Posts Tagged With: cultural

Bangunan unik yang terbengkelai

Kali ini aku mau ceritakan sedikit mengenai perjalananku ke Cirebon, sebuah kota di pesisir utara pulau Jawa yang sering juga disebut dengan sebutan Kota Udang. Jika berangkat dari Jakarta, Cirebon bisa dicapai dengan bermobil maupun dengan menggunakan moda kereta api.

Sebetulnya, jika ingin ke Cirebon, lebih enak dan nyaman mempergunakan kereta api dibanding jika kita mempergunakan kendaraan pribadi. Bukan apa-apa sih, dengan kereta api, paling tidak kita terbebas dari kemaetan yang kerap menghadang di sepanjang jalur Pantura. Tetapi kalau kita mempergunakan kereta api, tentu saja persoalan lain akan timbul, yaitu bagaimana transportasi selama di Cirebon. Ya bisa saja di Cirebon mempergunakan kendaraan umum, tetapi kembali, factor kenyamanan di sini yang menjadi berkurang, Meskipun demikian, tetap memungkinkan koq kalau mau kluyuran mempergunakan kendaraan umum di Cirebon, bisa pakai angkot atau becak  🙂

Anyway, tulisanku kali ini cuma akan mengenai sebuah bangunan dengan bentuk yang cukup unik. Bangunan ini akan tampak dengan jelas kalau kita melintas dari arah Jakarta menuju Jawa Tengah melalui jalan outer ring road-nya Cirebon. Buat aku sendiri, sebetulnya sudah lama, bahkan sejak aku kecil, penampakan bangunan ini selalu menarik perhatian, yang pada gilirannya menumbuhkan rasa penasaran. Bangunan ini dari kejauhan tampak mirip candi, atau bahkan bisa dibilang mirip bukit-bukit karang di tepi pantai, hanya saja bukit-bukit karang ini terletak di daratan.

Gua Sunyaragi

Gua Sunyaragi

Setelah sekian lama memendam rasa penasaran, akhirnya aku tahu juga bahwa bangunan unik itu dikenal dengan nama Gua Sunyaragi. Saat aku mendengar namanya, yang terbersit dalam pikiranku adalah sebuah gua bentukan alam, sehingga keinginanku untuk berkunjung ke sana menjadi semakin besar. Bayangkan saja ada sebuah gua yang berlokasi tidak jauh dari kota, tentunya sayang untuk dilewatkan. Apalagi dari kejauhan tampak kalau bentuk luar gua itu cukup unik. Aku sempat membayangkan kalau di dalamnya juga pasti tidak kalah uniknya.

Meskipun demikian, keinginanku untuk berkunjung ke sana baru betul-betul terlaksana beberapa waktu yang lalu. Dan baru saat itu juga aku tahu kalau Gua Sunyaragi bukanlah betul-betul gua, melainkan sebuah bangunan buatan manusia, dan juga merupakan peninggalan sejarah yang harus dilestarikan.

Kebetulan pada saat aku berkunjung ke sana, hari sudah mendekati sore. Meskipun demikian, matahari masih memancarkan sinarnya yang cemerlang menembus gulungan awan mendung yang tidak terlalu tebal. Setelah turun dari kendaraan, aku sempat bingung juga mencari jalan masuk ke situs tersebut, karena kelihatan sekali kalau situs itu dikelilingi pagar kawat. Untunglah kebingunganku sirna ketika seorang bapak yang sedang mengerjakan lukisan kaca di sanggarnya, dengan tersenyum ramah menunjuk ke arah sebuah meja kecil yang ada di teras sebuah rumah yang terletak tidak jauh dari tempat parkir. Di sekeliling meja tersebut aku melihat beberapa orang lelaki setengah baya sedang duduk mengobrol. Setelah aku mendekati mereka, barulah aku tahu bahwa di meja itu aku harus membayar sebesar Rp 5.000,– per orang untuk bisa masuk ke dalam. Sayangnya tidak ada bukti pembayaran ataupun ticket apapun yang aku terima sebagai bukti bahwa aku sudah membayar. Kalau demikian, terus terang aku meragukan kalau uang itu akan sampai ke tujuannya. Yah mau gak mau aku jadi berprasangka buruk nih.

Selesai melakukan pembayaran, aku masih sedikit ditahan oleh orang yang menerima pembayaran tersebut, yang ternyata dia menawarkan jasa sebagai guide yang akan menjelaskan mengenai kisah dan sejarah Gua Sunyaragi. Barulah aku tahu kalau orang-orang yang berkumpul di sekitar meja kecil itu adalah para guide yang diklaim sebagai guide resmi, meskipun terus terang aku juga meragukannya. Karena itu pulalah aku menolak dengan halus tawaran mereka itu.

Sunyaragi as the background

Sunyaragi as the background

Jadilah setelah itu aku mulai melangkahkan kaki memasuki pelataran kompleks Gua Sunyaragi itu. Sebelum masuk ke bagian dalam, aku sempat melihat berkeliling. Ternyata di sebelah selatan bangunan Gua Sunyaragi itu telah dibangun sebuah panggung pertunjukan lengkap dengan tribun penonton. Dari informasi yang aku dapatkan, di situ sempat dipentaskan berbagai pertunjukan jika ada tamu agung yang datang ke Cirebon. Wah sayang juga kalau panggung pertunjukan sebagus itu hanya dipergunakan jika ada tamu agung. Berapa banyak sih tamu yang dianggap agung itu yang datang ke Cirebon dalam setahunnya? Bukannya akan lebih baik kalau panggung pertunjukan itu dipergunakan secara rutin? Aku membayangkan kalau di panggung pertunjukan itu dipentaskan pertunjukan kolosal yang ceritanya didasarkan pada Babad Cirebon, kemudian background panggung yang berupa bangunan Gua Sunyaragi juga dilengkapi tata lampu yang diatur dengan tepat sehingga betul-betul bisa mendukung pementasan itu, tanpa harus mengganggu keutuhan bangunan bersejarah itu. Wah pasti akan sangat menarik. Yah aku hanya bisa berharap kalau ada orang yang juga memiliki bayangan yang sama denganku, dan juga bisa mewujudkannya.

Setelah menuntaskan lamunanku, aku mulai memasuki gerbang menuju ke bagian dalam kompleks Gua Sunyaragi. Sesampai di dalam, terus terang aku merasa sedikit kecewa. Bayanganku akan sebuah petilasan sultan-sultan Cirebon yang pernah dijadikan sebagai tempat semadi yang seharusnya hening dan sakral, hilang sama sekali. Bahkan aku juga tidak merasakan adanya aura yang seharusnya dipancarkan tempat-tempat seperti ini. Kalau dibandingkan dengan beberapa candi yang sempat aku kunjungi, beberapa candi itu terasa sekali memiliki aura yang sangat kental. Bahkan Keraton-Keraton Cirebon juga masih memancarkan aura yang sangat kuat di beberapa bagiannya.

the entrance gate

the entrance gate

Memasuki kompleks Gua Sunyaragi benar-benar menjadi seperti hanya kunjungan wisata ke tempat-tempat umum lainnya, dan bukannya ke suatu petilasan. Aku kemudian mencoba memandang berkeliling. Apa yang aku lihat betul-betul membuatku sedih bercampur kesal. Bagaimana tidak, selain kelihatan tidak terurus, sore itu ternyata banyak sekali anak-anak dan remaja yang bermain di situ. Banyak di antara mereka yang memanjat bangunan ataupun struktur bahkan patung yang ada, yang seharusnya kalau menurut aturan tertulis yang ditempelkan di pintu masuk tidak boleh dilakukan. Bahkan aku juga sempat melihat ada sepasang remaja yang memanfaatkan salah satu ceruk yang ada sebagai tempat berpacaran yang juga seharusnya kalau menuruti aturan tertulis yang sama juga dilarang dilakukan di situ.

Belum lagi di sana ada beberapa pemuda yang kesannya sedikit memaksa untuk memberikan penjelasan mengenai situs itu. Yah semacam guide liar begitu. Pemuda-pemuda ini dengan jelas menunjukkan rasa tidak sukanya ketika aku mengatakan bahwa aku tidak perlu pendamping yang menceritakan sejarah tempat itu, karena aku cuma mau melihat sepintas berbagai bangunan yang ada di situ  😡

Lho bukannya tadi dikatakan bahwa kompleks bangunan bersejarah ini ada penjaga yang sekaligus merangkap sebagai penjual karcis masuk? Iya sih, tapi penjaga-penjaga itu cuma ada untuk menerima pembayaran karcis masuk, dan tidak peduli dengan keadaan situs yang harus dijaganya tersebut. Itupun kalau orang-orang yang mengutip bayaran dari pengunjung yang ingin masuk ke area ini bisa dianggap sebagai petugas resmi. Kalau kondisi demikian dibiarkan terus, tidak mustahil dalam beberapa tahun ke depan, Cirebon akan kehilangan salah satu peninggalan sejarahnya yang berbentuk unik ini  😡

Ah daripada berlama-lama menceritakan keadaan kompleks Gua Sunyaragi yang akhirnya membuat sedih dan jengkel, mendingan aku cerita sedikit mengenai sejarahnya saja ya. Kebetulan aku punya sebuah sumber yang menurut aku cukup banyak memberikan informasi mengenai tempat tersebut.

gajah derum tirta linuwih

gajah derum tirta linuwih

Jadi kalau kita menengok ke belakang, Gua Sunyaragi yang merupakan salah satu asset dari Keraton Kasepuhan ini didirikan pada jaman Panembahan Pakungwati I, dengan arsiteknya adalah Raden Sepat dari Demak dan Pangeran Losari dari Cirebon. Tahun dimulainya pembangunan kompleks ini, digambarkan dengan jelas dengan patung gajah yang masih ada sampai sekarang. Perlambang yang menunjukan angka tahun, atau seringkali juga disebut sebagai candrasengkala, yang ada di kompleks Sunyaragi dalam bentuk patung gajah itu, bisa dibaca sebagai Gajah Derum Tirta Linuwih, dan menunjukan tahun 1458 Saka yang sama dengan tahun 1536 Masehi.

Sunyaragi semula dibangun sebagai tempat tetirah, sehingga semula dikenal dengan sebutan Tamansari Sunyaragi. Pada saat dibangunnya, Sunyaragi dikelilingi oleh sebuah danau buatan yang dikenal dengan sebutan Segaran Jati. Dengan kondisi demikian, arsitektur Sunyaragi juga disesuaikan supaya menyatu dengan sekitarnya, sehingga Taman Sari Sunyaragi juga dibuat memiliki banyak air terjun dan kolam. Oleh karena itulah Taman Sari Sunyaragi juga dikenal dengan nama Taman Air Sunyaragi.

Dalam perkembangannya, selain sebagai tempat tetirah, Sunyaragi juga dimanfaatkan sebagai tempat bersemedi. Kondisi ini selaras dengan nama yang diberikan untuk taman ini, “Sunyaragi”. Sunyaragi secara harfiah berasal dari kata sunya yang berarti sunyi atau hening dan ragi berarti raga atau badan. Jadi secara umum arti kata Sunyaragi adalah suatu tempat untuk menyepi atau bertapa. Oleh karena itu pulalah maka di dalam kompleks taman ini, banyak terdapat lorong dan ceruk yang berliku, disamping banyak juga terdapat ruangan-ruangan yang gelap sebagai tempat bersemedi. Dari kondisinya yang demikianlah mulai timbul sebutan “gua” untuk bangunan ini.

Pada jaman Sultan Sepuh V yang dikenal juga dengan nama Sultan Matanghaji, Sunyaragi juga difungsikan sebagai benteng dan tempat berlatih para prajurit yang akan dikirim ke medan pertempuran melawan Belanda.

Kompleks Gua Sunyaragi ini sangat luas dan terdiri dari beberapa bangunan. Dilihat dari fungsinya, bisa dikatakan ada 13 bangunan di dalam kompleks ini, yaitu:

1. Gedung Pesanggrahan yang dahulu berfungsi sebagai tempat peristirahatan keluarga keraton. Sekarang gedung ini difungsikan sebagai pintu masuk ke kompleks Gua Sunyaragi. Di tampat inilah tadi aku membayar ongkos masuk tanpa diberii bukti pembayaran dan juga ditawari untuk mempergunakan jasa guide (masih memendam rasa jengkel).

2. Gua Pengawal, merupakan tempat berkumpul dan beristirahatnya para pengawal sultan.

3. Gua Pande Kemasan, merupakan tempat membuat berbagai jenis senjata dan perabotan rumah tangga berbahan dasar logam.

4. Gua Simanyang, difungsikan sebagai pos keamanan atau penjagaan.

bangsal jinem  (the throne room)

bangsal jinem (the throne room)

5. Bangsal Jinem, berbentuk podium yang menghadap ke sebuah lapangan, dahulu bangunan ini dipergunakan sultan untuk memberikan wejangan ataupun melihat latihan perang para prajurit keraton.

6. Mande Beling, berbentuk bangunan tanpa dinding dengan atap berbentuk kerucut yang dipergunakan sebagai tempat bersantai kalau sultan sedang berkunjung ke Sunyaragi.

7. Kompleks Gua Peteng yang terletak di depan Mande Beling, dahulu berfungsi sebagai ruangan semedi sultan dan putra putrinya. Disebut Gua Peteng karena di dalamnya betul-betul gelap. Di kompleks Gua Peteng ini terdapat beberapa ruangan yang juga diberi nama Gua Peteng, selain juga ada ruangan-ruangan lain seperti Gua Langse, Bangsal Panembahan, Kaputran dan Kaputren, Ruangan Patung Putri Cina, dan Cungkup Puncit atau Menara Pengawas.

8. Bale Kambang, berupa bangunan beratap sirap yang dibawahnya terdapat kolam, sehingga bangunan yang dipergunakan sebagai tempat bersantai ini kelihatan seolah-olah mengambang di air.

9. Gua Arga Jumut, dahulu dipergunakan sebagai tempat berkumpulnya para petinggi keraton, sekaligus juga tempat untuk menikmati hidangan.

10. Gua Padang Ati, merupakan tempat bersemedi untuk memperoleh ketenangan dan mencari ilham untuk mencapai apa yang dicitakan.

the gate to the meditation room

the gate to the meditation room

11. Gua Kelanggengan, merupakan tempat bertapa untuk memperoleh berkah yang membuat jabatan orang yang bertapa itu langgeng.

12. Gua Lawa, disebut demikian karena di situ dahulu banyak terdapat kelelawar.

13. Gua Pawon, dahulu berfungsi untuk tempat penyimpanan makanan dan juga berfungsi sebagai tempat mempersiapkan hidangan bagi sultan dan keluarganya bila sedang berkunjung ke Sunyaragi.

Ketiga belas bangunan dalam kompleks Gua Sunyaragi ini tidak dibangun sekaligus, melainkan melalui tiga periode berbeda, sehingga kalau diperhatikan tampak jelas adanya perbedaan bentuk dan dekorasinya.

Pada periode pertama yang dibangun barulah Gua Pengawal, Gua Pawon, Gua Lawa, Kompleks Gua Peteng, Gua Padang Ati, dan Gua Kelanggengan. Pada periode pertama ini, proses pembangunan banyak dibantu oleh orang-orang Cina pengikut Putri Ong Tien (istri Sunan Gunung Jati), sehingga bangunan-bangunan yang dibangun pada periode pertama ini menampakkan ciri-ciri bangunan dan ornamen Cina.

braja asta rarasing bumi

braja asta rarasing bumi

Periode pembangunan kedua, dimulai pada tahun 1625 Saka atau 1703 Masehi seperti digambarkan dalam candrasengkala berbentuk patung manusia garuda terlilit ular yang berarti Braja Asta Rarasing Bumi. Masa itu adalaha masa pemerintahan Sultan Sepuh II. Pada periode ini yang dibangun adalah Gua Arga Jumut, Bale Kambang, dan Mande Beling.

Periode terakhir diprakarasai oleh Sultan Sepuh V pada abad ke-18, dengan membangun Gua Pande Kemasan, Gua Simanyang, dan juga Bangsal Jinem. Pembangunan periode ketiga ini dibantu oleh seorang arsitek dari Cina yang kemudian dibunuh karena membocorkan fungsi terselubung Gua Sunyaragi sebagai tempat mengatur strategi dan latihan prajurit untuk melawan penjajah Belanda. Jenasah arsitek Cina itu dikebumikan di dalam kompleks Gua Sunyaragi juga, di dekat sebuah pohon lengkeng. Sampai sekarang kuburan itu masih ada dan dikenal sebagai Makam Cina. Pohon lengkengnyapun masih ada, dan meskipun sudah tua dan batangnya hanya tinggal kulit pohon yang menebal, tetapi pohon itu masih berdaun lebat.

Di dalam kompleks Gua Sunyaragi ini, selain patung gajah dan patung manusia garuda terlilit ular yang menjadi candrasengkala pembangunan kompleks ini, masih ada satu patung lagi yang boleh dikata menjadi primadonanya, karena keberadaan patung yang satu ini tidak bisa dilepaskan dari adanya kepercayaan masyarakat setempat yang bersifat mitos. Patung ini dikenal dengan sebutan Patung Perawan Sunti. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, jika seorang gadis memegang patung ini, maka gadis tersebut akan susah memperoleh jodohnya. Benarkah demikian? Entahlah. Aku sendiri juga tidak tahu, tetapi masyarakat sekitar sangat mempercayai mitos ini.

Wah tidak terasa ternyata sudah cukup panjang aku cerita nih. Mudah-mudahan gak bosan ya, karena kali ini lebih mirip cerita sejarah dibandingkan catatan perjalanan. Sebetulnya masih kepingin cerita lagi mengenai keraton-keraton yang ada di Cirebon sih, tapi biarlah lain kali saja ya, biar gak terlalu bosan juga. Ok, aku akhiri saja ceritaku mengenai Gua Sunyaragi ini. Rasanya sih semua informasi dan cerita yang aku dengar mengenai tempat ini sudah aku sampaikan di sini. Meskipun demikian, kalau ada yang terlewat, ya . . . harap dimaafkan  😳

cirebon's style glass painting

cirebon’s style glass painting

Sore itu, sekeluarnya dari pelataran kompleks Gua Sunyaragi, aku menyempatkan diri mampir sebentar ke kios cendera mata yang terdapat di dekat tempat parkir untuk menemui kembali si bapak yang tadi sempat menunjukkan jalan masuk ke kompleks Sunyaragi. Si bapak masih asyik mengerjakan lukisan kacanya yang bergambarkan kereta kencana Keraton Cirebon. Seperti diketahui, lukisan kaca merupakan kerajinan khas Cirebon. Aku sejenak berbincang sambil melihatnya menyelesaikan pekerjaannya, sebelum akhirnya aku berpamitan untuk kembali meneruskan perjalananku. Dalam hati aku berharap semoga pihak-pihak yang berwenang tergerak hatinya untuk melestarikan Kompleks Gua Sunyaragi ini, sehingga anak cucu kita nantinya juga masih bisa melihat dan mengagumi hasil karya nenek moyangnya.–

Summary :

Cirebon, a city located at the north coast of Java, and can be reached by car or by train from Jakarta. For me, traveling to Cirebon by train is more convenient than by car. At least, I will not facing the traffic jam which frequently happens on the route.

There is a uniquely built structure that always draws my attention whenever I passed Cirebon on my way from Jakarta to Central Java vice versa. The structure is actually a part of Cirebon’s historical site which is known as Gua Sunyaragi or Sunyaragi Cave. Actually it is not a cave; it is a compound of once a water-castle, instead.

The compound was firstly built by Panembahan Pakungwati I, the king of Cirebon, in 1536, as mentioned by the “Candrasengkala”. Candrasengkala is a way to explain or inform about a certain time, usually it is the year when an important building been erected or an important action been taken, in a form of a certain picture or statue. People who understand to decipher the symbol will instantly know the year it meant. The year 1536 in the compound, for instance, is symbolized by a lying elephant statue at the side of a pool, which in the local language called ‘gajah derum tirta linuwih’

pond inside the compound

remaining pond inside the compound

At that time, the king ordered to build a beautiful palace surrounded by a man-made lake to be used by royal family members for relaxing. To be able to blend with its surroundings, many waterfalls and ponds were made as parts of the water-castle. Later on, in 1703, Sultan Sepuh II, the Cirebon king at that time, ordered to build more pavilions in the compound which made the compound wider. More rooms in the main structure also been built in the form of nooks and caves to be used as meditating places for royal family members. At that time, the name “Sunyaragi” began to use. “Sunyaragi” means the body in tranquil.

As the lake was shrunk, at the end of 18th century, the final parts of the compound were built by the order of Sultan Sepuh V. It function was also changed, from the place for mere relaxing to a secret place to train the royal guard for battling the colonial troops.

Nowadays, the compound looks deserted. It became the play-ground for children from the surrounding area. They cheerfully climb up and down on the structures without concern that their action can be dangerous for themselves and can also destroy the old structures. On other parts, some teenagers used the rooms in the structures as their romantic place for dating. They seem do not care even though there are notifications that forbid everyone to climb the structures as well as to use the room for indecency. If there are no actions taken to prevent the site from such deeds by the surroundings people, I’m sure that Sunyaragi will become really ruins in not too distant future  😦

Categories: Travel Notes | Tags: , , | 38 Comments

Mixed cultural procession in Tangerang

prepared for the procession

The eighth month in the Chinese lunar calendar of the year of the dragon, has a special meaning for people in Tangerang, especially for the Chinese community. At that special month and year, there is always a great procession held by  Boen Tek Bio, the oldest Chinese temple in Tangerang. Last Saturday, October 6, 2012, was the fourteenth procession being held since the first time.

Let us go back in time to an era before 1844 when Boen Tek Bio was not as it is in the present shape. At that time, it was not a temple, it was just a simple house made of bamboo where the Chinese community of old Tangerang prayed to Lord Buddha with the help of the Boddhisatvas. There were four Boddhisatvas’ statues were kept in the house; those were Kwan Se Im Hud Couw (Guan Shi Yin Pu Sa), Kha Lam Ya (Qie Lan Ye), Hok Tek Ceng Sin (Fu De Zheng Shen), and Kwan Seng Tee Kun (Guan Sheng Di Jun).

As the people who visited the house to pray increased rapidly, the elderly in the local Chinese community decided to renovate the house. So in 1844, they began to reconstruct the house into a Chinese temple. In the process, the four Boddhisatvas’ statues were moved temporarily to a neighboring temple called Boen San Bio.

In 1856, when the reconstruction process finished, the statues were brought back to Boen Tek Bio in a big procession. The people greeted the Boddhisatvas along the way to Boen Tek Bio. They made a big celebration to welcome the Boddhisatvas to their new home, Boen Tek Bio Temple. The procession in 1856 might be the first procession which was later on became a tradition held regularly once in every twelve years.

Recently, the procession has been turned into a mixed cultural party celebrated by each and every people, especially in Tangerang. In 2012, the procession was not only followed by the Chinese community which performed Chinese cultures and traditional arts, but also by Balinese Hindhu community with their own tradition and music, a group of Reog (a cultural art performance originated from East Java), a group of tanjidor (a local traditional music style), groups of angklung gubrak and rebana (traditional musical instruments), and a group of modern drum-band performed by local high school students as well.

Categories: Event Pictures | Tags: , , | 5 Comments

Ogoh-Ogoh parade in Jakarta

Ogoh-ogoh, which is originally come from Balinese tradition, is a giant statue that usually made of bamboo crates which formed into a monster-like being according to the imagination of its maker. The bamboo forms then wrapped with papers, cloth, and also being painted, so finally it becomes an artistic statue.

Balinese people build ogoh-ogohs especially for a big parade known as “Ngrupuk” that always takes place on the eve of “Nyepi” (the Day of Silence). For them, ogoh-ogoh is a symbol of evil spirit or bad atmosphere which always tries to influence human being. That’s why at the “Ngrupuk” Parade, the Balinese will carry the ogoh-ogoh around to soak up the evil spirits.

During the parade, ogoh-ogoh will be placed on a bamboo frame and be carried by many youngsters. The carriers rock the frame along the road so the ogoh-ogoh will move as if it is alive. At every junctions and crossroad, they will rotate the frame several times before continuing to march to the final destination. And at the end of the ritual, the giant statue will be burnt into ashes as a symbol of self-purification.

On March 22, 2012, there was an ogoh-ogoh parade in Jakarta, which took place in the National Monument area. There were more than 10 ogoh-ogohs with various forms and styles. In my own opinion, all ogoh-ogohs participating in the parade were artistically crafted, even-though for many they look scary. What do you think?

Categories: Event Pictures | Tags: , , | 6 Comments

Create a free website or blog at WordPress.com.