Banyuwangi was the eastern-most regency in Java, Indonesia. The city of Banyuwangi was the so called administrative capital of the regency. It was not a big city, although the regency itself was the largest regency in East Java Province.
Banyuwangi became more and more recognized as it had many interesting places and unique traditions. Aside of that, it was easier to reach Banyuwangi nowadays. Blimbingsari Airport in Banyuwangi served many regular direct flights to and from Surabaya as well as Denpasar.
In a corner of the city of Banyuwangi, well actually it was not in a corner but almost at the center of the city, there laid the official house of the Regent of Banyuwangi. The structure was a typical Javanese noble building which had a big hall in front of the house which been used as a convention. The hall was known as the “Pendopo” even though the official name was Sabha Swagata Blambangan.
In fact, the Regent’s house was an old building which had been existed since 1771. Nowadays, it had been undergone many renovations. The lawn behind the building had been re-arranged and some new buildings had been added to the compound to accommodate any requirements and necessities of a developed area leader’s residence.
At the right side of the hall, there was a unique small mosque. I called it unique because the small building was looked like a pyramid. It was said that the structure had been inspired by an act when the Moslem prayed.
Behind the small mosque, there was an eco-friendly guest house. At a glance, travelers would not know that there was a guest house in there because it looked like a slanted grass lawn, but the slanted grass lawn was actually the roof of the guest house. At day time, electricity was not needed in the guest house as a good ventilating system made all the rooms in the guest house quite cool without any air conditions. The rooms were also bright without any electric lamps as the sun-rays were illuminated directly to every room through some glass panel which were placed artistically in the rooms.
In the back yard, there was a wooden gazebo that could be used to hold an informal meeting as well as for relaxing. Close to the gazebo, there was another wooden building. That one was a model of the native tribe of Banyuwangi’s house. Such a house was called Rumah Tikel and it was made without any nails.
Well . . . at that time I did not spend too much time in there since I had to go to another place. But it I felt glad that I got the chance to visit the place, to know that modern building could be stand side by side harmoniously 🙂 .–
Keterangan :
Banyuwangi adalah sebuah kabupaten yang terletak di ujung timur Pulau Jawa. Kota Banyuwangi yang merupakan ibu kota dari Kabupaten Banyuwangi, bukanlah sebuah kota yang besar, meskipun Kabupaten Banyuwangi merupakan kabupaten terluas di Jawa Timur.
Saat ini, Kabupaten Banyuwangi semakin dikenal sebagai salah satu daerah tujuan wisata yang diunggulkan di Jawa Timur. Bagaimana tidak, keindahan alam dan keunikan budayanya merupakan daya tarik utama Banyuwangi yang terbukti berhasil menyedot banyak pelancong, baik pelancong yang berasal dari manca nagari maupun pelancong Nusantara. Dibukanya Bandar Udara Blimbingsari ikut berperan besar dalam peningkatan kunjungan para pelancong tersebut.
Sebagai ibu kota administratif, di kota Banyuwangi ini terletak kantor dan juga tempat tinggal Bupatinya. Pada kunjunganku ke Banyuwangi belum lama ini, aku kebetulan memperoleh kesempatan untuk mampir dan melihat-lihat kediaman Bupati Banyuwangi yang dikenal dengan nama “Pendopo” meskipun nama resminya adalah Sabha Swagata Blambangan.
Bangunan yang berada di kawasan Taman Sri Tanjung ini sebetulnya bukanlah bangunan baru. Sebelum dipergunakan sebagai Rumah Dinas Bupati, bangunan ini sempat juga dipergunakan sebagai Kantor Pemkab Banyuwangi. Bupati Banyuwangi yang sekaranglah yang memerintahkan dilakukannya renovasi kompleks bangunan ini dengan penataan taman dan penambahan bangunan-bangunan baru sebagai pelengkap. Bantuan dari beberapa arsitek kenamaan seperti Andra Matin dan Adi Purnomo betul-betul mampu mengubah tampilan Pendopo menjadi semakin cantik.
Tembok di sekitar bangunan Pendopo yang semula tinggi diubah menjadi rendah sehingga sekat yang selama ini terbangun antara penguasa dengan rakyatnya menjadi lenyap; meskipun demikian keberadaan gapura berbentuk candi bentar tetap dipertahankan, bahkan menambah indahnya halaman depan Kabupaten.
Di sisi kanan Pendopo, terletak sebuah mushola yang berbentuk unik. Bentuknya tidak seperti bentuk bangunan mushola pada umumnya, melainkan berbentuk mirip limas. Katanya bangunan mushola itu terinspirasi dari gerakan rukuh pada saat seseorang menjalankan shalat.
Di belakang bangunan mushola terdapat bangunan guest house yang berkonsep eco-friendly. Dari luar, tidak akan tampak adanya bangunan karena yang tampak hanyalah hamparan rumput hijau dengan kemiringan sekitar 60 derajat yang di beberapa bagiannya tampak ada tonjolan tembok berbentuk segi empat yang menambah indahnya hamparan rumput hijau tersebut. Tetapi siapa sangka bahwa di bawah hamparan rumput hijau tersebut terdapat sebuah lorong yang di kiri kanannya terdapat beberapa kamar berperabot lengkap dengan standard hotel berbintang?
Meskipun praktis terletak di “bawah tanah”, keadaan kamar-kamar dan lorong tersebut tidaklah gelap dan pengap, melainkan terang dan sejuk. Terangnya bukan karena bantuan energi listrik, melainkan karena sinar matahari yang menerobos masuk melalui bangunan tembok segi empat yang tampak seolah pemanis taman itu. Sirkulasi udara yang baik juga menyebabkan udara di dalamnya sejuk tanpa bantuan pendingin udara. Bangunan guest house tersebut juga dilengkapi dengan ruang tamu dan ruang makan serta dapur yang cukup bersih.
Di halaman belakang kediaman Bupati Banyuwangi yang luas dan asri, terdapat sebuah bangunan gazebo yang cukup luas dengan tempat duduk yang ditata melingkar. Pohon-pohon rindang yang berada di sekitar gazebo membuat siapapun yang duduk-duduk di gazebo itu tidak akan merasa gerah, bahkan bisa saja malah terkantuk-kantuk dibelai angin yang semilir. Tidak jauh dari gazebo itu, berdiri sebuah bangunan kayu yang kelihatan sudah cukup tua. Itulah bangunan Rumah Tikel, rumah adat Suku Osing yang merupakan penduduk asli Banyuwangi. Konon Rumah Tikel yang asli tidak mempergunakan paku sama sekali dalam pembuatannya.
Ketika itu aku tidak menghabiskan waktu lama di sana karena aku harus mengejar waktu untuk menuju ke Paltuding. Bagaimanapun aku nggak mau kemalaman tiba di tujuanku berikutnya. Meskipun demikian, kunjungan singkat itu cukup menyenangkan, karena di sana kau bisa melihat bagaimana bangunan modern bisa berdampingan serasi dengan bangunan tradisional yang masih terpelihara dengan baik di tengah taman yang asri 🙂 .–