First of all, allow me to wish you all who celebrate Christmas, a very Merry Christmas. May Christmas and all of your days be a perfect blending of good times, laughter, joy, love and never ending happiness 🙂
In this special occasion, I would like to introduce you to a unique church located in Berastagi, a small town in North Sumatra Province, Indonesia. The town was located 70 kilometers south of Medan, and on about 1,300 meters above sea level which made the climate was relatively cool. The cool climate was also the main reason why in the colonial era, the Dutch traders escaped the heat of Medan to Berastagi. And nowadays, at weekends or other holidays along the year, many Medan people as well as other visitors like to spend their days in Berastagi with the same reason as the Dutch traders in the colonial era.
Berastagi was also the area where Batak Karo people live. Their villages was scattered around with their culture still remain in their tradition and in the shape of their traditional houses which was made of wood with their high thatched roofs and specific ornaments.
As I mentioned earlier, there was a unique church in Berastagi. It was a Catholic Chruch, and I found it quite unique because of its structure, which was in the shape of a Batak Karo traditional house; although it was not built of natural materials as usually been used in the real Batak Karo traditional houses. From the information I’ve got, the building process, however, from the very beginning was following the ritual of traditional Batak Karo people when they built their own houses.
The church was named after St. Francis of Assisi. It was located in the main road that connected Medan and Karo Highland, so travelers who passed the road would surely see the church as the church structure was quite high. The highest part of its roof was about 35 meters high, and as it stood in as relatively high part of the town, the top part of the church would be easily seen form a far.
The church itself was quite big and could hold about 1000 people attending the regular Holy Mass. The main building was 32 meters long and 24 meters wide. In addition, there was also an open hall which could be used for many kind of activities related to the church.
Nowadays, the church which was inaugurated on February 20, 2005 still be used to celebrate holly mass regularly. Aside of that, because of its unique structure, it became one of Berastagi’s point of interest 🙂
Keterangan :
Pertama-tama, perkenankanlah aku menyampaikan Selamat Hari Natal kepada sahabat, teman dan siapapun juga yang kebetulan membaca postingan kali ini dan merayakan Natal. Semoga Natal membawa damai dan mengisi hari-hari kita dengan keceriaan dan kebahagiaan ❤
Pada kesempatan ini pula, aku ingin mengajak pengunjung blog-ku ini jalan-jalan ke Berastagi melalui postingan kali ini. Ya Berastagi sebuah kota kecil yang terletak kurang lebih 70 kilometer di sebelah selatan Medan. Sebuah kota kecil berhawa sejuk karena lokasinya yang berada di ketinggian 1.300 meter di atas permukaan laut. Dan karena kesejukannya itu pulalah, di jaman penjajahan dahulu,para pejabat Belanda banyak yang tetirah di Berastagi untuk menghindari hawa panas pesisir yang dirasakannya di Medan. Eh tapi sampai sekarang, di akhir pekan dan di hari-hari libur, masih banyak juga koq penduduk Medan maupun para pelancong yang datang ke Berastagi untuk merasakan kesejukan udaranya 😛
Berastagi terletak di Tanah Karo, karena itulah sebagian besar penduduknya merupakan suku Batak Karo. Orang-orang Karo masih banyak yang memegang teguh tradisi leluhurnya yang antara lain tampak dari masih mudahnya ditemukan rumah-rumah adat Karo di Berastagi dan sekitarnya.
Salah satu bangunan yang berbentuk rumah adat Karo di Berastagi ternyata merupakan sebuah gereja Katolik. Sebuah gereja inkulturasi yang mulai dibangun pada tahun 1999 dan diresmikan dalam sebuah Misa Agung yang dipimpin oleh Uskup Agung Medan pada tanggal 20 Februari 2005. Gereja yang dikenal dengan nama Gereja Katolik Santo Fransiskus Asisi ini berlokasi di Desa Sempajaya, Berastagi, tepatnya di Jl. Letjend Jamin Gintings. Lokasinya yang persis di tepi jalan utama yang menghubungkan Medan dengan Tanah Karo menyebabkan gereja ini mudah dicari. Atapnya yang menjulang setinggi 35 meter dan lokasinya yang berada di ketinggian menyebabkan bangunan gereja dapat terlihat pula dari kejauhan.
Bangunan gereja betul-betul mengambil bentuk rumah tradisional Karo, bahkan konon pembangunannya pun mengikuti ritual adat Karo sejak dari awal sampai jadinya. Bangunan utama gereja lumayan besar lho, dengan panjang 32 meter dan lebar 24 meter, gereja dapat menampung sekitar 1000 umat yang mengikuti misa agung di sana; belum lagi adanya bangunan tambahan serupa pendopo yang sering dipergunakan oleh kaum muda gereja dalam melakukan berbagai kegiatan kerohanian.
Sampai sekarang, Gereja Santo Fransiskus Asisi Berastagi masih dipergunakan untuk menyelenggarakan Misa Kudus secara rutin, baik harian maupun mingguan. Maklumlah, Berastagi sejak Februari 2005 itu sudah menjadi paroki tersendiri, terlepas dari Paroki Kabanjahe.
Selain fungsinya sebagai tempat ibadah Umat Katolik, akhir-akhir ini gereja ini juga sering menjadi tujuan wisata karena bentuknya yang unik. Ya Gereja St. Fransiskus Asisi Berastagi sudah menjadi salah satu point of interest di Berastagi 😎