Monthly Archives: November 2014

The floating market

Speaking about market, there are many kinds of market existing in many parts of the world, from the traditional ones to the modern ones. From the ones that takes place on open spaces or on side streets to the ones in air conditioned buildings. From the common ones to the unique ones.

And talking about the unique markets, there are markets that happened on a river, where the sellers and the buyers are all on small boats or sampans. Yes . . . such a market is known as a floating market. Most travelers are quite familiar with such a market in Thailand, but floating markets are not only found in Thailand. Indonesia also has such a market. Travelers can find Indonesia’s floating market in Banjarmasin, South Kalimantan.

IMG_LBM01

Banjarmasin, the capital city of South Kalimantan Province, was known as a river city because there was many river and canals criss-crossed the whole city and became an alternative means of transportation beside of the common roads and streets. And because of the nature of the region, many activities were done on or just close to the river; one of such activities was daily public market. There were two major floating markets in the area, the first was the floating market in Muara Kuin and the other was in Lok Baintan.

IMG_LBM02

My post this time was about the floating market in Lok Baintan, which was bigger and more lively that the one in Muara Kuin.
Lok Baintan floating market was located in Sungai Pinang (Lok Baintan) Village, Banjar Regency. So actually it was not in Banjarmasin, although it was pretty close to the city. Travelers could reach the market location in many alternatives ways. If travelers choose to ride in a car from Banjarmasin, the location could be reached within 1.5 hours. Travelers could also choose to use a river boat, which known as “kelotok” from some piers in Banjarmasin. Other alternative was by using a car to a certain place and then continue the trip on a kelotok. At that time, I prefer to use the third alternative to reach Lok Baintan. I rode a car from my hotel for about 30 minutes to a place called Banua Indah where there was a famous traditional food stall named Soto Banjar Pak Amat that had a small pier in the back of the stall. From there I used a kelotok for about 45 minutes cruising the Martapura River to Lok Baintan.

IMG_LBM03

The floating market was started at about 06:00 AM to 08:30 AM local time. In there, travelers could find many small sampans brought any kind of commodities, mostly freshly harvested vegetables and fruits. Some also brought fishes. There were also some bigger sampans that sold other things such as daily needs other that vegetables and fruits, or even I saw a sampan that sold various kinds of clothes. Some of them also made transactions among themselves by bartering one commodity they brought with other commodities they needed. Many tourists were also easily been seen on location watching the activities or also bought something that they needed, any kind of foods for sure 🙂

IMG_LBM11

It was said that the floating market had already been existed since the Banjar Sultanate era in 16th century.

It really was a unique experience to visit such a market, not only enjoying the scenic market on a river that becomes the iconic place which represent South Kalimantan Province, but also trying some local foods and fruits sold by the locals in the floating market.–

IMG_LBM07

Keterangan :

Kalau kita ngomongin soal pasar, tentunya kita mengenal banyak sekali jenis pasar di dunia ini. Mulai dari yang masih berbentuk pasar tradisional yang digelar di suatu tempat terbuka atau bahkan di pinggir-pinggir jalan sehingga sering disebut pasar tumpah yang sering memacetkan lalulintas, sampai ke pasar-pasar modern yang digelar di sebuah loaksi yang telah tertata apik, bahkan mungkin juga berlokasi di dalam sebuah gedung berpendingin udara. Semua jenis pasar tersebut merupakan tempat dimana para penjual bertemu dengan para pembelinya. Nah . . di antar berjenis-jenis pasar itu, terselip pula beberapa jenis pasar yang bisa terbilang unik karena tidak biasa, khususnya buat masyarakat yang terbiasa dengan pengertian pasar yang umum dijumpai di hampir semua tempat.

Salah satu pasar yang terbilang unik ini adalah pasar yang di selenggarakan di tengah sungai. Ya . . pasar ini memang terapung-apung di sungai karena baik penjual maupun pembelinya mempergunakan jukung atau sampan yang di dayung, sehingga pasar yang seperti ini dikenal dengan sebutan pasar apung. Banyak orang mengenal pasar apung hanya ada di Thailand, tanpa menyadari bahwa di Indonesia sendiri juga terdapat sebuah pasar apung yang tidak kalah besarnya disbanding dengan pasar apung yang ada di Thailand itu.

IMG_LBM08

Di Indonesia, pasar terapung terdapat di Provinsi Kalimantan Selatan, bahkan ada dua pasar apung yang cukup besar di sana, dua-duanya berlokasi tidak terlalu jauh dari Banjarmasin. Pasar apung yang pertama terletak di Banjarmasin itu sendiri, tepatnya di aliran Sungai Barito dan dikenal dengan sebutan Pasar Apung Muara Kuin, sedangkan yang satu lagi terletak di Kabupaten Banjar dan berlokasi di aliran Sungai Martapura. Karena letaknya di Desa Lok Baintan, Kecamatan Sungai Tabuk, maka pasar terapung di situ dikenal dengan nama Pasar Terapung Lok Baintan.

IMG_LBM09

Menurut pendapatku, Pasar terapung Lok Baintan lebih ramai dan lebih hidup jika dibandingkan dengan Pasar Terapung Muara Kuin. Paling tidak itu kesanku ketika mendapat kesempatan berkunjung ke kedua pasar terapung tesebut.

Untuk mencapai lokasi Pasar Terapung Lok Baintan dari Banjarmasin tidaklah sulit, meskipun mau tidak mau memang harus bangun pagi-pagi buta karena pasar akan mulai sekitar jam 06:00 WITA dan selesai sekitar jam 08:30 WITA. Kalau pelancong ingin mempergunakan mobil dari Banjarmasin ke lokasi pasar, waktu tempuhnya kurang lebih 1,5 jam dari pusat kota karena di beberapa tempat jalannya relatif rusak sehingga kendaraan tidak bisa melaju kencang. Atau kalau mau lebih cepat, pelancong bisa memilih untuk mempergunakan perahu sungai bermotor yang disebut kelotok. Ada beberapa dermaga yang menjadi pangkalan kelotok yang bisa disewa untuk berkunjung ke pasar terapung. Alternatif ketiga adalah dengan mengkombinasikan kedua moda angkutan itu seperti yang aku jalani waktu itu.

IMG_LBM15

Jadi aku berangkat dengan mobil menuju daerah Banua Indah dimana terdapat Warung Soto Banjar bang Amat yang sudah melegenda itu. Di belakang warung soto tersebut terdapat sebuah dermaga kecil dimana aku menyewa kelotok dan berlayar menyusuri Sungai Martapura sampai ke Lok Baintan. Perjalanan menyusuri sungai merupakan perjalanan yang menarik juga karena di hari yang beranjak terang itu kita bisa mengamati aktifitas penduduk yang tinggal di pinggir sungai, mulai dari yang mandi, mencuci pakaian maupun perabotan, maupun yang mempersiapkan sampan untuk melakukan kegiatan harian mereka.

IMG_LBM14

Di Lok Baintan sendiri, pagi itu sudah cukup ramai meskipun aku mencapai tempat itu masih relatif pagi. Puluhan bahkan mungkin sampai berbilang ratus, jukung hilir mudik mengangkut berbagai barang hasil pertanian maupun perkebunan yang masih segar. Biasanya satu jukung hanya ditumpangi satu orang pedagang yang merangkap juga sebagai pendayung; dan hebatnya hampir semua pedagang itu adalah perempuan, beberapa bahkan tampak sudah berusia senja. Di samping mereka yang membawa sayur mayur dan buah-buahan, ada pula yang membawa berbagai keperluan rumah tangga sehingga seolah tampak seperti sebuah warung terapung. Ada pula yang berjualan ikan sungai segar dan juga makanan. Aku sempat melihat juga adanya sebuah perahu agak besar yang menjual beraneka jenis pakaian.

IMG_LBM10

Hal unik lain yang aku tangkap dari pasar terapung yang katanya sudah ada sejak jaman Kesultanan Banjar (sekitar abad ke XVI) ini adalah bahwa para pedagang tersebut ternyata juga bertransaksi di antara mereka sendiri, dan transaksi yang terjadi tidak mempergunakan uang melainkan mempergunakan sistem barter. Jadi mereka yang membutuhkan suatu komoditi akan mendekati pedagang lain yang menjual komoditi yang mereka perlukan, kemudian menukarnya dengan komoditi yang mereka bawa.

IMG_LBM12

Sungguh menarik memang pengalaman berkunjung ke pasar ini, tidak hanya karena bisa menikmati suasana pasar yang sudah menjadi ikon Propinsi Kalimatan Selatan ini, tetapi pengalaman mencoba beberapa jenis penganan lokal dan juga pengalaman berbelanja buah-buahan segar langsung dari para pedagang di atas perahu juga tidaklah bisa dilupakan.–

IMG_LBM13IMG_LBM16

Categories: Pictures of Life, Travel Pictures | Tags: , , , , | 71 Comments

Dawn on the river

“Hi Mr. Sun, good morning”, I said from the deck of a boat which I used to travel along a river.

And you know what? My greeting that very early morning made the sun blushed. His face, as well as the ray he emanated was reddish. Once again I beated the sun. I was already on my way to somewhere else when the sun rise 🙂

IMG_MRD01IMG_MRD02

Like I said before, that very early morning I was already on a small boat which brought me cruising a river in South Kalimantan, Indonesia. The river was called Martapura River because it flowed through a small town called Martapura to Banjarmasin, the capital of South Kalimantan Province. Martapura River was not a big river, it was only a tributary of the far bigger Barito River, and yet it had a significant role for the people who lived along the river as it became the main means of transportation that supports economic and social activities. It was also in the same river, traveler could find the famous floating river called Lok Baintan.

IMG_MRD03

At that time, as the sun got higher, I could see activities along the river were started to stir. Not only human who lived along the river that started their activities by taking a bath or washing their clothes from small piers in front of their houses, I also saw swallows flew ups and downs hunting for their preys. Ah . . . morning activities in rural areas always attracted people from urban areas 😛

IMG_MRD05

Anyway, for travelers who interested in cruising the river to visit the famous Lok Baintan Floating Market, they can hire the boat which functioned as river taxis from Banjarmasin. There were several piers where travelers could find the river taxis that gladly take any travelers as long as the price has already agreed 😀

Keterangan :

“Hai Matahari, selamat pagi”, demikian seruku dari geladak sebuah kelotok yang aku tumpangi pagi itu dalam perjalananku menyusuri sebuah sungai di daratan Kalimantan Selatan.

Seruanku pagi itu ternyata membuat Sang Matahari tersipu sehingga tidak hanya wajahnya saja yang memerah, melainkan sinar yang terpancarpun jadi bernuansa kemerahan. He he he . . . sekali lagi aku bangun lebih pagi dari Matahari. Ya pagi itu aku sudah rapi dan sudah di tengah perjalanan ketika Sang Surya baru bangun dari peraduannya 😛

IMG_MRD04

Pagi itu aku berangkat dari penginapanku sekitar jam 5 subuh, ketika langit masih gelap, menuju ke daerah Banua Anyar, dimana terdapat warung Soto Banjar yang terkenal, yaitu Soto Banjar Pak Amat. Bukan . . . bukan nguber mau sarapan soto pagi-pagi, melainkan aku akan menyewa kelotok atau kapal motor untuk menyusuri Sungai Martapura dan berkunjung ke Pasar Terapung di Lok Baintan.

Loh . . memangnya warung soto itu menyediakan kelotok?  😯

Sebetulnya bukan menyediakan kelotok sih, tetapi di dermaga yang terdapat di belakang warung soto itu banyak kelotok yang mangkal mencari penumpang. Dan kalau berangkat dari situ, lumayan bisa menghemat waktu perjalanan juga.

IMG_MRD06

Soal Sungai Martapura sendiri, sebetulnya bukan merupakan sungai yang besar, bahkan sungai ini sebetulnya hanyalah merupakan anak dari Sungai Barito yang merupakan sungai terbesar dan terpanjang di Kalimantan Selatan. Meskipun demikian, sungai yang memperoleh namanya karena berhulu di sekitar kota Martapura ini, memiliki peran yang penting juga; karena sungai ini merupakan sarana transportasi utama yang berperan besar dan mempengaruhi kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat setempat.

Anyway, pagi itu, dengan semakin tingginya matahari dan juga semakin terang dan kuatnya sinar yang dipancarkannya, kehidupan di tepian Sungai Martapura juga mulai menggeliat. Aku lihat di sepanjang aliran sungai penduduk mulai beraktifitas. Sebagian kulihat mandi di tepian sungai, sementara sebagian lagi mencuci pakaian di beranda rumah yang berbentuk mirip dermaga kecil. Tidak hanya manusia, kulihat di udara sekawanan burung layang-layang terbang dengan gesitnya memburu mangsa seolah kuatir kalau kesiangan mereka tidak bisa memperoleh sesuatu untuk dimakan hari itu. Ah . . . memang suasana yang jarang ditemukan di kota-kota besar demikian selalu menarik untuk diamati oleh mereka yang sehari-harinya hidup di kota-kota besar.

IMG_MRD10

Tertarik untuk mengalahkan matahari seperti aku? 😀 Kalau kebetulan berkunjung ke Kalimantan Selatan, para pelancong bisa menyewa kelotok di beberapa tempat di Banjarmasin; salah satunya ya di dermaga yang berada di belakang Warung Soto Banjar Pak Amat itu. Pokoknya, asal harganya cocok, para pengemudi kelotok itu akan dengan senang hati mengantar kemanapun yang dikehendaki penyewanya koq. O ya, jangan khawatir, subuh-subuh pun sudah banyak kelotok yang mangkal lho  😉

IMG_MRD11

Categories: Travel Pictures | Tags: , , , | 38 Comments

Bertaruh nyawa untuk suatu ketidak-pastian

Siang itu, sepintas aku lirik jam tanganku yang ternyata sudah menunjukkan jam 11.00. Matahari yang sebentar lagi berada tegak lurus di atas kepala terlihat sangat terik. Sinarnya yang panas langsung menghunjam bumi tanpa dihalangi oleh gumpalan awan yang aku lihat hanya bergerombol nun jauh di kaki langit, seolah takut akan kegarangan sang surya. Alat pendingin udara yang berada dalam kendaraan yang aku tumpangi dalam perjalanan dari Banjarmasin ke arah Martapura hanya sedikit mengusir rasa gerah. Kebayang bagaimana panasnya di luar sana. Pantas saja tidak banyak orang berlalu lalang aku lihat di sepanjang perjalananku itu, mungkin merekapun enggan tersengat panasnya sinar matahari yang terik.

Ketika aku sedang asyik memperhatikan keadaan di luar mobil yang seolah lari berkejaran ke arah yang berlawanan dengan arah laju kendaraanku itulah, tiba-tiba Pak Sopir membelokkan kendaraan ke arah kiri memasuki sebuah jalanan desa yang tidak beraspal. Ditelusurinya jalanan tanah yang cukup lebar itu selama beberapa saat, sampai tiba-tiba tanpa kusadari ternyata kendaraan yang aku tumpangi tersebut sudah berjalan menyusuri tepian sebuah kawasan terbuka yang cukup luas. Di kejauhan aku lihat ada beberapa bangunan berbentuk aneh. Dibilang aneh karena bangunan tersebut mirip seperti menara tetapi tidak terlampau tinggi juga, dan bentuknya juga tidak mengerucut ke atas layaknya menara pada umumnya.

IMG_CPK01

Sejurus Pak Sopir masih menjalankan kendaraan tersebut menyusuri tepian tanah lapang luas itu, dan ketika kendaraan mencapai halaman samping sebuah rumah sederhana yang di terasnya tampak sekelompok orang yang sedang bercakap-cakap, dihentikannya kendaraan di situ.

Ketika melihat kendaraan yang aku tumpangi berhenti, beberapa diantara orang-orang tersebut segera beranjak menghampiri. Dari dalam kendaraan kulihat orang-orang tersebut semuanya pria berkulit legam dengan sorot mata tajam. Kulihat pula tak ada senyum sedikitpun di wajah-wajah yang tampak keras itu. Sempat terbersit pikiran untuk segera meminta Pak Sopir untuk menjalankan kembali kendaraannya dan pergi meninggalkan tempat itu. Tetapi sebelum apa yang ada dalam pikiranku itu terlontar keluar, Pak Sopir sudah mendahului mengajak aku untuk turun dan menemui orang-orang tersebut. Melihat bahwa aku tidak punya pilihan lain, aku segera keluar dari kendaraan.

Ketika aku turun dan sedang berusaha menyesuaikan mata yang silau karena sinar matahari yang begitu terik, lelaki-lelaki berkulit gelap tersebut sudah tiba di depanku. Mereka berhenti beberapa langkah di depanku. Tidak kuduga, ternyata setelah aku memberanikan diri menyapa mereka, wajah-wajah yang semula kelihatan garang tersebut berubah menjadi ramah dengan senyum yang tersungging di bibir mereka. Baru kemudian aku tahu kalau orang-orang tersebut adalah para pendulang intan. Ya . . rupanya kendaraanku berhenti di Cempaka, tempat yang dikenal sebagai salah satu tempat pendulangan intan terbesar di Kalimantan Selatan.

Pak Sopir segera memperkenalkanku kepada orang-orang tersebut dan juga menerangkan tujuanku datang ke Cempaka.

Ketika mereka mengetahui maksud kedatanganku itu, yaitu untuk melihat bagaimana usaha para penambang itu dalam menemukan intan secara tradisional, salah seorang di antara mereka yang kelihatannya merupakan salah satu orang yng dituakan di situ segera maju menghampiriku, kemudian dengan ramah mengajakku menuju ke arah tengah tanah lapang luas itu, dimana terdapat bangunan serupa menara itu.

IMG_CPK02

Sepintas di kananku aku melihat sekelompok orang sedang menggali tanah dan menaikkannya ke sebuah truk, mengira kalau kegiatan tersebut adalah bagian dari kegiatan para penambang intan itu, aku mengarahkan kameraku untuk menangkap kegiatan tersebut, tetapi ternyata dugaanku salah karena orang yang mengantarku itu dengan tertawa berkata, “Wah yang itu gak usah difoto Pak, mereka bukan mencari intan tetapi memang mengangkut tanah untuk bahan bangunan. Yang mencari intan itu letaknya di depan sana, sebentar lagi juga Bapak akan melihatnya sendiri”

Ha ha ha . . . ternyata aku salah. Jadi malu juga . . :oops:, karena terlalu bersemangat dan juga malas bertanya akhirnya aku salah. Kalau cuma melihat kegiatan orang mengangkut pasir ngapain juga jauh-jauh aku datang ke Kalimantan Selatan ini kan ya? 😀

Akhirnya untuk menutupi rasa malu sekaligus juga untuk menggali sedikit informasi mengenai tempat tersebut, aku membarengi langkah orang tersebut yang langsung saja bercerita mengenai kehidupan para pencari intan di situ.

Diceritakannya bahwa di situ ada dua jenis penambang, yaitu penambang yang bekerja secara berkelompok dan penambang yang bekerja sendirian. Biasanya mereka yang berkelompok tersebut memiliki modal yang lebih besar dan dalam melakukan penambangan, mereka sudah mempergunakan mesin sederhana. Sebetulnya yang disebut mesin itupun hanyalah sebuah pompa yang bisa menyedot atau menyemprotkan air dengan deras, serta juga bisa mengalirkan udara ke dalam lubang-lubang galian. Bangunan-bangunan aneh serupa menara yang sempat aku lihat dari kejauhan, ternyata merupakan bagian dari perlengkapan para penambang yang bekerja berkelompok itu. Bangunan tersebut dipergunakan untuk menyaring dan memisahkan tanah dari material berharga lainnya dengan cara menyiramnya dengan air dari puncak bangunan tersebut.

Sementara itu, para penambang yang bekerja sendiri-sendiri biasanya mencari material berharga dari sisa-sisa buangan para penambang yang berkelompok tersebut, karena penyaringan dengan alat sering kali masih banyak meloloskan material berharga juga. Dengan mengambil material sisa buangan tersebut, para penambang individual tersebut tidak perlu bersusah payah turun ke lubang-lubang raksasa yang mereka sebut kawah untuk mencari material berharga tersebut. Dengan tidak turun ke dalam kawah, para penambang individual tersebut juga bisa terhindar dari terkena longsoran tepian kawah yang seringkali mengundang maut.

Mengundang maut? 😯 Ya, memang kedengarannya menyeramkan, tetapi itulah yang dihadapi para penambang di sana, khususnya mereka yang bekerja berkelompok. Jadi mereka bekerja dengan cara menggali tanah yang mereka perkirakan mengandung banyak batuan berharga, termasuk intan. Galian tersebut akan membentuk sebuah lubang raksasa, sehingga tidak salahlah kalau mereka menyebutnya sebagai “kawah”, karena memang menyerupai kawah gunung berapi bentuknya. Lubang-lubang yang sudah sangat dalam pada gilirannya mengharuskan para penambang untuk turun ke dasar kawah, baik untuk menggali di dinding kawah maupun untuk mengoperasikan mesin penyedot air kalau dasar kawah tergenang air.

IMG_CPK03

Nah . . mereka yang turun ke dasar kawah inilah yang menghadapi risiko terbesar, baik dari kematian yang diakibatkan oleh tipisnya kadar oksigen di dasar kawah maupun dari longsoran tebing kawah yang seringkali runtuh menimbun mereka. Dan jika sampai terjadi longsor, menurut informasi yang aku terima, biasanya sangat sulit untuk menyelamatkan para penambang yang tertimbun itu, karena tanah yang menimbun mereka bisa bermeter-meter tebalnya, disamping juga sangat sulit untuk menemukan dimana lokasi tepatnya orang-orang yang tertimbun longsoran dinding kawah itu.

Tetapi meskipun risikonya tinggi, para penambang itu seolah tidak mempedulikannya karena mereka juga masih dibayangi harapan tinggi bahwa mereka akan bisa kaya mendadak jika menemukan intan, apalagi intan dengan ukuran yang sangat besar seperti pernah terjadi pada tahun 1965, dimana ditemukan intan sebesar telur burung merpati.

Sementara itu, para penambang individual yang mengambil sisa-sisa buangan material akan mencari batu-batu berharga dengan cara meletakkan material sisa buangan mereka yang bekerja secara berkelompok tersebut sedikit demi sedikit di sebuah alat yang bentuknya mirip caping berwarna hitam, kemudian mereka akan mengayak material tersebut secara perlahan di dalam air dengan cara memutar caping itu sehingga lapisan tanah akan larut dalam air sementara batuan ataupun mineral lainnya yang lebih berat akan mengendap di dasar alat mereka itu. Alat semacam caping itu dikenal dengan nama “linggangan”. Sementara itu, para penambang tradisional dikenal dengan nama “pendulang” dan pekerjaan mereka mencari intan dan bahan berharga lainnya itu disebut “mendulang”.

Para pendulang tersebut bekerja dengan cara berendam di kolam ataupun kubangan air di bawah terik matahari. Dengan telaten diayaknya material-material berharga itu dengan tidak mempedulikan panasnya matahari yang menyengat sehingga tidaklah heran kalau kulit mereka menjadi legam terbakar matahari. Mereka juga tidak berputus asa meskipun bisa berhari-hari bahkan kadang berbulan-bulan belum menemukan intan sebutirpun. Ketika aku tanyakan, darimana mereka memperoleh penghasilan kalau sampai berbulan-bulan belum menemukan intan; aku memperoleh jawaban bahwa hasil pendulangan itu tidak hanya intan. Kadang mereka menemukan emas, batu-batu berharga seperti safir dan sejenisnya, dan kadang juga barang-barang peninggalan masa lampau. Ketika aku berada di sana, aku menyaksikan sendiri seorang pendulang menemukan beberapa keping uang logam kuno. Nah . . jika mereka belum menemukan intan, barang-barang temuan tersebut akan mereka jual. Hasilnya lumayan juga meskipun memang tidak sebesar kalau mereka menemukan intan.

Terus seperti apa bentuk intan yang belum di asah?

Mau tahu? Sepintas sih bentuk intan yang belum diasah tidak ada bedanya dengan batu atau pecahan kaca biasa saja. Kalau aku yang disuruh ikut mendulang di situ, mungkin ada intan sebesar kelerengpun akan aku buang karena aku kira cuma pecahan kaca biasa :P.

raw diamond  (intan mentah yang belum diasah)

raw diamonds  (intan mentah yang belum diasah)

Meskipun demikian, karena para pendulang tersebut sudah melakukan pekerjaannya selama bertahun-tahun, mereka secara sepintas saja sudah bisa membedakan mana yang intan, mana yang merupakan batu berharga, mana batuan yang mengandung emas atau logam lainnya, dan mana yang hanya batuan biasa yang layak dibuang.

Jadi ternyata intan yang baru di dapat dari hasil tambang itu betul-betul tidak ada indah-indahnya sama sekali. Baru ketika kemudian intan tersebut selesai di gosok, tampaklah keindahannya.

Kawasan pendulangan intan Cempaka terbuka untuk umum sehingga siapapun bisa datang dan menyaksikan kegiatan para pendulang untuk menemukan intan. Baik para pendulang yang bekerja secara berkelompok maupun yang bekerja secara perorangan. Bagi mereka yang berminat membeli intan mentah, mereka bisa juga langsung bertransaksi dengan para pendulang itu. Biasanya harga yang mereka minta tidak terlalu tinggi. Meskipun demikian, jika membeli intan dari mereka, pembeli tidak memiliki jaminan apakah intan yang mereka beli itu memiliki kualitas bagus atau jelek, maklumlah karena para pendulang tersebut tentu saja tidak bisa mengeluarkan sertifikat seperti jika seandainya kita membeli batu-batu berharga tersebut di toko khusus yang menjual intan ataupun batu-batu berharga lain yang banyak terdapat di Pasar Cahaya Bumi Selamat, Martapura.

Satu hal yang aku sayangkan ketika aku melihat langsung pendulangan intan di sana. Yaitu bahwa banyak sekali lubang-lubang bekas galian yang sudah tidak terpakai lagi. Ya lubang-lubang itu dibiarkan menganga. Beberapa memang dijadikan tempat pemeliharaan ikan, tetapi masih lebih banyak lagi yang ditinggalkan begitu saja. Ah sayang sekali . . .  😦

IMG_CPK08

Trus, susah apa gak sih kalau mau ke tempat pendulangan intan di Cempaka itu?

Sebetulnya gak susah sih, jaraknya cuma 47 kilometer dari Banjarmasin atau kira-kira satu jam berkendara. Hanya saja kalu mau ke sana, pelancong harus siap-siap untuk kepanasan karena di sana tidak ada tempat berteduh. Demikian juga kalau hujan para pelancong pasti akan basah kuyup. Tidak hanya tidak ada tempat berteduh, fasilitas penunjang seperti kamar kecil atau warung yang menjual minuman segar juga tidak terdapat di sana. Jadi . . . buat yang tertarik mau ke sana, siap-siap ya, bawa topi atau payung jika memang tidak tahan panas. Soal makan dan minum, setelah dari Cempaka, pelancong bisa bebas memilih berbagai rumah makan yang terdapat di Martapura, karena Cempaka hanya berjarak sekitar 7 kilometer dari Martapura.—

polished diamond (intan yang sudah diasah)

polished diamond  (intan yang sudah diasah)

Summary:

The post is about my trip to Cempaka, which known as a place where the locals did the panning for diamonds traditionally. The place was located about 47 kilometers from Banjarmasin, the capital city of South Kalimantan Province, Indonesia.

When I was there, I was told that there were two kind of panning activities although both were conducted traditionally. The first was peoples who did the panning in a group. They worked by digging a large hole on the ground and with a simple machine, they sucked the materials from the bottom of the hole to a wooden rig-like structure where they separated the dirt from any precarious materials. The dirt would be thrown aside and they only took precious stones, included raw diamonds.

While they worked at the bottom of the hole, they actually risked their own life since sometimes there were not enough oxygen when the hole was deep enough. Other than that, when they dig the wall of the hole, they risked their life for the land slide. It was already happened several times when some of the workers were buried alive by the land slide, and yet the disasters never stopped them to climb down the hole again after some time to look for precious stones, mainly the diamonds.

IMG_CPK09

Aside of the peoples who worked in group, there were also peoples who work individually. This kind of peoples usually took the materials from under the rig-like structures used by them who worked in a group. The materials were considered waste, so it was free for others outside the group to take. Even though considered as waste, for the people who worked individually, the materials were still quite precious as they could still get some precious stones, gold, some old artifacts such as old coins, and even diamonds. Usually this kind of people took the materials to a pond nearby, there they would stand in waist deep water, panning the materials on a plate-like tool made of wood which called “linggangan”. They moved the “linggangan” in the water in circle in order to separate the precious materials from the waste.

It was a tough life they did, as nobody knew when they would get a jackpot by finding a diamond. For their daily life, they also sold anything they found in their activity. There was a market not far from Cempaka called Cahaya Bumi Selamat Market, where they could sell any precious stones they found. Sometimes, there were also travelers who bought raw diamonds or any precious stones directly from them as a souvenir. Some of them also had small polished diamonds which they offered to travelers who visited the place.

For travellers who wanted to visit Cempaka and see directly how they worked, they should be prepared by bringing along a hat or an umbrella because there were neither shelters nor big trees that could be used to protect them from the sun. Anyway, it was still worth it to visit the place as travelers could see how hard to find a diamond before it came to the jewelery stores.–

IMG_CPK17

Categories: Travel Notes | Tags: , , , , | 34 Comments

Create a free website or blog at WordPress.com.