Wulla Waijelu was the name of a sub-district located in East Sumba, Indonesia. It was at the eastern tip of Sumba Island, more than 135 kilometers from Waingapu, the capital city of East Sumba. To reach the region, travelers should spend more than 3 hours drive on a relatively good road, although sometimes travelers should drove slowly or even stop because there were cattle stopping or laying on the road blocking the traffic 😛
Wulla Waijelu had many pretty beaches. One of them was Watu Parunu Beach which I visited before and my note about the beach could be seen in here.
At that time, I was driving far to the east from Watu Parunu Beach. The road was not as good as before. In some parts, the road was so broken and made every driver who drove past those roads to be extra careful. The scenery along the road, however, was quite beautiful. The blue sea was clearly seen far below because the road took us along the ridge of a hill.
After about 30 minutes in a rough ride on the broken road, my travel partner and I arrived at a place that looked like a small forest consisted of trees with whitish barks. It Seemed that I was at a beach because the sea was clearly seen close enough from the forest. When I asked Pak Ebet, who accompanied us in the trip, he said that locals called the beach as Wairano Beach while others also called it Tamarind Beach because the forest consisted of tamarind trees.
There were no other people except the tree of us at the beach. Well . . . another “private beach” for us to explore then 😎
Pak Ebet parked the car under a sole tamarind tree not too far from the beach, so he could rest under the shade of the tamarind leaves while my travel partner and I explored the area and walked deeper among the trees.
Sumba could not be separated with horses. Here, in a remote area, I also found horses roaming freely. I was looking around to find the horses’ owner, but I could not find any. Yes, here in Sumba, horses were free to roam and looked for their own food from the surrounding area, but amazingly they would go to their own stables at night by themselves. The owners were only there to wait for the horses and close the stables.
Walking to the beach, I found that a part of the beach was a sandy beach with many beach plants and trees as if bordering the beach area. Far behind the beach, a row of hills was seen. At the opposite part of the sandy beach, there was a corral beach. Brownish corral was at the beach lapped by the sea and made the beach more pretty.
Seeing such a pretty scenery like I found in here, I always hope that the nature beauty would always never been harmed, never been disturbed or destroyed by unplanned area development. Let the nature still had its pride with its beauty and we could still admiring the pretty scenery for long ❤ ❤
Keterangan :
Wulla Waijelu adalah nama sebuah kecamatan yang terletak di Kabupaten Sumba Timur, rasanya kecamatan ini merupakan kecamatan yang paling timur di Pulau Sumba Ini. Lokasinya yang berjarak lebih dari 135 kilometer di tenggara Waingapu yang menjadi ibukota kabupaten, membuat para pelancong harus bersiap-siap menghabiskan waktu lebih dari 3 jam berkendara untuk sampai di sana. Jalannya memang lumayan mulus sih, tapi kendaraan juga tidak bisa dipacu terlalu kencang karena ada saja kawanan ternak yang berjalan santai di tengah jalan, bahkan di beberapa tempat akan kita temukan adanya sapi yang dengan tenangnya berbaring di jalan sambil memamah biak, tidak peduli bahwa dengan berbaring di jalan itu dia menutup lalu lintas dan membuat antrian kendaraan yang cukup panjang. Repotnya lagi, suara klakson yang dibunyikan para pengendara itu belum tentu ampuh untuk mengusir para sapi itu 😛
Tetapi perjuangan dan waktu yang cukup lama untuk mencapai Wulla Waijelu akan terbayar koq karena Wulla Waijelu memiliki banyak pantai indah. Salah satunya adalah Pantai Watu Parunu yang pernah aku kunjungi sebelumnya, dan catatan mengenai Watu Parunu bisa dilihat di sini.
Ketika itu, aku dan teman seperjalananku menyempatkan diri untuk menjelajah lebih jauh lagi, melewati Pantai Watu Parunu, menyusuri jalan yang tidak sebagus jalanan sebelumnya, bahkan di beberapa tempat cukup rusak karena aspal yang sudah mengelupas. Jalan tersebut membawa aku dan teman seperjalananku menyusuri lamping bukit dengan pemandangan birunya laut jauh di bawah dan hijaunya perbukitan nun jauh di sana seolah mencegah laut untuk tidak naik lebih jauh ke daratan.
Setelah kurang lebih setengah jam terguncang-guncang dan bahkan sesekali kepentok di dalam mobil yang berjalan pelan karena kondisi jalan itu, akhirnya aku dan teman seperjalananku sampai ke suatu daerah terbuka dengan sekelompok pepohonan yang kelihatan seperti hutan, meskipun tidak terlalu lebat. Pepohonan yang ada di situ berbatang keputih-putihan dan cabang-cabangnya cukup banyak. Rupanya itu adalah pohon-pohon asam. Aku lihat birunya air laut juga tidak jauh ada di belakang pepohonan itu. Wah . . . rupanya sudah sampai di pantai lagi nih. Ketika aku bertanya kepada Pak Ebet yang mengantar aku dan teman seperjalananku waktu itu, aku memperoleh informasi kalau penduduk setempat menyebut pantai itu dengan nama Pantai Wairano tetapi karena di pantai tersebut banyak pohon asamnya, pelancong yang datang ke sana banyak juga yang menyebutnya dengan nama Tamarind Beach.
Ketika aku sampai di sana, pantai dalam keadaan sepi, hanya ada aku, teman seperjalananku dan Pak Ebet. Wah ketemu “pantai pribadi” lagi nih 😎
Setelah Pak Ebet memarkirkan kendaraan di bawah sebatang pohon asam yang cukup rindang, aku dan teman seperjalananku segera berjalan masuk ke hutan asam yang ada di sana. Wah . . . banyak kuda ternyata. Ya memang sih, Sumba tidak bisa dipisahkan dari kuda; makanya nggak mengherankan kalau di situ aku menemukan banyak kuda. Dan seperti halnya di tempat lain di Pulau Sumba ini, kuda-kuda di pantai itu juga dibiarkan bebas karena aku juga nggak menemukan adanya penggembala atau pemilik kuda –kuda itu di situ. Eh tapi tahu nggak, meskipun nggak digembalakan dan juga nggak ditungguin, kuda-kuda itu nggak trus ngabur nggak karuan lho, bahkan ketika malam menjelang mereka akan pulang kembali ke kandangnya masing-masing dengan tertib. Si pemilik tinggal menunggu saja di kandang dan setelah kuda-kudanya masuk, tinggal mengunci pintu kandangnya saja.
Setelah puas menjelajah dan memotret di dalam hutan asam itu, aku dan teman seperjalananku beralih ke kawasan pantainya.
Pantai yang menempel dengan hutan asam itu merupakan pantai berpasir lembut. Kawasan yang berpasir dengan kawasan hutan hanya dibatasi dengan tumbuhan pandan laut yang banyak tumbuh di situ, dan pandan lautnya sudah tumbuh lumayan tinggi lho. Keindahan kawasan pantai itu menjadi lebih lengkap dengan adanya deretan perbukitan yang tampak menghijau di kejauhan.
Di bagian lain pantai, terdapat kawasan yang berbatu karang. Di kawasan itu praktis sedikit saja pasirnya. Pantainya didominasi bebatuan yang berwarna coklat kemerahan sehingga menambah keindahan pemandangan di sana.
Ah . . andai keindahan ini bisa lestari. Jangan sampai terganggu apalagi sampai rusak dengan pengembangan kawasan yang tidak terkontrol. Biarlah alam bisa tetap berbangga dengan kecantikannya dan kita bisa menikmati kecantikan itu sampai lama, bahkan anak cucu kitapun masih bisa menikmatinya. Semoga . . . ❤ ❤