Cerianya anak-anak desa nelayan

Hari kedua aku di Pulau Buton, pagi itu aku terbangun karena mendengar kesibukan di jalan yang ada persis di bawah jendela kamar hotelku. Secara refleks aku meraih jam tangan yang aku letakkan di meja samping tempat tidurku, hhmm . . . sudah jam enam rupanya. Nyenyak juga rupanya tidurku 😀

Setelah mandi dan sarapan, aku segera menghubungi La Ode Azis yang menemaniku kemana-mana selama di Pulau Buton. Hari itu, aku berencana untuk melihat-lihat daerah di pesisir timur Pulau Buton, ya memang tidak semua karena adanya keterbatasan waktu, karenanya aku membatasi diri untuk berkunjung ke Desa Wabula saja. Untuk itu, dari Baubau yang terletak di pesisir barat, La Ode Azis langsung mengarahkan kendaraan menuju ke Pasarwajo, sebuah kota kecil yang merupakan Ibu Kota Kabupaten Buton. Pasarwajo terletak kurang lebih 2 jam perjalanan dengan mobil ke arah timur kota Baubau. Nah Desa Wabula itu berjarak kurang lebih 28 kilometer dari Pasarwajo itu. Jalan menuju Desa Wabula sudah relatif bagus koq, jadi kalau ada pelancong yang mau kesana, jangan kuatir . . 😎

Nah . . apa yang bikin aku penasaran dengan desa Wabula ini? Sebetulnya semua bermula ketika aku membaca sebuah artikel tentang adanya sebuah desa nelayan yang terletak di tepian Laut Banda, dan foto yang menyertai artikel tersebut memperlihatkan sebuah perkampungan yang resik dan rapi sehingga enak dipandang mata.

Dan ternyata apa yang digambarkan dalam artikel itu betul adanya. Ketika kendaraan yang aku tumpangi masuk ke Desa Wabula, aku mendapati jalan utama desa yang cukup lebar dan rata. Rumah-rumah berjajar rapi di sepanjang jalan desa itu, baik rumah semi modern berbahan batu maupun rumah tradisional yang berbentuk rumah panggung dari kayu. Hanya saja yang membuat aku bingung ketika itu adalah karena aku tidak melihat garis pantai. Bukannya desa nelayan selalu berada di tepi pantai ya? 😯 Desapun waktu itu bisa dibilang sepi.

IMG_WAB01

Ketika kendaraan yang aku tumpangi berhenti di depan salah satu rumah, barulah terasa ada kehidupan di Wabula. Beberapa orang wanita terlihat keluar menyongsong dengan wajah ramah. Belakangan baru aku ketahui kalau salah satunya adalah istri dari Kepala Desa Wabula. Setelah saling berkenalan, mereka mengajak aku ke arah belakang deretan rumah yang ada di sebelah kiri. Dan ternyata di belakang deretan rumah itu ada lagi sebuah jalan yang sejajar dengan jalan utama desa, hanya saja di seberang jalan bukanlah deretan rumah lagi melainkan laut. Pantas saja pantainya tidak nampak dari jalan utama desa 😀

Ketika aku mendekati bibir pantai, nampak bahwa laut di siang yang mendung itu cukup tenang, bahkan nampak seperti permukaan danau saja. Kawasan pantainya juga nggak panas. Eh ini nggak panas bukan gara-gara mendung saja lho ya, tapi karena di sepanjang bibir pantai itu tumbuh banyak pohon kelapa dan juga pohon-pohon lainnya yang berdaun cukup rindang.

IMG_WAB02IMG_WAB10

Tanpa aku sadari, selama aku memandang ke arah laut lepas, di belakangku telah berkumpul anak-anak Desa Wabula. Mereka semua tertawa lepas ketika melihat aku kaget melihat kehadiran mereka. Ah . . . anak-anak yang polos dengan wajah-wajah ceria.

IMG_WAB03

Kepolosan mereka dan tingkah polah mereka membuat tanganku gatal untuk mengabadikannya dengan jepretan kameraku. Beberapa anak terlihat cukup berani dan percaya diri, mereka tidak malu ketika aku bilang mau aku foto, beberapa lagi segera lari menjauh sambil tertawa malu-malu, sementara di kejauhan aku lihat satu dua anak yang hanya melihat ke arahku dengan wajah malu-malu.

IMG_WAB17

Mereka yang tidak malu mau saja ketika aku bilang supaya mereka main saja seperti biasa mereka bermain di tepi pantai itu sementara aku memotret mereka. Beberapa bahkan segera berlomba memanjat pohon yang tumbuh di tepi pantai dan duduk di cabangnya, sementara beberapa anak perempuan terlihat bermain ayunan.

IMG_WAB14

Ketika aku selesai berkeliling di sekitar pantai, beberapa butir kelapa hijau utuh sudah tersaji. Ah . . keramahan khas pedesaan yang selalu aku rindukan. Maka dengan tanpa sungkan juga aku segera menghampiri beberapa butir kelapa itu. Salah satu wanita itu segera berteriak kepada anaknya untuk mengambilkan gelas dan sendok untuk aku. Wah . . . rupanya mereka mengira aku tidak terbiasa meminum air kelapa langsung dari kelapa utuh. Ketika aku menolak untuk mempergunakan gelas dan sendok, mereka terlihat cukup sangsi. Karenanya, untuk menepis kesangsian mereka, segera aku mengambil sebutir kelapa yang sudah dilubangi ujungnya. Dan tahu nggak . . . ketika aku mulai mengangkat kelapa itu, anak-anak yang semula berceloteh ramai jadi terdiam sambil memperhatikan aku. Dan . . . ketika aku sudah selesai minum, pecahlah tawa mereka melihat mulutku yang basah berlepotan air kelapa 😀

Selesai minum air kelapa yang segar dan juga memakan sedikit daging kelapa yang gurih itu, sambil ngobrol akrab, aku diajak melihat beberapa ibu yang sedang membuat kain tenun secara manual, sementara anak-anak desa itu dengan tetap berceloteh dan bercanda mengikuti di belakang sehingga seperti membentuk barisan di belakangku.

IMG_WAB09

Sarung tenunan Wabula sudah cukup terkenal meskipun coraknya boleh dibilang cukup sederhana karena hanya bercorak kotak-kotak atau garis-garis saja seperti sarung pada umumnya. Biasanya yang bercorak kotak-kotak dipakai oleh kaum lelaki sementara yang bercoarak garis-garis dipakai oleh kaum perempuan. Beda kain tenunan dari Wabula dengan sarung pada umumnya adalah permainan warnanya, karena sarung tenunan Wabula lebih berani dalam mempergunakan warna-warni yang cerah, khususnya kain tenun yang diperuntukan bagi kaum hawa. Kain tenunan Wabula juga lebih tebal meskipun tetap lembut.

Biasanya kaum wanita Wabula menenun kain sembari menunggu kedatangan suami atau ayah mereka yang pergi melaut. Karena itulah konon mereka bisa menenun selama rata-rata 6 jam seharinya, dan satu lembar kain tenun bisa mereka selesaikan dalam waktu antara 4 sampai 5 hari saja. Menurut penuturan mereka, kaum wanita Desa Wabula sudah sejak jaman dahulu akrab dengan kegiatan tenun- menenun ini. Bahkan sejak usia yang relatif dini anak perempuan Wabula sudah diperkenalkan dan diajarkan bagaimana caranya menenun dengan peralatan tenun dari kayu yang boleh dibilang belum banyak berubah sejak jaman dahulu.

Dengan mata kepalaku sendiri aku melihat betapa dengan tekun dan telaten para ibu itu memasukkan helai demi helai benang yang lama kelamaan membentuk selembar kain. Sambil menenun para ibu itu tetap ngobrol satu sama lain, apalagi ketika aku di sana suasananya terkesan lebih ramai karena anak-anak ikut berkerumun di sekitar tempat menenun yang aku datangi itu sambil tetap berceloteh dengan ramai. Selembar kain tenunan yang sudah berbentuk sarung mereka jual seharga Rp 200.000,– ke atas, tergantung warna dan coraknya. Mahal? Ya relatif sih. Menurut aku sih ya nggak mahal juga kalau melihat proses pembuatannya yang masih dilakukan secara manual itu.

Siang menjelang sore itu akhirnya aku pamit setelah mengucapkan terimakasih atas keramahan penduduk Wabula. Sebelum aku masuk ke kendaraan untuk menuju ke tujuanku berikutnya, ibu istri Kepala Desa sempat menyayangkan kedatanganku yang kurang pas waktunya; menurut beliau, aku pasti akan lebih senang berada di desa itu kalau bertepatan dengan dilaksanakannya upacara Pidoano Kuri yang biasanya dilakukan beberapa hari menjelang tibanya bulan suci Ramadhan, karena pada saat itu aku pasti akan bisa memperoleh lebih banyak lagi foto suasana Desa Wabula. Yah . . . mudah-mudahan lain waktu aku bisa kesana lagi bertepatan dengan dilaksanakannya upacara itu ya Bu :).—

IMG_WAB05

Summary :

The article is about a small fishing village in the eastern coast of Buton Island. The village was called Wabula. I went there in my second day in Buton. Wabula could be reached within 3 hours drive from Baubau through a relatively good road.

When I entered the village, I found a neat and clean environment. Row of houses, either semi modern or traditional wooden houses with their well groomed yard were built on either sides of the village main road. At that time the village looked quite deserted. I just found few children playing in the yard. I also did not see the beach which made me quite confused since fishing villages were always laid at the beach or at least not far from the beach.

IMG_WAB16

Before my confusion grew too big, a group of women emerged from one of the houses and greeted me. After a short introduction, I was ushered towards an alley which led me to a second road paralleled with the village’s main road, only across the second road was the beach.

IMG_WAB19

At that time the beach also looked empty, no boats nor any activities except for a group of children that looked quite eager to follow me and looked at me when I took some pictures there. They seemed cheerful, and when I asked them for some pictures, some of them ran away while laughing shyly while some were still there, even made a pose in front of my camera 😀

After taking some pictures at the beach, I was taken to a place where some women were busily made woven clothes. It was a hand made cloth, and it was said that by working around 6 hours a day, a piece of woven cloth could be finished within 4 to 5 days. The women usually weaved while they wait for their man to come back from their fishing trip.

IMG_WAB18

The woven clothes of Wabula were known for their attractive color although the patterns were quite simple. The clothes were usually used as sarongs as well as shirts. Some people also used the cloth as a blanket as it was quite warm when been used.

In the afternoon, I bid the people of Wabula farewell as I had to go to my next destination. And when they said their good byes, some of them asked me to come again next time, especially when they carried out their ritual to greet the fasting month that called the Pidoano Kuri. Well, thanks for the invitation, and hope that someday I can be back there to join them in their Pidoano Kuri :).–

IMG_WAB12

Categories: Travel Notes | Tags: , , , , | 20 Comments

Post navigation

20 thoughts on “Cerianya anak-anak desa nelayan

  1. Ada alasan khususkah mas fotonya BW?

  2. seneng liat ekspresi anak-anak disana 🙂

    hepi banget ya akses mainnya dekat pantai begitu.

    salam
    /kayka

  3. om kris apa kabaaaaar??

    seperti biasanyaa.. foto2 cakeep banget! dan cara berceritanya juga top.. berasa ikutan ke sana 😀

  4. Selalu suka ngeliat foto anak2, ekspresi & senyumnya itu terlihat tulus.

    Apa kabar, Om ?

    • Betul Teh, ekspresi anak-anak selalu menarik untuk diabadikan karena menunjukkan kepolosan

      Dan kabarku baik, Teh. Cuma lagi agak sibuk aja. Teh Dey sendiri apa kabar? Maaf aku juga lama nggak mampir nih

  5. Biasanya anak-anak malu dengan pendatang ya Pak. Aura Pak Krish jadi pemikat anak-anak nih, kebayang mereka berbaris di belakang. Hari liburkah, hari kedua kunjungan di Buton?
    Idem istri Kades, suasa upacara Pidoano Kuri pastinya jadi pemanggil Pak Krish ke Buton lagi.
    Selamat berakhir pekan.

    • Hari kedua bukan hari libur, Bu,cuma memang aku sampai sana sudah melewati jam sekolah.
      Dan iya, rasanya suatu ketika aku pasti akan balik lagi ke Buton karena masih banyak yang belum sempat aku datangi waktu itu

  6. Asik bgt tripnya mas, made me remember that happiness is a state of mind…….

  7. ha ha..aku tersenyum geli membaca Pak Chris diikuti oleh anak-anak dan ibu-ibu yang mengekor di belakang. Teringat jaman aku kecil di kampung dulu soalnya kaya gitu Pak Chris. Kalau ada turis yang berkunjung, anak-anak (termasuk aku) ikut memperatikan gerak gerik sang turis dan sesekali aku ikut mengekor kemana si turis pergi berjalan. bener.. itu kaya barisan bebek. he he.

    • Iya Mbak, dan kejadian itu berulang lagi minggu lalu di Sumba. Diikuti dan dikerumuni anak-anak 😀

  8. Wonderful photos, Chris. Reminds me of the fishing villages in Singapore that are all gone .Thanks for sharing.

    • Thank you, Sharifah
      My intention to post the pictures was also as a reminder of so many similar villages that slowly but surely vanishing and turn into modern villages or even became resorts

Leave a reply to Ni Made Sri Andani Cancel reply

Blog at WordPress.com.