After admiring the Ngarai Sianok from above, I decided to drive down the gorge, along the Batang Sianok (Sianok River). At that time, I drove for about 4 kilometers to the direction to Kampung Jambak (Jambak Village), whenI came to a secluded valley with almost vertical stone cliff bordering around. Mount Singgalang was also seen in the distance and became a good background. What interested me the most at that time was a sole hill located almost in the middle of the valley. A tree was seen at the top of the hill, while at the foot of the hill, a small river with its clear water flow to Batang Sianok. At the river side, there was a simple gazebo with its traditional Minangese roof.
The valley was known as Lembah Taruko or Taruko Valley, while the single hill with a tree in its top was called Tabiang Takuruang by the locals. Tabiang Takuruang can be translated freely as a surrounded cliff, as the cliff was really surrounded in the middle of a valley.
And to give more to every travelers who came to admire the beautiful landscape in Taruko Valley, there was a cafe in there. This was a real cafe that managed and ran professionally. The gazebo seen in the first picture and roofs seen in the second picture were all parts of the cafe. In there, travelers could spend their time, enjoying a tranquil moment and beautiful panorama while sipping a cup of coffee or drinking a glass or more of any kind of fresh fruit juices. For them who want to savor something, the cafe also had either snacks or any light meals that can be ordered with a reasonable price.
Well, I don’t want to add more words here, I presented some pictures I captured in the valley for you to enjoy, instead. Believe me, the beauty of Tabiang Takuruang would be more mesmerizing if you see it by yourself directly.—
Keterangan :
Setelah beberapa saat menikmati keindahan Ngarai Sianok dari Taman Panorama, Bukittinggi; aku memutuskan untuk turun ke dasar ngarai dengan mobil. Di sana aku mencoba menyusuri aliran Batang Sianok menuju ke arah Kampung Jambak. Setelah melewati sawah-sawah yang padinya sudah menguning dan siap untuk dipanen, akhirnya di depanku berdiri tegak salah satu dinding ngarai, sehingga aku harus berbelok, saat itu arah kirilah yang aku ambil, sehingga aku masuk lebih dalam ke lembah; aku terus menyusuri aliran sungai kecil sampai ketika tiba-tiba mataku menangkap sesosok tebing yang seolah-olah berdiri angkuh di tengah lembah. Di puncaknya kelihatan tumbuh sebatang pohon. Gunung Singgalang tampak tegak menjulang dengan gagahnya, sehingga membentuk latar belakang yang menambah keelokan pemandangan yang tersaji. Sementara itu, tampak juga beberapa ekor kerbau sedang merumput di tepi sungai.
Wah . . betul-betul pemandangan yang sayang untuk dilewatkan, sehingga aku segera meminta Pak Sopir yang mengemudikan kendaraanku untuk segera berhenti. Hanya saja ketika Pak Sopir melihat apa yang menjadi pusat perhatianku itu, Pak Sopir meminta aku untuk sedikit bersabar karena memang aku akan diajak untuk lebih mendekat ke bukit tersebut. Karena itulah aku kemudian melanjutkan perjalananku di dasar lembah itu sampai akhirnya kendaraan di hentikan dan kemudian diparkir di pelataran sebuah cafe. Pak Sopir segera mengajak aku untuk naik ke lantai atas dimana terdapat beberapa meja dan kursi buat mereka yang memesan minuman ataupun makanan di cafe tersebut, dan ketika aku berbalik ke arah tegaknya Gunung Singgalang, lagi-lagi mulutku ternganga melihat betapa indahnya lukisan alam yang tersaji di sana.
Betapa tidak sebuah bukit kecil yang tampak seperti jari yang sedang menunjuk kelangit berdiri di depan Gunung Singgalang yang seolah mengawasinya dari belakang, sementara tebing-tebing tinggi memagarinya. Sebuah sungai kecil berair jernih mengalir dengan tenangnya di kaki bukit itu melintasi halaman belakang cafe. Ah . . pastinya tidak akan bosan-bosannya duduk di cafe itu sambil memandang keindahan yang tersaji, bahkan mungkin bisa saja secara tidak sadar kita memesan gelas demi gelas minuman hanya supaya kita bisa berlama-lama meresapi keheningan suasana lembah, menikmati semilir angin yang sejuk, sementara mata kita tak puas-puasnya memandang bentang alam yang tersaji di sana.
Penduduk setempat menyebut bukit itu dengan nama Tabiang Takuruang yang bisa diartikan sebagai sebuah tebing yang terkurung. Ya terkurung dalam sebuah lembah permai yang bernama Lembah Taruko.
Ah sudahlah, rasanya aku juga gak perlu menulis lebih panjang lagi ya. Mending menikmati saja keindahan tempat tersebut, meskipun apa yang aku tangkap dengan jepretan kameraku itu tidaklah ada artinya kalau dibandingkan dengan jika melihat langsung di lokasi. Mungkin karena kalau kita berada di sana langsung, bukan hanya indera penglihatan saja yang merasakan kenikmatan karena bisa menikmati pemandangan di sana, melainkan perasaan kita pasti juga akan ikut merasakan ketenangan lembah tersebut. Semoga Lembah Taruko tetap terjaga kelestariannya.–