Percampuran budaya yang menghasilkan keunikan

Tahu kota Lasem ‘kan?

Kalau tahu, memangnya kenapa? Ya gak kenapa-napa sih, cuma saja kali ini aku lagi pengen cerita aja mengenai Lasem.

Lasem sebuah kota kecil yang terletak di daerah pantai utara Jawa Tengah, kira-kira 3 – 4 jam perjalanan darat dari Semarang ke arah ke timur. Lasem dikenal sebagai kota batik, meskipun sebetulnya banyak hal menarik lain yang bisa digali dari Lasem selain pola batiknya yang khas; dan itu jugalah yang mendorong aku untuk ikut sewaktu tahun lalu ada yang mengajakku berkunjung selama beberapa jam di Lasem. Loh koq tahun lalu sih? Iya, ini catatanku waktu tahun lalu aku sempat kesana. Aku rasa isinya masih relevan koq kalau aku bagikan di sini sekarang.   🙂

Ok, yuk kita mulai deh obrolan mengenai Lasem ini. Dilihat dari sejarahnya, Lasem sebetulnya sudah berumur cukup tua lho. Kalau aku gak salah ingat, ada salah satu kerabat dari Prabu Jayanegara dari Majapahit yang bergelar Bhre Lasem, karena yang bersangkutan berasal dari Lasem atau memegang kendali atas daerah Lasem. He he he . . sorry aku gak ingat persis, soalnya terakhir kali dapat pelajaran sejarah kan jaman masih SMA dulu, beberapa puluh tahun lalu. Eh tapi itu masih untung lho, kebayang gak kalau anak-anak sekarang pemahaman sejarahnya cetek banget, gak tahu kenapa bisa begitu. Habis itu, para pembuat keputusan juga banyak yang pemahaman sejarahnya lebih memprihatinkan lagi. Dibilang anak sekarang, ya . . . gak juga ya, kan beberapa dari mereka aku tahu pasti umurnya bahkan lebih tua dari aku. Sekarang yang banyak dipikirin cuma urusan duit dan duit, makanya banyak situs maupun bangunan bersejarah dibiarkan hancur atau malah sengaja dihancurkan demi buat bikin mall atau kondo. Warisan seni budaya juga dibiarkan hilang . . . 😦   Eh koq aku jadi ngelantur gini ya? Ok deh balik lagi ke soal Lasem aja ya.

Seperti yang sempat aku kemukakan di awal tulisanku ini, Lasem sebetulnya punya banyak hal yang menarik, atau malah boleh dibilang unik. Tentu saja dengan kunjungan yang cukup singkat, tidak banyak hal menarik yang bisa diungkap. Tetapi dari yang sedikit ini, menurut aku sih bisa diperoleh sedikit gambaran mengenai Lasem itu. Ok, aku coba ceritakan kembali deh apa-apa yang aku dapatkan sewaktu aku singgah di Lasem.

Waktu itu aku tiba di Lasem sekitar jam 09.00 pagi, dan aku memulai perjalananku di Lasem dengan mengunjungi sebuah kelenteng tua yang dikenal dengan sebutan Kelenteng Cu An Kiong (Ci An Gong). Kelenteng yang diperkirakan dibangun pada abad ke XV ini masih kelihatan cukup terawat. Mungkin karena sampai sekarang kelenteng ini masih sering dipakai beribadah juga. Ukiran-ukiran dan juga gambar-gambar di dinding yang menyerupai komik, dan katanya dulu digambar oleh seniman yang didatangkan langsung dari Kwangtung (Guangdong), China, semuanya masih kelihatan utuh dan indah. Sebutan bahwa Kelenteng Cu An Kiong sebagai salah satu kelenteng terindah di Indonesia rasanya tidaklah meleset. Istilah ”Kiong” yang bisa berarti istana menjadi cocok disandangkan pada kelenteng ini.

Meskipun dibangun pada abad ke XV, kelenteng yang juga berfungsi sosial sebagai tempat berkumpulnya masyarakat keturunan China, bahkan pada masa penjajahan sempat menjadi tempat bertemunya para pejuang kemerdekaan ini, pernah mengalami renovasi. Renovasi dilakukan pada tahun 1838 oleh seorang pemuka masyarakat China pada masa itu yang bernama Lin Chang Ling.

Cu An Kiong terletak tidak jauh dari aliran sungai Lasem yang bermuara ke laut Jawa, dan pada jaman dahulu Sungai Lasem ini merupakan sungai besar yang bisa dilayari oleh kapal, tidak seperti kondisi sekarang yang alirannya sudah jauh lebih kecil. Lokasi kelenteng seperti itu memperkuat dugaan bahwa memang kelenteng ini betul-betul sudah berumur cukup tua. Seperti kita ketahui, biasanya para musafir dari China pada abad pertengahan akan mendirikan tempat-tempat pemujaan mereka di lokasi pendaratan kapal yang membawa mereka dari tanah leluhurnya. Itu pula sebabnya hampir semua kelenteng berlokasi di dekat pantai atau di dekat aliran sungai besar seperti Cu An Kiong ini.

the palanquin

Dewi sesembahan utama di Cu An Kiong adalah Dewi Laut yang dikenal dengan nama Thian Siang Sing Bo (Tian Shang Sheng Mu). Karena itu pulalah di altar utama kelenteng ini terdapat rupang sang dewi. Pada hari-hari besar tertentu, rupang sang dewi akan ditempatkan dalam sebuah joli atau tandu yang berukir sangat indah, dan kemudian diarak keliling kota Lasem. Biasanya arak-arakan semacam ini berlangsung sangat meriah. Sampai sekarang rupang sang dewi masih dianggap suci, sehingga masih banyak orang yang bersembahyang di kelenteng ini untuk memohon perlindungan dari Yang Maha Esa dengan perantaraan Dewi Thian Siang Sing Bo tersebut.

the guardian lions

Kalau melihat bentuk bangunannya, sebetulnya Cu An Kiong bisa dibilang berbentuk standar. Sebuah bangunan bergaya China klasik dengan warna dominan merah, dan di atapnya terdapat hiasan berbentuk patung naga. Di pintu gerbang yang menuju halaman parkir terdapat dua patung dewa penjaga pintu yang kelihatannya sekaligus berfungsi juga sebagai tiang lampu. Di depan kedua patung ini terdapat dua buah patung singa. Nah disinilah letak keunikannya, karena kalau biasanya patung singa yang terdapat di gerbang kelenteng berupa sepasang singa dengan gaya China dan dalam posisi duduk, di Cu An Kiong, patung singanya merupakan singa bergaya Eropa dengan posisi berbaring. Terus terang baru kali ini aku menjumpai sebuah kelenteng dengan singa penjaga gerbang yang seperti ini. Betul-betul unik, dan cuma ada di Lasem nih kayanya.

Selain Cu An Kiong, di Lasem terdapat dua buah kelenteng lagi, yaitu Fo An Bio yang terletak di atas bukit, dan Gie Yong Bio yang berlokasi tidak terlalu jauh dari Cu An Kiong.

Fo An Bio karena letaknya di atas bukit, menurut penuturan penduduk setempat, pemandangannya indah, dan di sana terdapat patung Buddha raksasa. Sementara itu Gie Yong Bio memiliki keunikannya tersendiri, khususnya mengenai sosok yang dipuja di dalam kelenteng ini. Kalau di kelenteng-kelenteng lain yang dipuja adalah para dewa dan dewi, khususnya yang berasal dari tradisi dan kepercayaan masyarakat keturunan China, maka tidak demikian di Gie Yong Bio. Di kelenteng ini yang dipuja di altar utama adalah pahlawan atau pejuang. Hebatnya, bukan pahlawan yang berjuang di negara China sana, melainkan tiga orang pahlawan atau pejuang yang berasal dari Lasem dan berjuang bahu membahu untuk mengusir penjajah Belanda. Ketiga pejuang yang dipuja di Gie Yong Bio itu adalah Oey Ing Kiat atau dikenal juga sebagai Raden Ngabehi Widyadiningrat, Raden Panji Margono Putro Tejokusumo, dan Tan Kee Wie. Sepanjang aku tahu, Raden Panji Margono ini merupakan satu-satunya orang Jawa yang dipuja di kelenteng. Uniknya lagi, konon patung Raden Panji Margono di kelenteng itu berbusana Jawa lengkap, yaitu berkain dan bersurjan, dilengkapi dengan ikat kepala semacam blangkon.

Sayangnya waktu itu aku tidak berkesempatan untuk berkunjung ke kedua kelenteng itu, sehingga tidak bisa memberikan gambaran lebih banyak. Mudah-mudahan lain waktu aku berkesempatan untuk berkunjung kesana. Penasaran juga sih, pengen lihat sendiri 🙂 . Sebetulnya kalau ngomongin soal pahlawan dari Lasem, masih ada satu tokoh lagi yang juga berjuang bahu membahu bersama ketiga pahlawan yang telah disebut terdahulu dalam melawan Belanda. Tokoh tersebut adalah Kyai Baidlawi. Hanya saja sosok Kyai Baidlawi tidak dijadikan pujaan di kelenteng Gie Yong Bio itu.

Melanjutkan cerita soal kunjunganku ke Cu An Kiong, di sana aku dan teman-temanku serombongan bertemu dengan Bapak Sigit Witjaksono. Pak Sigit ini, meskipun sudah sangat sepuh, tapi masih bersemangat menjelaskan segala sesuatu mengenai Cu An Kiong. Mulai dari sejarahnya, sampai juga mengenai dewa dewi yang dipuja di situ. Setelah selesai dengan penjelasannya, Pak Sigit mengajak seluruh anggota rombongan untuk mampir ke rumah beliau. Rumah Pak Sigit ini, selain tempat tinggal, juga merangkap sebagai tempat usaha dan sanggar batiknya. Wah asyik juga nih kalau begini, bisa melihat proses pembuatan batik sekaligus mendapat penjelasan langsung dari pakarnya. Maklumlah, selain dikenal sebagai salah satu sesepuh masyarakat Lasem, Pak Sigit juga diakui sebagai salah satu seniman batik gaya Lasem yang banyak membuat pola-pola batik Lasem masa kini.

batik making

Rumah Pak Sigit tidak terlalu jauh dari Kelenteng Gie Yong Bio, dan masih berupa rumah kuno yang cukup luas. Di rumahnya, Pak Sigit banyak bercerita mengenai bagian-bagian rumahnya, termasuk juga bercerita mengenai meja abu orang tuanya yang ada di rumah itu. Sementara beberapa teman asyik mendengarkan cerita Pak Sigit, aku sendiri lebih suka memperhatikan beberapa pekerja yang sedang asyik membatik.

Batik Lasem, meskipun masuk dalam kategori Batik Pesisir, tetapi mempunyai ciri khas tersendiri karena banyak dipengaruhi kebudayaan China. Mungkin karena itu pulalah maka ada yang menyebut Batik Lasem dengan sebutan Batik Encim. Pengaruh kebudayaan China ini tampak dari adanya gambar-gambar binatang maupun bunga yang aslinya berasal dari negara tirai bambu seperti naga, kilin (binatang mitos yang berbentuk mirip singa) dan burung phoenix atau lebih dikenal sebagai burung hong. Sementara itu, untuk motif dasarnya, tetaplah merupakan motif khas Indonesia. Ada yang bermotif dasar kawung, parang, ataupun bermotif dasar khas Lasem yang disebut motif latohan dan watu pecah.

Mengenai motif dasar khas Lasem yang disebut latohan, disebut begitu karena polanya mirip dengan bentuk latoh, yaitu semacam rumput laut yang juga menjadi salah satu makanan khas masyarakat Lasem. Sementara motif watu pecah konon terciptal akibat kejengkelan masyarakat Lasem pada jaman Daendels yang diperintahkan bekerja paksa memecahkan batu untuk membuat Jalan Raya Pos (De Grotte Postweg).

lasem’s style batiks

Pak Sigit sendiri sebagai seorang pengrajin batik juga giat menciptakan motif-motif batik baru yang betul-betul unik dan indah. Contohnya saja adalah pola batik yang dikenakannya pada saat bertemu dengan aku dan teman-temanku itu. Sepintas memang tidak tampak sesuatu yang khusus, meskipun kita tahu dengan pasti bahwa baju yang dikenakan Pak Sigit adalah baju batik. Tetapi kalau diperhatikan lebih teliti, di antara bunga dan ikan yang menjadi gambar batiknya, tertera juga beberapa aksara kanji China. Menurut Pak Sigit, jenis batik seperti yang dikenakannya itu sekarang banyak peminatnya karena selain indah juga dinilai sangat unik. Melangkah lebih jauh, Pak Sigit bahkan saat itu sedang merancang pola batik yang mengandung aksara Arab. Wah seperti apa ya jadinya nanti? Memang aku dan teman-teman sempat ditunjukkan pola dasarnya, tetapi belum terbayanglah seperti apa kalau sudah jadi nantinya. Yang jelas pasti unik, ada batik berpola aksara Arab. Menurut Pak Sigit, kalau sudah jadi nanti, karyanya itu akan menjadi hiasan dinding.

Setelah puas mendengarkan penjelasan Pak Sigit, dan juga berbelanja Batik Lasem di kediaman Pak Sigit, aku dan rombongan teman-temanku melanjutkan perjalanan menuju ke suatu tempat yang bernama Trembesi. Menurut rencana, selain berbelanja batik lagi, di sana sekaligus juga akan menikmati makan siang dengan menu makanan khas Lasem.

Perjalanan dari rumah Pak Sigit menuju Trembesi ditempuh dalam waktu yang tidak terlalu lama. Begitu sampai, pandangan mataku tertumbuk pada sebatang pohon trembesi raksasa yang dahan-dahannya menjulur sampai hampir menyentuh tanah. Bonggol-bonggol akarnyapun menjadi indah karena bentukan alam, dan kelihatan sudah sangat tua. Menurut orang-orang di situ, tempat ini dinamakan Trembesi ya karena adanya pohon trembesi raksasa itu.

batik sellers

Di bawah pohon, tampak beberapa pedagang batik yang sudah menggelar dagangannya, sementara di sisi lain berdiri sebuah rumah sederhana yang ternyata merupakan sanggar tempat berkaryanya para pengrajin batik binaan seorang tokoh perbatikan lain di Lasem, yaitu Pak Santoso. Kembali di sini beberapa teman sibuk berbelanja batik, beberapa lagi menyimak penjelasan Pak Santoso mengenai usahanya membina dan melestarikan Batik Lasem, sedangkan aku sendiri bersama beberapa teman lain memilih melihat para pengrajin batik yang sedang berkarya.

Kalau diperhatikan lebih jauh, meskipun sama-sama Batik Lasem, tetapi motif batik yang dihasilkan para pengrajin di rumah Pak Sigit berbeda dengan yang dihasilkan para pengrajin batik binaan Pak Santoso ini. Memang sih menurut Pak Santoso motif Batik Lasem itu sangat banyak, bahkan banyak pula yang belum pernah diproduksi. Kebayang kan, dengan adanya orang-orang seperti Pak Sigit yang giat menciptakan pola dan motif-motif batik baru, ditambah masih banyaknya pola Batik Lasem yang belum diproduksi seperti penuturan Pak Santoso, Batik Tulis Lasem pasti akan mampu memanjakan para pencinta batik.

Kunjungan ke Trembesi siang itu diakhiri dengan makan siang bersama, baik bersama seluruh anggota rombongan, maupun juga dengan para pedagang dan pengrajin batik yang ada di situ. Seru juga bisa berbaur bersama masyarakat di situ. Menu yang disajikan sebagian besar berupa makanan khas Lasem, misal saja Lontong Tuyuhan yang mirip seperti lontong sayur yang kita kenal, hanya saja di sini lontongnya dibungkus dengan daun pisang dan berbentuk segitiga. Cara membuka dan mengiris lontong itu dilakukan seperti kalau kita membuka dan mengiris ketupat. Selain Lontong Tuyuhan, ada juga urap yang salah satu jenis sayurnya adalah latoh. Ada pula sate srepeh yang cukup lezat dan jadi favoritku. Juga tahu dan telur yang dimasak dengan kuah srepeh yang tidak kalah yummy-nya dengan sate srepehnya. Belum lagi ada keci yang menurut aku betul-betul sama dan sebangun dengan bakwan udang, meskipun penduduk di situ ngotot kalau itu bukan bakwan. Ya sudah, akhirnya daripada jadi ribut gara-gara nama bakwan, sambil senyum-senyum kita semua menyebut penganan itu dengan nama bakwan . . . eh keci  😛 Selain yang sudah aku sebut tadi itu, masih ada juga beberapa jenis lauk lain juga. Wah kalau dicoba semua, bisa-bisa gak muat perutku, habis maunya ambil sedikit buat sekedar mencicip, eh ternyata tidak tertahankan buat nambah juga. Untuk minumannya, selain air putih, disediakan juga sirop kawista yang juga jadi andalan Lasem. Wah pokoknya mantaabz pol.

the veranda

Kunjunganku ke Lasem diakhiri dengan melihat beberapa bangunan atau tepatnya rumah tua yang masih tersisa di Lasem. Berbeda dengan kota-kota lain dimana sebagian besar bangunan tua difungsikan sebagai kantor pemerintah atau sekolahan karena memang sudah dari dulunya berfungsi seperti itu, di Lasem bangunan-bangunan tua yang masih utuh justru banyak yang masih berfungsi sebagai rumah tinggal, dan sampai sekarang masih dihuni oleh keluarga maupun keturunan pemilik rumah yang bersangkutan. Rumah-rumah yang sebagian besar bergaya campuran China dan Eropa ini biasanya memiliki halaman yang sangat luas dengan tembok keliling di sekitarnya. Hal ini menyebabkan keindahan rumah-rumah ini sering kali tidak tampak, kecuali kalau pintu gerbang halamannya pas kebetulan terbuka. Masuk ke rumah-rumah begini mengingatkan aku akan rumah kakek dan nenekku dulu yang juga mirip, dengan jendela-jendela yang sangat besar, langit-langit tinggi, tiang-tiang besi penyangga yang dihiasi besi-besi lengkung, demikian juga lubang angin di atas pintu yang juga dihiasi lempeng besi melengkung membentuk motif-motif yang indah. Berada di dalam rumah-rumah seperti ini, udara terasa sejuk meskipun tanpa adanya AC. Dari beberapa rumah yang sempat aku masuki, aku masih menemukan banyak foto kuno masih tergantung di dinding, Perabotan-perabotan “jadoel” seperti lemari dan meubel terlihat masih dipergunakan dan dalam kondisi terawat. Ada pula beberapa rumah yang masih memiliki sumur terbuka di halamannya. Di dapur-dapur yang sempat aku masuki, tampak juga tungku-tungku batu jaman dahulu yang masih dipergunakan untuk memasak, meskipun sekarang lebih banyak dipergunakan untuk memasak cairan lilin guna keperluan membatik. Di dalam rumah-rumah itu, rasanya betul-betul seperti masih berada pada akhir tahun 1800-an. Sayangnya, dari informasi yang aku dapatkan, banyak rumah seperti itu yang sedang dalam proses atau bahkan sudah dijual oleh pemiliknya dengan segala macam alasan. Kalaupun tidak dijual, beberapa sudah dirobohkan dan diganti menjadi bangunan dengan arsitektur modern. Yang dijualpun aku gak yakin akan terus dipertahankan bentuknya oleh pemilik barunya. Sayang banget ya.

Kalau kondisi seperti ini dibiarkan, maka tidak akan ada lagi bedanya Lasem dengan kota-kota lainnya. Lasem, kota tua yang unik, penuh percampuran budaya, akan berubah menjadi kota modern yang tidak lagi mempunyai ke-khas-an. Bukan hanya bangunan kuno yang lenyap, tetapi juga motif-motif batik tertentu juga akan lenyap kalau tidak ada lagi peminatnya. Dan kalau sudah menjadi kota modern, masih maukah anak-anak yang menamakan diri mereka sebagai generasi modern menyantap lontong tuyuhan, latoh, keci, srepeh, dan lain-lain? Atau mereka justru lebih memilih aneka junkfood sehingga mereka bisa berbangga bahwa mereka merupakan bagian dari generasi modern yang menyantap makanan modern serta lebih memilih jeans dan t-shirt dibanding busana berbahan batik?

Mudah-mudahan tidak begitu, dan Lasem bisa tetap menjadi sebuah kota tua dengan segala keunikannya yang tetap eksis di era modern.—

Summary :

Lasem, a small town located at the north coast of Central Java, approximately 3 – 4 hours ride by car from Semarang to the east. It was once an important trade town, but now it is only known as an old town that has a specific batik motifs which called Batik Lasem. Actually there are many interesting thing can be found in Lasem other than its batik.

To begin with, there is an old Chinese temple in Lasem which has European style lying lions as its guardian lions instead of the usual Chinese style sitting lions. There is also another Chinese temple which has a non-Chinese-origin god in its altar. The god is actually a local hero called Raden Panji Margono, which is portrayed in his Javanese traditional clothes. As far as I know, there are no other temples that has such uniqueness as the temples in Lasem.

More than that, as an old town, Lasem has so many old houses with mixed architectural style of European and Chinese. Entering such a house, I felt that time stopped, or even flew backward to the late 1800. In Lasem, many people still live in old houses which still have old stone stoves instead of modern one. In some, there is even an old open well in one of the backyard’s corner. Old pictures of the owners still hanging on the wall and old furniture are still being used.  

Nowadays, however, Lasem’s developments seem to experience a discontinuity of its past. Many old buildings and houses have been sold by their owners, and the new owners tend to destroy them to replace the old ones with modern style buildings. Some of them were destroyed merely to be sold part by part, since the materials of the buildings are usually a good one and can be sold at a very high price  😦

Categories: Travel Notes | Tags: , , | 19 Comments

Post navigation

19 thoughts on “Percampuran budaya yang menghasilkan keunikan

  1. belum pernah larass ke lasem

  2. Thank you for your interesting blog…Well done…

  3. Ely Meyer

    pernah beberapa klai melewati Lasem, tapi belum pernah berkunjung
    batiknya cantik ya mas 🙂

  4. Lasem, semoga bisa kesana kelak…
    hasil batiknya memang beda sama batik biasa ya Mas…
    pembahasannya puuanjaaang… heheeee
    selamat Malam mas Chirs…

    • Selamat pagi menjelang siang, sorry semalam aku langsung terbang ke alam mimpi 😛
      Motifnya yang beda, Mas, kalau cara pemuatannya sih relatif sama lah.

  5. aww it’s such a shame, such houses should be preserved… and i really love batiks, so perfect for summer ^^

    • Yes, to know that more and more old houses been destroyed make me sad 😦
      As for batik, I agree with you. It’s perfect for summer 🙂

  6. Terimakasih. Saya suka post Anda. I will use it to help me learn more Bahasa Indonesia. 🙂

  7. Those batiks are beautiful.

  8. Tulisan yang bagus. Guru, ayo jalan-jalan lagi, guru.

  9. Il tuo blog è molto bello, ricco di foto mozzafiato e di notizie interessanti. Aiuta alla mente a viaggiare anche stando ferma. Grazie
    Pandora

Leave a reply to Larasati Cancel reply

Blog at WordPress.com.