Every tribe in the world have their own cultures that have affected by their environments which in turn also affect their daily life, include their dwellings. The Sumbanese, who lives in an Island called Sumba in Indonesia, was not an exception. Up till now, many of them are still live in their traditional huts which have very tall roofs with their ancestors and families tombs placed in front or at least quite close to their huts.
Sumbanese traditional hut were made of natural stuff and built on stilts. The walls and floors were made of bamboos and the roofs were made of dried grass or dried rice stalks. The main construction of the house consisted of four main pillars made of very big logs erected at the center of the house. In the constructions, the Sumbanese did not use any nails nor tacks to secure any joints, they used rattan ropes instead.
The Sumbanese traditional hut had attic under the towering roofs which they used as their rice barns. The center of the attics, above the parts where they used as their barns, however, was used as their sacred room as they spent their sacred effigies and things in their beliefs which called “marapu” in there. The Sumbanese placed them below the towering roof because they believed that under the roofs was the most sacred place in their house.
The Sumbanese built their house in such a way which divided the construction into three main parts from the top to the bottom. In their beliefs, it reflected the universe. The top parts, which included the attic was the most sacred place because it reflected the heaven, the place for God. They called that part “uma daluku”, but the very top room where they used to spend their sacred things was called “hindi marapu”. The middle parts, which they called “rongu uma”, reflected the earth, it was the place where they lived and did their daily activities. In the middle parts, they also had their simple kitchen with open stoves, where they cooked their meals. The fumes and smoke emanated from the stuff they cooked would rise to the top parts of the house which in turn would strengthen the structures of the house and also got rid of any bugs or creepy crawlies from the house. The lowest part of the house was laid under the house in the form of an open cellar which they usually used to keep their livestock. The part was reflected the underworld in their beliefs, and they called it “lei bungan”.
Sumbanese traditional huts were easily found in any traditional villages scattered on many parts of the island. They were easily seen from afar because of their typical roofs. The locals called their traditional huts as “uma mbatangu” which means a house with a towering roof. Others also called such a house as “uma bokulu” or a big house as a big family usually lived together in such a hut.—
Keterangan :
Tiap suku bangsa di dunia ini pastilah memiliki tradisi dan kebudayaannya sendiri-sendiri yang dipengaruhi oleh lingkungan dimana mereka tinggal, dan pada gilirannya kebudayaan mereka itu juga akan mempengaruhi gaya dan cara hidup mereka sehari-hari, termasuk juga mempengaruhi cara berpakaian dan bentuk tempat tinggal mereka. Suku Sumba yang merupakan penduduk asli Pulau Sumba di Nusa Tenggara Timur tentu juga tidak dapat dikecualikan. Bahkan sampai sekarang banyak dari mereka masih tinggal di rumah-rumah tradisional Sumba yang memiliki atap menjulang tinggi bagaikan menara, dengan kubur-kubur batu yang merupakan jejak kebudayaan megalitik terletak di depan ataupun di sekitar rumah mereka.
Rumah tradisional Suku Sumba merupakan rumah panggung yang dibangun dari bahan-bahan alami dan tidak mempergunakan paku sama sekali. Untuk menyambungkan satu bagian dengan bagian lain, mereka mempergunakan tali yang terbuat dari rotan. Dinding maupun laintainya tidaklah terbuat dari batu seperti rumah-rumah modern, melainkan terbuat dari jajaran batang-batang bambu yang terikat dengan kuat. Karena itulah dinding maupun lantai rumah adat Sumba tidaklah rapat sehingga memungkinkan sirkulasi udara yang cukup baik di dalamnya.
Konstruksi utama sebuah rumah adat Sumba dan yang juga menjadi sumber kekuatannya berupa empat buah pilar utama yang terletak di tengah rumah. Pilar-pilar ini biasanya terbuat dari batang kayu utuh yang sangat besar dan kuat yang disebut kambaniru ludungu. Untuk atapnya, Suku Sumba biasanya mempergunakan ilalang kering ataupun jerami sebagi penutupnya.
Karena bentuk atapnya yang tinggi, rumah tradisional Sumba memiliki ruangan yang cukup luas di bawah atap, bahkan biasanya ruangan tersebut terbagi menjadi dua tingkat, dimana tingkat yang paling atas di pergunakan sebagai tempat tinggal Marapu yang hadir dalam bentuk berbagai benda pusaka yang biasanya sudah dimiliki keluarga secara turun temurun. Dibawah ruangan yang dipergunakan sebagai ruang pusaka itu, biasanya dipergunakan sebagai lumbung tempat menyimpan padi dan bahan makanan. Ruangan di bawah atap ini merupakan ruangan khusus yang disucikan dan hanya boleh dimasuki oleh kepala keluarga karena dalam kepercayaan Marapu yang mereka anut, hanya kepala keluargalah yang boleh berhubungan dengan Marapu.
Suku Sumba menganggap ruangan di bawah atap sebagai tempat yang tersuci karena menurut mereka ruangan di bawah atap menggambarkan alam ketuhanan dimana tuhan dan dewa mereka yang disebut Marapu bertempat tinggal. Hal ini sejalan dengan pembagian alam semesta yang dimanifestasikan dalam pembagian struktur bangunan rumah adat mereka dari tingkat yang tertinggi sampai yang terendah. Bagian kedua yang menggambarkan alam manusia terwujud dalam bentuk ruangan dimana mereka tinggal dan melakukan kegiatan sehari-hari. Di bagian ini juga terdapat tungku terbuka yang mereka pergunakan untuk memasak makanan mereka. Asap yang keluar dari tungku akan membubung ke atas dan keluar ke udara terbuka dengan cara merembes melalui susunan bahan penutup atap. Dengan adanya pengasapan yang terus menerus, maka bahan atap dan juga konstruksinya menjadi lebih awet dan kuat, selain juga secara tidak langsung mengusir serangga dan berbagai hewan pengganggu lainnya keluar rumah. Suatu kearifan lokal yang mungkin sudah mereka lakukan turun termurun tanpa mengetahui dengan pasti asal muasalnya. Bagian ketiga atau yang paling rendah terletak di kolong rumah panggung mereka. Bagian ini menggambarkan alam kematian. Bagian ini dipergunakan sebagai tempat mereka menyimpan peralatan bertani mereka dan juga sebagai tempat memelihara hewan ternak mereka.
Dalam bahasa setempat, bagian rumah yang menggambarkan alam surgawi disebut sebagai uma daluku, sadangkan bagian yang dipergunakan sebagai tempat tinggal disebut sebagai rongu uma. Bagian bawah atau kolong rumah panggung mereka sebut sebagai lei bungan.
Rumah-tumah adat Sumba masih dapat dengan mudah kita temui kalau berkunjung ke Pulau Sumba. Hanya saja rumah-rumah adat itu hanya ada di desa-desa adat yang tersebar di banyak tempat di pulau ini. Adanya suatu desa adat dapat diketahui dengan mudah pula karena dari kejauhanpun atap rumah-rumah tradisional Sumba yang menjulang tinggi sudah terlihat. Atap yang menjulang tinggi bak menara itu menyebabkan rumah adat Sumba sering disebut sebagai rumah bermenara, dan penduduk setempat menyebutnya dengan nama uma mbatangu.
Sebagian lain juga menyebut rumah tradisional Sumba itu dengan sebutan uma bokulu karena di suatu rumah, tinggal suatu keluarga besar secara bersama-sama. Rumah adat Sumba memiliki pembagian ruangan yang relatif sama antara satu rumah dengan rumah lainnya, dimana masing-masing rumah itu memisahkan wilayah pria dan wanita disamping juga wilayah formal dan non formal. Pemisahan ruangan ini masih diikuti secara adat, sehingga bisa terjadi suatu keadaan dimana seorang wanita di suatu rumah tidak pernah tahu isi rumahnya sendiri di bagian yang diperuntukkan bagi kaum lelaki; apalagi pintu untuk keluar masuk rumahnyapun dipisahkan antara pintu untuk kaum lelaki dan kaum perempuan.–
Dari hape pindah ke lappy nih Pak untuk menikmati keelokan rumah tradisional suku Sumba.
Ruang tinggal Marapu memiliki kemiripan dengan struktur ‘senthong tengah’ rumah tradisional Jawa ya Pak.
Kembali terima kasih ya Pak disuguhi postingan elok ini.
Waduh … sampai pindah alat ya Bu?
Untuk ruang tinggal Marapu di rumah adat Sumba, terus terang aku kurang yakin juga apakah bisa disejajarkan dengan senthong tengah rumah tradisional Jawa meskipun sama-sama merupakan suatu area yang dikhususkan di dalam rumah
How interesting. Your photographs are simply wonderful, Chris.
Interesting indeed. Thanks, Jolandi 🙂
Doh! Jadi pengen jalan jalaaaaaannn. Hahahahahaha
Iya nih, aku juga pengen jalan-jalan lagi 😛
Hahahahah! Yuk!
Beneran nih …. ?
Kemana?
Baduy, di November atau Desember. Kemungkinan nginep semalam. Mau?
Hayuuukkkk!
Nanti klau dah pasti tanggalnya dikabarin ya
Naek apa kira-kira, mas?
Blm tahu nih, nanti dikabarin kalau udah pasti ya
komplek perumahan adat sumba ini … bener2 amazing ….
serasa balik ke zaman dahulu …
Iya, makanya aku juga lagi pengen balik lagi dan masuk ke dalamnya
Chris, These kinds of huts, I have never seen before …
So nice to see all the relevant information here and thank you so much for sharing 🙂
You’re most welcome, Sreejith 🙂
Pingback: A short visit to a traditional village | Krishna's Pictures and Notes