Speaking about market, there are many kinds of market existing in many parts of the world, from the traditional ones to the modern ones. From the ones that takes place on open spaces or on side streets to the ones in air conditioned buildings. From the common ones to the unique ones.
And talking about the unique markets, there are markets that happened on a river, where the sellers and the buyers are all on small boats or sampans. Yes . . . such a market is known as a floating market. Most travelers are quite familiar with such a market in Thailand, but floating markets are not only found in Thailand. Indonesia also has such a market. Travelers can find Indonesia’s floating market in Banjarmasin, South Kalimantan.
Banjarmasin, the capital city of South Kalimantan Province, was known as a river city because there was many river and canals criss-crossed the whole city and became an alternative means of transportation beside of the common roads and streets. And because of the nature of the region, many activities were done on or just close to the river; one of such activities was daily public market. There were two major floating markets in the area, the first was the floating market in Muara Kuin and the other was in Lok Baintan.
My post this time was about the floating market in Lok Baintan, which was bigger and more lively that the one in Muara Kuin.
Lok Baintan floating market was located in Sungai Pinang (Lok Baintan) Village, Banjar Regency. So actually it was not in Banjarmasin, although it was pretty close to the city. Travelers could reach the market location in many alternatives ways. If travelers choose to ride in a car from Banjarmasin, the location could be reached within 1.5 hours. Travelers could also choose to use a river boat, which known as “kelotok” from some piers in Banjarmasin. Other alternative was by using a car to a certain place and then continue the trip on a kelotok. At that time, I prefer to use the third alternative to reach Lok Baintan. I rode a car from my hotel for about 30 minutes to a place called Banua Indah where there was a famous traditional food stall named Soto Banjar Pak Amat that had a small pier in the back of the stall. From there I used a kelotok for about 45 minutes cruising the Martapura River to Lok Baintan.
The floating market was started at about 06:00 AM to 08:30 AM local time. In there, travelers could find many small sampans brought any kind of commodities, mostly freshly harvested vegetables and fruits. Some also brought fishes. There were also some bigger sampans that sold other things such as daily needs other that vegetables and fruits, or even I saw a sampan that sold various kinds of clothes. Some of them also made transactions among themselves by bartering one commodity they brought with other commodities they needed. Many tourists were also easily been seen on location watching the activities or also bought something that they needed, any kind of foods for sure 🙂
It was said that the floating market had already been existed since the Banjar Sultanate era in 16th century.
It really was a unique experience to visit such a market, not only enjoying the scenic market on a river that becomes the iconic place which represent South Kalimantan Province, but also trying some local foods and fruits sold by the locals in the floating market.–
Keterangan :
Kalau kita ngomongin soal pasar, tentunya kita mengenal banyak sekali jenis pasar di dunia ini. Mulai dari yang masih berbentuk pasar tradisional yang digelar di suatu tempat terbuka atau bahkan di pinggir-pinggir jalan sehingga sering disebut pasar tumpah yang sering memacetkan lalulintas, sampai ke pasar-pasar modern yang digelar di sebuah loaksi yang telah tertata apik, bahkan mungkin juga berlokasi di dalam sebuah gedung berpendingin udara. Semua jenis pasar tersebut merupakan tempat dimana para penjual bertemu dengan para pembelinya. Nah . . di antar berjenis-jenis pasar itu, terselip pula beberapa jenis pasar yang bisa terbilang unik karena tidak biasa, khususnya buat masyarakat yang terbiasa dengan pengertian pasar yang umum dijumpai di hampir semua tempat.
Salah satu pasar yang terbilang unik ini adalah pasar yang di selenggarakan di tengah sungai. Ya . . pasar ini memang terapung-apung di sungai karena baik penjual maupun pembelinya mempergunakan jukung atau sampan yang di dayung, sehingga pasar yang seperti ini dikenal dengan sebutan pasar apung. Banyak orang mengenal pasar apung hanya ada di Thailand, tanpa menyadari bahwa di Indonesia sendiri juga terdapat sebuah pasar apung yang tidak kalah besarnya disbanding dengan pasar apung yang ada di Thailand itu.
Di Indonesia, pasar terapung terdapat di Provinsi Kalimantan Selatan, bahkan ada dua pasar apung yang cukup besar di sana, dua-duanya berlokasi tidak terlalu jauh dari Banjarmasin. Pasar apung yang pertama terletak di Banjarmasin itu sendiri, tepatnya di aliran Sungai Barito dan dikenal dengan sebutan Pasar Apung Muara Kuin, sedangkan yang satu lagi terletak di Kabupaten Banjar dan berlokasi di aliran Sungai Martapura. Karena letaknya di Desa Lok Baintan, Kecamatan Sungai Tabuk, maka pasar terapung di situ dikenal dengan nama Pasar Terapung Lok Baintan.
Menurut pendapatku, Pasar terapung Lok Baintan lebih ramai dan lebih hidup jika dibandingkan dengan Pasar Terapung Muara Kuin. Paling tidak itu kesanku ketika mendapat kesempatan berkunjung ke kedua pasar terapung tesebut.
Untuk mencapai lokasi Pasar Terapung Lok Baintan dari Banjarmasin tidaklah sulit, meskipun mau tidak mau memang harus bangun pagi-pagi buta karena pasar akan mulai sekitar jam 06:00 WITA dan selesai sekitar jam 08:30 WITA. Kalau pelancong ingin mempergunakan mobil dari Banjarmasin ke lokasi pasar, waktu tempuhnya kurang lebih 1,5 jam dari pusat kota karena di beberapa tempat jalannya relatif rusak sehingga kendaraan tidak bisa melaju kencang. Atau kalau mau lebih cepat, pelancong bisa memilih untuk mempergunakan perahu sungai bermotor yang disebut kelotok. Ada beberapa dermaga yang menjadi pangkalan kelotok yang bisa disewa untuk berkunjung ke pasar terapung. Alternatif ketiga adalah dengan mengkombinasikan kedua moda angkutan itu seperti yang aku jalani waktu itu.
Jadi aku berangkat dengan mobil menuju daerah Banua Indah dimana terdapat Warung Soto Banjar bang Amat yang sudah melegenda itu. Di belakang warung soto tersebut terdapat sebuah dermaga kecil dimana aku menyewa kelotok dan berlayar menyusuri Sungai Martapura sampai ke Lok Baintan. Perjalanan menyusuri sungai merupakan perjalanan yang menarik juga karena di hari yang beranjak terang itu kita bisa mengamati aktifitas penduduk yang tinggal di pinggir sungai, mulai dari yang mandi, mencuci pakaian maupun perabotan, maupun yang mempersiapkan sampan untuk melakukan kegiatan harian mereka.
Di Lok Baintan sendiri, pagi itu sudah cukup ramai meskipun aku mencapai tempat itu masih relatif pagi. Puluhan bahkan mungkin sampai berbilang ratus, jukung hilir mudik mengangkut berbagai barang hasil pertanian maupun perkebunan yang masih segar. Biasanya satu jukung hanya ditumpangi satu orang pedagang yang merangkap juga sebagai pendayung; dan hebatnya hampir semua pedagang itu adalah perempuan, beberapa bahkan tampak sudah berusia senja. Di samping mereka yang membawa sayur mayur dan buah-buahan, ada pula yang membawa berbagai keperluan rumah tangga sehingga seolah tampak seperti sebuah warung terapung. Ada pula yang berjualan ikan sungai segar dan juga makanan. Aku sempat melihat juga adanya sebuah perahu agak besar yang menjual beraneka jenis pakaian.
Hal unik lain yang aku tangkap dari pasar terapung yang katanya sudah ada sejak jaman Kesultanan Banjar (sekitar abad ke XVI) ini adalah bahwa para pedagang tersebut ternyata juga bertransaksi di antara mereka sendiri, dan transaksi yang terjadi tidak mempergunakan uang melainkan mempergunakan sistem barter. Jadi mereka yang membutuhkan suatu komoditi akan mendekati pedagang lain yang menjual komoditi yang mereka perlukan, kemudian menukarnya dengan komoditi yang mereka bawa.
Sungguh menarik memang pengalaman berkunjung ke pasar ini, tidak hanya karena bisa menikmati suasana pasar yang sudah menjadi ikon Propinsi Kalimatan Selatan ini, tetapi pengalaman mencoba beberapa jenis penganan lokal dan juga pengalaman berbelanja buah-buahan segar langsung dari para pedagang di atas perahu juga tidaklah bisa dilupakan.–