Mengenal budaya Mataram di kesejukan lereng Merapi

Kali ini, supaya gak bosan bolak-balik main di pantai terus, sekali-kali aku posting tujuan wisata lain yang bukan pantai ya. Yuk kali ini kita mendaki ke tempat yang agak tinggi, sekaligus mencari udara sejuk :). Masih di sekitaran Yogyakarta juga koq. Bisa menebak kan? Yup seratus buat yang menebak betul; pada kesempatan ini aku mampir di Kaliurang, sebuah tempat wisata yang berlokasi di sebelah utara kota Yogyakarta. Karena letaknya yang berada dilereng Gunung Merapi dengan ketinggian sekitar 900 meter di atas permukaan laut, Kaliurang berhawa cukup sejuk. Eh tapi sekali ini aku gak ngajak jalan-jalan di Kaliurang, melainkan langsung menuju ke salah satu sudut Kaliurang. Tepatnya ke Jalan Boyong, Kaliurang.

“Lhah emangnya ada apa di situ?” 😯

Nah di salah satu sudut kawasan Kaliurang ini, terselip sebuah bangunan yang sepintas tampak seperti bangunan yang terbengkelai karena hampir tertutup oleh berbagai jenis tumbuhan yang tumbuh subur dan rimbun di sekelilingnya. Tembok-temboknyapun kelihatan sudah berlumut. Hus jangan bisik-bisik gitu, kita bukannya mau berburu Dracula di situ. Mentang-mentang bentuk bangunannya mirip kastil-kastil di Eropa itu, jangan terus berpikir horror gitu ah. Meskipun bangunannya bergaya gothic, bangunan itu sepenuhnya bukan milik orang asing, bahkan bangunan itu sebetulnya merupakan sebuah museum yang didedikasikan untuk seni dan budaya Jawa. Jadi memang merupakan sebuah tempat yang pantang dilewatkan oleh para pecinta budaya, khususnya budaya Jawa. Namanya Museum Ullen Sentalu. Tuh lihat di pintu masuknya jelas terlihat namanya di sela-sela rimbunan pohon itu.

the entrance to the museum  ( pintu masuk museum )

the entrance to the museum ( pintu masuk museum )

“Namanya koq kedengaran tidak biasa ya? Bukan Bahasa Jawa rasanya, ataukah nama itu diambil dari Bahasa Sansekerta?” 🙄

Untuk namanya, memang sepintas seperti mempergunakan bahasa asing, tetapi sebetulnya Ullen Sentalu merupakan singkatan kata-kata dalam Bahasa Jawa, yaitu dari kata-kata ‘Ulating Blencong Sejatine Tataraning Lumaku’, yang mengandung arti ‘nyala dian yang menjadi penuntun dalam melangkah dan meniti kehidupan’. Hal ini sesuai dengan tujuan didirikannya museum tersebut oleh Yayasan Ulating Blencong pada tahun 1994 yang lalu, yaitu untuk melestarikan kebudayaan Jawa sehingga adanya museum ini bisa diibaratkan bagai sebuah lampu penerang yang bisa menerangi suasana redup yang melingkupi kebudayaan, khususnya Budaya Jawa, yang semakin terkikis oleh kemajuan jaman.

Di dalam museum tersebut tersimpan dan juga tersaji dengan apik berbagai benda, tulisan dan juga foto yang berkaitan dengan Dinasti Mataram yang pernah berkuasa di Tanah Jawa ini sebelum akhirnya pecah menjadi empat keraton, dua di Yogya dan dua lagi di Solo. Yang di Yogya adalah Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman; sedangkan yang di Solo adalah Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran.

Untuk menjelajahi museum ini, pengunjung tidak dibiarkan kluyuran sendiri, melainkan dipandu oleh seorang pemandu yang menjelaskan dengan lancar dan cara yang cukup menarik mengenai isi keseluruhan museum itu dari ruangan ke ruangan, dari satu lemari pajang ke lemari pajang yang lain, dan dari satu panel ke panel yang lain juga. Lamanya penjelajahan ini kira-kira 1 jam. Jadi, kalau kebetulan ada pengunjung yang datang sendiri, biasanya akan digabung dengan pengunjung lain sehingga bisa membentuk suatu kelompok kecil.

Penjelajahan di dalam Museum Ullen Sentalu itu dimulai dengan memasuki Gua Selo Giri. Yang disebut dengan Gua Selo Giri ini sebetulnya bukan merupakan gua seperti bayangan kita, melainkan bangunan yang terletak sedikit di bawah permukaan tanah dan dibangun mengikuti kontur tanah dan juga akar-akar raksasa pepohonan yang sudah berusia ratusan tahun sehingga ruangan satu dengan ruangan lain dihubungkan dengan lorong-lorong. Dalam Gua Selo Giri ini pemandu menjelaskan mengenai sejarah dan kehidupan para bangsawan Dinasti Mataram jaman dahulu. Banyak benda dan lukisan baik besar maupun kecil yang merupakan peninggalan masa lalu terpajang di sana, antara lain perangkat gamelan dan lukisan-lukisan yang menggambarkan para penari keraton dan juga kehidupan para bangsawannya.

IMG_ULS02

Setelah keluar dari Gua Selo Giri, pengunjung akan diajak menjelajahi ruangan-ruangan lain berikutnya. Antara lain ruangan yang berisi berbagai macam batik, khususnya batik dengan pola-pola klasik. Di sini pengunjung memperoleh penjelasan menggenai kapan waktu yang tepat untuk mempergunakan batik dengan pola tertentu. Ternyata tidak sembarang pola batik bisa dipergunakan di setiap kesempatan lho :P. Dijelaskan pula beberapa corak batik yang diciptakan oleh puteri-puteri kraton dan latar belakang terciptanya pola batik tersebut. Misal saja pola batik truntum yang diciptakan oleh salah satu puteri keraton ketika hatinya bersedih kala mengetahui suaminya menikah lagi. Tetapi ketika suaminya melihat pola batik ciptaannya tersebut, sang suami kembali terbit rasa cintanya kepada puteri tersebut, sehingga pola batik itu dinamakan ‘truntum’ yang bisa berarti bersemi kembali <3.

Ada pula ruangan khusus yang seolah menjadi saksi kisah cinta seorang puteri dari Keraton Solo yang dikenal dengan nama Puteri Tineke, sehingga ruangan tersebut dinamakan Ruang Tineke, meskipun sebenarnya bernama Ruang Sekar Kedaton. Puteri Tineke adalah puteri dari Sunan Pakubuwono XI. Puteri yang bernama asli GRAy Koes Sapariyam ini memiliki kisah cinta yang cukup menyedihkan, karena hubungan cintanya dengan pemuda pujaannya tidak direstui oleh orang tuanya. Untungnya saat itu Sang Puteri memilik banyak kawan yang selalu mendukungnya. Dukungan itu berujud surat yang dikirimkan kepada Puteri Tineke dalam kurun waktu antara tahun 1939 – 1947. Sekarang, surat-surat yang pada umumnya berbentuk puisi cinta itu terpajang dengan rapi, bahkan disertai juga dengan foto-foto pengirimnya, serta juga diberikan terjemahannya karena sebagian surat-surat itu aslinya berbahasa Belanda. Pengunjung bisa membaca satu demi satu kumpulan surat yang sudah terpajang dalam panel-panel di dinding karena kesemua surat tersebut masih terawat dan tulisannya masih terbaca jelas. O ya, mungkin ada yang penasaran dengan akhir kisah cinta Puteri Tineke ini? Well . . . akhirnya adalah akhir yang indah seperti dalam buku-buku cerita dongeng, karena Sang Puteri akhirnya bisa menikah dengan pria pujaannya dan hidup berbahagia ❤ 🙂 ❤

IMG_ULS11

woman statue by the pool in the backyard (patung wanita di tepi kolam di halaman belakang museum)

Ruangan lain yang juga didedikasikan untuk seorang puteri dikenal dengan nama Ruang Puteri Dambaan. Dalam ruangan ini, pengunjung bisa lebih mengenal sosok Gusti Nurul, seorang puteri Keraton Mangkunegaran Solo yang betul-betul menjadi dambaan banyak pria pada saat mudanya karena selain memang berparas cantik, Gusti Nurul juga dikenal pandai dan cakap dalam menari, berkuda, bermain tenis dan juga berenang. Puteri Mangkunegoro VIII dengan Gusti Ratu Timur ini bernama asli GRAy Siti Nurul Kamaril Ngarasati Kusumawardhani. Konon pada waktu itu, hampir setiap sore Gusti Nurul berlatih menunggang kuda di suatu tanah lapang, dan setiap kali Gusti Nurul berkuda di situ, hampir dipastikan kalau tanah lapang itu akan dipenuhi para pemuda yang ingin menyaksikan kecantikan Gusti Nurul. Di dalam ruangan Puteri Dambaan tersebut terpajang banyak sekali foto Gusti Nurul, sejak beliau masih bayi sampai sekarang. Di antara foto-foto itu, tampak juga foto Gusti Nurul sedang menari di hadapan para tamu agung pada pesta pernikahan Puteri Juliana di Belanda. Uniknya, saat itu Gusti Nurul menari dengan iringan gamelan yang dimainkan di Solo dan diperdengarkan melalui sambungan telepon. Kalau jaman sekarang sih mungkin merupakan hal yang biasa, tetapi waktu itu merupakan hal yang sangat luar biasa. Gusti Nurul yang sekarang sudah berusia lebih dari 90 tahun dan tinggal di Bandung ini dikenal sebagai seorang puteri yang dengan tegas menentang poligami, sehingga pada masa mudanya berulangkali menolak pinangan para pangeran maupun pejabat tinggi yang pada saat itu biasa memiliki istri lebih dari satu.

Di ruangan lain dalam museum ini, pengunjung juga akan bisa mengetahui perbedaan busana pengantin Jawa gaya Surakarta dan gaya Yogyakarta. Di situ, selain dijelaskan secara detail apa saja perbedaannya pengunjung juga akan dijelaskan apa arti dari semua riasan dan perlengkapan busana yang dikenakan sang pengantin.

Sebelum mengakhiri kunjungan di museum ini, pengunjung akan diajak beristirahat sejenak di suatu ruangan. Di situ pemandu akan menyajikan minuman berupa ramuan berbagai bahan yang dipercaya bisa menyegarkan tubuh. Konon ramuan tersebut adalah ramuan yang berasal dari keraton. Rasanya . . . uenakkk lho, segar dan tidak pahit. Sayang gak boleh minta tambah 😀

IMG_ULS05

Penjelajahan dalam museum yang seolah membawa pengunjung ke jaman yang telah lampau itu diakhiri di sebuah ruangan yang merupakan sebuah toko, dimana pengunjung bisa membeli cendera mata, batik, baju dan lain sebagainya.

O ya, mungkin banyak yang bertanya juga mengapa tidak banyak foto yang aku sertakan dalam postingan ini. Ya, hal ini dikarenakan di dalam area museum, pengunjung dilarang mengambil foto. Jadi buat yang kurang puas dan ingin tahu lebih banyak, mampirlah ke Museum Ullen Sentalu kalau pas ke Yogyakarta 🙂 .—

IMG_ULS10

 

Summary:

The post is about a museum called Ullen Sentalu. The name was an abbreviation of a Javanese quotes “Ulating Blencong Sejatine Tataraning Lumaku” which can be translated freely as the light that guides people in their living on the world. The museum was located in a corner of Kaliurang, a resort at the slope of Mount Merapi, about 30 kilometers from Yogyakarta to the north.

The museum was a place to preserve Javanese culture as well as to display everything about Mataram Dynasty, a dinasty that once became the ruler of Java before then it was separated into four centers of authorities, two of them were in Yogyakarta and the other two were in Solo. In Yogyakarta they were known to rule from two palaces, Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat (Yogyakarta Sultanate) and Kadipaten Pakualaman (Pakualam Princedom); while in Solo there were Kasunanan Surakarta (Surakarta Sunanate) and Praja Mangkunegaran (Mangkunegara Special Teritory).

IMG_ULS01

To enter the museum, travelers would be escorted by an experienced guide who would lead the way and explain about everything in the museum. Yes this was a guided tour through the museum; and during the excursions, travelers were free to ask about everything related to the displayed items in there. The duration of the tour through the museum was approximately 1 hour.

To start the excursion, travelers would be guided through a tunnel to a room called Gua Selo Giri. The name Gua Selo Giri could be translated as the Mountain Stones Cave. It was not a real cave, actually. It has the name because the room was built underground like a cave, even though when people entered the room it was far from a look of a room in a cave. In the room, there was a set of ‘gamelan’ – Javanese traditional music instruments which was said to be given by the Sultan of Yogyakarta. There were also some big paintings depicting the life of Javanese noblemen in the past as well as paintings depicting the royal dancers in action.

IMG_ULS06

To come to the next room, travelers would pass through a path with many antique paintings and statues, most of the paintings were about the Sultans, Princes, and Princesses of the dynasty. In one of the room, travelers would be explained about the ‘batik’; how they were be made, the different style and pattern of ‘batik’ originated from Yogya and Solo, when one should wear a special pattern of ‘batik’, and also the story behind some of the ‘batik’ pattern.

There were also two rooms dedicated to certain princesses of Solo. The first one was called Balai Sekar Kedaton (the Princess Room) or most commonly known as Tineke Room because many things about Princess Tineke was displayed in the room; most of them were letters be written by the princess friends to encourage and support her when she was very depressed because she was not allowed to marry her lover by his father, the king of Solo called Sunan Pakubuwono XI. The princess, whose real name was GRAy Koes Sapariyam, received so many letters, either in Dutch as well as in Bahasa Indonesia during the period of the year 1939 through 1947. Most of the letters were poems. Now, most of the letters were on display together with the picture of the senders, so travellers could read and feel the same feeling as the princess, as all the letters were still intact. And . . . don’t you want to know how about the end of her love story? Well, as in almost every fairy tale, the story ended with happiness as the princess married her lover at last ❤ 🙂 ❤

modern style statues in the park  ( patung bergaya modern di taman belakang )

modern style statues in the park ( patung bergaya modern di taman belakang )

The other room that also dedicated to a princess was called Ruang Puteri Dambaan (the Room of the Desired Princess). The princess was known as Gusti Nurul, the daughter of Mangkunegoro VIII of Solo. Her real name was GRAy Siti Nurul Kamaril Ngarasati Kusumawardhani, and she was known for her beauty. She was also known as a smart girl as well as good in traditional Javanese dancing, horse ridding, lawn tennis and swimming. She was also known to strictly say no to polygamy, which was why she refused many marriage proposals sent by many princes and noblemen, because it was a common practice that kings and noblemen had more than one wife at that time. In the room, travelers could see many pictures of Gusti Nurul and could prove how pretty she was. Nowadays, Gusti Nurul, who was more than 90 years old, was lived in Bandung, Indonesia.

Well . . . to end this post, I think it was a trip worth to join, especially for travelers who love to explore many cultures 🙂 .–

Categories: Travel Notes | Tags: , , , | 73 Comments

Post navigation

73 thoughts on “Mengenal budaya Mataram di kesejukan lereng Merapi

  1. Suasananya agak2 mistis ya, Mas. Khas orang Jawa. Namun sungguh tempat ini ngademin banget untuk jiwa 🙂

  2. Wah, ini musiumnya kelihatan asri banget ya? Banyak pohon-pohonan dan hijau..jadi tertarik untuk berkunjung ke sana..terimakasih atas postinya ya Pak.. salam..

  3. Wonderful and interesting statues, Chris. I do so love a story with a happy ending. 🙂 Thanks for the great tour.

  4. Wow …. ternyata ada Museum cantik di Yogya di sana ya mas, di salah satu sudut Klaiurang, aku sih belum pernah ke Kaliurang, kalau ke Yogya ya muter muter Malioboro dan sekitarnya atau lihat candi, ternyata dari cerita kawan blogger lainnya termasuk mas Christ di sana banyak pantai pantai cantik.

    Kalau lihat foto pertama itu aku kok jadi inget suasana di sini ya mas, disekitar kampungku sini 🙂

    • Rimbunnya pepohonan yang mengingatkan dengan suasana di sana ya Mbak?

      • iya mas, orang orang sini suka yg rimbun rimbun, banyak juga rumah yg dindingnya ditanami tanaman merambat, jadi seperti berambut ijo, ada kalau pas musim gugur jadi merah daunnya 😛

      • Asyik ya Mbak sebetulnya kalau rimbun gitu. Kesannya jadi adem 🙂

      • iya mas, mungkin di sini beda sama di sana ya mas, aku bayangkan jika di sana mungkin sudah banyak ulatnya, karena beda suhu itu.

      • Bukan cuma banyak ulat sih, Mbak, tapi bisa jadi malah kelembabannya over dan justru jadi tidak sehat

      • Karena beda suhu ya mas? lha di sini byk juga rumah yg dirayapi tanaman melingkar begitu sepertinya oke oke saja 🙂

      • Iya Mbak, utamanya memang karena iklim yang berbeda antara di sana dan di sini

      • Bener mas, di sini itu aku sering lihat rumah brewok di mana mana, mikir juga sih bakalan tiap tahun mencukur biar nggak tambah brewok rumahnya, ntar nggak bisa lihat ke luar 😀

      • Di sini juga banyak sih Mbak yang berewokan gitu, biasanya berupa tanaman rambat yang tumbuh menempel di dinding, cuma masalahnya tanaman itu lama kelamaan bisa merusak dinding juga. Jadi dipangkas bukan cuma supaya gak nutupin pemandangan tetapi juga supaya gak terlalu merusak temboknya. Di rumahku relatif 3 – 4 bulan sekali harus dibersihkan karena tumbuhnya relatif cepat

      • Mungkin karena suhu juga ya mas jadi cepet bgt tumbuhnya di sana.

        Jadi rumahnya ada tanaman merambatnya juga?

      • Iya, Mbak, di tembok halaman belakang rumah ada tanaman rambatnya. Sebetulnya bukan sengaja aku tanam sih, tapi itu merambat dari tembok tetangga 😀

      • Wuii …. pengen hidup juga mereka di dinding rumah mas Chris ya? 😀

      • Iya, kayanya begitu, Mbak 🙂

  5. Wah padahal dekat rumah tapi kok ya aku belum pernah kesana.

    Cuma pernah bebera kali tamu tamu aku yang main kerumah tanya kita unjuk arahnya aja.
    cos belum berjodoh nganterin karena kerja.

    wah pas libur maen kesana ah..
    😉

  6. I love this post… beautiful pics

  7. ahhh i lost it…
    besok saya sambangi deh

  8. mas Krisna, INI KEREN BANGET POSTINGANNYAAA!!!!
    aku udah pernah ke sini tiga tahun yang lalu, dan belum nulis apa-apa juga.. foto mah banyakk..

  9. wow… kerennn..

  10. Saya benar-benar baru tau tentang museum ulen sentalu ini,
    kalau keraton Jogja dan kasunan Surakarta itu pecahan Mataram pernah baca,
    ternyata malah ada rekam jejak sejarah budaya yang masih terjaga.
    Agak-agak berbau mistik juga ya 🙂

    • Kalau di bilang berbau mistik, menurut aku sih gak juga ya Mbak. Cuma memang bangunannya aja yang kelihatan serem karena hampir ketutup rimbunan pohon 🙂

  11. Sejuk bener kayanya.

  12. Walaupun lokasi museum keliatan menyeramkan, saya tetap suka karena banyak tanamannya, jadi sejuk kan tempatnya 😉 . Tepat sekali yg dilakukan pengelola museum, harus ada guide bagi pegunjung, jadi para pegunjung selain tahu banyak cerita tentang isi museum, juga menghindari tangan jahil yg mungkin mengambil sesuatu dari tempat yg dilalui pegunjung 😀 .

    Oh ya Chriss berapa rupiah tiket masuknya?.

    • Betul Mbak, dengan banyaknya tanaman, suasana memang jadi sejuk di sana.

      Trus soal ticket masuknya, karena ini merupakan museum yang dikelola pihak swasta, ticketnya tidak semurah museum milik pemerintah. Di Ullen Sentalu kalau aku gak salah ingat, untuk dewasa dikenakan Rp 30.000,- dan anak-anak dikenakan Rp 15.000,-. Wisatawan mancanegara dewasa dikenakan Rp 50.000,-. O ya, museumnya tutup tiap hari Senin ya Mbak

      • Tiket masuk tidak mahal ko segitu 🙂 . Wah sama spt di LN tutup klo ga senin ya kamis 😀 .

      • Sebetulnya memang gak mahal sih Mbak kalau lihat betapa isinya sangat berharga, cuma di sini dengan ticket yang jauh lebih murah dari itu saja museum tetap sepi, gak seperti yang aku lihat di LN 😦

      • Iya ya Chris di tanah air tiket museum sdh murah masyarakat masih memilih jalan2 ke mall ketimbang ke museum. Klo ke LN orang2 kita sampai bela2in masuk ke misalnya museum madam tussaud yg klo dirupiahkan bisa ratusan ribu 😦 .

      • Nah itulah Mbak. Mungkin karena orang kita masih lebih menghargai karya asing dibanding karya bangsa sendiri, disamping itu kebanyakan orang masih beranggapan kalau yang namanya museum itu cuma tempat menyimpan benda-benda berdebu yang tidak menarik 😦

  13. Membaca judulnya dagdigdug….. rasanya Ullen Sentalu…..
    Sangat menikmati postingan edi-adi ini, keagungan dan keanggunan budaya Mataram tertuang elok.
    Lereng gunung tetangga Merapi juga elok loh Pak….

    • Terimakasih Bu.
      Untuk lereng gunung tetangga memang elok, Bu, makanya ini juga lagi ngatur waktu supaya bisa menengok ke sana sekalian bertamu di tempat Bu Prih

  14. indahnya.. terimakasih artikelnya

  15. udah adem tambah adem ngliat tumbuh2annya, mesti enak berlama2 disini 🙂

    salam
    /kayka

    • Nah betul juga, Mbak. Tapi berlama-lamanya di restonya, kalau di museumnya gak boleh lama-lama 😛

      • lho kog gak boleh lama2 di museumnya mas?

        salam
        /kayka

      • Iya Mbak, kan masuk dalam museumnya harus didampingi petugas, jadi gak boleh kluyuran sendiri. Itu juga sebabnya kalau datang sendiri biasanya diikutkan ke rombongan lain supaya masuknya bisa bareng-bareng. Nah, masalahnya juga, petugasnya tidak terlalu banyak. Kalau ada pengunjung yang ingin berlama-lama dalam museum, mereka kekurangan orang yang mendampinginya, kecuali memang satu rombongan kompak mau berlama-lama semua.

      • oalah sayang ya jadi terikat. tapi enak juga deh ada pedampingnya jadi lebih terarah, koleksi2 penting gak terlewat begitu saja.

        salam
        /kayka

      • Betul, Mbak. Di satu sisi jadi seperti terikat gitu, tapi di sisi lain juga untung karena dapat penjelasan yang cukup lengkap

  16. wah nanti saya kesini ah, penasaran mahu coba minuman enak yg ramuan keraton itu,,lol

    • Nah dicoba deh, karena katanya minuman itu selain membuat rasa capek hilang juga bisa bikin kulit jadi mulus seperti para puteri keraton 😀

  17. 6 tahun di jogja aku belom pernah ke situ ;(

  18. sukasukakeii

    museumnya keren tapiii….. (=__=”)//|| rada angker ya…

  19. Aku ngak tau kenapa, kok ngak perna tertarik berkunjung ke museum 😦

  20. wah..pengen ke situ.. pak Chris nemu aja tempat -tempat yang menyenangkan.
    tapi itu patung modern nya kok rasanya kurang nyambung dengan museumnya gitu ya Pak Chris..

    • Kebetulan pernah baca artikel mengenai tempat ini beberapa kali sih Mbak, jadi pas kesempatan beredar di sekitar situ ya disempatkan mampir. Kebetulan istri dan anak-anak juga senang berkunjung ke museum 🙂

      Untuk patung-patung modern itu, iya memang kelihatannya tidak nyambung sih. Tapi itu semua diletakkan di halaman belakang yang katanya halaman belakang itu memang disediakan untuk wadah karya seni modern. Dan kebetulan hanya di halaman belakang itulah pengunjung diperkenankan memotret

  21. harumhutan

    ini dia ullen sentalu yang bikin aku penasaran sampe detik ini belum kesana juga,uda denger kalo ini bagus dan uniqe…

    om boleh make baju pengantinnya ga ya :mrgreen:

    • Kalau gitu, kalau pas ke Yogya jangan lupa dimampirin 🙂

      Baju pengantinnya gak boleh dipakai, wong difoto aja gak boleh koq 😛

      • harumhutan

        kenapa ga boleh difoto? takut ditirukah?

        atau kenapa ada tempat tempat tertentu yang tak boleh diabadikan? berhantu? hehhehehe

      • Rasanya bukan cuma takut ditiru, tapi lebih ke faktor keamanan juga mengingat kebanyakan yang di-display adalah barang-barang yang sudah masuk kategori antik yang tentunya sangat berharga. Mungkin itu juga sebabnya mengapa pengunjung bebas memotret di halaman belakang yang isinya patung-patung kontemporer yang usianya relatif masih muda

  22. Pingback: Belajar Budaya Keagungan Gunungapi Merapi | RyNaRi

Leave a reply to chris13jkt Cancel reply

Blog at WordPress.com.