat aktif. Itu sebabnya bau belerang kadang tercium cukup kuat kalau kita berkunjung ke sana. Di permukaan air danaunya sendiri juga sering tampak gelembung-gelembung yang menandai terjadinya pelepasan kandungan gas dari dasar danau. Di sekitar danau juga banyak terdapat sumber panas bumi yang beberapa di antaranya sudah dimanfaatkan sebagai pembangkit tenaga listrik.

Kawasan Danau Linow relatif sudah tertata apik sebagai salah satu tujuan wisata unggulan di Sulawesi Utara. Beberapa fasilitas umum sudah dibangun dan pada saat aku ke sana itu kondisinya cukup rapih dan bersih. Pelataran parkirnya pun cukup luas dan jaraknya cukup dekat dengan tepian danau, sehingga tidak menyulitkan pelancong yang tidak mau terlalu bercape lelah berjalan jauh dari kendaraan mereka. Dan karena sudah tertata rapi, rasanya tidak mungkin juga kalau pelancong bisa menikmati semua fasilitas yang ada di situ dengan gratis kan? Tapi jangan kuatir, harga ticket masuknya nggak mahal koq, lebih dari itu, ticket masuk itu bisa kita tukarkan dengan secangkir kopi atau teh di cafe yang ada di tepi danau, sehingga jika para pelancong sudah capek berjalan-jalan di tepian danau, mereka bisa masuk ke cafenya, menukarkan ticket dengan kopi atau teh kemudian memilih tempat duduk sesuai selera dan menikmati kopi sambil merasakan sejuknya udara di tepi danau yang keindahannya cukup memanjakan mata itu.

Ngomong-ngomong kalau melancong ke sana, jangan coba-coba berenang di Danau Linow ya. Cukup jalan-jalan aja di tepinya atau ngupi-ngupi cantik. Bukan apa-apa sih, tapi kadar belerang yang sangat tinggi dalam air danau itu cukup berbahaya bagi kesehatan.

Jadi . . . cukup puas dengan hanya membayangkan nikmatnya menyesap secangkir kopi panas di sana atau mau ke sana dan merasakan sendiri kenikmatan itu? 😀

Categories: Travel Pictures | Tags: , , , , , , | 16 Comments

Sunset over a valley

Bali . . . an island in Indonesia, was known for its culture and also its pretty landscape. And for that, many people came from around the world to spend their time enjoying Bali. Most of them, however, tend to visit only temples, beaches, waterfalls, and rice fields. Not many that came to Bali’s hills and highlands on purpose although the mountain areas were also great places to enjoy.

On my trip to Bali at that time, as I planned before, I spent time at one of Bali’s mountain area which was known as Munduk area. I went there just to feel the cool climate as well as visiting some waterfalls and the twin lakes known as Lake Buyan and Tamblingan.

Anyway, one afternoon, after visiting the lakes, I was on my way down to the nearby town to look for some dinner, when suddenly I saw an opening on the left of the road, from where I could see the sun that already started to set over a valley. Not want to miss such a view, I stop on the road side and enjoying the show. Here, through my post this time, I’d like to share what I saw to you so you can also enjoy it. Hope you like them.

For you who also want to go to Munduk area when in Bali, Munduk was located in Central Bali region. From Denpasar, it took approximately 2 hours drive on a relatively good road. It would be better if travelers used a rental car instead of any public transportation, so travelers could stop anywhere to get a perfect spot to enjoy the scenery without doubt to get any vehicles to move to other spots, as public transports were not easily found there.–

Keterangan :

Rasanya hampir nggak ada orang yang nggak tahu Bali, sebuah pulau yang terkenal dengan keindahan alam dan juga budayanya. Karena itu pulalah banyak pelancong yang datang menghabiskan waktu mereka untuk menikmati keindahan Bali. Sayangnya, hampir semuanya cenderung hanya berkunjung ke pantai-pantainya yang memang sudah terkenal dengan keindahannya, sebagian lain berkunjung ke berbagai pura yang tersebar di seantero Bali, ada pula yang sengaja berkunjung untuk menikmati keindahan sawah berundak di daerah pedesaan ataupun menikmati kesegaran air terjun. Tetapi masih sedikit yang datang untuk menikmati keindahan panorama pegunungan di Bali, kecuali kawasan pegunungan yang sudah cukup kondang seperti Kintamani. Padahal, daerah pegunungan di Bali bukan hanya Kintamani.

Dalam perjalananku yang terakhir ke Bali, aku sengaja menujukan langkahku ke daerah pegunungan, kali ini daerah Bedugul yang jadi tujuanku. Yah sekali-kali merasakan udara sejuk di Bali lah, jangan cuma menikmati udara pantai yang kadang lumayan gerah aja.

Dan sore itu, dalam perjalanan turun dari Danau Tamblingan, aku melewati daerah Munduk. Ketika itu hari sudah menjelang sore. Jalanan juga tidak terlalu ramai sore itu, ketika tiba-tiba di sisi kiri jalan aku melihat Sang Surya sedang bersiap kembali ke peraduannya dengan sinarnya yang keemasan masih menyinari lembah di bawahnya. Sontak aku menepi dan turun untuk menikmati keindahan yang tersaji.

Pada postingan kali ini, aku akan share juga apa yang aku lihat sore itu di daerah Munduk, sehingga teman-teman juga bisa ikut menikmatinya.

Bagi teman-teman yang ingin menikmati langsung keindahan saat-saat matahari terbenam di daerah Munduk, teman-teman dapat mencapai daerah ini dengan berkendara selama lebih kurang dua jam dari Denpasar. Nah kalau ke sana itu, kalau boleh aku sarankan sih sebaiknya teman-teman pakai kendaraan sewa saja meskipun ada juga transportasi umum yang lewat sana. Bukan apa-apa, tapi kalau teman-teman pakai kendaraan sewa, teman-teman bisa kapan saja atau dimana saja berhenti tanpa kuatir bakal bingung mencari kendaraan lagi ketika akan berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain. Maklum, kendaraan umum yang lewat sana belum banyak juga.–

Categories: Travel Pictures | Tags: , , , , | 15 Comments

Blog at WordPress.com.