An unusual China-town in Bangka

Recently, when I visited Bangka Island, I’ve got an opportunity to visit a place which is considered as the oldest China-town on the island. Don’t think that the place is like any other China-town in any big cities which is always has many shops, restaurants, traditional medicine kiosks, and any other businesses run by the people who live in the area; not to say that people can easily recognize the place by the shape of the buildings and their decorations. The place I visited when in Bangka, on the contrary, was looked quite deserted. It was not a big area, but it was only a small village with many old wooden houses. Neither shops nor restaurants been seen in the village. The village main road was only a dirt road which I believe would turn muddy when it rained. The only sign which indicated that the village is a Chinese dwelling was the decorations and the altar which can easily been seen through open doors.

IMG_KGD01

The village is known as Kampung Gedong, and it is located not too far from Belinyu, a small city at the northern part of Bangka Island. The inhabitants are the descendants of many Chinese people who, in the colonial era, came from Guangdong Province, China. They came to be workers in many tin mines that spread almost everywhere on the island. At that time, the people from Guangdong were known to be mine experts. For the last several years, however, as the tin deposits rapidly decreased, many mines have been closed. The workers, who lived in Kampung Gedong, should turn to other businesses for their living. Many of them became traditional cracker makers, then.

IMG_KGD02

The crackers are made of fishes, squids, or shrimps, that can easily been found in Bangka. People calls such crackers as “kemplang“. In Kampung Gedong, “kemplang” are made manually, and producing “kemplang” become their family business.

When I visited Kampung Gedong, the village looked like a ghost town. Only a very few people been seen. Almost all of the houses kept their door closed. Not long before, the people of Kampung Gedong were quite nice and kind. They would kindly pleased any travelers who interested in their old wooden house to come to their house. Even they tended to invite travelers for a little chat in their simple house, told them about their ancestors and the history of the area. But that was only a nice story in the past. Nowadays, they are not easily allowing any travelers to come to their house. They even tend to shut their door closely. Their habit changed because some incidents happened when travelers showed no respects to the people of Kampung Gedong when they visited the area. Some threw wastes and trashes everywhere, even into the sewer, which in turn made the sewer clogged and made the house owner to repair it. As the people in there live a pretty simple life, the cost to make a reparation became an extra burden for them. And as the incidents happened quite often, the house owners decided not to allow any travelers to come to their house anymore 😦

Fortunately, there was a nice guy, who introduced himself as Akhiong, who happily invited my whole family to visit his house. He even showed us how his family producing “kemplang“. He took us to his kitchen and showed us how shrimp pasta being steamed before being processed further to be sliced and became “kemplang” chips. He also asked us to the back of his house where his family members busily sorting and cleaning fishes and shrimps which were the main ingredients to make “kemplang“. In other part of his house, several other family members and workers bringing the steamed pasta to be dried in the sun. Some others also controlling the dried chips which will be packed.

This slideshow requires JavaScript.

At the end of our visit at Mr. Akhiong’s house, I bought many kinds of “kemplang” produced by his family, both raw “kemplang” as well as ready to eat “kemplang”Β  πŸ™‚

Keterangan :

Ketika melakukan perjalanan di Pulau Bangka, aku dan keluargaku berkesempatan berkunjung ke suatu tempat yang bisa dikatakan sebagai Kawasan Pecinan tertua yang ada di Pulau Bangka. Meskipun demikian, yang aku temukan di Pulau Bangka ini tidaklah sama dengan Kawasan Pecinan lainnya. Kalau biasanya Kawasan Pecinan selalu ramai dan terdapat banyak toko, rumah makan, maupun toko obat tradisional, Kawasan Pecinan yang aku kunjungi ini keadaannya berbalik 180 derajat. Yang aku jumpai di sana adalah sebuah desa kecil yang sepi. Jalanan utama di desa itu masih berbentuk jalan tanah yang pasti akan menjadi becek berlumpur di musim penghujan. Di sisi jalan tersebut berderetlah rumah-rumah tua berbahan kayu, meskipun ada juga beberapa rumah baru dari tembok. Tapi jumlah rumah tembok itu bisa dihitung dengan jari tangan. Tidak nampak adanya toko ataupun rumah makan di desa tersebut. Yang mencolok justru adanya berbagai macam kerupuk mentah yang sedang di jemur di depan beberapa rumah tua tersebut. Tetapi, beberapa ornamen khas dan juga adanya altar untuk menghormati leluhur di dalam rumah-rumah tua tersebut cukup menjadi bukti bahwa penghuninya adalah orang-orang keturunan China.

Desa yang merupakan Kawasan Pecinan tertua di Pulau Bangka ini dikenal dengan sebutan Kampung Gedong. Penghuni desa tersebut merupakan keturunan ke sekian dari orang-orang China yang didatangkan dari Propinsi Guangdong, China, oleh pemerintah kolonial Belanda untuk dipekerjakan di tambang-tambang timah yang ada di sana. Demikianlah secara turun temurun mereka menjadi pekerja di beberapa lokasi pertambangan sampai sekarang. Tetapi dengan semakin sedikitnya kandungan timah yang bisa ditambang sehingga banyak tambang yang ditutup, orang-orang tersebut mau tidak mau harus beralih profesi untuk bertahan hidup. Sebagian dari mereka menjadi perajin kerupuk khas Bangka yang dikenal dengan nama kemplang.

Kampung Gedong sebenarnya cukup unik dan menarik. Penduduknyapun cukup ramah kepada pelancong yang berkunjung ke desa mereka, apalagi Kampung Gedong sudah ditetapkan sebagai desa wisata. Tetapi itu dahulu. Sekarang kondisinya berbeda. Setiap ada orang asing yang masuk ke Kampung Gedong akan disambut dengan tatapan yang kurang ramah dari beberapa orang yang kebetulan sedang beraktifitas di luar rumah. Menurut cerita yang aku dengar, perubahan sikap penduduk Kampung Gedong disebabkan oleh adanya beberapa kejadian yang tidak mengenakkan gara-gara adanya pelancong yang bersikap arogan dan cenderung seenaknya selama melakukan kunjungan ke sana. Mereka membuang sampah sembarangan, bahkan banyak juga yang membuang sampah ke saluran wc sehingga menyebabkan wc tersebut mampet. Kalau sudah mampet begitu, mau tidak mau pemilik rumah pasti harus melakukan perbaikan. Nah . . bagi penduduk Kampung Gedong yang hidup sederhana, biaya untuk melakukan perbaikan tentulah merupakan tambahan beban yang harus dipikul mereka. Kemudian karena kejadian tersebut berulang terus, akhirnya mereka memutuskan untuk tidak memperkenankan pelancong untuk memasuki rumah mereka lagi. Sayang juga ya kalau sudah terjadi begini. Gara-gara ulah segelintir orang, akibatnya banyak orang yang dirugikan  😦

Akhiong

Akhiong

Untung saja di sana aku dan keluargaku masih bisa menjumpai adanya wajah-wajah ramah di salah satu rumah kayu yang di depannya banyak kerupuk mentah yang sedang dijemur, bahkan ada juga bahan kerupuk yang masih berbentuk seperti dodol yang dijemur di situ. Akhiong . . demikian bapak yang ramah ini memperkenalkan diri, dan ternyata Pak Akhiong ini merupakan salah satu perajin kemplang yang terbilang cukup sukses di antara perajin kemplang lainnya di situ.

Ketika mengetahui maksud kedatanganku yang ingin tahu cara-cara pembuatan kemplang di situ, Pak Akhiong segera mengajak aku dan keluargaku masuk dapurnya, dimana saat itu sebuah kukusan yang cukup besar sedang dipergunakan untuk mengukus adonan yang nantinya akan dijadikan kemplang. Tidak lama kemudian kukusan tersebut dibuka, rupanya adonan tersebut sekarang sudah matang dan berbentuk seperti dodol. Ya dodol rasa udang, rasa ikan dan juga rasa cumi πŸ˜›. Pak Akhiong kemudian mengerat sepotong dodol berwarna kuning kemerahan yang menunjukkan bahwa itu nantinya akan diproses lebih lanjut jadi kerupuk udang. Menurut Pak Akhiong, apa yang aku sebut dodol itu, di sana dikenal dengan nama pempek. Keratan pempek tersebut kemudian ditawarkannya kepadaku dan keluargaku yang menolaknya dengan halus. Maklum di kepalaku maupun keluargaku, masa barang mentah gitu dimakan. Mendapati kalau aku dan keluargaku menolak, Pak Akhiong dengan tertawa lebar memasukkan keratan pempek udang itu kemulutnya sendiri, kemudian mengunyahnya dengan nikmat. Setelah memberikan contoh, Pak Akhiong kembali mengerat pempek udang itu dan lagi-lagi menawarkan kepadaku untuk mencobanya. Karena sudah melihat Pak Akhiong memakannya, akupun merasa tidak enak hati kalau harus menolaknya lagi, sehingga dengan ragu aku menggigit sepotong kecil ‘dodol’ udang atau pempek itu; dan . . . ternyata rasanya enak loh sodara-sodara πŸ˜€Β  Aku membayangkan, pastilah sedap juga kalau memakan pempek udang itu dengan nasi hangat. Wadooh, sampai sekarang kalau membayangkannya tetap saja bikin lapar. Sayang pempek yang menyerupai dodol itu tidak tahan lama, sehingga aku mengurungkan niatku untuk membeli satu lonjor dan membawanya pulang ke Jakarta. Tapi meskipun tidak jadi membelinya, aku dan keluarga tetap tidak bisa menahan diri memborong aneka jenis dan rasa kemplang produksi keluarga Pak Akhiong itu 😳

Categories: Pictures of Life, Travel Pictures | Tags: , , , | 83 Comments

Post navigation

83 thoughts on “An unusual China-town in Bangka

  1. RMW

    Sad that a few disrespectful travelers made the villagers distrustful of everybody else… when tourists behave like that they also show they have no respect for themselves. And my mouth is watering for a kemplang chip!

    • I agree with you, Roslyn. Sadly, such travelers still exist everywhere 😦
      As for the kemplang, some day when you visit Bangka, you have to try to have some πŸ™‚

  2. Bangka banyak juga industri ukm yang berbasis potensi daerah ya Mas. Foto2nya seperti biasa membawa pesan dan menegaskan kembali isi tulisan. Keren, Mas..

    • Terimakasih, Mbak. Setahu aku di Bangka memang ada banyak industri UKM yang seperti itu. Yang sempat aku kunjungi dalam perjalanan kemarin baru industri krupuk kemplang ini dan juga industri kerajinan renda.

  3. sayang sekali ya Pak… gara-gara ulah seseorang yang tidak bertanggungjawab mengakibatkan ketidaknyamanan penduduk ya Pak

    Eh..saya juga jadi pengen nyobain tuh dodol udangnya he he

    • Ya itulah Mbak yang bikin jengkel. Sebetulnya yang merasa tidak nyaman bukan hanya penduduk, tetapi pelancong-pelancong lain juga jadi kena getahnya juga 😦
      Nah kalau mau coba dodol udangnya, rasanya harus ke sana deh, Mbak. Kalau gak salah dengar, mereka menyebut dodol udang itu dengan sebutan pempek. Makanya waktu itu aku sempat bingung juga waktu ditawarin untuk coba pempek sementara aku lihat keluarga Akhiong gak memproduksi pempek. Tahunya yang disodorin ya yang aku sebut dodol udang itu

  4. Thanks for the interesting pics of how these crackers are made. They look very tasty, and I’m sure I remember my grandma sending a food parcel over from Indonesia which included some of these. It was long ago, but I know my dad was so excited to get some Indonesian delicacies. πŸ™‚

  5. Chris, itu foto no.2 yg dijemur hanya kerupuk? ada ikan asinnya ga? hehe pengen borong deh klo ke Bangka πŸ˜€ Ha dodol udang?? bagaimana rasanya?, kalau ikan asin ya enak sih πŸ˜‰ .

    • Iya Mbak, cuma kerupuk karena mereka gak produksi ikan asin. Itu yang putih kerupuk ikan, yang orange kerupuk udang dan yang kemerahan itu kerupuk cumi. Soal ngeborong, waktu itu aku juga ngeborong kerupuk lumayan banyak jadinya, baik yang mentah maupun yang sudah matang. He he he . . . lumayan buat persediaan kalau lagi malas masak, Mbak πŸ˜€

      • Hahaha saya kalau goreng kerupuk kadang langsung banyak niatnya buat stok, ternyata tetap aja cepat habis ga jadi stok πŸ˜€ .

      • Nah aku juga punya kebiasaan jelek yang sama, Mbak. Tapi kalau aku yang begitu itu kalau goreng emping. Rencana buat sebulan atau lebih, biasanya dalam beberapa hari sudah habis, apalagi kalau gorengnya di akhir pekan, bisa-bisa pagi ini goreng, besok sore sudah habis πŸ˜€

  6. bener2 surga kerupuk mas, mau bangeeed.

    btw rasa dodolnya sama dgn rasa kerupuknya gak tuh mas?

    salam
    /kayka

    • Iya betul, Mbak. Surga kerupuk, he he he . . . Soal rasa yang aku sebut dodol udang itu, mirip sih sama kerupuknya. Cuma bedanya kalau kerupuk itu crunchy kalau yang dodol agak-agak liat gitu, dan rasa udangnya jauh lebih kuat di dodol itu

  7. Never been to Bangka before. Hopefully someday will ^_^
    Btw how are youuuu? Long time I haven’t dropped by here πŸ˜€

    • I’m sure you’ll be in Bangka someday, Mbak.
      By the way, I’m ok, thanks. How about you? Beberapa waktu lalu beberapa kali aku sempat mampir di tempat Mbak Eka koq belum ada up-date, eh terakhir ke sana ternyata banyak postingan baru sampai belum sempat kebaca semua πŸ˜‰ Tapi nanti pasti bisalah kebaca semua.

  8. Seru ya kalau jalan-jalan ke perkampungan atau pedesaan. Yuk! Perkampungan di kebun teh ciwidey:d

  9. Oh, that kemplang must be so delicious!! Such a shame about travellers visiting and being so disrespectful!! I never understand how people can behave in such a way in other people’s homes. I’m sure they don’t throw things around their own houses…or maybe they do? 😦

    • If you like sea-food, then I’m sure you’ll like kemplang πŸ™‚
      About travelers that not behave properly, I often find such travelers everywhere. And if we remind them about their bad habit, they tend to be angry. I never understand also how they behave like that because some of them are well educated people 😦

  10. Human Interest-nya sangat kuat…. dengan sentuhan warna-warna tegas dan cerita yang lugas…
    saya suka Om..

  11. Apa kabr mas Kris, bawa oleh-oleh terasi / kerupuk gak dari bangka?
    πŸ™‚
    mei

    • Hi Mbak Mei, kabarku baik, terimakasih. Mbak Mei sendiri apa kabar? Sudah mulai aktif lagikah?
      He he he . . . iya, Mbak. Kalau kesana, kerupuk dan terasi rasanya wajib dijadiin buah tangan πŸ˜€

  12. mas Chris, liat rumah2 itu aku pengen nyolong daun2 pintu dan jendelanya hehehe

    • Wah suka ya Mbak dengan pintu dan jendela model gitu? Memang keren sih ya? Aku pas renovasi rumah juga pernah sampai kluyuran di beberapa Pecinan buat cari daun pintu atau jendela model gitu, cuma karena mahal akhirnya cuma niru bentuknya πŸ˜›

      • suka banget mas Chris πŸ™‚ pengennya kalo punya duit dan rejeki pengen bikin rumah panggung ala melayu gitu sih πŸ™‚

      • Iya sih, apalagi kalau rumahnya di tengah kebon, Mbak. Sekarang juga sudah banyak yang jual rumah panggung knock down kan ya Mbak. Cuma memang harganya juga gak kira-kira mahalnya. Gak kalah sama rumah tembok

      • mahal banget emang knock down itu ya mas. kemaren temen si matt mau pesan dari Menado apa mana gitu buat dibikin di farm-nya di Kanada tapi ongkirnya gila2an jadi batal deh hahaha. cuman dia masih penasaran sih, aku gak tau bakalan jadi beli apa gak dia.

        di bukit lawang ada rumah kayak gitu mas, di tengah2 kebun karet menuju ke hutan lindung, yang punya orang prancis super tajir (dia punya museum di prancis sono)

      • Iya harga rumah kayu sekarang gak kira-kira. Terakhir aku pas ke Kudus juga naksir rumah kayu Kudus, pas nanya harganya aku sampai kaget dengarnya. Gak beda jauh kalau bikin rumah batu dengan ukuran yang hampir sama.
        Punya rumah kayu di tengah kebon itu salah satu cita-citaku juga, cuma ya itu . . . gak tahu bisa terlaksana apa gak karena semuanya serba mahal. Memang harus jadi orang tajir dulu baru bisa mungkin ya, he he he . . . πŸ˜€

      • semoga kesampean yaa mas. beli kebunnya aja dulu hehe, entar buat sendiri πŸ™‚
        harga kayu soalnya mahal juga sih dan hati2 juga beli kayunya, salah2 dari hutan lindung.
        sampe harga berapaan mas?

      • Amin. Beli kebon juga mahal sekarang, kecuali kalau mau yang di daerah terpencil. Cuma kalau di daerah terpencil gitu yang ada nengoknya pasti jarang-jarang karena untuk sehari-hari pasti aku tetap tinggal di kotalah mengingat masih tetap harus cari duit πŸ˜€
        Yang rumah Kudus itu waktu aku tanya sekitar dua tahun lalu per meter jatuhnya sekitar 1.25 – 1.50 juta. Gak tahu sekarang

      • ya ampunnnn mahalnya 😦 pengen punya kebon didaerah mana mas?

      • Yang lalu sih sempat naksir di sekitar Jakarta juga, cuma akhirnya batal. Belum jodohnya mungkin πŸ˜›

  13. dodol udangnya gak bau amis om?

    btw, masih ngiler sama kemplangnya..hehe

    • Ada sih bau amisnya, tapi menurut aku amisnya masih kalah dibandingkan amisnya kemplang bakar
      *ih itu ilernya dilap ah, malu dong masa masih ileran* πŸ˜†

      • tapi kan klo krupuk digoreng, klo dodol kaya gimanaaaa gitu…hehehe *ngotot*

      • Memang kalau dibanding sama kemplang yang digoreng sih beda, Mbak, karena kalau yang digoreng amisnya relatif hampir hilang. Nah kalau kemplang yang dibakar itu amisnya masih terasa

      • nah..untungnya gak pernah makan yg kemplang bakar..
        rasanya kaya cireng gitu apa ya om?

      • Nah sekali-kali coba deh makan kemplang bakar. Rasanya sih samalah sama yang digoreng, cuma kata aku amisnya lebih terasa. Eh tapi kalau yang banyak di jual di Jawa kayanya banyakan acinya dibanding ikannya, sehingga amisnya juga gak terlalu terasa seperti yang Bangka punya. Anyway, kemplang bakar lebih sehat dari kemplang goreng lho

  14. Really great images Chris. I always learn so much from your posts. Thank you!! Blessings, Robyn

  15. Ah..kemplang..dodol…karak..mendoan.. rengginang.. marai pengen mulih T T

  16. Penghargaan kelg Pak Krish atas tempat wisata yang dikunjungi selalu terasa melalui sajian foto dan narasi tak heran kelg Akhiong menerima dengan hangat. Untuk display penjualan langsung dipasarkah Pak?
    Salam

    • Penjualan dilakukan melalui toko-toko yang secara rutin mengambil langsung ke rumah Pak Akhiong, termasuk juga ada yang dipasarkan ke Pulau Jawa juga. Kalau suatu ketika kebetulan Bu Prih menemukan kerupuk Bangka dengan merk HK, nah itu berarti produksi keluarganya Pak Akhiong

  17. ini yang bikin ga enak memang hanya karna segelintir orang yang berbuat tak baik yang lain yang lainnya yang kena, ibarat makan nangka yang makan nangkanya siapa yang kena getahnya siapa 😦

    kaaan..kaan.. kaan. om crish gituh ga mau bagi bagi wong borong kemplang dan krupuk udang gituh loh πŸ˜›

    baru tau aku caranya buatnya,dan emang krupuk kemplang bangka itu paling enak mantab tenan om πŸ™‚

    • Iya itulah yang masih sering terjadi, Mbak. Dan yang juga menyedihkan adalah yang berbuatpun tidak merasa kalau dia melakukan kesalahan 😦

      Itu kemplang trus mbaginya gimana, wong alamat ya gak ada πŸ˜›

      Setuju, karena kemplang Bangka unsur ikannya masih dominan πŸ™‚

  18. kerupuk di Bangka namanya kemplang, di Balikpapan namanya amplang.. mirip ya, om πŸ˜€

  19. essai foto mas chris tetap oke aja πŸ™‚
    sudah lama tak bersua ke rumah kata dan foto ini
    dodol kerupuk tuh, sama kayak bahan seblak basah kalo di jawabarat ya… pak Akhiong itu jual dodolnya atau kerupuknya aja mas? πŸ˜€

    • Terimakasih sudah sempat mampir lagi πŸ™‚
      Nah yang seblak ini malah aku belum tahu. Sebetulnya istilah dodol yang dibuat Pak Akhiong itu cuma istilahku, orang-orang disana menyebutnya dengan nama pempek. Nah berhubung pempek udang itu merupakan “calon” kerupuk, maka Pak Akhiong tidak menjualnya. Hanya saja kalau ada yang tertarik membelinya, aku rasa Pak Akhiong juga tidak berkeberatan menjualnya πŸ™‚

      • kalo disini (bandung, dan daerah sekitarnya) calon kerupuk itu bisa diolah menjadi bahan makanan yang lain. namanya seblak mas, rasanya sangat pedas mas, nanti saya coba post deh tentang seblak..hihi
        kalo diberi kesempatan sama Tuhan ke tempat pak Akhiong, nanti saya coba membeli calon kerupuknya deh mas hihi πŸ˜€

      • Sip, ditunggu postingan tentang seblaknya. Penasaran juga aku jadinya karena sering bolak balik Bandung tapi baru tahu ada makanan yang namanya seblak ini πŸ™‚

  20. pengen cobain dodol udang.. biasanya kalo ada temen ke Bangka nitip kerupuk cumi

    • Iya selama ini memang Bangka terkenalnya cuma kerupuknya, ternyata bahan kerupuknya juga enak. Cuma ya itu, sayang gak tahan lama

      • diela

        biasanya kalau buat oleh2 dibawa pulang disini pempeknya dilumuri tepung sagu sama dibungkus daun pisang,,,kebetulan paman sering bawa sebagai oleh2,kalau dari bangka pulang ke jakarta atau jawa masih awet lah,,, nanti kalau pas mau dimakan,,, di cuci bersih, pempeknya bisa digoreng ,,, atau dikukus bentar,,,
        dirumah kalau pas buat pempek bisa tahan 1 minggu ( kadang ga nyampe 1 hari juga udah habis hehe ) ,,, disimpan dalam wadah kedap udara,,, memang ga sekenyal waktu baru matang,,, cuma bisa kok di kukus atau digoreng
        dibangka oleh2 nya ada kemplang, kericu, getas,,, rusip ,,,

  21. I love their hard work ethic and also humble way of life…
    nothing better than bangka’s prawn cracker,
    my mom used to serve this authentic ‘imported’ cracker in a family gathering and usually all the guess asked where was the cracker comes from.???
    bangka indeed!

  22. Seru bangets bisa menguak, atau mengangkat sesuatu yang tersembunyi gini…..amazing!! πŸ˜†

  23. jayavo

    Bangka memang asik

  24. Hi Chris, thanks indeed for your visit and kindly engagement with local, the nice article and beautiful pictures of Kampung Gedong. I was growing up at this unusual China town, to be precise at Kampung Lumut, the village you just passed before arriving to the Kampung Gedong. I make a guess you might have been stopping by at the the village for enjoying some local noodle or es kacang. I hope you do not mind, I share your article in our Facebook page wall.

    You have made a couple of valid points about the disrespectful behaviour of some tourists. Thanks for conveying the messages. There might be some impression to the tourists that our fellow villagers are living a kind of ‘poor/primitive’ life. Some families might experience some financial hardship as no much earning for living at the village, but most are happy living their way of life. Luckily, despite of living oversees, I still manage to ‘go home’ once a year. Cheers, Lim

    • Hi Lim,
      Glad to know you πŸ™‚
      I really don’t mind if you want to share my article in your facebook wall. Please do.
      Great to know that you still manage to go home to your home town at least once a year.
      I might be in Bangka for the 2016 solar eclipse, if you happen to go home at that time, perhaps we can meet for a small chat over a cup of coffee πŸ˜€

      • Is it 9 March 2016? Unfortunately, I will not be there. Instead, I will be back on early of April. Enjoy your stay and the solar eclipse. If you happen to visit Western Australia in the near future, please let me know. We should catch up each other for a chat over a cup of coffee :-). I if you do not mind, i would like to invite you in my FB.

      • No, I don’t mind at all if you invite me in your FB
        And I sure will let you know if I happen to visit Western Australia. Glad to know that I have a friend living in there πŸ™‚

  25. popo

    Itu namanya bukan dodol udang mbak.. Tpi pempek udang, bhan yg sma dengan kemplang,cma bdanya kemplang harus di proses lagi.. Dari pempek udang di potong tipis”.. Di jemurin smpai kering trus di goreng n jadi kemplang udang

  26. If you would like to visit that place, you could contact me / Garnet Tour. I could arrange the best pricing to visit there and some other places such as Belitong, Derawan, Ambon – Ora Beach, Raja Ampat and you could compare with other travel agencies. The best pricing and a good services. Visit our website http://www.garnettravels.com or facebook : Garnet Tour

  27. Yuliani Chin

    Proud to see my uncle mentioned in here. Good blog! Haha

Leave a reply to RMW Cancel reply

Blog at WordPress.com.