Tulisan ini akan merupakan penutup dari serangkaian postingan mengenai Belitung yang berisi foto-foto yang aku ambil di sana, pada saat aku dan keluargaku berkunjung ke pulau cantik tersebut pada akhir Maret sampai dengan awal April yang lalu. Dan karena sebagian besar sudah pernah aku share dalam bentuk keterangan foto, aku akan coba tulis secara ringkas saja ya. Tapi kalau gak bisa ringkas ya apa boleh buat . . jadi panjang juga 😛
Jadi setelah sekian lama berkutat dengan pekerjaan, sampai-sampai harus membatalkan cuti akhir tahun yang lalu, akhirnya bisa juga dapat kesempatan melepas stress selama beberapa hari. Semula sempat was-was juga sih, kuatir kalau harus dibatalin lagi. Tapi untung saja akhirnya aku bisa mendapatkan kepastian kalau kali ini cutiku tidak dibatalkan. Hanya saja, karena semuanya sudah serba mepet, maka harga-harga yang aku dapatkan untuk sekedar lari dari rutinitas pekerjaan dan beban pikiran yang menyesaki otakku menjadi mahal 😦
Well, akhirnya pada suatu hari Sabtu di akhir Maret, dimana biasanya aku bangun agak siang, mau tidak mau aku harus bangun pagi seperti hari-hari kerja. Demikian juga istri dan anak-anakku. Maklum, aku dan keluarga harus mengejar pesawat yang akan take off jam 10.05 menuju Belitung.
Pesawatku lumayan on-time, sehingga menjelang tengah hari, pesawat yang aku tumpangi sudah bisa mendarat dengan mulus di Bandara HAS Hanandjoeddin di kota Tanjung Pandan, Belitung. Selesai mengurus segala urusan bagasi, aku dan keluarga langsung menuju pintu keluar, karena sepintas tadi aku sudah melihat Doni mondar mandir di depan pintu. Doni ini yang akan menemani aku dan keluargaku selama di Belitung.
Dari airport, aku dan keluarga langsung menuju ke Tanjung Tinggi untuk makan siang. Wah . . . ternyata tempat makan siang yang dituju merupakan warung sederhana yang terletak di tepi pantai. Sempat ragu juga sih lihat kondisi warungnya, tapi Doni menjamin keenakan dan kebersihannya. Ya sudah, akhirnya aku dan keluarga masuk juga ke situ. Segera saja beberapa macam lauk berbahan ikan laut segar sudah tersaji. Udara yang relatif dingin karena gerimis yang turun siang itu, ditambah sajian yang masih berasap dan menguarkan aroma harum, menyebabkan anak-anakku dengan segera meraih piring-piring kosong yang tersedia kemudian mulai mengambil nasi sesuai porsinya masing-masing. Setelah mengambil lauk, mereka mulai makan. Tetapi . . begitu suapan pertama memasuki mulut, spontan mereka terbengong.
“Ih koq nasinya asin ya? Seperti nasi uduk. Jangan-jangan dimasak pakai air laut nih”, demikian komentar anakku. Istriku yang kemudian ikut menyuapkan nasi ke mulutnya juga memberikan komentar yang sama. Tapi nasi yang sedikit asin itu ternyata pas dengan lauk ikan bakar bumbu yang tersaji di meja, sehingga tidak lama kemudian hidangan di atas meja bisa dibilang sudah habis. Bahkan wadah nasinyapun hampir kosong. Meskipun demikian, ternyata rasa penasaran mengenai nasi yang agak asin itu masih tersimpan, sehingga ketika aku dan keluarga berjalan-jalan di sepanjang pantai Tanjung Tinggi setelah selesai makan itu, istriku menanyakannya kepada Doni. Dengan santai sambil tersenyum lebar Doni menjawab bahwa nasinya tidak dimasak dengan air laut, dan memang sengaja dimasak mirip nasi uduk untuk menambah rasa. Tetapi . . kalaupun iya dimasak dengan air laut juga kenapa? Toh sudah masuk ke perut juga kan? Yaaaa . . . harap-harap sih gak mules ajalah (untungnya memang ternyata gak mules juga sih, he he he . . .)
Sebetulnya semula aku pengin ke hotel dulu buat check-in setelah makan, sekalian ganti pakaian yang lebih santai, sehingga kalaupun mau berbasah-basahan di pantai juga gak apa. Tetapi Doni menyampaikan bahwa kalau harus ke hotel dulu, berarti hilang waktu minimal satu jam untuk balik lagi ke situ. Jadilah akhirnya aku dan keluarga langsung menjelajah Pantai Tanjung Tinggi tersebut. Akibatnya . . . bisa diduga kalau celana panjang yang aku dan keluargaku kenakan semuanya basah meskipun sudah digulung. Bagaimana mau gak basah kalau semuanya tidak tahan godaan untuk masuk air laut yang bening banget. Sayang rasanya kalau gak nyebur .
Anyway, tidak terasa hari sudah menjelang sore. Cukup panjang juga garis pantai yang sempat dijelajahi di Tanjung Tinggi itu. Doni kemudian mengajak untuk mampir ke Tanjung Kelayang sebentar untuk melihat sebuah pulau batu di lepas pantai yang membentuk profil kepala burung garuda, sehingga dikenal dengan nama Batu Garuda. Sebetulnya nama Tanjung Kelayang juga berhubungan dengan adanya pulau batu tersebut. Menurut cerita rakyat setempat, pulau batu itu semula benar-benar seekor burung garuda raksasa yang berdiri di laut untuk menjaga perkampungan nelayan di tempat itu dari hal-hal yang tidak diinginkan. Burung Garuda dalam bahasa setempat disebut juga sebagai Burung Kelayang. Maka untuk selalu mengingat jasa-jasa si burung garuda yang terus menjaga tempat yang betul-betul merupakan daerah yang menjorok kelaut alias tanjung itu, maka tempat tersebut dinamai Tanjung Kelayang.
Setelah sempat menjelajah beberapa bagian pantainya, baik yang landai berpasir maupun yang berbatu seperti halnya di Tanjung Tinggi, aku dan keluarga segera beranjak meninggalkan Tanjung Kelayang untuk memburu moment matahari terbenam di sebuah desa nelayan yang bernama Tanjung Binga. Perjalanan ke Tanjung Binga ternyata cukup lancar, sehingga masih ada waktu sedikit untuk membasahi tenggorokan dengan minuman segar. Jadilah kendaraan dibelokkan terlebih dahulu ke Bukit Berahu oleh Doni. Dari restoran yang terletak di atas bukit ini, kita bisa memandang lautan yang membiru. Cocok sekali untuk bersantai sambil melamun, apalagi suasana sore itu juga relatif sepi.
Sekitar jam 17.30, aku dan keluarga meninggalkan restoran di atas bukit itu, dan langsung menuju ke Tanjung Binga. Jarak Bukit Berahu ke Tanjung Binga sangat dekat, sehingga tidak lama kemudian Doni sudah memarkirkan kendaraan yang aku dan keluargaku tumpangi di tepi jalan, kemudian mengajak memasuki sebuah jalan kecil yang ternyata membawa aku dan keluarga ke sebuah anjungan yang menjorok ke tengah laut, sementara di pantai, di kiri dan kanan anjungan yang merangkap dermaga itu berdiri rumah-rumah nelayan.
Sore itu, beberapa penduduk setempat juga ada yang datang ke anjungan tersebut untuk menikmati keindahan yang tersaji pada saat matahari beranjak ke peraduannya. Sayangnya sore itu langit tidak secerah yang diharapkan, meskipun semburat warna merah dari sisa-sisa keperkasaan sang bagaskara yang akan beristirahat setelah seharian menjalankan kewajibannya, masih menyisakan keindahan tersendiri. Apalagi dengan adanya kapal bagan dengan bentuknya yang unik sebagai latar depan.
Tidak terasa waktu berlalu demikian cepat. Sehari sudah terlewati di Pulau Belitung. Setelah menikmati makan malam di salah satu rumah makan di Tanjung Pandan, aku dan keluargaku langsung menuju ke hotel untuk beristirahat.
Cukup banyak tempat-tempat menarik di Belitung yang sempat aku sambangi bersama keluargaku waktu itu. Aku sempat juga berkunjung ke Belitung Timur, dimana aku sempat berkunjung ke kota Manggar yang dikenal sebagai kota 1001 warung kopi. Sayangnya pada saat aku kesana, aku sudah harus meninggalkan kota Manggar sebelum warung-warung kopi itu buka, sehingga aku belum sempat merasakan atau melihat bagaimana suasananya. Aku hanya sempat melewati suatu jalan dimana hampir sepanjang jalan itu berjejer warung-warung kopi. Memang di Belitung ini warung kopi bukan hanya merupakan tempat orang membeli dan minum kopi, tetapi sudah menjadi tempat bersosialisasi, tempat orang bertukar informasi, bahkan bertukar gossip. Orang bisa berada di sebuah warung kopi selama berjam-jam. Apalagi warung-warung kopi yang buka sejak jam 3 sore sampai lewat tengah malam itu memungkinkan pengunjungnya untuk berlama-lama di sana. Untunglah akhirnya aku sempat juga mencicipi kopi Belitung, meskipun tidak di Manggar. Aku dan istri berkesempatan mencicipi kopi Belitung di sebuah warung kopi yang letaknya tersembunyi di belakang deretan ruko di Tanjung Pandan, dan aku bisa membuktikan pula bagaimana warung kopi itu menjadi tempat bersosialisasi bagi warga Belitung.
Ok, kita balik ngomongin Manggar lagi. Di kota Manggar ini juga terdapat beberapa bangunan yang dulu ikut dijadikan tempat shooting film Laskar Pelangi yang cukup menyedot banyak penonton ketika diputar di bioskop-bioskop tanah air. Aku dan keluarga sempat juga di ajak ke daerah Gantong dimana terdapat replika sekolah anak-anak Laskar Pelangi itu. Sayang cuaca yang panas terik dan banyaknya orang yang berkunjung ke sekolah itu membuat aku dan keluarga malas untuk turun dan melihatnya dari dekat. Kendaraan langsung berputar arah menuju je sebuah bendungan tua di dekat situ yang dikenal dengan nama PICE DAM. Di situ aku dan keluarga hanya menghabiskan waktu yang sangat sebentar karena memang kurang menarik.
Perjalanan dilanjutkan ke Bukit Samak, dimana terdapat beberapa bangunan tua yang dahulu ditempati oleh para petinggi perusahaan pertambangan timah. Katanya sih semakin tinggi posisinya, maka letak rumahnya juga semakin tinggi. Sayang sekarang banyak bangunan yang sudah kelihatan kumuh, bahkan ada beberapa juga yang sudah hancur.
Waktu itu tidak terlalu banyak yang bisa dilihat di daerah Belitung Timur, selain berkunjung ke tempat-tempat yang sudah aku sebutkan itu, aku dan keluarga hanya sempat mampir di Vihara Dewi Kwan Im yang merupakan salah satu Vihara tertua di Belitung. Aku sempatkan juga mampir di pantai Serdang dan pantai Burung Mandi, yang merupakan tempat para nelayan sekitar menambatkan, memperbaiki, ataupun membuat kapal. Menurut aku sih pemandangan di Belitung Barat masih lebih menarik dibandingkan di Belitung Timur.
Kalau ngomongin soal tempat indah, selain di daratan Belitung, banyak juga tempat indah dapat ditemukan di pulau-pulau kecil di sekitar Pulau Belitung. Biasanya orang akan berangkat dari Tanjung Kelayang dengan perahu sewaan. Waktu itu, aku dan keluargaku berkesempatan juga berkunjung ke beberapa pulau kecil itu, antara lain aku dan keluarga sempat mampir di Pulau Batu Belayar, yang hanya berbentuk batu-batu besar di atas gosong pasir, Pulau Burung yang rindang dengan pasir putihnya, dan Pulau Lengkuas dimana terdapat sebuah mercusuar peninggalan Belanda, yang masih berdiri dengan kokoh di sana. Di Pulau Lengkuas ini pula aku dan keluarga memperoleh sebuah pengalaman langka yang mendebarkan. Bagaimana tidak mendebarkan kalau di pulau kecil itu aku menyaksikan angin puting beliung?
Ceritanya waktu itu, cuaca yang semula relatif cerah tiba-tiba berubah menjadi semakin gelap. Udara terasa semakin dingin karena angin yang bertiup semakin kencang juga membawa gerimis. Aku dan istriku segera memanggil anak-anakku yang masih asyik ber-snorkeling ria, untuk segera mengakhiri aktivitasnya dan segera menuju ke rumah penjaga mercusuar untuk berteduh.
Tepat ketika aku dan istriku sudah selesai meletakkan barang-barang bawaan kami, tiba-tiba salah seorang penjaga mercusuar menunjuk ke arah atap rumah sambil berteriak kalau ada angin besar. Ketika aku ikut menengok, aku melihat awan gelap sudah membentuk ekor yang cukup panjang, dan jelas sekali terlihat gerakan air terhisap ke awan, tanda bahwa sebuah topan telah terbentuk sempurna. Aku segera berlari menuju tempat terbuka di arah depan mercusuar untuk menyaksikan lebih jelas angin puting beliung yang ternyata sedang mengaduk laut. Anakku yang besar semula ingin ikut denganku, tetapi dilarang oleh istriku karena khawatir kalau angin ribut tersebut terus maju dan melanda Pulau Lengkuas.
Aku berdiri di tepi pantai dimana dengan jelas aku melihat ekor angin puting beliung tersebut bergerak, kemudian menipis, tidak lama kemudian menebal lagi, dan akhirnya buyar di tengah laut. Setelah angin ribut itu reda, mulailah hujan deras mengguyur Pulau Lengkuas. Gunturpun menggelegar sahut menyahut, sementara ombak di lautpun kelihatan membesar. Dengan kondisi demikian, mau gak mau aku dan keluarga harus menunggu, karena tidak mungkin juga memaksakan diri kembali ke Tanjung Kelayang dalam cuaca buruk seperti itu. Lumayan lama aku dan keluarga tertahan di Pulau Lengkuas tanpa bisa melakukan apa-apa kecuali duduk-duduk, ngobrol, dan bercanda untuk juga menghilangkan ketegangan di hati istri dan anak-anakku akibat badai tadi.
Sekitar pukul 15.00, hujan mereda. Awan hitam yang memayungi Pulau Lengkuas juga sudah mulai menipis. Paling tidak, jalur pelayaran yang akan ditempuh kelihatan tidak terlalu gelap langitnya. Dengan sedikit was-was, aku dan keluarga mulai mengarungi laut menuju ke Tanjung Kelayang. Ombak yang masih agak besar membuat hati ciut, apalagi kapal yang dipakai juga bukanlah kapal besar. Debaran jantung semakin mengencang manakala awan gelap terlihat bergerak memayungi kapal. Untunglah akhirnya kapal bisa sampai dengan selamat di Tanjung Kelayang, sehingga dengan perasaan lega aku dan keluarga turun dari perahu. Fiuhh . . . lega juga bisa kembali ke darat 🙂
Sore itu dan keesokan harinya, aku dan keluarga tinggal menghabiskan waktu di sekitar kota Tanjung Pandan. Aku menyempatkan diri berkunjung ke Danau Kaolin dan juga masuk ke sebuah rumah adat Belitung. Tidak lupa juga berkunjung ke sebuah pasar yang terletak di dekat pelabuhan kota Tanjung Pandan. Sayangnya aku belum berkesempatan masuk ke museum dan juga belum sempat berkunjung ke beberapa rumah tua yang kelihatan masih berdiri kokoh di beberapa bagian kota.
Ngomong-ngomong, kalau jalan ke suatu tempat dan tidak mencoba makanan khas daerah itu, rasanya kurang mantap juga kan? Sayangnya tidak banyak makanan khas Belitung yang sempat aku cicipi waktu itu, meskipun apa yang sempat aku cicipi ternyata memang enak. Dari sekian banyak makanan khasnya, selain ikan laut bakar, aku dan keluarga hanya berkesempatan mencicipi Ketam Isi, Soto Belitung dan Mie Belitung, disamping juga aneka seafood lain.
Kalau ngomongin seafood, kayanya sih hampir mirip dengan di daerah lain, karena dasarnya adalah Chinesefood. Ikan bakarnyapun relatif mirip dengan daerah lain, hanya saja di Belitung ini yang dibakar adalah aneka jenis ikan laut. Bumbunya juga relatif sama, yaitu dibakar kecap. Hanya saja karena ikannya segar, maka rasanyapun tentu lebih nyam . . nyam . .
Soto Belitung juga rasanya enak dan segar. Aku menyantapnya di sebuah warung tua yang sederhana. Mereka menawarkan soto ayam dan soto sapi. Waktu itu aku dan keluarga memilih soto ayamnya lengkap dengan ketupat sebagai pengganti nasi. Sementara menunggu soto diracik, di meja disajikan bakwan udang. Udangnya besar dan segar. Tidak lama kemudian soto ayam dengan kuahnya yang kekuningan dan taburan emping di atasnya tersaji. Tampilannya cukup menggoda untuk segera dicicipi. Apalagi masih dalam kondisi panas begitu. Perlahan aku menghirup kuahnya, hmmmm . . . enaaaak tenaaan .
Di pagi yang lain, aku menyempatkan juga untuk mencoba Mie Belitung. Di sana ada dua macam Mie Belitung, yaitu yang halal dan yang tidak halal. Aku dan keluarga memilih yang halal, dan yang dituju adalah Mie Belitung Atep yang sudah cukup terkenal. Pagi itu aku sampai di Rumah Makan Mie Belitung Atep masih agak pagi, sehingga mereka juga baru saja buka. Aku dan keluarga boleh dibilang merupakan pengunjung pertama mereka hari itu. Setelah memilih tempat duduk, Mie Belitung juga langsung dipesan. Sementara menunggu, aku sempat berkenalan dengan putra pemilik rumah makan itu. Beliau menyarankan untuk memilih minuman es jeruk. Ketika aku tanyakan, beliau berkata bahwa Mie Belitung itu kalau mau enak, memang minumnya harus es jeruk. Oke, akhirnya aku dan keluarga menuruti saran itu, sehingga tidak lama kemudian Mie Belitung yang tampak menggugah selera sudah tersaji disertai dengan segelas es jeruk. Mie Belitung ini disajikan di atas selembar daun simpur, dan dengan asesori yang lumayan lengkap. Udang besar dan irisan tahu di atas mie kuning yang disiram kuah kental kecoklatan, kemudian ditaburi emping, menyebabkan aku dan keluarga langsung menyerbu hidangan itu. Dan . . .ternyata rasanya memang maknyussssss . . . Terbukti bahwa aku dan keluarga masing-masing menghabiskan satu setengah porsi. He he he . . ternyata gembul juga ya 😛
Mengenai ketam isi, ini adalah cangkang kepiting yang diisi dengan adonan tepung, daging kepiting, dan berbagai rempah, yang kemudian digoreng. Rasanya enak juga. Sayang aku gak sempat memotretnya karena sudah terlanjur berpindah tempat ke dalam perut .
Eh . . . ternyata tidak terasa sudah panjang juga aku cerita nih. rasanya juga sudah hampir semuanya aku ceritakan. Ok deh, aku stop dulu sampai di sini; lain waktu aku sambung lagi cerita soal Belitung kalau aku berkesempatan menjelajah daerah lain di Belitung ini. Aku yakin kalau masih banyak tempat indah yang belum sempat aku kunjungi, sehingga rasanya gak salah juga kalau aku sudah mulai merencanakan untuk kembali berkunjung ke pulau yang indah ini. Semoga . . .
Summary :
This article will be my last post about Belitung, a beautiful small island located on the east of Sumatera, Indonesia. At first I intended to make it brief since almost all informations about interesting places in Belitung have been shared in the related posts. But since there are many interesting places other than I’ve already posted here, I could not avoid to write a little bit long 😛
Anyway, I will not tell you more about interesting places in the western part of Belitung. I think those were enough, and I’m affraid that you will get bored of it. As for in the eastern part of Belitung, beside Serdang and Burong Mandi, actually there are many other places that I visited, such as Guan Yin Temple which is considered as the oldest Chinese temple in Belitung; I also visited Bukit Samak, a low hill like Bukit Brahu, where once in the past was a residential area for the VVIP of the tin mine industry in Belitung. Unfortunately many old buildings in Bukit Samak are ruining, since the dwellers left the area to move to the city. In the nearby location. there is also an old dam which was built in 1936 and still in use by now.
The main city in eastern Beltung is called Manggar. The city is also known as the city with 1001 coffee stall because there are so many coffee stall can be found in such a small city. There is a street which is full of coffee stall all the street long in one of its side. In Belitung, a coffee stall is not only a place to buy or drink a cup of coffee. It is a place to socialize with others, chit-chating, exchanging informations, and even gossipping. It is said that the local people can spent more than 5 hours in a coffee stall. No wonder . . .
As for the food, aside of many kind of seafood, Belitung also known for its specific food such as Mie Belitung (Belitung’s style noodle) and Soto Belitung (chicken meat in a curry like soup). Those two are a must-to-try-foods if you visit this beautiful island.