A love sign on the beach

Rote was the name of a small island in East Nusa Tenggara Province, Indonesia. Geographically, Rote could be considered as the southernmost inhabited island in Indonesia. Many people called the small island a hidden paradise because of many beautiful places that scattered on the entire island. But I don’t want to talk too much about the island this time, let’s explore those beautiful places, instead; and for now, I will bring you to a beach called Oesosole.

To reach Oesosole from Baa, the main city in Rote, travelers would need quite a long time as the beach was the easternmost beach in Rote while Baa was on the west side of the island. The road heading to the beach was not in a good condition, at least that was what I found when I was there, but the long road trip on a relatively rough road would be paid off when we reached the beach.

Once you had reached the beach, you would find a deserted and quiet beach, which would make you felt you were in a private beach.

The sand along the shore was white and soft, there were also some pine trees grew on the shore and made the beach area was not looked so barren. The sea water was crystal clear with friendly waves. Off the shore was some corral rocks jutted out from the shallow water.

The icon of the beach, however, was stood alone majestically on the shore. A big corral rock that looked like a stone heart sat on top of a rocky stilt. Well . . . well . . . it seemed that Mother Nature was really fallen in love with this island so she left a sign on the beach. The heart shape rock was so big that travelers could notice it from afar.

The stone shape rock would appear so differently when travelers looked from the other side. It was more like a giant fish tail than a heart. A whale tails perhaps . . .

But it was a heart or a giant fish tail would not be a matter. With both shapes, the beach would still pretty. Don’t you agree with me?

Oesosole Beach was still an undeveloped beach. There were no stalls that sold snacks, foods nor refreshments. So just bring foods if travelers planned to stay quite long on the beach, but let only nature waste on the shore and keep your own trash with you. Don’t spoil the beach area 😉

Keterangan :

Pulau Rote merupakan salah satu pulau yang terletak di Kepulauan Nusa Tenggara. Lebih tepatnya, pulau ini secara adminsitratif masuk dalam Propinsi Nusa Tenggara Timur. Pulau Rote bisa dikatakan sebagai pulau berpenduduk yang letaknya paling selatan, karena itulah suhu udara di Pulau Rote sedikit banyak juga terpengaruh dengan musim yang sedang berlangsung di Benua Australia; misal saja ketika Australia sedang mengalami musim dingin, maka suhu di Pulau Rote juga akan terasa sejuk bahkan cenderung dingin.

Tapi . . . daripada kita bicarakan mengenai segala sesuatu yang terkait dengan Pulau Rote yang bisa jadi akan membuat tulisan ini panjang dan membosankan, lebih baik kalau kita bicara mengenai tempat-tempat indah yang banyak terdapat di pulau ini saja. Setuju kan?

Banyak pantai indah dan masih perawan di Pulau Rote yang perlu disambangi dan dijlajahi. Kita mulai saja dari Pantai Oesosole yang terletak di Desa Faifua, Kecamatan Rote Timur. Boleh di bilang pantai ini terletak di ujung timur Pulau Rote, karena itulah untuk menuju ke pantai ini dari Baa yang merupakan satu-satunya kota di Rote, dibutuhkan waktu yang lumayan lama karena Baa terletak di ujung barat utara pulau. Ketika aku ke sana, nggak semua ruas jalan yang aku lalui sudah teraspal mulus, beberapa bagian masih berupa jalan berbatu yang cukup membuat aku terguncang-guncang dalam kendaraan, bahkan beberapa kali kepalaku sampai terantuk; mungkin lain kali kalau ke sana lagi dengan kondisi jalan yang masih seperti itu, aku perlu memakai helm :p

Tapi perjalanan yang lumayan butuh perjuangan itu akan terbayar lunas koq, bahkan beserta bunganya karena ketika kita mencapai tepi pantai, kita akan disuguhi pemandangan yang luar biasa. Bagaimana tidak, hamparan pasir putih yang cukup luas di sebuah pantai yang relatif sepi sehingga siapapun akan merasa seolah berada di pantai pribadi di sana.

Air lautnya pun cukup jernih dengan ombak yang tidak terlalu besar, sehingga cukup aman bagi pelancong yang ingin bermain-main air di sana. Deretan pohon pinus dan beberapa tumbuhan pantai membuat kawasan pantai tidak tampak terlalu gersang. Tidak jauh dari bibir pantai, tampak beberapa gugusan karang yang menyembul ke permukaan air laut dengan bentuknya yang unik akibat kikisan gelombang yang terus menerus.

Pantai Oesosole bisa dibilang masih perawan, masih belum banyak pelancong yang bertandang ke sana untuk mengagumi keindahannya, karena itulah kawasan pantainya masih bersih dari sampah dan limbah buatan meskipun tidak ada penjaga ataupun petugas kebersihan yang tampak di sana. Tidak tampak adanya sampah plastik dan kemasan yang biasanya banyak mengotori kawasan pantai. Kalaupun ada sampah, yang ada hanyalah sampah alam berupa ganggang ataupun daun kering yang terbawa arus laut dan terdampar di pantai itu.

Dan . . . . . di tepi pantai itulah kita bisa melihat sebuah mahakarya yang unik sekaligus indah sebagai perlambang cinta, sebuah hasil pahatan Sang Seniman Agung melalui gempuran ombak dan hembusan angin berbilang tahun membuat sebuah bongkahan batu karang raksasa berubah menjadi berbentuk hati yang diletakkan di atas semacam tiang. Mungkin ini juga pesan yang ingin disampaikan oleh Sang Pencipta kepada kita umatnya, tempatkanlah cinta di tempat yang utama sehingga dunia terasa lebih indah.

Bentuk hati tersebut terlihat sempurna jika kita melihatnya dari arah utara, sedangkan jika kita mau berjalan ke sebaliknya, maka yang tampak adalah bentuk yang sama sekali berbeda. Menurut aku, dari arah selatan, bongkahan karang itu lebih mirip ekor ikan yang mencuat ke atas sementara badan ikannya berada di dalam pasir. Bagaimana menurut pendapat teman-teman . . ?

Tapi apakah bentuk hati yang tampak atau bentuk ekor ikan, rasanya tetap saja tidak mempengaruhi keindahan kawasan Pantai Oesosole ini secara keseluruhan. Setuju kan?

O ya, karena kawasan pantai ini belum dikembangkan dan juga masih apa adanya, para pelancong jangan berharap akan menemui warung ataupun orang-orang yang menjajakan makanan ringan ataupun minuman penawar dahaga. Jadi, sebaiknya pelancong mempersiapkan bekal terlebih dahulu sebelum berkunjung ke Oesosole.

Kawasan pantai ini juga relatif tidak terletak di jalan utama, jadi juga belum ada transportasi umum yang lewat dan bisa mengantarkan pelancong yang ingin berwisata ke sana. Biasanya para pelancong menyewa kendaraan dari Baa.

O ya, supaya keasriannya tetap lestari, yuk kita jaga kebersihan kawasan pantainya dengan cara nggak sembarangan membuang bungkus bekas bekal kita di sana. Ingat alam harus juga kita jaga kebersihannya, alam bukanlah tempat sampah raksasa. Jadi . . . biasakan juga untuk membawa kembali sampah-sampah kita untuk dibuang di tempat yang seharusnya ya . . . ;)

Categories: My Pictures, Travel Pictures | Tags: , , , , , , | 8 Comments

A mountain with three changing colors crater-lakes

Kelimutu was the name of an active volcano located in Flores, Indonesia. It was not considered as a very high mountain as it height was only 1,690 meters above sea level.

So . . . what so special about Kelimutu then?

Well . . . Kelimutu was said to be unique because it had three crater lakes which constantly changed their colors depended on the minerals composition change in the lake water triggered by the mountain volcanic activity, the quantity of the water microorganisms and also on the discoloration by the sunlight which included the reflection from the base and the surrounding walls of each lakes.

And as their colors change happened naturally, up till now the time of their color change was still unpredictable. Sometimes it changed quite often, while on any other time the lakes color were not change for a long time. In 2016, for instance, the colors of the crater lakes were changed 6 times, which was considered quite often for a certain period.

To see the three crater lakes, travelers should climb up to the summit. Don’t worry; the trek was not too hard since the local government had already built a climbing path through a forest on the mountain slope, there even a stone stairway close to the top to make it easier to reach the summit.

At the summit, there was a stone platform with a monument as a mark.

Usually, travelers would start their climb quite early in the morning in order to get the sunrise from the mountain top. For that, many travelers preferred to spend the night before the climb in Moni, a small town located about 13 kilometers from the car park which was usually being the starting point to start the climb, too.

But nature had its own rule. When I was there, instead of a bright and beautiful sunrise, what I found was thick cloud hung quite low and made it impossible to watch the sunrise.

But the attraction that could be enjoyed from the summit was not only the sunrise; the beautiful scenery with layers of mountains and the sight of the three crater lakes were enough to make many people dumbstruck and reluctant to go down from the summit.

Kelimutu was not a mere tourist destination; for the Lio tribe who lived there, Kelimutu was considered a sacred mountain. They believed that the mountain, especially the three crater lakes were the eternal resting place where all souls would return after their journey of life had ended.

According to them, when somebody died, his or her soul would come to Kelimutu and met Konde Ratu the gate keeper, who then sorted the souls depended on their deeds when they were still living humans. For them who were good and died at old age, they would be placed in the Lake of Old People or Tiwu Ata Mbupu to live in eternal peace and happiness. The lake location was separated from the other two lakes. When I was there, the lake’s color was dark green. According to the records, in between 1915 to 2011, Tiwu Ata Mbupu had changed its color 16 times. Once it reported to have dark brown, greenish brown even white color, but usually it had blue color.

The closest lake to the summit was the deepest as well as the largest lake known as Tiwu Koo Fai Nuwa Muri or The Lake of Young Men and Maidens. It has a soothing light green color. The Lio believed that the lake was the eternal resting place for they who died at young age. In the same period, the lake changed its color more often than Tiwu Ata Mbupu. It was said that it had already changed its color 25 times; but most of the times it retain its light green color although it was reported that once it had greenish white color.

The third lake was seen from the summit as if peeking from behind Tiwu Koo Fai Nuwa Muri; although for them who want to have a closer look could come to a specific spot on the crater-lake’s rim which located below the summit. The third lake was known as Tiwu Ata Polo or the Enchanted Lake of Evil Spirits. Tiwu Ata Polo was usually had red color, but when I was there it had green color that resembled the color of Tiwu Koo Fai Nuwa Muri. Tiwu Ata Polo was the smallest among the third lake, and it was believed that the lake was the resided place for the soul of people who did evil deed and practicing black magic when they were still living humans. Although the smallest in size, but Tiwu Ata Polo change its color most often compared to the other two.

Up till now, the Lio Tribe members still conducted a ritual called Pati Ka Du’a Bapu Ata Mata which was held in an area close to the three lakes. At that time the tribe elders which known as the Mosalaki, would come together bringing offerings to the deceased who reside in the three lakes. Together they chanted prayers, praises and traditional song accompanied by traditional dances. The ritual usually held annually in mid August.

And at last . . . when the sun had already risen and the temperature became warmer, usually travelers started to go down from the summit. At the same time, the true inhabitant of Kelimutu came into sight. Some of them stood on the side of the climbing path hoping to get food from travelers, while others just staring from afar. Some of them were running along the lake wall with agility. Yes the true inhabitant of the forest of Kelimutu that also often roaming to the summit were monkeys . . .

So . . . interested in visiting the three lakes that naturally could change their colors?

Keterangan :

Kelimutu, sebuah gunung berapi yang terletak di Pulau Flores, di Propinsi Nusa Tenggara Timur, sudah cukup terkenal karena memiliki tiga buah danau kawah di puncaknya. Uniknya, ketiga danau kawah itu memiliki warna yang berbeda jika dilihat dari kejauhan. Secara ilmiah, perubahan warna ketiga danau itu disebabkan oleh berubahnya komposisi kandungan berbagai mineral yang larut dalam air danau akibat aktifitas vulkanis gunung. Maklum saja karena Kelimutu merupakan gunung berapi yang masih aktif sampai sekarang. Perubahan warna danau juga dipengaruhi oleh banyak sedikitnya mikroorganisme yang hidup di air danau pada suatu saat dan juga akibat pantulan cahaya matahari di bebatuan di dinding maupun dasar danau.

Trus kapan tuh warna danaunya berubah?

Perubahan warna danau terjadi secara alamiah, karena itu sampai sekarang masih susah untuk diprediksi kapan akan terjadinya. Bisa saja dalam setahun danau-danau itu berganti warna beberapa kali, tapi bisa juga untuk waktu yang lama tidak terjadi perubahan warna, bahkan warna ketiga danau yang harusnya berbeda-beda justru tampak hampir sama semuanya.

Untuk bisa melihat ketiga danau yang unik itu, para pelancong harus mendaki sampai ke puncak Kelimutu. Jangan khawatir, treknya cukup ramah koq. Apalagi pemerintah setempat sudah membangun jalur pendakian yang jelas sejak dari tempat parkir mobil yang menjadi titik awal pendakian sampai ke puncak; bahkan mendekati puncak sudah dibuatkan undak-undakan dari batu yang memudahkan pelancong menggapai puncak.

Biasanya para pelancong akan memulai pendakian pada saat subuh dengan harapan bisa menyaksikan terbitnya matahari dari puncak Kelimutu. Karena itulah sebagian besar Pelancong lebih memilih menginap di Moni, sebuah kota kecil berjarak kurang lebih 45 menit berkendara sampai ke gerbang masuk kawasan Kelimutu, meskipun memang ada juga beberapa orang yang lebih suka berkendara selama 4 jam dari Ende selepas tengah malam dengan pertimbangan bahwa penginapan di Ende lebih baik dibanding penginapan di Moni.

Sayangnya ketika aku kesana, cuaca sedang kurang bersahabat. Harapan akan menikmati pemandangan indah saat terbitnya matahari harus aku kubur dalam-dalam karena pagi itu ternyata langit cukup berawan. Tapi . . . keindahan yang bisa dinikmati dari sana bukan melulu saat terbitnya matahari. Pemandangan alam yang tersajipun sangatlah indah. Deretan gunung di kejauhan yang tampak seperti berlapis lapis, ditambah juga dengan mulai tampak jelasnya danau kawah yang memang menjadi tujuan utama pendakian itu membuat banyak pelancong terkagum-kagum, tidak terkecuali aku sendiri.

Dan ketika banyak orang datang ke Kelimutu untuk berwisata karena tertarik dengan keindahan dan keunikannya, masyarakat Suku Lio yang bermukim di sekitar gunung itu memiliki tujuan lain ketika mereka datang mendaki Kelimutu. Bagi mereka, Kelimutu merupakan gunung yang mereka keramatkan. Mereka percaya bahwa Kelimutu, khususnya ketiga danau kawahnya merupakan tempat peristirahatan abadi arwah mereka yang sudah meninggal.

Menurut kepercayaan mereka, ketika seseorang meninggal, maka arwahnya akan datang ke Kelimutu dan bertemu dengan Konde Ratu sang Juru Kunci yang bertugas menilai perbuatan orang tersebut semasa hidupnya, kemudian menempatkannya di tempat yang sesuai.

Mereka yang selama hidupnya banyak berbuat kebaikan dan meninggal dalam usia lanjut, akan ditempatkan di Tiwu Ata Mbupu atau Danau Para Orang Tua. Danau ini terpisah lokasinya dari dua danau lainnya. Ketika aku ke sana, aku menemukan kalau danau ini berwarna hijau tua meskipun konon biasanya berwarna kebiruan. Berdasarkan catatan yang ada, sejak tahun 1915 sampai tahun 2011, Tiwu Ata Mbupu telah berganti warna sebanyak 16 kali. Tercatat bahwa danau ini pernah berwarna coklat gelap, coklat kehijauan, bahkan putih.

Kemudian bagi mereka yang meninggal selagi muda, arwahnya akan ditrempatkan di Tiwu Koo Fai Nuwa Muri. Danau ini merupakan danau yang paling besar selain juga paling dalam di antara ketiga danau yang ada di sana. Warnanya hijau cerah meskipun pernah juga warnanya berubah menjadi hijau muda mendekati putih. Dalam periode yang sama, dilaporkan bahwa Tiwu Koo Fai Nuwa Muri pernah berganti warna sampai 25 kali.

Danau yang terakhir disebut Tiwu Ata Polo yang menjadi tempat berkumpulnya arwah para tukang tenung dan mereka yang selama hidupnya berbuat jahat. Biasanya danau ini berwarna merah gelap meskipun ketika aku kesana berwarna hijau terang sama seperti warna Tiwu Koo Fai Nuwa Muri. Danau ini merupakan danau yang paling kecil dan juga paling dangkal, sehingga kontras sekali dengan Tiwu Koo Fai Nuwa Muri yang berada di sebelahnya dan hanya dipisahkan oleh dinding tipis yang rawan longsor kalau sampai terjadi gempa besar.

Meskipun paling kecil, tetapi ternyata Tiwu Ata polo merupakan danau yang paling sering berganti warna. Tercatat sejak tahun 1915 sampai 2011 danau ini pernah berganti warna 44 kali. Jika dilihat dari puncak Kelimutu, Tiwu Ata polo seolah mengintip di belakang Tiwu Koo Fai Nuwa Muri. Meskipun demikian, sebetulnya danau ini bisa dilihat lebih dekat dari sebuah anjungan yang terletak sedikit di bawah puncak Kelimutu.

Kekeramatan Gunung Kelimutu masih terjaga hingga saat ini di antara masyarakat Suku Lio. Sampai sekarang mereka secara rutin tetap menyelenggarakan upacara Pati Ka Du’a Bapu Ata Mata atau upacara membeir makan arwah leluhur dan sanak saudara yang tinggal di sana. Biasanya upacara dilakukan pada pertengahan bulan Agustus tiap tahunnya. Pada saat itu para pemuka masyarakat yang disebut Mosalaki akan secara bersama-sama berkumpul di sebidang tanah di dekat danau sambil membawa sesaji. Doa dan mantra akan diucapkan dengan diiringi lagu-lagu tradisional sambil menarikan tari tradisional Suku Lio yang disebut Gawi.

Nah . . . kembali ke puncak Kelimutu yang ketika subuh ramai pelancong; ketika matahari sudah semakin meninggi dan suhu yang semula dingin menggigit perlahan mulai menghangat kawasan puncak juga mulai ditinggalkan. Berbondong-bondong para pelancong mulai berjalan turun, tetapi pada saat itu pulalah para penunggu Kelimutu mulai muncul. Mereka biasanya hanya menatap para pelancong sambil berharap ada yang memberikan sekedar bahan pengganjal perut di pagi hari. Para penunggu Kelimutu ini adalah kera-kera berbulu abu kecoklatan. Beberapa dari mereka hanya duduk diam di pagar atau anak tangga menuju ke puncak, ada pula yang menatap para pengunjung dari balik semak dan perdu, sementara beberapa lagi aktif berlari-larian dengan cekatan di tebing dinding danau.

Nah . . . bagaimana? Tertarik untuk datang ke Kelimutu? Aku sendiri masih tertarik untuk berkunjung ke sana lagi . . . .–

Categories: My Pictures, Travel Pictures | Tags: , , , , , , , , | 11 Comments

A temple in the City of Flowers

That early morning, I woke up with a thought . . where else should I go while I was in Tomohon, the City of Flowers. Yes, Tomohon, a small town located close to Manado in North Sulawesi, Indonesia, known as the city of flowers. The city’s fertile soil along with its cool weather was a perfect condition for many kinds of flower to grow. Almost all of Tomohon’s inhabitants cultivate various kinds of flowers in their own garden as well as in their front or backyard. When travelers came to Tomohon at the right season, they could see that almost every household were full of pretty flowers.

As Tomohon was only a small city, travelers could not find the hustle bustle of a big city there. The peaceful atmosphere of the city made it a perfect place to meditate or just pray to the almighty. Because of that, some place of worship had been built in and around Tomohon. One of them was a compound of Chinese Temple with an 8 storey pagoda that known as Vihara Buddhayana Tomohon.

The temple was actually not an old building compound, from the information given to me; it was inaugurated in 2009 by North Sulawesi Governor at that time.

Entering the compound, travelers would be greeted by a row of big statues depicting the 18 arhats. They were said to be the first followers of Buddha who had already reached Nirvana thus they were free of worldly desires. The 18 arhats were ordered by Buddha himself to protect the Buddhist faith and to wait for the coming of Lord Buddha on earth.

After admiring the statues of the arhats, I continue my walk to a building which looked like the office of peoples who were been given responsibility of the whole compound. As they saw my trip partner and I coming, they kindly greeted us and welcomed us to explore the whole compound.

The tranquil atmosphere in the compound only filled with a faintly sound of a monk reading the Sutra in one of many prayer rooms in there. A faint smell of incense also hung in the air made my travel partner and I exploring the area in silent.

The temple compound was equipped with a nice garden that blend harmoniously with many Chinese style structures in there as well as with Mount Lokon that stood majestically as if guarding the compound on the west.

There was a big praying room at the back of the so called office with a big statue of Buddha sitting in the back of an altar. There was also a 9 storey pagoda in there. In front of the pagoda, there was a fountain with two dragons circling the fountain.

After the pagoda, there was a red colored small but pretty building dedicated to the Goddess of Mercy. A big inscription above the main entrance to the building stated that the name of the building was Guan Yin Palace.

Further back, there was a big turtle statue with a pond before it. There were many life turtles living in the pond. Many people believe that turtles symbolizing longevity.—

Anyway, to give you clearer illustration about the temple compound, I attach some pictures which I took when my travel partner and I visited the place. Enjoy!  😀

Keterangan:

Pagi itu, aku terjaga dari tidur nyenyakku dengan pertanyaan akan kemana lagi aku selama masih di Kota Bunga itu. Ya . . . aku masih di Tomohon ketika itu, sebuah kota kecil di Sulawesi Utara yang bisa ditempuh dengan berkendara dari Manado selama kurang lebih satu jam. Pelancong yang datang pada saat yang tepat ke Tomohon pasti tidak akan membantah kalau Tomohon disebut Kota Bunga, karena pada saat itu bunga berwarna-warni dari berbagai jenis bermekaran di sana sehingga aroma bunga pun akan samar tercium terbawa semilir angin pegunungan.

Anyway, kembali ke soal mau kemana lagi pagi itu, rasanya teman dan sahabat sekalian pasti setuju kan bahwa kalau kita melakukan perjalanan ke suatu daerah tetapi tidak memanfaatkan waktu yang ada untuk menjelajah daerah tersebut, rasanya koq ada yang kurang  . . .

Memang sih dari pembicaraan dengan pemilik penginapan semalam aku sempat mendapatkan informasi mengenai apa saja yang bisa dilihat di Tomohon ini. Katanya Tomohon memiliki destinasi wisata religi; maklumlah kota kecil ini cukup tenang sehingga cocok juga kalau dijadikan tempat bersemadi dan juga berdoa kepada Sang Khalik. Karena itu, tidaklah heran kalau di Tomohon dan sekitarnya banyak dibangun rumah ibadah dari berbagai agama.

Jadilah akhirnya pagi itu aku dan partner jalanku mencoba berkunjung ke rumah-rumah ibadah yang ada di Tomohon dan sekitarnya. Dalam tulisanku kali ini, aku mencoba mengajak teman dan sahabat sekalian menyertai aku dan partner jalanku ke sebuah Vihara yang dikenal dengan nama Vihara Buddhayana yang terletak di Kelurahan Kakaskasen Tiga di Tomohon.

Di luar dugaanku, ternyata yang disebut dengan Vihara Buddhayana ini merupakan sebuah kompleks bangunan yang terdiri dari beberapa bangunan dengan arsitektur bergaya China, bahkan dalam kompleks itu juga terdapat sebuah pagoda bertingkat delapan yang dikenal dengan nama Pagoda Ekayana. Di halaman dalam kompleks itu juga terdapat taman yang tertata apik yang benar-benar menambah keindahan pemandangan dalam kompleks itu, apalagi kala melihat ke arah barat, tampak dengan jelas Gunung Lokon yang berdiri gagah seolah menjaga kompleks vihara tersebut.

Aku coba gambarkan kondisinya sejak dari pintu masuk halamannya ya . . . jadi kalau kita masuk ke dalam kompleks ini, pertama-tama kita akan di sambut jajaran patung 18 Lohan di sisi kiri jalan masuk sampai ke depan sebuah bangunan yang difungsikan sebagai kantor penanggung jawab vihara. Sekedar menambah pengetahuan, 18 Lohan dikenal juga sebagai para murid langsung Buddha Gautama yang telah memperoleh pencerahan dan telah terbebas dari segala nafsu duniawi. Ke 18 tokoh ini ditugaskan untuk menjaga keyakinan umat Buddha di dunia ini sambil menunggu kedatangan kembali Sang Maitreya ke dunia ini.

Ketika ke sana aku dan partner jalanku disambut dengan ramah oleh salah satu pengurus vihara yang kemudian mempersilahkan aku dan partner jalanku untuk melihat-lihat kompleks vihara tersebut, bahkan mempersilahkan aku dan partner jalanku untuk naik ke puncak pagoda jika berminat. Tentu saja tawaran itu aku sambut dengan perasaan senang 🙂

Di depan bangunan yang difungsikan sebagai kantor itu, terdapat kolam air mancur dengan patung sepasang naga yang melingkar mengeliling air mancur itu. Di sana juga terdapat semacam aula untuk beribadah yang dilengkapi sebuah altar dengan patung Sang Buddha yang cukup besar. Pagodanya praktis berada di atas bangunan itu.

Di sebelahnya ada sebuah bangunan cantik yang juga bercat merah seperti bangunan-bangunan lainnya di kompleks itu. Di papan nama yang tergantung di atas pintu utama jelas tertulis “Istana Kwan Im”. Rupanya bengunan itu didedikasikan untuk Sang Dewi Welas Asih.

Di ujung belakang kompleks, terdapat patung kura-kura besar yang menghadap ke sebuah kolam yang di dalamnya banyak kura-kuranya. Konon patung kura-kura itu sebenarnya juga merupakan ruang doa, hanya saja waktu itu aku nggak sempat menelitinya lebih jauh.

Untuk melengkapi gambaran mengenai Vihara Buddhayana dan Pagoda Ekayana, seperti biasa tulisan ini sudah aku lengkapi dengan beberapa foto yang sempat aku ambil ketika aku kesana. Enjoy! 😀

Categories: Travel Pictures | Tags: , , , , , , , , , | 16 Comments

Blog at WordPress.com.