Posts Tagged With: wabula

Floating village of a sea tribe

Let’s go back to the time when I hadn’t reach Wabula Fishing Village yet. On the road from Pasarwajo to Wabula, in some part of the road when it was ascending a small hill, the sea could be seen clearly far below at the left. At a point, I suddenly saw an unusual sighting. It seemed like a village floating on the sea.

IMG_KBJ03

When I asked Azis, who carefully drove our car, he said that the floating village was actually not floating, and it was the dwelling of a tribe called Bajo. The Bajo tribe was known as the sea tribe as they actually live and depended on the sea.

The Bajo tribe lived as traditional fishermen. Their homes were built on stilts that planted deep on the sea bed close to a shore. A sampan was the main vehicle they used for transportation. That was why it was common to see a very young Bajo child rowing a small sampan expertly to go to another house or to the school.

IMG_KBJ05

There were many Bajo Villages scattered on some parts of Indonesia, all of them were in a form of villages on the sea off the shore. The one in the Wabula Subdistrict, however, could be categorized as a modern one, because it connected to the land with a paving road. Aside of that, the village was also already had electricity.

IMG_KBJ06

It was a pity that my time in Buton was not allowed me to explore further and mingled with the Bajos. Hope that if I had a next time to visit the area, I could spend more time in the village.–

Keterangan :

Yuk kita putar mundur sedikit waktunya sampai ketika aku baru berangkat dari Baubau menuju ke Wabula. Ketika itu kendaraan yang aku tumpangi sudah melewati Pasarwajo dan mulai melalui jalan yang menanjak dimana laut tampak berada di sebelah kiri jalan, agak jauh di bawah. Sambil bercakap-cakap dengan teman seperjalananku, mataku menerawang jauh memandangi laut yang membiru, ketika tiba-tiba mataku menangkap pemandangan yang tidak biasa. Aku melihat di kejauhan seperti ada sekelompok rumah di tengah laut.

IMG_KBJ07

Ketika hal itu kutanyakan kepada Azis yang sedang asyik mengemudi, dijawabnya bahwa itu adalah salah satu perkampungan Suku Bajo. Suku Bajo adalah suku yang terkenal sebagai orang-orang laut karena mereka betul-betul hidup di atas laut dan mereka beranggapan bahwa laut adalah segalanya bagi mereka. Laut adalah tempat mencari nafkah, dan bertempat tinggal.

IMG_KBJ11

Ya, suku ini sudah dikenal sebagai nelayan tradisional yang handal, yang betul-betul menghabiskan hidup mereka di laut, sejak mereka dilahirkan sampai saat mereka berpulang, semuanya dilakukan di laut. Rumah mereka didirikan di atas pancang-pancang yang kokoh menghunjam ke dasar laut sehingga kemana-mana harus mereka lakukan dengan mempergunakan sampan. Makanya tidaklah mengherankan kalau sejak kecil putra-putra Suku Bajo sudah piawai mengendalikan gerakan sampan dengan bantuan dayung.

IMG_KBJ08

Pemukiman Suku Bajo terdapat di banyak tempat di seantero Nusantara ini. Semua pemukiman mereka berada di atas laut, jauh dari pantai. Yang di Kecamatan Wabula ini termasuk salah satu yang sudah masuk kategori modern; karena perkampungan mereka sudah terhubung ke daratan pulau Buton dengan sebuah jalan dari beton, yang meskipun tidak lebar, tetapi cukup kuat untuk dilalui kendaraan. Listrikpun sudah masuk ke desa tersebut yang tampak dari adanya deretan tiang listrik di sepanjang jalan beton itu.

IMG_KBJ01

Rasa penasaran membuatku meminta Azis untuk menghentikan sebentar kendaraan di tepi jalan sehingga aku bisa mengamati dengan lebih jelas perkampungan yang tampak seolah terapung itu. Aku dan teman seperjalananku segera turun dari kendaraan untuk melihat lebih jelas dari kejauhan.

IMG_KBJ09

Ketika aku tidak bisa membendung lagi rasa ingin tahuku dan mulai berjalan menuruni tepian jalan ke arah pemukiman tersebut, Azis meneriakiku menyatakan bahwa kalau aku tetap berjalan terus memasuki perkampungan tersebut, maka rencana mau ke Wabula dan sekitarnya bisa berantakan karena waktunya tidak cukup.

Yah . . . apa boleh buat. Akhirnya aku hanya berhenti sampai di mulut jalan beton itu kemudian kembali lagi untuk melanjutkan perjalanan :(. Mudah-mudahan sekali waktu aku bisa masuk ke perkampungan itu dan bersilaturahmi dengan penduduknya.—

IMG_KBJ10

Categories: Travel Pictures | Tags: , , , , , | 22 Comments

Cerianya anak-anak desa nelayan

Hari kedua aku di Pulau Buton, pagi itu aku terbangun karena mendengar kesibukan di jalan yang ada persis di bawah jendela kamar hotelku. Secara refleks aku meraih jam tangan yang aku letakkan di meja samping tempat tidurku, hhmm . . . sudah jam enam rupanya. Nyenyak juga rupanya tidurku 😀

Setelah mandi dan sarapan, aku segera menghubungi La Ode Azis yang menemaniku kemana-mana selama di Pulau Buton. Hari itu, aku berencana untuk melihat-lihat daerah di pesisir timur Pulau Buton, ya memang tidak semua karena adanya keterbatasan waktu, karenanya aku membatasi diri untuk berkunjung ke Desa Wabula saja. Untuk itu, dari Baubau yang terletak di pesisir barat, La Ode Azis langsung mengarahkan kendaraan menuju ke Pasarwajo, sebuah kota kecil yang merupakan Ibu Kota Kabupaten Buton. Pasarwajo terletak kurang lebih 2 jam perjalanan dengan mobil ke arah timur kota Baubau. Nah Desa Wabula itu berjarak kurang lebih 28 kilometer dari Pasarwajo itu. Jalan menuju Desa Wabula sudah relatif bagus koq, jadi kalau ada pelancong yang mau kesana, jangan kuatir . . 😎

Nah . . apa yang bikin aku penasaran dengan desa Wabula ini? Sebetulnya semua bermula ketika aku membaca sebuah artikel tentang adanya sebuah desa nelayan yang terletak di tepian Laut Banda, dan foto yang menyertai artikel tersebut memperlihatkan sebuah perkampungan yang resik dan rapi sehingga enak dipandang mata.

Dan ternyata apa yang digambarkan dalam artikel itu betul adanya. Ketika kendaraan yang aku tumpangi masuk ke Desa Wabula, aku mendapati jalan utama desa yang cukup lebar dan rata. Rumah-rumah berjajar rapi di sepanjang jalan desa itu, baik rumah semi modern berbahan batu maupun rumah tradisional yang berbentuk rumah panggung dari kayu. Hanya saja yang membuat aku bingung ketika itu adalah karena aku tidak melihat garis pantai. Bukannya desa nelayan selalu berada di tepi pantai ya? 😯 Desapun waktu itu bisa dibilang sepi.

IMG_WAB01

Ketika kendaraan yang aku tumpangi berhenti di depan salah satu rumah, barulah terasa ada kehidupan di Wabula. Beberapa orang wanita terlihat keluar menyongsong dengan wajah ramah. Belakangan baru aku ketahui kalau salah satunya adalah istri dari Kepala Desa Wabula. Setelah saling berkenalan, mereka mengajak aku ke arah belakang deretan rumah yang ada di sebelah kiri. Dan ternyata di belakang deretan rumah itu ada lagi sebuah jalan yang sejajar dengan jalan utama desa, hanya saja di seberang jalan bukanlah deretan rumah lagi melainkan laut. Pantas saja pantainya tidak nampak dari jalan utama desa 😀

Ketika aku mendekati bibir pantai, nampak bahwa laut di siang yang mendung itu cukup tenang, bahkan nampak seperti permukaan danau saja. Kawasan pantainya juga nggak panas. Eh ini nggak panas bukan gara-gara mendung saja lho ya, tapi karena di sepanjang bibir pantai itu tumbuh banyak pohon kelapa dan juga pohon-pohon lainnya yang berdaun cukup rindang.

IMG_WAB02IMG_WAB10

Tanpa aku sadari, selama aku memandang ke arah laut lepas, di belakangku telah berkumpul anak-anak Desa Wabula. Mereka semua tertawa lepas ketika melihat aku kaget melihat kehadiran mereka. Ah . . . anak-anak yang polos dengan wajah-wajah ceria.

IMG_WAB03

Kepolosan mereka dan tingkah polah mereka membuat tanganku gatal untuk mengabadikannya dengan jepretan kameraku. Beberapa anak terlihat cukup berani dan percaya diri, mereka tidak malu ketika aku bilang mau aku foto, beberapa lagi segera lari menjauh sambil tertawa malu-malu, sementara di kejauhan aku lihat satu dua anak yang hanya melihat ke arahku dengan wajah malu-malu.

IMG_WAB17

Mereka yang tidak malu mau saja ketika aku bilang supaya mereka main saja seperti biasa mereka bermain di tepi pantai itu sementara aku memotret mereka. Beberapa bahkan segera berlomba memanjat pohon yang tumbuh di tepi pantai dan duduk di cabangnya, sementara beberapa anak perempuan terlihat bermain ayunan.

IMG_WAB14

Ketika aku selesai berkeliling di sekitar pantai, beberapa butir kelapa hijau utuh sudah tersaji. Ah . . keramahan khas pedesaan yang selalu aku rindukan. Maka dengan tanpa sungkan juga aku segera menghampiri beberapa butir kelapa itu. Salah satu wanita itu segera berteriak kepada anaknya untuk mengambilkan gelas dan sendok untuk aku. Wah . . . rupanya mereka mengira aku tidak terbiasa meminum air kelapa langsung dari kelapa utuh. Ketika aku menolak untuk mempergunakan gelas dan sendok, mereka terlihat cukup sangsi. Karenanya, untuk menepis kesangsian mereka, segera aku mengambil sebutir kelapa yang sudah dilubangi ujungnya. Dan tahu nggak . . . ketika aku mulai mengangkat kelapa itu, anak-anak yang semula berceloteh ramai jadi terdiam sambil memperhatikan aku. Dan . . . ketika aku sudah selesai minum, pecahlah tawa mereka melihat mulutku yang basah berlepotan air kelapa 😀

Selesai minum air kelapa yang segar dan juga memakan sedikit daging kelapa yang gurih itu, sambil ngobrol akrab, aku diajak melihat beberapa ibu yang sedang membuat kain tenun secara manual, sementara anak-anak desa itu dengan tetap berceloteh dan bercanda mengikuti di belakang sehingga seperti membentuk barisan di belakangku.

IMG_WAB09

Sarung tenunan Wabula sudah cukup terkenal meskipun coraknya boleh dibilang cukup sederhana karena hanya bercorak kotak-kotak atau garis-garis saja seperti sarung pada umumnya. Biasanya yang bercorak kotak-kotak dipakai oleh kaum lelaki sementara yang bercoarak garis-garis dipakai oleh kaum perempuan. Beda kain tenunan dari Wabula dengan sarung pada umumnya adalah permainan warnanya, karena sarung tenunan Wabula lebih berani dalam mempergunakan warna-warni yang cerah, khususnya kain tenun yang diperuntukan bagi kaum hawa. Kain tenunan Wabula juga lebih tebal meskipun tetap lembut.

Biasanya kaum wanita Wabula menenun kain sembari menunggu kedatangan suami atau ayah mereka yang pergi melaut. Karena itulah konon mereka bisa menenun selama rata-rata 6 jam seharinya, dan satu lembar kain tenun bisa mereka selesaikan dalam waktu antara 4 sampai 5 hari saja. Menurut penuturan mereka, kaum wanita Desa Wabula sudah sejak jaman dahulu akrab dengan kegiatan tenun- menenun ini. Bahkan sejak usia yang relatif dini anak perempuan Wabula sudah diperkenalkan dan diajarkan bagaimana caranya menenun dengan peralatan tenun dari kayu yang boleh dibilang belum banyak berubah sejak jaman dahulu.

Dengan mata kepalaku sendiri aku melihat betapa dengan tekun dan telaten para ibu itu memasukkan helai demi helai benang yang lama kelamaan membentuk selembar kain. Sambil menenun para ibu itu tetap ngobrol satu sama lain, apalagi ketika aku di sana suasananya terkesan lebih ramai karena anak-anak ikut berkerumun di sekitar tempat menenun yang aku datangi itu sambil tetap berceloteh dengan ramai. Selembar kain tenunan yang sudah berbentuk sarung mereka jual seharga Rp 200.000,– ke atas, tergantung warna dan coraknya. Mahal? Ya relatif sih. Menurut aku sih ya nggak mahal juga kalau melihat proses pembuatannya yang masih dilakukan secara manual itu.

Siang menjelang sore itu akhirnya aku pamit setelah mengucapkan terimakasih atas keramahan penduduk Wabula. Sebelum aku masuk ke kendaraan untuk menuju ke tujuanku berikutnya, ibu istri Kepala Desa sempat menyayangkan kedatanganku yang kurang pas waktunya; menurut beliau, aku pasti akan lebih senang berada di desa itu kalau bertepatan dengan dilaksanakannya upacara Pidoano Kuri yang biasanya dilakukan beberapa hari menjelang tibanya bulan suci Ramadhan, karena pada saat itu aku pasti akan bisa memperoleh lebih banyak lagi foto suasana Desa Wabula. Yah . . . mudah-mudahan lain waktu aku bisa kesana lagi bertepatan dengan dilaksanakannya upacara itu ya Bu :).—

IMG_WAB05

Summary :

The article is about a small fishing village in the eastern coast of Buton Island. The village was called Wabula. I went there in my second day in Buton. Wabula could be reached within 3 hours drive from Baubau through a relatively good road.

When I entered the village, I found a neat and clean environment. Row of houses, either semi modern or traditional wooden houses with their well groomed yard were built on either sides of the village main road. At that time the village looked quite deserted. I just found few children playing in the yard. I also did not see the beach which made me quite confused since fishing villages were always laid at the beach or at least not far from the beach.

IMG_WAB16

Before my confusion grew too big, a group of women emerged from one of the houses and greeted me. After a short introduction, I was ushered towards an alley which led me to a second road paralleled with the village’s main road, only across the second road was the beach.

IMG_WAB19

At that time the beach also looked empty, no boats nor any activities except for a group of children that looked quite eager to follow me and looked at me when I took some pictures there. They seemed cheerful, and when I asked them for some pictures, some of them ran away while laughing shyly while some were still there, even made a pose in front of my camera 😀

After taking some pictures at the beach, I was taken to a place where some women were busily made woven clothes. It was a hand made cloth, and it was said that by working around 6 hours a day, a piece of woven cloth could be finished within 4 to 5 days. The women usually weaved while they wait for their man to come back from their fishing trip.

IMG_WAB18

The woven clothes of Wabula were known for their attractive color although the patterns were quite simple. The clothes were usually used as sarongs as well as shirts. Some people also used the cloth as a blanket as it was quite warm when been used.

In the afternoon, I bid the people of Wabula farewell as I had to go to my next destination. And when they said their good byes, some of them asked me to come again next time, especially when they carried out their ritual to greet the fasting month that called the Pidoano Kuri. Well, thanks for the invitation, and hope that someday I can be back there to join them in their Pidoano Kuri :).–

IMG_WAB12

Categories: Travel Notes | Tags: , , , , | 20 Comments

Blog at WordPress.com.