One morning in Bangka Island, I woke up quite early wishing that I could enjoy a tranquil atmosphere while watching the sun rising on one of Bangka’s beautiful beaches. But it seemed that my wish was gone astray since from the window I saw dark cloud hovering quite low followed by drizzle. Seeing that the weather was not quite friendly, I decided to forget the plan to visit the beach, and went to a simple village inhabited by fishermen instead in hoping that in the village the weather would be more friendly.
The village was located in Koba District, in Central Bangka, about 20 kilometers to the south of Pangkalpinang. The village was known as Kurau. The houses in the village were scattered along both sides of a river called Kurau River. Most of the houses were simple stilt wooden houses, so at high tide the houses looked like floating houses on water. The people of Kurau built their houses on stilts because the soil under their houses always wet and muddy due to the tide which affecting the water of Kurau River. Some of the houses also had a simple wooden pier in front of their houses which they used to tether their boats.
Kurau was divided into two parts by the river to be East Kurau and West Kurau. The two parts were connected by a bridge over the Kurau River that known as Kurau Bridge. Almost all of the people lived in the village live a very simple life. Most of them were the descendants of Bugis people who were famous as very tough sailors. There were some Melayu Bangka people lived in the village, too.
The usually quiet village would turn quite lively and crowded in the week-end because many people came either to buy fresh fishes, shrimps, and crabs; or just had the village as their starting point to visit Ketawai Island which located off the shore of Kurau River’s estuary. It was said that Ketawai Island had beautiful underwater scenery. Unfortunately I did not have enough time to visit the island at that time. Well . . . hope that there will be a time for me to visit the island in the near future 🙂
Keterangan :
Subuh itu aku terbangun dengan harapan akan bisa menyaksikan terbitnya sang mentari di salah satu pantai yang ada di Pangkalpinang. Tetapi ternyata semangat yang semula menggebu menjadi kempis seiring dengan terlihatnya awan mendung menggelayut rendah dilangit disertai derai gerimis tipis di luar jendela kamar hotelku.
Setelah sejenak terdiam, akhirnya aku memutuskan untuk mengubah rencana. Aku membatalkan acara menyongsong fajar di pantai menjadi kunjungan ke sebuah desa nelayan yang berjarak kurang lebih 20 kilometer dari Pangkalpinang ke arah selatan. Harapannya sih di desa tersebut cuaca lebih bersahabat.
Desa yang menjadi tujuanku dikenal dengan nama Desa Kurau. Desa ini masuk Kecamatan Koba, Bangka Tengah. Semula aku berharap subuh itu masih bisa menyaksikan kegiatan para nelayan yang pulang dari kegiatannya mencari ikan sepanjang malam sebelumnya. Tetapi ternyata yang aku dapatkan adalah dermaga yang sudah sepi. Wah aku kesiangan juga rupanya meskipun langit masih gelap 😦
Yah daripada pulang tanpa hasil, mendingan aku berkeliling melihat-lihat perkampungan yang tampak sepi itu. Aku perhatikan, hampir semua rumah di desa itu merupakan rumah panggung sederhana yang terbuat dari kayu. Rumah-rumah panggung itu memenuhi kedua sisi Sungai Kurau yang membelah desa itu menjadi Kurau Barat dan Kurau Timur. Kedua wilayah itu dihubungkan dengan sebuah jembatan yang dinamakan Jembatan Kurau.
Penduduk desa yang sebagian besarnya merupakan keturunan orang-orang Bugis itu membangun rumahnya dalam bentuk rumah panggung karena tanah di bawah rumah mereka selalu basah dan berlumpur akibat pasang surut air laut yang masuk ke aliran Sungai Kurau. Pada saat pasang tinggi, rumah-rumah itu kelihatan seperti terapung-apung di air. Beberapa rumah tampak memiliki dermaga kayu sederhana di depan rumah yang dipergunakan pemiliknya untuk menambatkan perahunya.
Desa yang biasanya tenang ini akan menjadi lebih hidup dan ramai pada akhir pekan karena banyak orang datang ke sana untuk berbelanja hasil tangkapan nelayan yang masih segar. Selain yang berbelanja, banyak juga yang datang ke Desa Kurau ini karena mereka mempergunakan desa ini sebagai titik keberangkatan ke Pulau Ketawai yang ada di lepas pantainya. Katanya sih pemandangan bawah laut di Pulau Ketawai cukup indah. Sayangnya waktu itu aku tidak punya cukup waktu untuk berkunjung juga ke sana. Yah mudah-mudahan pada kesempatan berikut aku bisa ke sana 🙂
A humble and simple fishing village indeed. Amazing vernacular architecture.
I agree with you, Bruce. Local wisdom guided them to build such a house
Very interesting and fascinating images of boats and buildings. (But I wonder about the colours even if you chose greyscales, probably because of the weather.)
You guessed it right, Puzzle. The weather made all the colors looked so dull and that made me turn all the pictures into BW
jalan-jalan pagi yang menyenangkan ini pak, eksplorasi sekeliling…
fotonya cantiik..
He he he iya, meskipun sebetulnya agak kecewa juga karena yang diincar sudah terlewat.
Terimakasih ya Mbak 🙂
Nice trip, selalu menyajikan sesuatu yang istimewa 😀
Teimakasih Mas. Ini kebetulan dapat koq. Kalau cuaca cerah, katanya di sini bisa didapatkan sunrise dan sunset yang cantik
WOW, sunrise dan sunset ini yang bikin betah menanti moment, hehehe 😀
Betul Mas. Tantangannya ya cuaca itu, he he he . . .
Wow…keren foto-foto dan ceritanya!
Terimakasih, Tania 🙂
kalau seandainya sejak awal berencana datang lebih pagi tentu akan lebih banyak lagi dimensi kehidupan yang bisa ditangkap ya Pak Chris….. Btw lama juga di Bangka ya Pak.
Betul, Mbak. Memang semula aku akan berkunjung ke desa ini pada sore hari supaya bisa menangkap lebih banyak aktivitas, tetapi karena cuaca aku mengubah rencana waktu kunjungan menjadi subuh, yang ternyata aku kesiangan sampai di sana 😦
O ya, aku cuma 3 hari koq di Bangkanya. Cuma memang aku maksimalkan waktu kluyurannya.
Very interesting story and lots of images I enjoyed!. Apa kabar Mas Chris?
Terimakasih, Pak. Kabarku baik, Bapak sendiri apa kabar? Sehat kan ya Pak?
Sehat, Mas. Saya sudah balas emailnya ya. Terima kasih.
Ok Pak. Terimakasih juga 🙂
wah .. kebayang ya mas, seharian di sana pasti banyak dpt Foto Foto cantik spt di atas 😛
Kalau seharian sih malah bisa dapat ikan, udang, sama kepiting segar buat dimasak, Mbak 😀
wah .. asyik Dong mas 😛
Ha ha ha . . . betul-betul asyik Mbak, apalagi kalau ada yang masakin 😀
hihihi kalau nggak ada bgmn mas ? 😛
Enaknya gimana ya Mbak kalau gak ada>? 😀
ya masak dewe mas hihihi 😛
Tapi enaknya sih dimasakin Mbak Ely nih 😀
jauh mas 😛
😀
Berasa jadulnya nih mas dengan BW
Padahal maunya gak jadul lho 😛
Ohhhh.
Hhahaaha
Bukan ya:D
Semula memang sempat kepikiran mau dibikin sepia sih supaya kelihatan jadul 😀
Weehhhh!
Libur panjang kemana nih mas:d
Masih belum nentuin mau kemananya, soalnya kalau hujan mau jalan juga gak nyaman juga kan?
Kalau hujan, enaknya jalan ke daerah pegunungan:d
Di pegunungan kan hujan juga, malah rawan longsor. Emang sudah ada rencana mau jalan ke mana?
Di rumah ajah ah.
Mau ngecet rumah.
Hahahha!
Wah jadi kerja bakti di masa liburan nih jadinya? 🙂
Iya. Bayar tukang mahal.
Padahal cuma beli cat abis itu nggak tau langkah selanjutnya.
Hahhahaha!
Kalau cuma ngecat sih harusnya gak gitu mahal tuh
Mereka nggak mau harian. Maunya borongan.
Iya sih memang enak yang harian. Cuma memang kalau harian dan dapat yang gak bener jadinya kita buang duit lebih banyak
Iyaaa. Harian sengaja dilama-lamain:((
Kalau borongan, kerjanya ngasal 😦
Emang. Susah dapetin orang bener yak.
Yup, itu problem utamanya
Makanya mau nyoba ngecet sendiri ah.
Ok deh, selamat ngecet kalau gitu 🙂
Mau bantu?
Hahhahaha!
Oopsss!
Boleh aja asal berani bayarnya, he he he . . .
Bagi pejalan penikmat kehidupan dari aspek alam dan sosial seperti Pak Krish, tak sulit menyiasati mendung dan berlalunya pulang melaut dengan bidikan lain.
Padatkah penduduknya Pak, perahu tak cukup berbaris bahkan berlapis sebanyak itu?
….Pada saat pasang tinggi, rumah-rumah itu kelihatan seperti terapung-apung di air….kebayang kampul-kampulnya masyarakat yang tinggal di dalamnya.
Salam
Kalau melihat perkampungannya, kelihatannya memang padat, Mbak
Laah…kok sepi, penduduknya lagi tidur setelah pulang dr melaut kali ya mas Chris.
Seperti biasa foto-fotonya top markotop deh 👍
Bisa jadi begitu, Mbak. Karena memang aku di sana itu masih sekitar jam 5 – jam 6 begitu. Mungkin kalau sudah lebih siang sudah mulai ramai lagi.
Dan terimakasih juga pujiannya, fotonya biasa-biasa saja koq 🙂
kheren om hitam putih *love it 🙂
mirip ama yang dikalimantan ya om,yang perahu perahu gitu..
Thanks. Eh tapi mirip sama yang di Kalimantan mana ya? 😕
yang pasar terapung itu loh om..bedanya itu ga ada sayuran dan buah yang buat dijual 😀
Oh iya, memang kalau lihat deretan kapalnya jadi mirip sih 🙂
Selalu suka dengan reportase dan foto Om Kris,,,
mengalir lembut….
ah mantep…..
Ah Dhave bisa aja nyenengin orang 🙂
Bener om saya suka
bilingualnya cakep dan enak cernanya….
Terimakasih, berarti kita saling suka dengan gaya masing-masing dong nih Dhave 😛
Ini aja aku lagi baca reportase yang Dhave tulis
Mantap mas chris
Terimakasih 🙂
potonya bikin ngiler dah.
salam kenal dulu om.
how do you do :p
Salam kenal juga, Mas
Terimakasih sudah mampir dan menyempatkan berkomentar 🙂
Terkadang cuaca yang tidak kita inginkan malah memberikan nuansa yang berbeda banget jika diabadikan Om yach…Jangan terbelenggu dengan keadaan demikian kira2 om yach…
Hasil jepretan kesunyian kampung malah asyik om
Nah betul itu. Kondisi yang gak mendukung sebisa mungkin kita siasati ya Bli
cakep2 mas Chris fotonya 🙂
Terimakasih, Mbak. Kebetulan aja koq 🙂
i think it’s wonderful to discover such a community
Yes, it is 🙂
Ciamik punya nih fotonya. kalau boleh tau itu amunisinya pake apa mas ?
Terimakasih, kebetulan saja koq ini hasilnya begini. Untuk memotret ini aku pakai kamera tua EOS 350D dengan lensa Tamron 18-250
what an humble and sactuary village…
btw, mas fotonya pake kamera pa ya… hasilnya keren2 smua….
Untuk yang di postingan ini aku pakai camera lama, Mas. Canon EOS 350D
Btw, aku kirim e-mail apakah keterima?
Stunning photos,Chris. Ingin sekali saya mengunjung ke desa nelayan saperti ini.
Thank you, Sharifah. Kalau ada waktu, it is really interesting to visit such a village
Fascinating little village – makes me want to visit (on a nice day :-).
Ha ha ha . . . you’re right, it will be better to visit the place on a bright day 🙂
You made the best of it. Black & White makes the place look like it is from an earlier time….
Thank you 🙂