Posts Tagged With: nature

A unique volcanic lake in North Sulawesi

Tomohon, a small town located in between Mt. Lokon and Mt. Mahawu in North Sulawesi, Indonesia, which made its climate was quite cool; because of that, Tomohon became an escape city for people of Manado in the week-ends as well as in any holidays. The distance between Manado and Tomohon was only 30 kilometres which could be reached with an hour drive from Manado through relatively good roads.

Anyway, I don’t want to talk about the city itself, but about a volcanic lake located just outside the city. The lake was known as Danau Linow or Linow Lake. The lake’s name, Linow, derived from the word lilinowan which means a water gathering place in the local language that known as Minahasan language. Well . . it was not wrong as a lake was really a place where water from any sources, including from springs, gather in a basin lake place surrounded by land  🙂

Linow Lake was quite unique as the water in the lake could change its color from the greenish white to greenish blue and sometimes it looked yellowish brown. The color change was affected by the composition change and intensity of sulfur in the lake water, combined with the sun beam on the surface of the lake. I was there in the afternoon and what I saw was a greenish color as you can see it yourselves in the pictures accompanying my post this time.

Linow Lake spanned over 84 acre areas. Close to the lake, there were some geothermal facilities used as electricity generator; while on the lake-shore, there were some resorts and cafes.

The lake area had already been equipped with public facilities. A large parking area close to the lake shore would be the best place to park any vehicles used by travelers. Entering the area, there would be a small fee that should be paid by each visitor, but it was not just a kind of entrance fee as traveler could exchange the ticket with a cup of coffee or tea to be enjoyed in a large seating area by the lake.

Besides enjoying the pretty scenery while sipping a cup of coffee or tea, travelers could stroll along the lake shore following a short path. Swimming in the lake? Well . . . that was forbidden as the high intensity of sulphur in the lake water would affect human health and even would be very harmful.

So . . . can you imagine how great it feel . . . sipping a cup of hot coffee or tea by a pretty lake in a cool weather? Or perhaps you prefer to experience it yourself? 😉

Keterangan :

Tomohon, sebuah kota kecil di Sulawesi Utara yang dikenal juga sebagai Kota Bunga karena hawanya yang sejuk membuat aneka macam bunga tumbuh dengan subur di sana. Kota ini terletak di sebuah dataran tinggi yang diapit oleh Gunung Lokon dan Gunung Mahawu. Jaraknya yang hanya sekitar 30 KM dari Manado, membuat Tomohon menjadi kota peristirahatan warga Manado dan sekitarnya tiap akhir pekan maupun di hari-hari libur lainnya.

Tapi . . . kali ini aku masih belum akan menulis soal Tomohon, aku lagi pengen nulis soal sebuah danau vulkanik cantik yang lokasinya nggak jauh dari kota Tomohon. Danau ini dikenal dengan nama Danau Linow. Konon nama danau ini berasal dari sebuah kata dalam Bahasa Minahasa, yaitu lilinowan yang artinya tempat dimana air berkumpul.

Danau Linow bisa dibilang merupakan danau yang unik karena air danaunya kelihatan bisa berubah-ubah warnanya yang disebabkan oleh perubahan komposisi dan tinggi rendahnya kadar belerang dalam air danau yang dikombinasikan dengan pantulan sinar matahari pada saat itu. Itu sebabnya kadang air Danau Linow ini kelihatan berwarna hijau keputihan sementara di waktu lain berwarna hijau kebiruan, bahkan terkadang kelihatan berwarna coklat kekuningan. Aku dan partner jalanku ke sana waktu itu sudah menjelang sore, dan air danaunya kelihatan hijau kebiruan seperti yang tampak dari beberapa foto yang aku sertakan di sini.

Seperti sudah disebutkan di atas, Danau Linow merupakan danau vulkanik, dan ternyata aktifitas vulkaniknya masih sangat aktif. Itu sebabnya bau belerang kadang tercium cukup kuat kalau kita berkunjung ke sana. Di permukaan air danaunya sendiri juga sering tampak gelembung-gelembung yang menandai terjadinya pelepasan kandungan gas dari dasar danau. Di sekitar danau juga banyak terdapat sumber panas bumi yang beberapa di antaranya sudah dimanfaatkan sebagai pembangkit tenaga listrik.

Kawasan Danau Linow relatif sudah tertata apik sebagai salah satu tujuan wisata unggulan di Sulawesi Utara. Beberapa fasilitas umum sudah dibangun dan pada saat aku ke sana itu kondisinya cukup rapih dan bersih. Pelataran parkirnya pun cukup luas dan jaraknya cukup dekat dengan tepian danau, sehingga tidak menyulitkan pelancong yang tidak mau terlalu bercape lelah berjalan jauh dari kendaraan mereka. Dan karena sudah tertata rapi, rasanya tidak mungkin juga kalau pelancong bisa menikmati semua fasilitas yang ada di situ dengan gratis kan? Tapi jangan kuatir, harga ticket masuknya nggak mahal koq, lebih dari itu, ticket masuk itu bisa kita tukarkan dengan secangkir kopi atau teh di cafe yang ada di tepi danau, sehingga jika para pelancong sudah capek berjalan-jalan di tepian danau, mereka bisa masuk ke cafenya, menukarkan ticket dengan kopi atau teh kemudian memilih tempat duduk sesuai selera dan menikmati kopi sambil merasakan sejuknya udara di tepi danau yang keindahannya cukup memanjakan mata itu.

Ngomong-ngomong kalau melancong ke sana, jangan coba-coba berenang di Danau Linow ya. Cukup jalan-jalan aja di tepinya atau ngupi-ngupi cantik. Bukan apa-apa sih, tapi kadar belerang yang sangat tinggi dalam air danau itu cukup berbahaya bagi kesehatan.

Jadi . . . cukup puas dengan hanya membayangkan nikmatnya menyesap secangkir kopi panas di sana atau mau ke sana dan merasakan sendiri kenikmatan itu? 😀

Categories: Travel Pictures | Tags: , , , , , , | 16 Comments

The living bridge

Well of course the one that I used for the title of the post does not mean that the bridge can move from one place to another place like that in fairy tales :P, but it really can grow by itself. No . . I don’t talk nonsense since I saw it by my own eyes. The bridge was located in Pulut-Pulut Village, Pesisir Selatan Sub-district, West Sumatra. The village was about 20 kilometres from Painan the main town of Pesisir Selatan Sub-district. And the bridge was spanned over Batang Bayang River.

The locals called the bridge as Jambatan Aka which means a bridge that made of intertwined roots. As you can see by yourself in the picture below, the bridge was really made of roots, and it was living roots of two old and big banyan trees that grew on either side of the river.

IMG_AKA10

It was said that almost a century ago, there was a village elder called Pakiah Sokan who also known as Angku Ketek. He was known to give lectures and spreading Islam teachings on the area. At that time, Angku Ketek was lived in Pulut-Pulut Village. Like others who lived in the village, Angku Ketek also had to cross Batang Bayang River to reach Lubuak Silau Village that located right across the river. A bamboo bridge had already been built as the only way to cross the river for it was impossible to cross the river that has a very strong current by sampan. The problem was that every rainy season, the flooded river always washed the bamboo bridge away.

IMG_AKA02

One day, when Angku Ketek walked along the river shore, he saw that the banyan trees he planted long before had already became big trees. The aerial roots were dangling over the big stones in the river. To see that, Angku Ketek had an idea to make a bridge that was strong enough against Batang Bayang’s strong current when it was flooded. So by the help of the villagers, Angku Ketek started to braid the aerial roots around the bamboo bridge.

Year after year, the roots grew bigger and stronger, and after more than 15 years, they had already strong enough to be used as a permanent bridge. Now the two villages can still be connected, even when Batang Bayang River flooded, as the Jambatan Aka was hanging high enough over the river. It was hanging about 6 meters above the river. With the bridge width about 1 meter, it was quite wide for people to pass safely.

IMG_AKA01

To reach the location, it would be better to use a rented car because travelers could not count on the infrequent public transport. To have refreshment, however, travelers were not to worry, since there were some simple stalls selling bottled water and local snacks.—

Keterangan :

Jembatan hidup? Yup, gak salah menterjemahkan koq. Yang aku maksudkan memang jembatan yang hidup. Tentu saja bukan berarti jembatan itu bisa pindah sendiri dari satu tempat ke tempat lain seperti di dalam dongeng ya. Tetapi jembatan ini memang hidup dan tumbuh koq. Jembatan yang aku maksudkan ini terbentang di atas sungai Batang Bayang yang lebarnya kurang lebih 25 meter dan menghubungkan Desa Pulut-Pulut dengan Desa Lubuak Silau. Kedua desa ini terletak di Kecamatan Bayang, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat.

Masyarakat setempat menyebut jembatan ini dengan sebutan Jambatan Aka atau Jembatan Akar karena jembatan ini memang terdiri dari jalinan akar-akar raksasa dua buah pohon beringin yang tumbuh berhadapan di kedua tepi Sungai Batang Bayang itu.

IMG_AKA06

Sejarah terjadinya jematan yang unik ini tidak dapat dilepaskan dari keberadaan Pakiah Sokan yang sering juga dipanggil Angku Ketek oleh masyarakat setempat. Angku Ketek terkenal sebagai orang berilmu dan juga kerap mengajar mengaji orang-orang di wilayah itu. Saat itu, kurang lebih seabad yang lalu, Angku Ketek tinggal di Desa Pulut-Pulut. Dan sama seperti penduduk desa lainnya, Angku Ketek juga harus menyeberangi Sungai Batang Bayang jika ingin berkunjung ke Desa Lubuak Silau untuk mengajar. Ketika itu, satu-satunya cara untuk menyeberangi sungai adalah dengan mempergunakan jembatan bambu yang dibangun di atas sungai. Maklum saja, tidaklah mungkin menyeberangi Sungai Batang Bayang yang berarus deras dan banyak terdapat batu-batu besar bertonjolan di sepanjang alirannya dengan mempergunakan sampan. Masalah selalu timbul ketika Sungai Batang Bayang meluap pada musim penghujan. Luapan air sungai tersebut selalu menghanyutkan jembatan bambu satu-satunya itu, sehingga tiap tahun, selama beberapa waktu terputuslah hubungan antara kedua desa itu.

Pada suatu saat, ketika sedang berjalan menyusuri tepian sungai, Angku Ketek melihat kalau pohon-pohon beringin yang ditanamnya di kedua tepian sungai berbilang tahun sebelumnya telah tumbuh menjadi pohon besar dengan akar-akar gantungnya yang terjulur menyentuh permukaan sungai tidak jauh dari jembatan bambu yang biasa dipergunakan penduduk untuk berlalu lalang. Tiba-tiba timbul ide di benak Angku Ketek untuk mengikat jembatan bambu itu dengan akar gantung pohon beringin dengan harapan bahwa kuatnya akar gantung akan bisa menahan jembatan bambu dari terjangan luapan air sungai pada saat banjir. Sejak itulah, dengan bantuan penduduk desa, Angku ketek menganyam akar-akar gantung tersebut meliliti jembatan bambu.

IMG_AKA09

Tahun berganti tahun, lilitan akar-akar yang masih hidup itu menjadi semakin kuat seiring dengan semakin besarnya ukuran akar-akar tersebut. Dan karena dijalin, lama kelamaan akar-akar tersebut juga tumbuh menyatu, bahkan mengalahkan jembatan bambunya sendiri. Akhirnya setelah lebih dari 15 tahun, jembatan tersebut sudah benar-benar kuat untuk dilalui. Sejak saat itulah hubungan kedua desa selalu terjalin tanpa jeda yang diakibatkan oleh meluapnya Sungai Batang Bayang. Jembatan yang terbentuk dari jalinan akar kedua pohon beringin tua itu tetap aman dilalui meskipun sungai sedang meluap karena jembatan tersebut ergantung 6 meter di atas permukaan sungai. Lebar jembatan yang sekitar 1 meter dengan “pagar akar” di kedua sisinya menjadikan jembatan ini cukup aman dilalui bahkan jika harus berpapasan sekalipun. Kini, dengan usia yang lebih dari 100 tahun, meskipun menjadi semakin kuat, untuk berjaga-jaga, tubuh jembatan diperkuat juga dengan bentangan kawat baja.

IMG_AKA11

Kalau berkunjung ke sana, selain merasakan menyeberang di atas jembatan yang unik itu, pelancong juga bisa bermain air di Sungai Batang Bayang yang berair jernih dan menikmati kesejukan dan ketenangan suasana sekitarnya. Kadang kita temukan juga anak-anak setempat yang asyik bermain-main di tepi sungai. Trus untuk mencapai lokasi jembatan itu susah apa gak? Sebetulnya relatif mudah, jaraknya dari Painan hanya sekitar 20 kilometer, sayangnya transportasi umum yang melewati tempat tersebut masih sangat jarang, sehingga akan lebih aman kalau kesana mempergunakan kendaraan sewa. Di lokasi sendiri ada beberapa warung sederhana yang menjual makanan dan minuman ringan, jadi gak usah kuatir kehausan atau kelaparan  🙂 .–

Categories: Travel Pictures | Tags: , , , , | 50 Comments

Create a free website or blog at WordPress.com.